—Langkah yang Terlihat Adalah Bayangan dari Yang Tak Terlihat—
Matahari senja menggantung rendah di langit saat Tsun Zhu akhirnya kembali ke ibu kota Liang. Bayang-bayang panjang membentang di jalan berbatu yang kini terasa lebih asing daripada hutan tempat ia nyaris kehilangan nyawanya. Di dadanya, terselip surat ayahnya. Di pinggang, kipas dan Kitab Gemuruh Langit. Tapi yang paling berat adalah suara itu—yang terus berputar di kepalanya: "Jangan cari kebenaran. Cari suara."
Langkah pertama menuju Balairung Jenderal bukanlah menerobos pintu depan. Ia tahu, jika pengkhianat berada di dalam, maka setiap sudut Balairung kini bisa menjadi jebakan kedua, ketiga, keseratus.
Taktik pertama: menjadi bayangan.
---
Tsun Zhu menuju Distrik Pasar Tua, tempat segala jenis barang terlarang dan informasi paling busuk kota berpindah tangan. Ia menyusuri gang sempit di antara gudang rempah, lalu berhenti di sebuah rumah teh yang terlihat biasa. Tapi di balik tirai pintunya tergantung sebuah lonceng kecil berbentuk kepala kucing—tanda dari kelompok Bayang-Tak-Bersahut.
Ia masuk. Bau teh basi dan tembakau murah menyambutnya. Di dalam, hanya ada satu pelayan: lelaki tua dengan mata satu, berjanggut abu, dan jari yang gemetar karena usia.
Tsun Zhu tak banyak bicara. Ia hanya membuka kipasnya sedikit, menunjukkan ukiran naga kecil di sisi dalam.
Lelaki itu meneguk teh pelan, lalu bergumam, "Taktik pertama adalah menyusup, bukan menyerang."
"Dan untuk menyusup, aku butuh nama," jawab Tsun Zhu. "Nama siapa yang paling banyak muncul di Balairung sejak ayahku menghilang?"
Lelaki itu mengangguk pelan, lalu mengeluarkan secarik kertas dari bawah meja. Di atasnya tertulis hanya satu nama:
Jenderal Muda Lei Sheng.
---
Lei Sheng.
Nama yang dulu hanya bayangan di balik pertemuan-pertemuan ayahnya. Prajurit muda berbakat, namun ambisius. Dan kini, dialah yang memimpin sebagian besar operasi Balairung.
Tsun Zhu tahu apa yang harus dilakukan.
Taktik pertama: menjadi seseorang yang bukan dirinya.
Dengan bantuan Bayang-Tak-Bersahut, ia mendapatkan seragam prajurit tingkat dua Balairung, lengkap dengan lambang palsu yang nyaris tak bisa dibedakan dari asli. Ia mempelajari struktur bangunan, rute patroli malam, dan kode sandi internal.
Malam itu, Tsun Zhu menyelinap masuk Balairung.
Langit mendung menutup cahaya bulan, dan penjaga gerbang hanya mengangguk saat ia melintas. Ia mengikuti rute yang telah dihafalnya—hingga sampai di ruang strategi lama, tempat ayahnya dulu sering merancang taktik melawan musuh luar.
Kini ruangan itu kosong. Tapi tidak mati.
Di dinding, tergantung potret ayahnya… dan di bawahnya, meja besar penuh peta baru. Peta wilayah dalam ibu kota—dengan titik-titik merah di lokasi yang tak seharusnya: rumah pemuka agama, pasar rakyat, dan bahkan sumur-sumur tua.
"Pembersihan," gumam Tsun Zhu. "Mereka tak hanya ingin menguasai… mereka ingin membakar akar-akar kota."
Tiba-tiba, suara langkah kaki mendekat.
Ia bersembunyi di balik lemari senjata saat dua prajurit masuk, lalu berbicara pelan:
> "Jenderal Lei bilang suara itu sudah mulai berdenyut. Mereka akan bangkit sebentar lagi."
"Kau yakin darah pewaris tak ditemukan?"
"Tidak akan. Pewaris sudah mati."
Tsun Zhu mengepalkan tangan. Mereka percaya ia mati.
Taktik pertama… sukses.
---
Tsun Zhu keluar sebelum fajar, membawa satu lembar peta baru yang ia salin diam-diam. Namun yang lebih penting adalah satu informasi: mereka belum tahu suara itu sudah bangun. Dan selama ia menjaga Kitab serta darahnya sendiri, suara itu masih miliknya.
Ia kembali ke rumah teh tua, menyerahkan sebagian informasi kepada kelompok Bayang.
"Mulai sekarang," katanya, "kita mainkan perang ini dari dua sisi: terang dan gelap. Aku akan jadi prajurit mereka di siang hari… dan hantu mereka di malam hari."
Lelaki tua itu tersenyum tanpa gigi.
"Dan itulah," katanya, "taktik pertama yang membuat iblis takut: bayangan yang mengenal terang."