WebNovels

Chapter 2 - BAB 2 : KITAB DI TENGAH API

Api tak pernah peduli siapa yang tinggal dan siapa yang berdoa. Api hanya tahu membakar. Dan malam itu, ketika langit Muye merah seperti darah yang dituangkan dari langit, kitab "Seni Keheningan" nyaris menjadi abu.

Tsun Zhu tiba kembali ke reruntuhan Muye saat senja. Ia sempat menyingkir ke selatan selama tiga hari untuk mencari pengungsi lain, namun yang ditemuinya hanya jejak-jejak kaki yang memudar dan kain compang yang tersangkut di semak. Kini, yang tersisa hanyalah puing, arang, dan bau daging hangus yang tak bisa dihapuskan dari ingatan.

Di antara sisa rumah yang runtuh, ia menemukan gubuk tempat kepala desa biasa menyimpan barang-barang lama. Atapnya sudah hangus, tapi di bagian lantai yang terpendam tanah, ada satu peti besi kecil. Ia membukanya dengan jari gemetar.

Kitab itu ada di sana—terbakar sebagian, tapi utuh pada bagian tengahnya.

Halaman pertama yang terlihat terbuka pada tulisan:

"Dalam perang, yang kalah adalah yang lebih cepat berbicara. Yang menang adalah yang lebih lama diam."

Tsun Zhu mendekap kitab itu seperti memeluk sahabat terakhirnya.

Namun ia tak sendiri.

Dari balik asap, terdengar derap kaki pelan. Seorang pria muncul, mengenakan jubah baja ringan berlapis kain hitam. Wajahnya dibalut kain, menyisakan hanya mata—mata yang menatap seperti serigala lapar.

"Kau yang selamat dari pembantaian ini?" tanya pria itu, suaranya berat.

Tsun Zhu berdiri perlahan, tanpa menjawab. Ia menutup kitab, memegang kipas bambunya.

"Aku tak punya apa-apa untukmu," kata Tsun Zhu akhirnya.

"Tidak. Tapi kitab itu…," kata sang pria, menunjuk ke dadanya, "itu milik tuanku. Dulu biksu yang menulisnya adalah pengkhianat. Kau menyimpan warisan dosa."

Tsun Zhu menyipitkan mata. "Biksu itu… mengajarkan keheningan. Bagaimana mungkin seseorang menyebut keheningan sebagai pengkhianatan?"

Pria itu melangkah maju. "Karena diam terlalu lama bisa membunuh lebih banyak dari pedang. Aku akan mengambilnya."

Tsun Zhu membuka kipasnya. Ia tahu tak bisa menang dalam pertarungan fisik. Tapi ia juga tahu satu hal: musuh yang tidak paham pikirannya akan selalu takut pada ketenangan.

"Aku akan memberikannya," katanya tenang. "Tapi hanya jika kau bisa menjawab satu teka-teki."

Pria itu menyeringai di balik kain wajahnya. "Mainan anak-anak."

Tsun Zhu menunduk, lalu berkata:

> "Jika kau berjalan tanpa kaki, melihat tanpa mata, dan membakar tanpa api… siapakah kau?"

Pria itu terdiam. Angin berdesir. Daun-daun pinus berguguran perlahan.

Ia mengerutkan kening. "Bayangan?"

Tsun Zhu menggeleng. "Bayangan tak membakar. Dan ia butuh cahaya."

Pria itu menggenggam gagang pedangnya. "Apa jawabanmu?"

Tsun Zhu menatapnya lurus. "Waktu."

Pria itu menegang. Tangannya sempat bergerak cepat, tapi suara kuda terdengar dari jauh. Pasukan patroli Kerajaan Liang mendekat.

Tsun Zhu mengambil langkah mundur, lalu berkata, "Kau boleh membunuhku nanti. Tapi sekarang, jika kau punya akal, larilah."

Dan untuk pertama kalinya, seorang pembunuh dari Lembah Selatan memilih diam dan mundur.

Tsun Zhu menyembunyikan kitab itu dalam pakaian dalamnya, lalu berjalan menuju arah suara kuda—menuju Liang. Ia tahu, jika ingin mengubah dunia, ia harus masuk ke dalamnya, memahami isinya, dan memelajarinya hingga ke tulang.

Di bawah cahaya redup senja dan bayangan asap yang belum usai, anak lelaki itu memulai langkah baru.

Langkah seorang penulis sejarah.

Langkah seorang senjata tak terlihat.

Langkah seorang legenda dalam diam.

More Chapters