WebNovels

Chapter 23 - Bab 25 (Alkein-Ruhosi)

Bab 25 – Pertemuan Dua Takdir di Senja Merah

Tangan Ruhosi yang terulur terasa hangat dan sedikit kasar, kontras dengan kelembutan yang biasa Elara rasakan di Lumina'val. Untuk sesaat, Elara ragu, namun senyum lebar dan tatapan mata Ruhosi yang meski penuh kekonyolan juga menyimpan ketulusan, membuatnya memberanikan diri menyambut uluran tangan itu.

"Ruhosi… Elara…" ulangnya pelan, seolah mencicipi nama-nama itu di lidahnya. Jemari mereka bersentuhan.

Seketika, Lensa Kabut di saku Ruhosi berdenyut semakin kuat, memancarkan cahaya biru kehijauan yang kini terlihat jelas bahkan tanpa Ruhosi mengeluarkannya. Di saat yang bersamaan, liontin matahari separuh di leher Elara berpendar dengan cahaya keemasan yang lebih intens dari biasanya, seolah menjawab denyutan Lensa Kabut.

Keduanya merasakan getaran aneh, seperti aliran energi hangat yang mengalir di antara mereka melalui sentuhan tangan itu. Kilasan-kilasan visi yang samar dan cepat melintas di benak masing-masing: Ruhosi melihat hutan bercahaya dan sosok-sosok anggun berjubah putih, sementara Elara melihat dataran angin yang luas dan pusaran energi raksasa. Visi itu begitu cepat hingga mereka hampir menganggapnya sebagai khayalan.

Ruhosi yang pertama kali menarik tangannya, bukan karena kaget, tapi lebih karena… lapar. "Wah! Tanganmu anget juga ya, kayak habis megang batu magma! Eh, tapi ngomong-ngomong, kamu ngapain di sini sendirian sama bunga cantik itu? Mau kasih makan Gorok tadi?"

Elara mengerjap, sedikit bingung dengan perubahan topik yang begitu cepat. Ia memeluk bunga bulan sabitnya lebih erat. "Aku… aku Elara. Dan ini… ini tugas dari Tetua. Aku harus membawa bunga ini kembali ke Lumina'val." Ia menunjuk ke arah lembah yang tersembunyi di balik pepohonan.

"Lumina'val?" Ruhosi mengulang, matanya berbinar penasaran. "Nama yang keren! Kayak nama permen rasa lemon! Di sana banyak makanan enak nggak? Aku lapar banget nih habis berantem sama Beruang Jelek tadi. Dia kuat juga ternyata, bikin tanganku pegel." Ia mengibas-ngibaskan tangannya, lalu menepuk perutnya yang keroncongan.

Elara tidak bisa menahan senyum tipis melihat tingkah Ruhosi. Anak laki-laki ini benar-benar berbeda dari siapapun yang pernah ia temui. "Lumina'val adalah rumahku… tempat para Elf Sylvarian tinggal. Dan… ya, ada banyak buah-buahan enak."

"Elf? Yang telinganya panjang itu ya? Keren!" seru Ruhosi. "Boleh ikut nggak? Aku belum pernah ketemu Elf sebelumnya! Siapa tahu mereka punya resep rahasia masak Beruang Jelek jadi lebih enak!"

Sebelum Elara sempat menjawab, ia teringat akan peringatan Lyris. Membawa orang asing, apalagi yang auranya seaneh Ruhosi—campuran gelap dan terang yang bisa ia rasakan samar-samar—ke Lumina'val tanpa izin bisa menjadi masalah besar. "Aku… aku tidak yakin. Para tetua sangat menjaga perbatasan."

Ruhosi tampak sedikit kecewa, bibirnya mengerucut. "Yah, sayang banget. Padahal aku penasaran sama rambut permen kapasmu itu asli apa nggak."

Tiba-tiba, Ruhosi mendongak, matanya menyipit. Langit senja yang tadi hanya kemerahan kini tampak semakin pekat warnanya. Di antara bintang-bintang yang mulai bermunculan, dua bintang bersinar lebih terang dari yang lain, memancarkan cahaya kemerahan yang ganjil.

"Lho, bintang apa tuh? Kok warnanya kayak sirup stroberi?" tanya Ruhosi, menunjuk ke langit.

Elara ikut mendongak. Jantungnya berdegup kencang. Itu dia. Konstelasi yang selama ini hanya ia baca dalam fragmen perkamen kuno. "Itu… itu Bintang Kembar Merah," bisiknya, lebih pada dirinya sendiri.

Saat ia mengucapkan nama itu, liontinnya kembali berdenyut hangat, dan ia merasakan getaran yang sama dari Lensa Kabut yang terselip di baju Ruhosi.

Ruhosi menoleh ke arah Elara, melihat ekspresi terkejut di wajah gadis itu. "Bintang Kembar Merah? Emang kenapa kalau warnanya merah? Apa itu artinya bakal ada hujan permen?"

"Itu… sebuah pertanda," jawab Elara pelan, matanya masih terpaku pada dua bintang kemerahan itu. "Pertanda… takdir."

Ruhosi menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Takdir? Takdir apaan? Takdir kalau aku bakal kelaparan terus gitu?"

Elara akhirnya menatap Ruhosi. Ada sesuatu dalam diri bocah ini, sesuatu yang lebih dari sekadar penyelamat kebetulan. Getaran dari liontinnya dan Lensa Kabut, kemunculan Bintang Kembar Merah… ini tidak mungkin hanya kebetulan. Fragmen perkamen itu menyebutkan "dua jiwa penyatu".

"Aku… aku harus segera kembali ke Lumina'val," kata Elara, suaranya kini lebih mantap. "Bunga ini sangat penting. Terima kasih sudah menolongku, Ruhosi."

Ia berbalik, hendak melangkah pergi.

"Hei, tunggu dulu!" Ruhosi memanggil. Elara berhenti dan menoleh.

Ruhosi tampak berpikir sejenak, sebuah pemandangan langka. Lalu ia nyengir lagi. "Kalau tempatmu itu susah dimasuki, terus ada beruang jelek berkeliaran di luar sini, gimana kalau aku antar kamu sampai… yah, setidaknya sampai dekat perbatasanmu? Biar kamu nggak diganggu lagi. Hitung-hitung balas budi buat info Bintang Sirup Stroberi tadi."

Elara tertegun. Ia merasakan ketulusan dalam tawaran Ruhosi, di balik semua kekonyolannya. Dan sejujurnya, ia sedikit takut jika harus berjalan sendirian lagi setelah bertemu Gorok tadi. Kehadiran Ruhosi, meskipun aneh, memberinya rasa aman yang tak terduga.

"Kamu… mau mengantarku?"

"Tentu saja! Petualangan baru selalu seru! Siapa tahu di jalan kita ketemu monster sosis atau pohon donat!" jawab Ruhosi penuh semangat, seolah gagasan itu adalah hal paling masuk akal di dunia.

Elara menimbang-nimbang. Ini berisiko. Tapi hatinya mengatakan untuk percaya. Mungkin… ini juga bagian dari takdir yang dibisikkan Bintang Kembar Merah.

"Baiklah," kata Elara akhirnya, senyum kecil terukir di bibirnya. "Tapi… kamu janji tidak akan membuat kekacauan?"

Ruhosi mengangkat dua jarinya membentuk tanda 'V'. "Janji! Aku bakal jadi anak baik paling konyol yang pernah kamu lihat!"

Dan begitulah, di bawah tatapan Bintang Kembar Merah yang semakin benderang, dua pengembara muda dengan takdir yang terjalin memulai langkah pertama mereka bersama. Elara dengan bunga bulan sabit di tangannya, dan Ruhosi dengan rasa penasaran yang tak ada habisnya, berjalan beriringan menuju perbatasan Lumina'val, tidak menyadari bahwa pertemuan mereka telah memicu riak yang akan mengubah jalan hidup keduanya, dan mungkin juga nasib Alkein itu sendiri. Di kejauhan, tanpa mereka sadari, sebuah garis merah tipis di Lensa Kabut Ruhosi sedikit bergetar, seolah merespons pertemuan tak terduga ini.

More Chapters