WebNovels

Chapter 4 - BAB 4 : PENDEKAR YANG TERLUKA

Hujan turun saat malam mulai merayap di atas ibu kota Liang. Tetes-tetesnya seperti doa yang jatuh dari langit, menyapu jalanan batu, membasahi bendera-bendera tua di atas menara, dan menghapus jejak kaki yang belum sempat menjadi kisah.

Tsun Zhu menapaki tangga menuju Balairung Jenderal, tapi tak satu pun penjaga menghentikannya. Seolah-olah tempat itu sedang menahan napas—sepi, tapi bukan karena kosong. Ada sesuatu yang mengintai dari balik keheningan, dan Tsun Zhu merasakannya di tengkuknya.

Tepat sebelum mencapai gerbang luar balairung, sebuah bayangan terhuyung keluar dari lorong samping. Sosok itu tinggi, tubuhnya dibalut jubah gelap yang robek di sisi bahu. Darah menetes dari lengan kirinya, tapi tangannya yang lain menggenggam sebilah pedang dengan gagang berukir lambang keluarga utara: Angin Dalam Logam.

Ia roboh di depan Tsun Zhu. Napasnya berat. Matanya—meski setengah tertutup darah—masih tajam seperti elang di musim berburu.

Tsun Zhu berlutut. "Kau… siapa?"

Orang itu mengangkat kepala sedikit. "Aku… bayangan yang kembali terlalu cepat…"

"Kau butuh tabib," Tsun Zhu berujar cepat, namun orang itu menggeleng lemah.

"Tidak… aku hanya butuh… seseorang yang bisa mendengar…"

Ia membuka gulungan kecil dari balik sabuknya. Kertasnya basah darah, tapi tinta merah di atasnya membentuk peta. Tiga titik merah. Satu melingkari Balairung Jenderal. Dua lainnya berada di luar kota—di tempat yang tak diberi nama.

"Rencana kudeta sedang berjalan," bisiknya. "Jenderal Liang sudah… bukan manusia… lagi."

Tsun Zhu membeku. "Apa maksudmu?"

"Tiga tahun lalu, ia mencari sesuatu di Gunung Hitam. Ia kembali… tapi tidak sama. Semua orang yang tahu… hilang. Aku satu-satunya yang berhasil keluar. Tapi…"

Tubuh pendekar itu menggigil. Tsun Zhu meraih pundaknya, tapi ia tahu: luka itu bukan hanya fisik. Ada sesuatu yang lebih gelap, yang menggerogoti jiwa orang ini.

"Aku dulu… murid ayahmu," katanya perlahan. "Tsun Jie. Ia menyelamatkanku dari perang, dan mengajariku… untuk mendengar suara dalam diam. Kau punya wajahnya."

Tsun Zhu menelan ludah. Dunia terasa berubah warna. "Apa yang terjadi pada ayahku?"

"Dia masuk ke Balairung Jenderal… dan tak pernah keluar."

Pendekar itu menggenggam tangan Tsun Zhu. Erat.

"Dengarkan aku… ada ruang rahasia di bawah balairung. Di sana… suara terakhir ayahmu tersimpan. Tapi pintunya hanya bisa dibuka… dengan tiga hal: kipas itu, kitab itu… dan darah pewarisnya."

Tsun Zhu terdiam. Angin malam berhembus melewati sela-sela batu, membawa harum tanah dan ancaman yang tak terlihat.

Pendekar itu menutup matanya. "Namaku Fang Lin… jaga warisan gurumu…"

Nafasnya hilang bersama hembusan terakhir angin malam itu. Tubuhnya menjadi dingin, tapi pedangnya tetap hangat—seolah menyimpan nyala yang belum padam.

Tsun Zhu menunduk, meletakkan kipasnya di atas dada Fang Lin. Hujan turun lebih deras. Dan malam, sekali lagi, menjadi pelindung bagi rahasia yang menunggu untuk dibuka.

Ia bangkit.

Dan untuk pertama kalinya, ia tahu langkahnya bukan hanya milik seorang anak lelaki…

Tapi milik pewaris suara yang pernah menggetarkan negeri.

More Chapters