Assalamu'alaykum... perkenalkan namaku Atika. Aku asli dari Magelang, Jawa Tengah. Sebenarnya kisahku tak seseru karya - karya Widasu atau penulis lain. Tapi Cuma ingin berbagi saja. Seperti yang lain nya, awal mula kenapa aku mau menulis kisahku adalah karena bertemu dengan Widasu saat Dauroh. Benar - benar pengalaman baru nan gila karena ternyata dibalik alimnya akhwat - akhwat bercadar, mereka juga punya kebinalan yang terpendam. Aku pun sepertinya masuk ke dalam kategori yang sama. Hahahaha... Kisahku bukanlah kisah yang singkat. Sebenarnya ini sudah dimulai dari beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku memutuskan untuk menjadi wanita yang mandiri dan ingin punya bisnis sendiri. Berbasis pengetahuanku soal rias wanita, aku pun memberanikan diri untuk membuka Salon di Jogja. Yaah… sekalian untuk pelarian. Karena Magelang telah membuat hatiku terluka.
Sebenarnya itu juga salahku. Aku terlalu percaya pada lelaki. Termasuk lingkungan tempat aku sering bergaul, semuanya mendukung kemaksiatan yang kulakukan. Benar, pacaran. Sudah hampir 2 tahun lamanya aku dan Ade berpacaran. Awalnya kami hanya saling suka saja. Bermula dari perkenalan di kantin, tempat kami mendapat pelatihan. Aku latihan tata rias, sementara Ade di otomotif. Dibalai tempat kami berlatih terdapat beberapa pilihan konsentrasi pembelajaran yang cukup menjanjikan.
"Boleh duduk disini??", kata Ade sambil membawa tray makanan.
"Ahh… Ya silakan", jawabku yang sendirian saat itu.
Kulihat - lihat sekitar ternyata memang tak banyak tempat duduk yang kosong. Tapi bukan nya harusnya dia cari yang sama - sama lelaki ya? Kok malah duduk disini? Ah sudahlah. Aku pun tak terlalu peduli.
"Mm... Aku Ade... salam kenal...", ucap Ade mencoba membuka pembicaraan.
Yaah… aku sih tak terlalu peduli sebenarnya. Hanya saja aku ingin sedikit menghargai usahanya...
"Aku Atika... salam kenal juga...", jawabku singkat.
"Ow... mba Atika ambil tata rias kah?"
"He'em"
"Oohh... Kenapa ambil konsentrasi itu?", tanya Ade lagi.
"Gatau... iseng aja...", jawabku singkat supaya ia cepat pergi.
Meski sudah kucoba untuk jutek dan tegas dalam menyikapi lelaki yang bukan mahramku, tapi tetap saja Ade berupaya keras untuk pdkt. Mungkin karena pakaianku juga. Memang saat itu aku masih seperti layaknya wanita di umur 25an tahun yang suka main. Jilbab segi empat kecil, kaos full - press body, dan celana jeans model pensil. Semuanya menunjukkan lekuk tubuhku yang lumayan aduhai. Untuk pelatihan sebenarnya nggak lama, hanya sekitar 6 bulan saja. 4 bulan training intensif, 2 bulan untuk internship (Magang) Tapi entah kenapa dalam kurun waktu yang singkat itu Ade bisa meluluhkan pendirianku.
"Eling yo nokk... Ati - ati karo wong lanang... awakmu wes umur 25 tahun... wes dewasa... Ati - ati milih konco... pokok e bapak karo ibu mung iso dongakke awakmu nok... bapak karo ibuk mung njaluk tulung ojo kebablasen... eling marang gusti Allah...", (Ingat ya nak... hati - hati sama lelaki... dirimu sudah umur 25 tahun... sudah dewasa... hati - hati pilih teman... pokoknya bapak sama ibu Cuma bisa mendoakan dirimu saja... bapak sama ibu Cuma minta tolong jangan kebablasan... ingat pada Allah) Pesan Ayahku sebelum aku memutuskan untuk ikut training.
Awalnya aku sangat berpegang teguh dengan pesan ayahku. Tapi cinta berkata lain. Ia bisa dengan mudahnya membuatku melihat fatamorgana manisnya pacaran. Di bulan ke - 3, aku sudah membuka ruang untuk Ade. Dari sana aku mulai banyak beralasan pada orang tuaku.
"Loh... biasane mangkat motoran?? Kok ndengaren saiki mlaku terus kowe nok?", (Loh... biasanya berangkat motoran?? Kok gak biasanya sekarang jalan kaki terus kamu nak??) Tanya ibuku.
"Rapopo bu... ngko nank indomaret dipethuk kancaku... si Fithriya...", (Gapapa bu... nanti di indomaret dijemput temenku... si Fithriya...) Jawabku.
"Woo... yowes sing Ati - ati nok...", (Woo... yaudah yang hati - hati nak...) Pesan ibuku tulus.
Yah seperti normalnya orang kasmaran. Semua itu hanyalah alibi untuk membenarkan kesalahan yang tanpa kusadari akan membuatku menyesal kedepannya. Jarak antara rumahku dan indomaret sekitar 300an meter. Cukup jauh untuk diketahui oleh warga kampungku. Meski begitu, aku selalu membawa hoodie cadangan yang akan selalu kupakai kalau sudah dijemput Ade. Ade pun membawa helm tambahan supaya tak ada yang mengenaliku. Waktu terus berjalan. Aku tak mau membahas soal Ade terlalu banyak disini, karena kisah yang ingin kuceritakan bukan tentang Ade. Ohh… iya, aku masih awam soal nulis - nulis gini, jadi kalo bahasanya campur aduk gak jelas, yaa… mohon pengertian pembaca. Dan seperti biasanya, Ade sudah menunggu di parkiran Indomaret. Semua berjalan mulus tanpa adanya kecurigaan dari ortuku.
Sebenarnya kalau basic ortuku sih lebih ke islam biasa. Bukan sepertiku sekarang yang sudah hijrah dan suka ikut kajian. Bahkan kalaupun ikut pengajian dikampung paling hanya selapan (40 hari) Sekali. Tapi meski begitu, mereka tetap selalu berpesan kebaikan padaku. Kini pulang - pergiku selalu bersama Ade. Yang tadinya aku jutek ga karuan, kini beralih menjadi tak bisa hidup tanpa pelukan. Yaa... pelukan. Kontak fisik yang berawal dari bergandengan tangan, kini entah kenapa aku tak ragu lagi berpelukan dengannya. Sudah pasti setiap berkendara, toketku yang berukuran 36C menempel di punggungnya.
"Dingin gini... masih lama kayaknya hujannya...", kata Ade sambil membelai kepalaku.
"He'em... enaknya ngapain ya pah??", kataku.
"Mmm... apa ya? Papah tuh jadi inget dulu waktu kenal Mamah di awal... juteknyaa..."
"Ahahah... iyasih Pah... Yaah… kan waktu itu belum kenal papah", jawabku sambil memeluk Ade dari samping kanan.
"Terus sekarang??", tanya Ade singkat sambil mengangkat daguku.
"Sekarang??", tanyaku.
"Sekarang masih mau jutek? Atau sayang?"
"Sekarang... Mamah sayang papah banget...", kataku sambil menguatkan pelukanku.
"Papah juga sayang Mamah...", jawab Ade yang tanpa kusadari jarak mulut kami sudah terlalu dekat.
Dan terjadilah impact pertama yang membuatku galau, gundah, senang, bahagia, bersalah, bingung, khawatir, nyaman, semua rasa menjadi satu. Itu adalah saat bibir Ade akhirnya berhasil bertemu dengan bibirku. Hujan yang begitu deras membuat tak banyak kendaraan yang lalu lalang. Beberapa saat aku cuma terdiam. Aku bingung apa yang harus kulakukan. Ini First - Kissku. Tapi Ade begitu lihai. Ia mulai memagutku dan membimbingku. Dan semuanya pecah saat lidah Ade mulai masuk ke mulutku. Serasa bibirku tak mau lepas, tak ingin semuanya berhenti. Namun nuraniku sempat mengetuk sedikit kesadaranku yang mulai hilang. Dan aku berhasil mencegah semuanya berlebihan. Sepulangnya dirumah, aku langsung masuk kamar. Ingin rasanya aku teriak. Hatiku meleleh dengan rasa baru yang kurasakan hari itu. Aku harusnya merasa menyesal. Tapi setan dalam diriku telah menguasaiku. Dan begitu seterusnya. Hari - hari chattingku dengan Ade pun mulai menjurus kearah selakangan. Berawal dari chat yang selalu diakhir dengan emot cium, hingga mulai menyindir kearah perut kebawah.
"Ehh... Papah... apaan sih...", kataku yang mencoba menepis tangan Ade yang tiba - tiba meremas toketku.
"Abisnya... ngeganjel sih... Papah kira apaann... Ahahhah...", kata Ade bercanda.
"Isshh... jangan pas di jalan gini sih Paaah... ntar aja dimana gitu kek...", ucapku yang tanpa kusadari
"Ehhhh... Oke deh Maahh..."
Dan mulailah kontak fisikku bertambah. Hampir tiap hari, setelah selesai training, aku dan Ade pergi ke belakang gudang. Yaahh... untuk bercumbu. Yang kutau awalnya hanya berciuman, tapi hari itu Ade sudah berani meremas toketku.
"Ahh... Papah... Uhh...", desahku keenakan saat tangan Ade menyelinap di balik kaosku dan meremas toketku yang masih terbungkus Bra.
"Kenapa Mah? Enak??", tanya Ade berbisik di telinga kananku.
"He'emh... Uwhh..."
Rasanya geli tapi enak. Ade selalu mencumbuku diawal sebelum ia menggerayahi dadaku. Sekali, dua kali, tiga kali, Ade masih bersabar dengan hanya menggunakan tangan saja. Tapi seiring waktu, akupun penasaran ketika ia bilang "mau coba diisep nggak Mah...??". Normalnya aku akan teriak menolak. Tapi entah kenap kepalaku malah mengangguk.
Aku masih ingat sekali kala itu Jum'at siang. Dimana kami pulang awal karena ada sholat jum'at. Memang khusus hari jum'at pembelajaran hanya sampai jam 11 saja. Tapi bukannya mengingatkan Ade untuk sholat Jum'at, aku malah menemaninya untuk 'mencoba' lebih jauh. Seperti biasanya, kami saling berciuman sambil berdiri. Tangan Ade tak hanya diam, tapi meremas bokongku. Dan aksi Ade pun dimulai. Setelah aku duduk bersandar ditembok, ia mulai menyingkap kaos dan Braku. Hawa hangat udara siang pun menerpa putingku yang sudah mencuat itu. Berwarna coklat tua, khas wanita jawa. Aku hanya terdiam, nafasku menderu, jantungku berdegup menantikan aksi Ade berikutnya.
"Cantik banget susu Mamah... Papah jadi ga tahan...", kata Ade memandangi toketku yang membusung bulat indah.
"Ahh... Papah... malu...", ucapku yang memang malu karena ini pertama kalinya.
Tapi semua itu berubah saat jemari Ade mulai meremas toketku. Ibu jari Ade pun tak diam dan terus memainkan putingku layaknya analog distick playstation. Desahanku muncul tak tertahankan. Geli tapi enak. Ditambah lagi Ade melakukannya sambil berciuman denganku. Semakin luluh lantak imanku siang itu. Dan puncaknya adalah ketika Ade mulai menciumi toketku. BUUMM…!! Semuanya meledak. Aku melenguh, merasakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Padahal Ade baru menciumi sekeliling toketku. Rasanya?? Seperti semua syarafku lumpuh oleh rasa nikmat syahwat. Dan tanpa sadar aku membusungkan dadaku, kedua tangannku meremasi kepala Ade. Bukannya mendorong agar Ade menyudahi dan berangkat sholat Jum'at, tapi justru tanganku mengarahkan kepala Ade untuk segera melumat putingku.
"Udah ga sabar Mamah??", tanya Ade menggodaku.
"Aahh... Papaaahh... Emutt dong...", kataku yang sudah gelap mata penuh nafsu.
Happhh…!! OOOOHHHHH... aku melolong layaknya serigala. Rasanya puas tak terkira saat putingku akhirnya tenggelam dalam kehangatan mulut Ade. Hatiku campur aduk antara harus mengiyakan apa yang terjadi dan pura - pura buta, ataukah harus menyelamatkan nuraniku. Tapi setan terlalu kuat untuk kulawan. Akhirnya aku hanya bisa pasrah melenguh menikmati keaadan. Dan selanjutnya, semuanya berjalan terlalu jauh. Pagar pembatas dalam hatiku tak kuat menahan terpaan syahwat yang kini menjadi teman harianku. Terlebih lagi Ade mulai sering mengajakku dan mengajariku tentang seks dan bokep. Berawal dari iseng dia kirim video, hingga akhirnya aku diajari cara mengakses video porno. Dan akhirnya, hari - hariku harus melakukan petting dengan Ade. Rasanya ada yang kurang kalau tidak melakukannya.
"Gimana sih pah...?? Gini yah??", kataku yang agak bingung menghadapi kontol Ade yang berukuran sekitar 15 cm.
"Pelan - pelan aja dulu Mah... ciumin dulu...", kata Ade mengajariku di toilet musholla BLPT.
Tempat itu menjadi pilihan karena sepi. Bahkan mushollapun terlihat tak terawat dan sangat kotor. Meski bokep sudah hampir setiap hari kutonton, tapi tetap saja kontol asli membuatku jijik. Hanya rasa cinta dan syahwat saja yang membuatku berani memegangnya. Keras, agak kenyal, beraroma khas. Butuh waktu hingga lidahku terbiasa. Dan akhirnya kontol Ade pun tenggelam dimulutku. Beberapa kali Ade meringis karena gigiku, tapi Ade begitu sabar untuk mendapatkan hasil maksimal. Beberapa kali aku tersedak, hingga akhirnya aku tau tekniknya. Setelah saat itu, chat kami mulai liar sampai Ade berani untuk menawariku melepas perawan. Awalnya hanya kuanggap bercanda dan kuiyakan saja. Bahkan chat seksku dengannya sering terlalu jauh hingga merencanakan hal - hal yang diluar nalar.
"Shh... Jangan Pahh... diluar ajah... jangan masukin jarih...", ucapku sambil menikmati jari Ade yang sudah menggeliat didalam CDku.
"Loohh... semalem chatting katanya pengen coba??", kata Ade sambil meremasi toketku dari belakang.
"Boleh Pahh... tapi jadi 'Papah' beneran dulu...", kataku sambil membelai pipi kanannya.
Ade yang gemas kini beralih berjongkok. Celana jeansku dan CDku dengan cepat tanggal dan menampakkan memekku yang agak tembem berwarna coklat. Mataku terpejam saat akhirnya lidah Ade menjilati memekku. Rasanya benar - benar nikmat. Apalagi saat lidahnya masuk, membelah seluruh bibir memekku. Aahhh... desahanku pun tak terkontrol. Birahiku memuncak. Akupun tak ragu - ragu untuk melahap seluruh kontol Ade dengan liarnya.
Crot... Crott... Ade mengerang dan memuntahkan spermanya dimulutku yang sedang kusepong dengan aku duduk ditoilet dan Ade berdiri. Ini bukan pertama kalinya aku mencicipi sperma. Waktu pertama kali, benar - benar aku tak tahan. Ingin rasanya muntah. Tapi Ade bilang untuk belajar sedikit demi sedikit menelannya. Kini hari - hari aku meminum sperma Ade. Sudah seperti vitamin wajib yang harus kukonsumsi tiap hari.
"Mah... tasyakuran di kosan Papah aja yuk... ntar papah siapin makanan enak", kata Ade mengajakku main ke kosan dia untuk pertama kalinya.
"Mmm... emang cewe boleh masuk Pah?", tanyaku.
"Santai aja Mah... yuk ah...", ajak Ade yang tak bisa kutolak.
Aku ingat betul kejadian itu. Karena itu terjadi bertepatan dengan selesainya program pembelajaran di BLPT dan pembelajaran dilapangan selama 2 bulan.
"Wey... Siapa lagi tuh cewe De!!?? Ukhti ya sekarang?? Gile lu... ahahaha...", celetuk teman Ade saat aku masuk ke kawasan kos - kosan dia yang tampak suram khas kos - kosan kelas ekonomi.
"Ssst... diem aja woy... liat temen seneng dikit aja sewot...", kata Ade yang jengkel dengan kawannya.
Kamar Ade berada cukup jauh dari pintu depan. Ada sekitar 20an kamar di kos - kosan Ade. Dan aku baru sadar kalau hampir setiap kamar pasti ada ceweknya. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan penghuni kos untuk membawa cewek. Aku juga baru tau kalau ada kos - kosan seperti ini di Magelang. Siang itu cukup panas. Untung saja Ade menyajikan minuman dingin dikosnya. Makan - makan hanyalah basa - basi saja bagi Ade sebelum menikmati tubuhku. Berawal dari ciuman seperti biasa, hingga akhirnya aku terlentang dan hanya menyisakan jilbab segi empat hitam saja yang kukenakan. Ade sangat ahli membuatku terangsang hingga aku gelisah karena tak bisa menahan kuatnya syahwat. Setiap bagian tubuhku tak ada yang lepas dari jilatan dan cupangan Ade. Kulitku yang kuning langsat mulus kini mulai ada ruam kemerahan bekas cupangan. Yang membuatku semakin tergila - gila adalah saat Ade membenamkan kepalanya diselakanganku. Uuhhh... rasanya benar - benar lumer dibawah sana. Beberapa kali jari Ade berupaya masuk, namun segera kutepis lembut supaya tak membuatnya sakit hati.
"Mah... Mamah... coba deh sini...", kata Ade yang tiduran dikasurnya.
"Uhh... Gimana Pah??", tanyaku yang belum tau maksud Ade.
Akupun diarahkan Ade untuk doggy diatas badannya. Hanya saja aku menghadap selakangan. Dan aku baru tau itu posisi seks 69. Aku disuguhi kontol Ade yang sudah menegang keras, siap menjebol memek perawan sepertiku. Mulutku entah kenapa bergerak dengan sendirinya dan langsung melahapnya tanpa malu. Dibawah sana, aku pun dibuat menggelinjang oleh permainan lidah Ade yang memang kuakui hebat. Hingga akhirnya aku pun sudah terlalu terangsang. Aku ditidurkan terlentang. Entah apa yang terjadi pada diriku siang itu. Kubuka sendiri kakiku, seakan mempersilakan Ade untuk mengambil mahkotaku yang paling berharga. Saat ia sudah bersiap melesakkan terongnya kearah memekku, tiba - tiba Ade berkata sesuatu yang membuatku tersadar.
"Abis ini... ga ada jalan kembali Maahh... bakalan ngentot mulu kita sayang...", kata Ade.
Hati dan akalku serasa di sambar petir. Dengan cepat aku segera menjauh dari Ade. Air mataku berderai. Aku baru menyadari kalau sudah terlalu jauh. Untungnya Allah masih sayang dan menyelamatkanku. Aku tak berkata - kata apapun. Segera kukenakan kembali semua pakaianku secepatnya dan langsung meninggalkan kos Ade. Ade sendiri juga tampak kebingungan, bahkan ia mencoba mengajakku bicara, tapi aku tak peduli. Hampir seminggu lamanya aku tak menghiraukan chat dan panggilan dari Ade. Yang kulakukan hanyalah tiduran dan merenungi semuanya. Tapi aku tetap berupaya terlihat normal ketika bertemu orang tuaku supaya mereka tak curiga.
"Maafin aku... aku khilaf Atika...", kata Ade di chat WA.
"iya... aku juga salah... sudah ya... kita sampai disini aja... ini pelajaran buatku... jangan hubungi aku lagi...", jawabku sambil kemudian menghapus semua kontak Ade.
Pedih? Iya. Sakit?? Iya. Tapi itu yang terbaik. Aku tak mau mengecewakan orang tuaku sebelum aku benar - benar siap untuk bertanggung jawab. Lagipula Ade pun belum jelas dengan pekerjaannya.
"Lohh... kayaknya kemarin kalian asik - asik aja...", kata Tsabita yang berpakaian seksi dengan tanktop dan hotpants.
"Iya... kayak ga bakal ada yang bisa misahin kalian berdua ahahaha...", lanjut Arumi yang berpakaian syar'i dengan khimar, abaya, dan cadar serba hitam.
"Btw emangnya kenapa kalian putus?", tanya Nasha yang berpakaian seperti ku, jilbab segi empat kuning, kaos lengan panjang dan jeans hitam.
"Yaa gitu... udah ga sejalan... dia nglanggar prinsipku... yaudah langsungku tinggal aja...", kataku sambil menikmati gelato ku.
"Behh... Atika dilawan... hajarr!! Ahahah...", kata Tsabita menirukan gerak samurai.
"Terus kedepannya mau gimana Tik?", tanya Arumi.
"Aku sih rencana mau buka salon aja di jogja... gimana bagusnya??", kataku yang masih gonjang ganjing.
"Mm... kalo aku sih oke aja... toh kamu udah ikut pelatihan juga...", kata Arumi.
"iya juga... mau buka dimana?", tanya Nasha.
"Rencanaku ke Jogja aja... Ehh, Mi... besok - besok bantuin cari kontrakan ya?", kataku.
"Gampang itu... kalian mo ikutan ga?", tanya Arumi.
"Kalo aku sih oke...", kata si Tsabita yang juga diiyakan Nasha.
Niatku ini sudah lama. Karena Jogja terkenal banyak pelajar, dan sepertinya dewasa ini tata rias sudah seperti kewajiban. Hanya saja aku belum memberi kabar ke orangtua.
"Tenanan kowe nok meh bukak nank jogja? Ngabari kang mas mu sek...", (Beneran kamu nak mau buka di Jogja? Ngabarin kakakmu dulu...) kata ayahku.
"Iyo pak... nek nank Jogja peluang e luwih jembar mbangno nank kene...", (iya pak... kalo di Jogja peluangnya lebih luas) jawabku mencoba meyakinkan ayahku.
Ayahku tipikal orang yang kurang berani untuk spekulasi. Lebih kearah pasif dan menerima apa yang ada. Tapi aku lain, aku selalu suka menantang diriku untuk mencoba hal - hal baru. Bermodalkan uang yang dulu pernah aku dapatkan ketika kerja dipabrik dan bantuan beberapa teman, akhirnya salon pertamaku kubuka. Berada di salah satu jalan alternatif terpadat dikota Depok, Sleman, Jogja. Harga yang ditawarkan sih normal menurutku dengan traffic orang yang lalu lalang. Untuk persiapan opening memang memakan cukup banyak waktu. Dan setelah 2 bulan akhirnya salonku resmi dibuka. Aku hanya mengundang teman - teman dan keluargaku saja untuk tasyakuran. Sementara untuk tetangga kiri - kananku nanti akan kukirimi ingkung saja. Seperti halnya warga biasa. Kiri kanan kontrakanku berisikan kios - kios dagang. Ada yang berbisnis warung kelontong, grosir beras, burjo, kios plastik, warung makan, toko bangunan. Namun yang agak nyeleneh ada Rental Motor yang tepat berada di depanku. Dan beberapa hari aku disitu, karena aku juga tidur dikontrakan, aku sering menjumpai Ustad keluar masuk Rental Motor. Tiap - tiap waktu sholat ia selalu berpakaian serba putih. Mulai dari surban dan jubahnya, semua berwarna putih. Seperti tidak ada lagi pakaiannya selain warna putih.
"Assalamu'alaykum... misi mas... ini saya dari Salon di depan mau nganter sedikit tasyakuran", kataku sambil menyodorkan box ingkung.
"Wa'alaykumsalam... Wuah... makasi mba ya... oohh... baru buka ya?? Semoga sukses selalu ya", jawab Ustad itu yang berpenampilan casual dengan kaos, sirwal, dan kopyah saja.
Seiring berjalannya waktu, aku menjadi agak sering berkomunikasi dengan sekitar. Yah namanya hidup bertetangga. Namun aku tak mau terlalu intens, khawatir luka yang dulu akan terkuak kembali. Memang aku belum bisa hijrah. Meski aku sering mendapat nasehat dan mendengar pengajian, namun Hidayah tak kunjung tiba.
"Duuhh... Ayunee... tak rabi gelem ra ki mbak Atika...??", (Duuhh... Cantiknya... Saya nikahi mau ngga nih mbak Atika...??) tegur seorang tukang parkir yang biasa berjaga pagi dengan postur gendut dan rambut gondrongnya.
"Wooo... ngawur yaa... isih pengen dolan... kwi lho pacarmu nank kono... jiann parahh...", (Woo... Ngawur yaa... masih pengen maen... itu lhoo pacarmu disitu... emang parah) jawabku sambil berlalu.
Tukang parkir itu pun tertawa keras. Memang ia dikenal supel pada siapapun. Itu nilai positifnya, Cuma untuk negatifnya lebih banyak lagi, termasuk adalah ia fanatik berat dengan PDI. Outfitku memang selalu seperti itu. Semuanya full pressed body tapi tetap berjilbab. Posturku yang tegap semakin membusungkan buah dadaku yang selalu menantang mata setiap lelaki. Tapi itu tak berlaku untuk si Ustad. Belum lama ini akhirnya aku tau kalau namanya Munajad. Masih muda, mungkin seumuran denganku, tapi bisnisnya sudah besar. Total aset yang ia miliki bisa sampai miliaran. Istrinya pun tak kalah anehnya untuk orang - orang disitu karena ia bercadar. Tapi aku tak masalah sama sekali.
"Tok... Tok... Tok... Assalamu'alaykum...", suara pintu diketok dan ada yang memberi salam.
"Wa'alaykumsalam... bentar...", jawabku yang masih bersiap untuk membuka salon.
"Owalahh... mas Munajad... gimana mas??", tanyaku.
"Ini mbak Atika... kalau saya nebeng parkir disini boleh ngga?? Nanti kalau udah buka saya pindah lagi mobilnya...", kata pak Munajad yang terlihat gagah dengan keringatnya.
"Ohh... boleh aja kok...", kataku sambil menahan gugup.
Yah semuanya berawal dari situ. Rumahnya ada 3 lantai. Lantai bawah untuk bisnis rental motornya, lantai 2 tempat ia tinggal, sementara lantai 3 dipakai oleh adiknya. Setiap pagi, karyawan nya selalu mencuci motor - motor yang disewakan. Sudah pasti membutuhkan space yang lumayan luas, karena termasuk space untuk memanasi mesin motor dan mengeringkan nya. Mobil Honda Freed miliknya yang terparkir didepan rental, terpaksa harus dipindahkan dulu agar memudahkan proses cuci motor. Dan alhasil, parkiran salonku menjadi targetnya. Pernah beberapa kali mas Munajad parkir di depan toko bangunan, tapi langsung ditegur oleh pemilik toko. Dan itu tak terjadi sekali atau dua kali. Itulah kenapa ia sekarang lebih sering parkir didepan salonku. Meski terkadang kamipun salah paham juga. Tapi semua itu lebih ke aku yang kadang sedang PMS. Diantara semua tetanggaku disini, Cuma mas Munajad saja yang sering mengirimiku makanan. Kadang kalau pas Jum'at berkah, semua disekitarnya pun dapat keberkahannya.
"Assalamu'alaykum...", suara seorang wanita.
"Wa'alaykumsalam... Ohh... mari silakan masuk...", kataku sambil membuka pintu salon.
Ternyata dia adalah istri mas Munajad. Kalau tinggi badannya kami hampir sama, sekitar 160 cm. Kalau dibandingkan dengan mas Munajad sudah seperti anak kecil yang melihat ke menara, karena tinggi mas Munajad sekitaran 180 cm kalau dari pengamatanku. Meski ia mengenakan pakaian serba hitam baik french khimar, cadar, dan abayanya, namun besarnya toket istri mas Munajad tak bia disembunyikan. Aku seorang wanita, tapi tetap saja goyangan gunung istri mas Munajad membuatku terintimidasi.
"Ohh... mau potong rambut mba?? Yang model apa??", kataku sambil memposisikan kursi agar lebih nyaman.
"Segini aja mba... sebahu... kalo model mah biasa aja yang penting rapi", kata istri mas Munajad yang bernama Razeta.
Waktu dibuka cadarnya dan khimarnya, aku benar - benar takjub dengan kecantikan mba Razeta. Wajah khas keturunan jawa, dengan bentuk wajah agak bulat. Kulit kuning langsat, lebih kearah Chindo. Mata yang lentik, hidung mangir, dan senyum yang manis menawan dengan dagu seperti Marshanda. Benar - benar cantik meskipun aku sering dibilang cantik oleh teman - temanku.
"Yee... seriusan kamu tuh Cantik... tuh, kayak artis yang baru aja putus siapa tuh??", tanya Arumi yang dia sendiri mirip seperti Sandra Dewi.
"Mana? Yang istrinya Desta itu?", jawab si Tsabita yang mulutnya penuh Sushi.
"Nah iya itu... siapa sih??", lanjut Arumi.
"Itu mah Caca... nama aslinya Natasha Rizky", timpal Nasha yang sudah selesai makan.
"Nahh... ituhh... iya kan mirip...", kata Arumi meyakinkan yang lain.
"Yaaa... Yaaa... Bisa sih... kalo si Atika ini pakai jilbab syar'i... bentar... nah bener... kalo pake sih mirip ga pake kecuali", kata Tsabita yang sok jadi pengamat.
"Apaan sih!? Dia tuh artis... aku mah Cuma rakyat jelata", kataku yang sebenarnya senang disandingkan dengan wanita sekelas Natasha Rizky.
Kalau boleh digambarkan, istri mas Munajad lebih mirip Angie Tania, hanya dia versi jawanya saja dengan rambut lebih pendek. Dari segi umur pun aku tak jauh beda, hanya selisih 1 tahun. Aku umur 29, mba Razeta umur 28 tahun. Tapi di umur 28 tahun nya, ia sudah punya 1 anak laki - laki dan 1 anak perempuan. Yang laki - laki sudah kelas 4 SD, yang kecil, perempuan, sepertinya sudah masuk TK. Untungnya aku kenal Arumi yang juga bercadar, sehingga aku tak terlalu canggung untuk memulai pembicaraan.
"Lohh... berarti kita hampir semuran mba", kataku sambil menyisiri rambut mba Razeta.
"Iya po? Aku umur 28 lho... mba Atika umur berapa? 27 ya?"
"Nggak lah mba... aku tuh lebih tua... sekarang aja 29"
"Owalah... aku kira lebih muda soalnya masih keliatan modis banget sama cantik", kata mba Razeta yang justru membuatku minder.
"Heehh... mba Razeta tuh ngejek yaa?? Malah mba Razeta yang kelewat cantik... ga pake make up aja udah seputih ini... haduh", jawabku.
"Ahahah... bisa aja mba Atika nih... tapi mba Atika cantik juga kok... biar lebih cantik coba pake yang lebih tertutup lagi mba", celetuk mba Razeta.
"Ohh iya ya... ngomong - ngomong mba udah berapa lama pake cadar gini?", tanyaku kepo.
Ternyata memang berawal dari permintaan mas Munajad. Awal nikah, mba Razeta outfitnya mirip - mirip dengan akhwat biasa. Jilbab segi empat, gamis, dan kaos kaki pendek. Seperti muslimah pada umumnya dari pondok NU. Namun setelah menikah dengan mas Munajad, perlahan ia mulai mengubah outfitnya. Itu pun sebagian besar karena pengaruh lingkungan yang ia dan mas Munajad ikuti. Semacam majelis kajian dan ada program pesantren kilat. Awalnya memang butuh waktu hingga terbiasa karena semua yang hadir bercadar semua. Tapi setelah masuk, ternyata akhwat yang ada didalamnya juga sama saja. Manusia biasa yang punya sifat humor, kepo, dan normalnya manusia.
"Nahh... kalo mba Atika penasaran, kapan - kapan berangkat bareng saya sama suami", kata mba Razeta.
"Ohh... yaa boleh deh... nanti tak atur dulu mba... hehehe...", jawabku yang memang belum ada rasa ketertarikan untuk berubah.
Meski begitu, aku tetap rajin hari - hari mendengarkan tausiyah dari beberapa ustad yang kusuka. Kadang dengan Arumi pun aku sering diskusi. Ohh iya, Arumi sekarang single parent. Ia sudah bercerai dengan suaminya karena beda visi. Tapi meski single parent dengan 2 anak, ia tetap survive, bahkan punya mobil Toyota Navy yang ia beli dari sakunya sendiri. Yah meskipun sering diskusi, tapi sifatku yang suka ngeyel membuat Arumi kadang lebih sering untuk mengalah denganku. Ade akan tetap menjadi kenangan untukku. Tapi hal - hal yang sudah Ade torehkan dalam kehidupan dan diriku tak akan pernah hilang selamanya. Termasuk kegemaranku untuk nge - bokep. Terkadang ada rasa menyesal karena kini aku tak bisa merasakan gurihnya kontol lelaki. Hanya deodoran saja yang bisa menuntaskan dahagaku. Saat ingin beli sex toys, ternyata tak semurah yang kukira. Karena banyak hal yang harus aku selesaikan jadi manajemen keuangan sangatlah penting.
"Mhh... Shh... Ahhh... Ade...", ucapku sambil menonton video bokep dari internet.
Malam itu aku tengah menonton adegan dimana seorang wanita harus menggarap begitu banyak kontol hanya dengan mulutnya. Ahh... betapa bahagianya si wanita bisa merasakan begitu banyak kontol dalam satu waktu dan semuanya berukuran jumbo. Biasanya aku melakukannya jam 1 malam, setelah salonku tutup. Jam operasional salonku mulai jam 10.30/11.00 siang sampai jam 1 malam. Kadang kalau aku capek, jam 12 pun sudah tutup.
"Mhh... Mhh... Shhh... Uuhhh...", aku hanya bisa mendesah sambil menggesek - gesek memekku yang sudah banjir.
Setiap malam, hampir setiap malam. Namun kenikmatan yang kurasakan tak senikmat kalau lidah lelaki yang mamainkannya. Orgasme beberapa kali kudapatkan, tapi tetap saja ada rasa yang kurang. Ahhh... seandainya ada kontol, pasti lebih nikmat... gumamku dalam hati sebelum aku terlelap dengan hanya mengenakan kaos saja. Sudah menjadi rutinitas pagi rental motor mas Munajad adalah mencuci motor. Karena karyawan yang ia miliki hanya seorang untuk merawat 35 unit motor, maka tak jarang ia turun tangan untuk membantu meski ia sendiri ownernya. Sering aku mondar - mandir didepan rentalnya. Tidak hanya karena aku ingin membeli sesuatu diwarung kelontong samping rumahnya, tapi juga karena ingin melihat dirinya. Keringat yang membasahi badannya semakin menampakkan keindahan tubuhnya meski masih tertutup kaos.
"Waahh... borong apalagi nih mba Atika?", tegur mas Munajad yang sirwalnya di gulung.
"Ada deeh... mas Munajad mau? Nih ada cemilan dikit", kataku sambil menawarkan snack dari Magelang.
"Woo... ya kan ga ada do'a tolak rejeki lah ya... hahaha", jawab mas Munajad yang tanpa ragu menerima snack yang kubawa.
Sering sekali kami saling bertukar hadiah seperti itu. Biasanya kalau pas aku pulang dari Magelang, aku membawa banyak sekali snack dan camilan. Sering kubagikan dengan kiri kananku, tapi untuk mas Munajad selalu kuberi porsi lebih. Selain karena anak - anaknya yang berbeda (Anaknya rajin ke masjid) juga karena ingin sekedar melihat senyumnya saja.
*Tok... Tokk... Tokk...* suara pintu diketuk
"PAKEEETT!!", kata seseorang dari luar pintu.
"Ooo... iya sebentar...", kataku padahal perasaan aku tidak pesan barang online.
"Owalah... mas Munajad! Kirain mas paket beneran...", kataku.
"Ahaha... nih ada Thai tea... bayar pajak parkir", kata mas Munajad sambil membuka pintu mobilnya.
"Alaah mass... ga usah... jadi repot kaann...", ucapku yang sebenarnya berbunga - bunga saat mas Munajad menyerahkan Thai tea tadi dengan senyum manisnya.
"Repot tuh... kalo udah dikasi tapi ga diterima... udah kayak cinta bertekuk sebelah tangan... ahahah... yak, makasi mba Atikaa... besok nebeng lagi", kata mas Munajad yang kemudian memindahkan parkir mobilnya.
Meski hanya sebuah pemberian kecil, tapi begitu berharga bagi hatiku yang sudah mulai gersang akan kasih sayang lelaki. Dan memang proses ini tak sebentar. Hampir 3 tahun lamanya aku menjadi tetangga 'baik' mas Munajad. Tak hanya di real - life, tapi di sosmed pun kami sering chattan. Kadang ia menggodaku, kadang aku menggodanya balik. Di sela - sela chat, sering mas Munajad memberiku nasihat untuk hijrah, untuk buat Dakwah pada siapapun yang kujumpai. Tapi kembali lagi, aku memang masih keras kepala kalau dikasih tau soal agama. Merasa aku yang lebih tau tentang apa yang terbaik bagi diriku.
"Yoo mosok dakwah tapi frontal gitu... yaa nanti pelangganku pada pergi piye??", kataku via chat WA dengan kesal.
"Yaa kan aku bilang pelan - pelan... tapi kalau emang kemungkinan cuma ketemu sekali, yaa sampaikan aja mba", balas mas Munajad.
"Yaa kan dakwah gak gitu - gitu amat... masih ada cara dakwah yang lain... misalnya kasih hadiah, senyum, terus dikit - dikit... nek aku harus kayak mas Munajad ya gak mungkin lah...", kataku yang tak ingin kalah.
"Yaudah... kan aku juga cuma ngasih saran aja... okey", kata mas Munajad yang kembali mengalah.
"Ya kalok ngasih saran yang masuk akal lah... kan orang beda - beda", balasku yang kesal.
Sering aku merasa begitu. Setelah selesai chat, kubaca lagi responku tadi. Kadang suka menyalahkan diri kenapa aku begitu keras, tapi sesaat kemudian otakku langsung mencari jalan pembenaran. Tapi memang kuakui kalau mas Munajad benar - benar punya jiwa seorang pendakwah. Tak pernah putus asa. Tiap kali kita 'cek cok' biasanya besoknya ia akan datang sambil membawa makanan. Apapun itu, yang membuatku malah semakin membuis hatiku padanya.
"Ahh... Ahhh... mas Munajad... Ahh... isepphh... Oohh...", desahku malam itu yang mulai berfantasi dengan mas Munajad.
Jemariku kini sudah mulai berpengalaman. Tak hanya memekku saja, putingku pun secara rutin mendapatkan asupan pilinan yang membuatku blingsatan sendiri. Klimaksku makin tak tertahankan ketika aku berfantasi terlalu jauh. Kubayangkan mas Munajad yang masih full - sunnah itu nungging dan menjilati memekku. Ahhh... tak bisa kutahan lagi klimaksku yang membuatku lunglai dan terlelap.
"Alhamdulillaahh... Nah kebetulan banget sih, ntar malem ikutan aku ke Real Masjid aja Tik", kata Arumi setelah aku bilang ingin hijrah.
"Mana tuh? Jemput ya...", jawabku di WA.
"Gampang lah sayaang... ba'da isya udah siap lho", kata Arumi.
Yah meskipun mas Munajad tak tau, tapi sedikit demi sedikit ia telah mengubah cara pandangku terhadap diriku sendiri. Aku yang dulu terlalu memikirkan dunia, kini mulai berubah. Dan semoga saja bisa istiqomah. Sudah cukup capek aku melihat pergaulanku sendiri. Meskipun masih belum bisa berubah total seluruhnya, tapi setidaknya aku ada keinginan. Sekitar jam 19.30, Arumi sudah sampai di depan Salonku. Aku masih bingung dengan outfit yang harus kupakai, secara ini kan kajian. Bagiku kajian itu sesuatu yang wow, yang semuanya harus serba rapi dan menutup aurat sempurna. Tapi Arumi malah bilang "Alah pake yang biasanya aja gapapa", katanya. Untungnya aku ada stok rok panjang meskipun nerawang. Yap, jilbab segi empat hitam, kaos lengan hitam panjang, dan rok panjang hitam. Senada dengan Arumi. Setidaknya ada temannya gumamku.
Sampai di lokasi ternyata sudah sangat ramai dan penuh. Kehadiran rata - rata di dominasi anak - anak muda Gen - Z. Outfit mereka pun macam - macam tapi rata - rata sopan bagi yang laki - laki dan syar'i bagi yang perempuan. Sambutan hangat diberikan oleh mba - mba bercadar yang menjadi petugas dibagian perempuan. Suasana kekeluargaan sangat terasa meskipun kita tak saling kenal sebelumnya.
"Kalo kita sudah ada niatan sedikit saja untuk hijrah, Tangkap!! Segera tangkap niatan itu dan paksa diri untuk berubah! Sekecil apa pun itu...", sebuah kata motivasi yang kubutuhkan. Memang benar kata orang, dolanku kurang adoh (Mainku kurang jauh). Mashaa Allah Tabarakallah, benar - benar majelis yang luar biasa. Membakar seluruh hatiku untuk bisa segera hijrah, baik dari niat, amalan, dan penampilan.
"Ehh siapa tuh?", kata Arumi yang terkejut melihat gambar yang kukirim.
"Tebak siapa coba?", kataku.
"Mmm... siapa? Masak kamu Tik? Hahaha...", jawab Arumi.
"Emang aku tuh... cakep ngga??", jawabku.
"Ehh... seriusan!? Mashaa Allah... Alhamdulillah... cantikk banget loohhh", kata Arumi yang kaget melihat fotoku bercadar.
Setelah malam itu, aku mencoba untuk berubah. Semampuku. Mulailah aku membaca kembali chatku dengan mas Munajad. Beberapa kata yang sering ia singgung tentang dakwah dan hijrah. Buku saku kecil yang pernah ia kirimkan yang berjudul 'Hijab' pun tak ragu kubuka. Alhasil, aku pun mendapat begitu banyak referensi dan hujjah yang menguatkanku untuk berubah.
"Wehh...!! Ini kamu mba Atika!??", tanya mas Munajad yang kaget ketika kukirimi fotoku bercadar via WA.
"Iya... gmana mas?", kataku yang kesengsem.
"Wahh... ini sih cocok dipinang sesegera mungkin... udah buka lowongan belum?", tanya mas Munajad.
"Lowongan nikah? Emang sama siapa?", kataku.
"Sama akulah... hahah... gimana? Mau sih langsung gas!", jawab mas Munajad yang membuatku degdeg serrr.
"Heh!! Ngawur... kasian mba Razeta itu... emang mba Razeta mau dimadu??", jawabku basa - basi.
"Wooo... itu mah gampang... ceweku mah apa aja siap!"
"Hiisshh... aku yang gamau dimadu... maunya buat aku sendiri...", jawabku.
"Lohh... kan biar asik ada temennnya... jadi main berdua...", canda mas Munajad.
"Aduduhh... aku yang gamau... kan enak buat sendiri aja... biar lebih puass...", pancingku kebiasaan.
"Lah emang pernah nyobain? Kok bisa tau kalo sendirian bisa puas?? Hayoo..."
"Heyy... heyy... malah ngelantur... ahahaha... bukan nya diajarin mas Munajad??", goda ku.
"We'e'e'e... kapan coba?? Mau beneran ditraining??", lanjut mas Munajad.
"Ehh... udah ah... ga enak sama mba Razeta... ntar ketauan aku yang jadi ga enak...", kataku yang khawatir merusak hubungan keduanya.
"Nah makanya gausah sama pacarku laahh... bedua aja kita ahahaha...", jawab mas Munajad.
Dan begitulah kami seterusnya. Berawal dari candaan, akhirnya menjurus lebih jauh. Tapi tetap saja untuk merealisasikan nya butuh keberanian, dan itu yang aku belum punya. Bukan berarti kemudian kita chatan WA tiap hari. Biasanya kalau aku komen statusnya atau mas Munajad yang komen statusku baru kami mulai chatan kembali, atau pas mas Munajad butuh sesuatu, atau aku yang butuh dia. Kalau tidak ada alasan yang jelas, maka kami pun tidak saling chat.
"Assalamu'alaykumm... kiriman buat ukhti yang paling solehah sekampung...", kata mas Munajad yang tiba - tiba sudah didepan salon.
"Wa'alaykumsalam... Eehh... apa nih mas??", tanyaku yang berbinar - binar melihat plastik kresek yang dibawa mas Munajad.
"Yaa ini... Nasi Ayam... dari tetanggamu yang paling baik dan perhatian...", kata mas Munajad yang masih mengenakan jubahnya dan surban putihnya.
"Aduduhh... makasih banget lho mas... tau aja kalo aku belom buka puasa...", kataku yang memang belum makan sejak maghrib.
"Yaaa kan kita sehati... ahahaha..."
"Heh!! Awas lho yaa... nanti kalo aku sampai jatuh hati, mas Munajad yang repot...", kataku agak salting.
"Lohh... bukannya emang udah jatuh hati ya?? Ahaha... yawes lah... enjoy", kata mas Munajad yang kemudian beranjak pergi.
Setiap bulan Ramadhan, mas Munajad punya jadwal untuk menjadi ustad TPA dan pemateri kultum dibeberapa masjid disekitar Depok, Yogyakarta. Dan sepulangnya, sekitar jam 10an malam ia selalu mampir kesalonku hanya untuk memberikan menu takjil yang ia dapatkan. Karena terlalu sering, sampai - sampai aku yang gak enak sendiri. Memang kata Rosulullah selalu benar, kalau kalian ingin mendapatkan hati seseorang, maka saling beri hadiah. Dan itu yang terjadi padaku. Setiap kali mas Munajad mengajakku untuk ikut kajian, aku pun tak bisa menolaknya.
"iya mba Atika... datang yaa... nanti ini yang ngisi kajian dulunya artis lhoo", kata mas Munajad pagi itu sambil memakirkan mobilnya.
"Lha gimana? Salonku gimana? Terus aku pake kayak gini gppa??", tanyaku yang masih mengenakan kaos kuning panjang dan rok hitam.
"Hwoalah... ga pake jilbab pun boleh datang kok... kalo Salon Inshaa Allah ga masalah tutup bentar... nanti korban mba Atika buat nutup Salon bakalan diganti Allah...", kata mas Munajad yang tampil menawan dengan jubah putih haramain nya.
"Mmm... ya Inshaa Allah nanti aku usahakan mas ya...", kataku.
Sore harinya, selepas Ashar, mas Munajad sudah ribut didepan salonku untuk memastikan aku berangkat. Aaahh... senang rasanya diperhatikan oleh lelaki yang kuletakkan rasa padanya. Tak banyak opsi outfit yang bisa kupakai, karena aku memang masih belum hijrah sepenuhnya. Dan Kaos hitam panjang, jilbab segi empat hitam, rok hitam, dan cadar hitam akhirnya kukenakan. Malu rasanya untuk mau datang kerumah mas Munajad. Selain karena ini pertama kalinya aku akan kerumahnya, juga karena ini kali pertama aku keluar salon pakai cadar. Setelah memastikan kiri kanan tak ada orang yang mengenaliku, aku langsung berlari menyebrangi jalan.
"Allahuakbar... Alhamdulillah... si cantik udah datang... langsung naik aja mba Atika...", ucap mas Munajad yang sedang ngobrol dengan seorang lelaki berjenggot dan berjubah.
"Lewat mana mas?", kataku yang bingung.
"Itu lurus aja... tirai buka aja, nanti langsung naik lantai 2...", kata mas Munajad yang duduk santai.
Begitu sampai diatas sudah cukup ramai ibu - ibu yang hadir, termasuk istri dari karyawan warung kelontong sebelah rental mas Munajad. FYI hampir 95% tetanggaku dan mas Munajad islam 'abangan'. KTPnya islam, tapi ga pernah sholat kemasjid, bahkan sholat jum'at pun tidak. Aku sering menjumpai pemilik toko bangunan yang berada diselatan rumah mas Munajad makan disiang bolong saat Ramadhan. Nah, maka dari itu keberadaan mas Munajad ibarat cahaya ditengah kegelapan. Meskipun dakwah mas Munajad terlihat kecil, tapi aku kini melihat hasilnya.
"Ehhh... mba Atika ya?? Ya Allahh… cantiknya kalau bercadar...", kata mba Razeta yang juga terlihat cantik natural dengan setelan serba hitam.
"Ahh... mba Razeta bisa ajah... justru mba Razeta yang cantik...", kataku sambil melepas cadarku.
"Ohh iya... ini kenalin...", kata mba Razeta sambil mengenalkan akhwat dan ummahat yang sedang i'tikaf dirumahnya.
Sehari lalu saat rombongan ini datang, akupun dikabari oleh mas Munajad. Semua wanitanya mengenakan setelan serba hitam bahkan hingga wajahnya pun tak kelihatan. Mungkin lebih mirip burqa. Tapi setelah aku bertemu dengan mereka secara langsung, Mashaa Allah... rata - rata kecantikan mereka bak bidadari. Kulit putih, wajah yang aduhai cantiknya, dan masih muda - muda. Hanya ada 2 yang sudah berumur 40an taun, tapi tetap terjaga fisiknya. Kajian tak terlalu lama, hanya sekitar 30 menit saja kajian intinya. Tema yang diangkat adalah urgensi dakwah dikalangan wanita. Ternyata wanita pun mengemban tanggung jawab dakwah kepada kaumnya.
"Nahh gitu mba Atika... jadi kita semua sedang belajar... belajar meninggalkan keduniaan kita sementara untuk mengusahakan agama wujud dalam kehidupan kita...", jelas seorang akhwat yang merupakan istri mantan artis.
Bukan kajian nya yang membuatku senang berlama - lama disitu. Tapi keramahan semua yang hadir pada orang - orang yang awam yang membuatku betah. Akhirnya aku pun lupa dengan urusan salonku yang sudah tutup hampir lebih dari 3 jam. Setelah itu, beberapa kali aku menghadiri undangan mas Munajad tiap kali ada rombongan yang i'tikaf dirumahnya dan semakin membuatku yakin untuk istiqomah dalam hijrahku.
"Ehh... sekarang pake cadar mba?? Udah kayak arab aja... hahaha...", kata pelangganku.
"Iya mba... belajar hijrah sih...", jawabku
"Ya hijrah... hijrah aja... tapi jangan yang aneh - aneh... emang ustad - ustad sma kyai itu ada yang istrinya cadaran? Itu lho aku kemarin ketemu kyai... santrinya banyak, pondoknya gede, tapi istrinya ga cadaran... malah dasteran gapapa...", lanjut pelangganku tapi aku diam saja.
"Hijrah itu yang biasa aja mba... toh yang penting hatinya dihijabin dulu... kayak aku sih yang penting hati dulu dihijabin... daripada cadaran tapi masih suka maksiat... tapi aku ga ada maksud nyindir mbaknya lho...", katanya yang sudah terlanjur membuatku jengkel.
Dan masih banyak lagi cercaan 'halus' yang si fulanan sampaikan yang secara tak langsung membuatku goyah. Arumi pun berkata kalau hijrah itu tak mudah, apalagi kalau sungguh - sungguh hijrahnya, bakalan banyak ujian.
"Ooooo... biasa itu mah... udah sunnahnya orang dakwah pasti akan ada halangan, bahkan dari orang islam itu sendiri...", kata mas Munajad sambil menyruput Thai tea kesukaannya.
"Yaa tapi kan aku ga setegar mas Munajad... terus dibilang malah bikin ribet katanya...", kataku yang duduk sambil menyilangkan kakiku dan tanganku.
"Hemm... simple aja sih... kamu hijrah buat siapa mba? Buat manusia apa Allah... kalo buat manusia mending stop aja... capek ntar... kalo buat Allah, istiqomahlah...", kata mas Munajad yang malam itu tampil casual tapi tetap mengenakan peci khas nya.
Kemudian ia mulai bercerita soal awal dia pindah kelokasinya sekarang. Dulu sekali, di awal - awal kepindahannya ia dianggap seperti 'alien' karena berpakaian jubah, celana cingkrang, surban, yang memang berbeda 180° dari kebiasaan orang tempatan yang masih 'abangan'. Caci makian, sindiran, ghibah, sudah menjadi makanan hari - harinya. Tapi ia tetap bersabar dan selalu menunjukkan akhlak. Hingga kini ia mulai dipandang oleh orang - orang yang mulai membuka hati dan pikirannya tentang islam yang sesungguhnya.
"Oohh iya... mba Atika besok ikut kita aja... nengok jama'ah disekitaran Prambanan...", ucap mas Munajad sebelum pulang ke rumahnya.
"Boleh mas... jam berapa?", tanyaku.
"Jam 08.30 berangkat biar kita ga ketinggalan program ntar..."
"Oke... berdua aja??"
"Bertigalah sama pacarku... kalo berdua mah disini aja... ahahaha...", canda mas Munajad.
"Isshh... sini kalo berani!", tantangku.
Esok harinya, sesuai perjanjian, akupun sudah standby jam 08.30. Mobil Freed mas Munajad pun sudah terparkir didepan Salonku. Tak ada outfit lain yang kupunya, masih sama seperti kemarin. Senyum manis mba Razeta segera menyapaku saat kami hendak berangkat meski wajahnya yang putih tertutup cadar Yaman panjang. Perjalanan sekitar 30an menit. Disanapun sudah banyak ummahat - ummahat bercadar yang serba hitam. Bahkan setelah kami ngobrol lama, ternyata banyak dari mereka yang lebih sukses dalam urusan keduniaan. Ada yang seorang dosen, dokter, pengusaha besar, dll.
"Mba Atika mau nikah kapan nih??", celetuk mba Razeta sambil mengambil sambal.
"Ehh... Aduuhh... belum tau mba...", jawabku panik.
"Sama aku aja gimana mba?? Llumayan biar pacarku ntar ada temennya kalau aku pas keluar dakwah gitu...", celetuk mas Munajad yang sudah hampir habis mie ayamnya.
"Eeehh... mas Munajad!!? Ngawur lhoo... ada mba Razeta ini...", kataku yang terkejut.
"Ahahaha... Gapapa kok mba... kalo brani coba aja bi...", kata mba Razeta yang menantang mas Munajad.
"Weehh... nantangin mimiw nih... okeyy!", kata mas Munajad yang malah aku sendiri yang panik.
Anak mas Munajad yang paling besar sudah kelas 4 SD dan sekolah tak jauh dai rumahnya. Terkadang aku menitipkan makanan ke anaknya kalau memang tak sempat datang. Lebih tepatnya aku masih malu kalau harus datang ke rumahnya.
"Tadi kata tukangnya sih ditunggu aja dingin... tapi ini malah udah 1 jam lebih ga dingin - dingin...", kataku yang kesal.
"Lha tadi yang masang siapa? Laporin aja ke tukangnya...", kata mas Munajad sambil mengamati AC yang baru kupasang.
"Yang masang masku... kan aku udah bilang mau tak panggilkan aja dari dealer nya, terus dia bilang udah aku aja bisa gitu... sekarang malah gak bener", kataku yang kesal.
"Woo... yaa sek sek... tak cek dulu...", kata mas Munajad yang mulai menaiki tangga lipat.
Kalau tau bakal repot gini mending tadi aku abaikan saja maunya kakakku, tapi disisi lain aku juga bahagia karena bisa memandang mas Munajad berlama - lama dan hanya ada kami berdua di salon ku. Meski tampak dari belakang, tapi postur badan mas Munajad yang tinggi tampak match dengan tubuh atletisnya. Kaos dan celana sirwal yang ia kenakan tetap saja tak bisa menutupi fantasiku akan tubuhnya yang kuidamkan.
"Ohh... Ini... alaahh... bocor... bisa sih... tapi agak lama... piye??", kata mas Munajad sambil menyeka keringat di wajahnya yang membuatku meleleh.
"Ahh... Ohh... Emmm... ya gapapa mas... tapi mas Munajad lagi repot ngga?", tanyaku basa - basi.
"Halah... udah tau keseharianku ae masih nannya... emang ga suka kalo aku disini ya?", kata mas Munajad sambil membongkar saluran AC.
"Ehh... Ngga yaa... aku ga ada bilang gitu... Cuma aku takutnya ganggu mas Munajad... secara bos kan sibuk...", jawabku menahan diri agar tak lose control.
"Ahaha... santai aja mba Atika cantikkk... ini hadiah buat mba Atika yang udah mau hijrah...", kata mas Munajad yang semakin membuatku ingin mendekapnya.
Selama sekitar 30an menit kami terus mengobrol apapun. Mulai tentang mas Munajad, tentang diriku, atau apa saja yang bisa kami bicarakan. Aku tak ingin waktu itu cepat berlalu. Aku tau yang kulakukan ini salah. Mas Munajad adalah milik mba Razeta, istri sah nya. Tapi Allah telah ciptakan perasaan suka antar lawan jenis, dan ini sesuatu yang tak bisa ku tolak.
"Nahh... udah... tinggal di kencengin dikit... harusnya udah sih...", kata mas Munajad yang bermandikan keringat.
"Okey mas... coba kunyalain yah...", kataku sambil menekan tombol di remote.
Tak lama berselang, hawa dingin dari AC pun mulai terasa. Ahhh… lega rasanya. Aku sendiri tidak terlalu berkeringat karena sedari tadi kipas angin kuarahkan padaku sendiri, tapi mas Munajad yang daritadi kerja di ruang Salonku yang memang sudah kudesain untuk AC. Sudah pasti panasnya luar biasa.
"Hoaaahh... Gerrrr... akhirnya dingin juga...", kata mas Munajad sambil duduk santai di sofa.
"Ini mas... minumannya... mmm... mau makan apa mas??", kataku.
"Makan? Mau ditraktir?? Seriusan??", kata mas Munajad yang seolah ga percaya.
"iyalah... kan sebagai bentuk terimakasih...", kataku yang siang itu mengenakan kaos hitam panjang, jilbab hitam segi empat, cadar tali hitam, dan rok hitam panjang.
"Ahahah... ga usah... aku ikhlas kok... justru aku yang harusnya makasih sama mba Atika karena udah mau istiqomah berubah... jujur aku appreciate banget... di tengah lingkungan kita yang kayak gini, ga ada tempat bertambat kalau ada apa - apa, tapi mba Atika tetap bertahan... Ahhh... calon istri idamanku banget...", kata mas Munajad yang membuatku terharu.
"Mas... kalo aku jujur boleh ngga??", kataku sambil menahan malu.
"Napa?? Mau traktir lagi kah?? Boleh aja... Waroeng Steak masih buka...", kata mas Munajad dengan santai menyruput minumannya.
"Aku... suka mas Munajad...", kataku sambil tertunduk.
"Hem?? Bwahahaha... bentar - bentar... seriusan?? Becanda kan??", kata mas Munajad yang hampir tersedak.
"Kok malah ketawa sih!!? Aku tuh seriusan lhoo mass...!!", jawabku yang agak kecewa dengan respon mas Munajad.
"Yaa mba Atika biasanya suka becanda waktu aku serius juga... Maaf deh... ", kata mas Munajad.
"Iihhh... padahal aku tuh tipe orang yang ga mungkin bilang kayak gituan duluan"
"Iyaa... maaf mba Atika... tapi beneran mba Atika suka sama aku? Mmm... kalo aku sih udah dari dulu... Cuma kan dianggap becandaan terus sama mba Atika...", kata mas Munajad yang tampaknya juga serius.
"Ehh iya yah...?? Aku juga maaf mas... soalnya aku takut ntar nyakitin mba Razeta... tolong jangan bilang - bilang mba Razeta yah...", kataku.
"Aman sih kalo itu... tapi kalo boleh tau ya... sejak kapan sih??"
Aku pun mulai bercerita awal mula rasa itu datang. Tak kusangka dulunya aku yang selalu jaim terhadap lelaki, kini justru aku yang 'keceplosan' menuangkan rasa lebih dulu. Dan ternyata mas Munajad juga sudah menyukaiku sejak setahun yang lalu, bahkan lebih dari itu. Cuma memang sifatku saja yang suka tak peduli pada hal - hal manis seperti itu.
"Terus tanda jadiannya apa dong??", kata mas Munajad dengan agak bercanda.
"Mmm... apa ya? Salaman aja yah?? Ahahaha…", kataku yang masih salting.
"Salaman?? Kayak anak SMA dulu yaa...", kata mas Munajad sambil mengulurkan tangannya.
Ahhh... sudah lama aku tak memegang tangan lelaki setelah peristiwa Ade itu. Tapi ini sesuatu yang lain. Ini tangan seorang lelaki sholeh, yang hari - hari selalu ke masjid menjaga sholat lima waktu, seorang suami dari istri yang bercadar juga sholehah. Cukup lama aku mengamatinya. Sudah cukup rasanya 3 tahun untukku. Tak ada salahnya mencoba peruntunganku kembali. Mencoba percaya akan janji lelaki.
Perlahan kuulurkan tanganku. Memang persis seperti remaja jamanku dulu kalau menyatakan cintanya pada teman sekelasnya. Saat kugenggam tangan mas Munajad, sesaat aku gemetaran. Khawatir akan kecewa yang dulu terjadi lagi. Tapi tak sampai sedetik, tiba - tiba mas Munajad menarik kuat tanganku hingga wajah kami begitu dekat.
"Coba tutup mata dulu... sayang...", kata mas Munajad.
Layaknya orang dihipnotis, aku pun menurutinya tanpa ragu. Dan kecupan hangat mas Munajad pun mendarat di keningku. Selama beberapa saat tubuhku membeku, pikiranku blank. Aku tak tau harus merespon apa saat itu. Yang kutau, aku tak ingin bibirnya meninggalkan keningku. Kugenggam erat tangannya seakan ingin mengikat waktu agar berhenti sejenak. Mas Munajad pun terlihat bingung ketika menyadari aku menggenggam kuat tangannya dengan kedua tanganku sementara aku hanya diam tertunduk.
"Hem...?? Kenapa sayang...??", kata mas Munajad.
Aku masih terdiam. Hatiku bergolak. Apakah aku harus mengiyakan kata hatiku untuk menerima uluran kasih hangatnya? Ataukah kembali pada pendirianku kalau tak ada lelaki yang bisa dipercaya. Dan seketika... Cupphh... Bibir mas Munajad terasa hangat di bibirku yang tertutup cadar. Aku yang sedari tadi bimbang, luluh sudah. Prasangka yang sudah mengikatku selama 3 tahun terakhir, kini terlepas. Mataku terbelalak, tak menyangka kejadian ini akan terwujud. Secret admirer yang selama ini selalu memendam rasa karena kekhawatiran akan masa lalunya, akhirnya kembali mekar.
Allaahu Akbaarr... Alllaahuu... Akbarrr...
"Maaf yah mba Atika... kalau aku terlalu agresif... tapi aku juga, sudah 2 tahun ini memendam rasa yang kukira hanya berpangku sebelah tangan... makasih sudah membuka jeruji yang menahan rasa ini selama ini...", ucap mas Munajad dengan penuh kejujuran.
"E'emm... nggaa... aku yang harusnya berterimakasih mas...", kataku sambil menyeka air mata karena haru.
"Duhh... kok malah nangis...??", ucap mas Munajad panik.
"Ahahaha... ngga lhoo… mas... terharu aja aku tuhh... jujur aku tuh udah kagum sama mas Munajad selama ini... Cuma baru bisa ngomong tadi... khawatir ntar kalo ketauan mba Razeta juga..."
"Yaah... rasa suka dengan lawan jenis kan sesuatu yang di fitrahkan Allah pada setiap manusia... kalo buat aku, sah - sah aja...", kata mas Munajad.
Bagiku jawaban mas Munajad sudah cukup. Ia kembali mencium bibirku tanpa ragu dan aku pun tak menolaknya eebelum ia pulang untuk pergi sholat dhuhur. Hari - hari berikutnya chat kami semakin intens. Kali ini entah aku atau mas Munajad, kami berdua saling berebut sapa. Chat WA ku ternyata sudah di privat oleh mas Munajad sehingga meminimalisir akses dari mba Razeta, dan itu membuatku lebih lega.
"Makan di luar?? Boleh aja mas...", jawabku yang baru saja bangun.
"Yaudah... ntar ketemuan di barat kampus aja ya... biar ga ketahuan", lanjut mas Munajad via WA.
Dan begitulah. Hampir setiap hari aku sarapan dan makan siang dengan mas Munajad. Kadang kala mas Munajad yang mentraktir, kadang kala aku yang mentraktir. Hubungan kami pun makin intens. Canda tawa selalu menghiasi obrolan kami yang selalu saja ada untuk dibahas. Bahkan tak hanya mas Munajad yang selalu menciumku, frenchkiss pun sudah menjadi 'kewajiban' ku setiap hari jika bersamanya.
"Met bobo Atikaku sayang... Makasih yah buat hari ini... ciuman nya bikin makin sayang", kata mas Munajad via WA.
"Iyah mas Munajad juga... met bobo... besok lagi yaahh...", balasku sebelum kami mengakhiri chat kami dengan emot ciuman.
Meski mas Munajad rumahnya hanya beberapa meter di depanku, tapi tetap saja hidup sendiri itu tidak selamanya menyenangkan. Terlebih lagi kalau kita sakit. Kalau dulu biasanya ada orangtua yang selalu standby kapanpun kita butuh, tapi kalau sendiri begini, tak ada yang bisa dijadikan tumpuan. Meski hanya masuk angin, tapi kalau sudah terlalu parah, muntah pun tak bisa dihindari.
"Kok ga ngasih kabar sih??! Bentar ini kita kesitu", kata mas Munajad.
Tak lama berselang, mas Munajad dan mbak Razeta datang. Tampaknya hubungan antara kami masih belum diketahui oleh mbak Razeta. Dengan cekatan, mbak Razeta segera menyiapkan air panas untuk mengkompres dahiku. Ia pun tak segan - segan untuk memijat kaki dan tanganku padahal dibalik ini semua aku sudah menusuknya dari belakang.
"Duuh... mba Atika... kalo ada apa - apa mbok ya cerita... aku sama mas Munajad tuh siap bantu kok...", kata mbak Razeta yang terlihat cantik dengan setelan serba hitam.
"Mmm... iya mbak... ngga enak ehh... mbak Razeta kan punya anak juga... ntar aku malah ngrepotin...", kataku sambil tiduran berselimut tebal.
"Ya Allahh... ga usah dipikir gitu mbak... Inshaa Allah aku sama mas Munajad lillah kok... lagian mba Atika kan lagi proses hijrah, jadi temen deket tuh penting banget...", kata mba Razeta sambil memijit - mijit kakiku.
"Oohh... iya juga sih mba... syukron mba ya... aku jadi ga enak...", kataku.
"Ehh... mba Atika suka di kerokin ngga?? Enak lhoo...", kata mba Razeta dengan senyum ramahnya.
"Duh... aku ga biasa sih mba... tapi gapapa deh coba...", kataku.
"Nah gimana?? Sakit ngga??", tanya mba Razeta sambil terus mengeroki punggungku.
"i... iya sakit... dikit mba... gapapa...", kataku sambil nyengir menahan nyeri dengan punggungku yang putih terpampang di hadapan mba Razeta.
"Ngomong - ngomong... mas Munajad kemana mba?", tanyaku lagi.
"Yaahh... biasa kalo pagi kan mba... ngurusin rental... ehh, mba Atika kalo Ahad sore sibuk ya??", tanya mba Razeta.
"Iya sih mba... kan buka salon... kenapa emangnya mba??", tanyaku penasaran sambil terus mendekap guling.
"Ituhh... mau aku ajakin kajian ummahat ahad sore... tapi kalau luang aja waktu mba Atika".
"Wuaahh... seru sih mba kayaknya... ntar deh aku lihat dulu kondisi imanku bisa ngga nya...", jawabku yang disambut gelak tawa.
Sekitar 1 jam mungkin mba Razeta menemaniku. Setelah aku merasa mendingan, ia pun ijin pamit karena harus mengurusi anaknya dan kerjaan rumah. Yaah agak kecewa sih karena aku sendiri lagi, tapi belum juga aku duduk, mas Munajad sudah datang.
"Gimana sayang?? Udah mendingan??", tanya mas Munajad yang masih bermandikan keringat.
"E'emhh... udah mendingan mas... tadi baru aja dikerokin mba Razeta...", kataku.
"Oohh... yaudah... buat istirahat sih...", kata mas Munajad sambil mengikutiku menuju kamarku.
"Waahh... enak yaa... udah AC, kasur empuk... Cuma kurang satu aja... gak ada lelakinya disini... ahahaha", celetuk mas Munajad yang juga duduk di kasur bersandarkan tembok.
"Eehh... kan udah ada nih suamiku...", kataku menggoda mas Munajad sambil aku tiduran di kasur berselimut.
"Weee... suami?? Kalo suami kan bebas yaahh pegang - pegang??", kata mas Munajad sambil mulai memijit kaki kanannku.
"Eeemmhhh... boleh kokkk... asal ga ketauan aja...", kataku yang memang sudah menanti momen ini.
"Lohhh... malah nantangin...!?", ucap mas Munajad sambil mencondongkan tubuhnya ke arahku.
"Coba aja kalo berani...", kataku yang sudah larut dalam suasana.
Ibarat api yang disiram bensin, tangan mas Munajad tak hanya memijat sampai lutut saja, ia kini mulai naik hingga pangkal pahaku. Jemarinya pun tanpa ragu menyentuh selangkanganku beberapa kali yang membuatku bergidik. Karena aku sedang sakit, jadi siang itu aku hanya mengenakan kaos kuning lengan panjang, jilbab bergo hitam pendek, dan legging hitam tanpa dalaman. Jadi saat jari mas Munajad sengaja menyentuh area kewanitaanku, aku bisa merasakannya dengan jelas.
"Kenapa sayang?? Enak atau kenapa tuh kok gelisah gitu tidurnya??", goda mas Munajad yang duduk dengan menjulurkan kedua kakinya dan meletakkan kedua kakiku di atas kakinya bersilangan.
"Ngg... Nggaa... Ssshh... Mmhh...", jawabku singkat karena mulai terangsang.
Kedua tangan mas Munajad bekerjasama dengan apik. Tangan kirinya memjiat lembut kaki kiriku, sementara tangan kanannya memijat tangan kiriku. Ahh... enak sekali rasanya. Tak hanya nyaman dan enak, tapi disentuh tangan lelaki ajnabi yang juga suami sah istri orang lain memberikan sensasi yang lain. Berbeda jauh dengan dulu yang kurasakan dengan Ade, yang ini lebih membuatku 'penasaran', apalagi dengan gelar ustad yang melabeli dirinya. Mas Munajad yang sudah menikahi mba Razeta selama 9 tahun, tau benar saat seorang wanita terangsang. Bukan nya menghentikan pijatannya, tangan kirinya malah memijit - mijit disekitar area kewanitaanku.
"Hemm... ngapain tangan nya sayang? Ga boleh? Atau suruh lanjut nih??", tanya mas Munajad yang tangan nya sudah menyelinap di balik selimutku.
"Mmmhh... masshh...", jawabku singkat.
Tangan kananku menggenggam pergelangan tangan kiri mas Munajad. Tapi bukan untuk menghentikan nya, tapi tidak pula untuk membiarkan nya semakin liar. Ahh… aku tak tau apa yang terjadi padaku. Namun mas Munajad nampaknya sadar kalau aku belum siap untuk melangkah lebih jauh. Dan akhirnya ia kembali memijat kakiku hanya sampai setengah paha saja. Dan sekitar jam 10 siang, mas Munajad pulang ke rumah setelah sebelumnya kami puas berpagutan cukup lama.
"Arumi... kalau kamu disuruh nikah lagi mau gak??", tanyaku malam itu sambil menyantap mie rebus buatan Arumi.
"Napa kamu tiba - tiba nannya pertanyaan absurd kayak gitu Tik??", kata Arumi yang tampil anggun dengan cadar bandana, khimar jumbo, dan abaya hitamnya.
"Yaaa pengen tau aja... toh kamu udah lama cerai... gak pengen gitu nikah lagi? Terus tipikal suami yang kamu mau kayak gimana??", tanyaku sok kepo.
"Ahaha... jangan - jangan kamu Tik yang pengen nikah ya?? Alhamdulillah...", jawab Arumi sambil cekikikan.
"Yeee... Apaan sih!? Seriusaaann... coba kasi tau...".
"Kalau aku? Mmm... Yaa pengen sih... kalo ditanya kriteria suami... yang pasti sholeh sih wajib, yang bisa jadi panutan aku luar dalam... paham agama... bertanggung jawab... ganteng pastinya... mandiri... penyayang... ga gampang marah... tapi overall harus yang paham agama dulu...", jawab Arumi yang duduk di kursi dengan menyilangkan kakinya.
"Ohh... soleh ya?? Hemm... oke sih... tapi soleh tuh yang gimana?? Kan banyak tuh sholeh tapj yaa kayak gitu... yu know laah… kasus - kasus sekarang...", kataku.
"Apaa… yaa…?? Kalo aku sih paling gampang sekufu dulu...".
"Apaan tuh sekufu??", tanyaku penasaran.
"Sekufu tuh selevel... gampangnya sama gitu kajian nya... soalnya kalo udah beda guru dan kajian tuh mesti bakalan ribet... contoh nih... kamu di NU terus suami di Muhammadiyah... yahh... perang terus tuh hari - hari... tapi yaa… ga semua... tapi rata - rata mesti gitu... jadi kalo aku yaa… cari suami yang soleh dan satu majelis gitu...", kata Arumi.
"Wooo... emang di tempat kajian kamu ga ada Mi yang kayak gitu?? Gak pengen apa kamu dipeluk laki lagi??", kataku bercanda.
"Ishh... apaan!? Kangen berat tauk! Kamu sih belum nikah... gatau rasanya ngentot kan?? Makanya buruan nikah... eehh... bentar... kamu dulu sama si Ade sampe gituan ngga??", kata Arumi sambil mencondongkan badannya karena kepo.
"Haahh…!!?? Ngentot!?? Yaa… nggak laaahh…!! Na'udzubillahi min dzalik!!", kataku tegas.
"Oohh… yaudah... ntar aja deh abis nikah...", lanjut Arumi.
"Emang kenapa Mi? Coba deh cerita yang kamu rasain selama ini?? Yaaa… siapa tau bisa jadi motivasi aku buat cepet - cepet nikah juga...hahaha…", jawabku.
"Seriusan... ahahaha... rasanya?? Duhh… gimana certain nya yah?? Kalo pas pertama lepas perawan sih sakit... tapi abis itu... Mmmhh... Nikmatnyaa ituuhh... udah kayak orang sakau tau ngga sih?? Makanya kalo kamu pernah nonton bokep tuh ampe teriak - teriak kan?? Yaa gitu... saking enaknyaaa ituuhh... aaahh... apalagi kalo kontol suamimu panjang ampe mentok... dah lah... ngangkang aja kamu tiap hari...", ujar Arumi sambil mendekap tubuhnya sendiri membayangkan dulu waktu ia disetubuhi suaminya.
"Seenak itu kah?? Terus kok kamu ga pengen nikah lagi kalo emang seenak itu??", tanyaku yang juga mulai gelisah.
"Yaaahh... belum nemu yang sreg aja... Ehh... tapi itu yang depan boleh juga tuh... ustad siapa namanya??", tanya Arumi berbinar - binar.
"Heeehh!!? Jangaann...!! Buat aku ituuuu!!", kataku spontan.
"OOOOOOOOOOOO... naahh… akhirnyaaa... ahahahaha...", kata Arumi sambil tertawa ngakak.
"Ehh... maksudku... bukan gituu", kataku salting.
"Iya aja dehh... gapapa kok... aku ikhlaaaasssssss...", kata Arumi mendramatisir.
"Toh kalo aku yaa... aku lebih ridho kamu nikah sama ustad itu... kamu sendiri pernah cerita kalo dia istrinya pun bercadar sama akhlaknya bagus... jadi istri kedua pun gapapa selama akhirat kita terjamin... udah kayak Sayyidina Aisyah gitu...", kata Arumi.
Memang dalam hatiku aku berharap mas Munajad sungguh - sungguh nantinya akan menghalalkanku meski kami mengawalinya dengan cara yang 'haram'. Tapi apalah dayaku yang punya iman tak sekuat mba Razeta. Aku hanya khawatir kalau nantinya mas Munajad menjadikanku istri kedua, mba Razeta malah terpisah darinya padahal ia sudah menjadi partner hidup dalam susah dan duka mas Munajad selama 9 tahun ini.
"Mas... Mmm... kalau kita kayak gini, mba Razeta gimana??", tanyaku saat mas Munajad menstater mobilnya setelah kami selesai sarapan bersama.
"Hem?? Ohh... santai aja sih sayang... kalau pacarku tuh udah sepenuhnya percaya sama aku...", jawab mas Munajad santai.
"Umm... oke deh... aku percaya kok sama mas Munajad sayang...", kataku yang mencoba tak peduli.
"Iya... Inshaa… Allah aku akan jaga selalu hati Atikaku sayang... masih tetep sayang sama aku kan... sayangku...??", kata mas Munajad sambil menatapku.
"He'emh… mashh... selalu...", jawabku sambil kugenggam tangan kiri mas Munajad dan kuletakkan di pipiku yang tertutup khimar dan cadar.
Sudah lebih dari 3 bulan hubungan gelap kami berjalan. Meski begitu, mas Munajad tetap menjaga kontak fisik antara kami. Frenchkiss adalah hal terjauh yang pernah kami lakukan selama 3 bulan terakhir ini. Selain karena aku yang masih mencoba untuk move on, juga karena alhamdulillah salon ku selalu ramai pengunjung, jadi intensitas kami bertemu pun tak terlalu intens.
Setiap seminggu 2 kali, aku selalu ikut kajian kemuslimahan bersama mba Razeta dan mas Munajad. Kalau Sabtu malam, aku ikut dengan mba Razeta, kalau Minggu sore, kami bertiga menghadiri majelis ta'lim ummahat di salah satu rumah teman mba Razeta. Memang hijrah butuh pengorbanan. Termasuk aku yang harus menutup salonku di jam - jam kajian itu. Tapi Alhamdulillah, sekarang aku diberikan kekuatan oleh Allah untuk hijrah sempurna secara fisik. Dulunya pakaianku yang super ketat, kini abaya, khimar, dan cadar sudah melekat kuat menjadi identitasku. Bahkan handsock dan kaos kaki tak pernah lepas meskipun aku beraktifitas di dalam ruangan.
"Wuaahh... Mashaa… Allah... adem yaa mas... baru pertama kali ini aku di Jogja bisa kesini...", ucapku yang terkesima melihat indahnya Jogja dari salah satu gardu pandang di Kaliurang itu.
"Tau ga yang bikin semuanya jadi indah??", tanya mas Munajad yang tiba - tiba memelukku dari belakang.
"Ehh... Mmm... apa tuh mas sayang...??", tanyaku sambil membelai kepala mas Munajad yang ada di pundak kanannku.
"Semua jadi indah... karena kehadiranmu disini... sayangkuu...", bisik mas Munajad.
"Mmhh... mas sayangghh...", jawabku sambil terpejam menikmati hangatnya pelukan mas Munajad.
"Sayang... Mau ga untuk hari ini dan seterusnya... kita merajut dan menjalani hidup bersama...??", tanya mas Munajad nan syahdu.
"E'emmhh... iyahh… mas sayang... mau... mau bangethh... Atika cinta mas Munajad banget...", kataku yang sudah benar - benar jatuh cinta pada mas Munajad.
Tak kusangka hatiku akan luluh pada suami seseorang yang aku sangat kenal. Tapi itulah cinta, kadang datangnya tak seperti yang kita perkirakan. Kami menghabiskan waktu beberapa lama di sana dengan berpelukan. Dekapan mas Munajad begitu hangat di suasana Jogja atas yang cukup dingin. Bibir kamipun terus saling memanjakan satu sama lainnya. Cadar tali yang kukenakan telah terlepas, menanggalkan statusku sebagai akhwat perawan yang seharusnya diharamkan melakukan hal - hal seperti ini. Selama perjalanan pulang, kami saling berpegangan tangan. Jemari kami saling membelai satu sama lainnya. Kata - kata manis, cinta, dan sayang saling beruntai antara aku dan mas Munajad. Ketika di Traffic Light, kami tak sanggup menahan diri untuk saling berpagutan hingga akhirnya kami hampir sampai ke Salon ku.
"Uwhh... Makasih mas Munajad sayang...", ucapku sambil turun dari mobil.
"Aahh... masih kangen padahal... emang hari ini mau buka Salonnya sayang??", tanya mas Munajad dari dalam mobil.
"Mmm... Ngga dehh... libur ajaahh...", jawabku riang.
"Libur yaahh...?? Mas jadi pelanggan satu - satunya boleh kah??", goda mas Munajad.
"He'emhh... boleh banget... Atika tunggu yaah… mas sayang...", kataku sambil memberikan kiss - bye pada mas Munajad.
Aku bergegas berjalan mengitari Salon ku dan masuk melalui pintu depan. Beberapa orang termasuk tukang parkir di dekat salonku seperti biasa selalu SKSD namun tak seheboh dulu karena outfit syar'i yang kupakai. Bahkan beberapa kios di kiri kananku sudah mulai ta'dzim meskipun aku adalah aku, yang tetap selalu bertegur sapa dengan mereka. Sampai di dalam salon, kembali ku rapihkan cadar, khimar, dan abayaku. Handsock dan kaos kakiku sengaja tak kulepas karena ingin tetap menjaga kesan syar'iku. Parfum cukup banyak kusemprotkan ke sekujur tubuhku.
*Cklekk... klak* suara pintu dibuka dan dikunci.
"Assalamu'alaykum ukhti Atika sayang...", ucap mas Munajad yang masuk dari pintu belakang masih dengan jubah, rompi, dan surbannya.
"Wa'alaykumsalam mas Munajadku sayaanng...", ucapku yang sudah berdiri dengan tanganku dibelakang layaknya seorang istri yang sudah menanti kedatangan suaminya.
"Emmmhh... wanginya... spesial buat mas aja nih?", tanya mas Munajad sambil mendekatiku.
"E'emhh... mas Munajad suka??", tanyaku.
"Suka banget sayangkuhh...", jawab mas Munajad sementara wajah kami sudah terlalu dekat.
Dan bibir kami pun tak mampu membendung rasa rindu meski masih terhalang oleh sehelai kain cadar. Layaknya sepasang kekasih yang lama tak berjumpa, kami saling berciuman hebat. Aku tak pernah berciuman se - intens ini. Meski dulu ketika bersama Ade bahkan aku sudah mencicipi kontolnya, tapi tak pernah aku memacu bibirku pada bibir lelaki seperti pagi itu. Cadarku pun basah kuyup oleh liur kami berdua. Aku pun harus berjinjit dan mendongakkan kepalaku untuk mengimbangi tinggi mas Munajad meskipun ia sudah membungkuk juga. Kedua tanganku kurangkulkan ke leher mas Munajad. Entah setan apa yang merasukiku. Aku tak pernah senafsu ini. Serasa ingin melepaskan pengekang yang selama ini menahanku.
Brukkhh!! Trakk! Klontang! Srrkk!!
Aku terkejut saat tiba - tiba mas Munajad mengangkat tubuhku. Padahal aku lumayan berat sekitar 48 kg, tapi ia mengangkatku layaknya galon air, begitu mudahnya dan mendudukkanku di meja rias. Spontan tanganku mencari tumpuan hingga membuat beberapa peralatan dan perlengkapan salon jatuh dan berserakan.
"Waduh... jadi berantakan semua sayanghh...", ucap mas Munajad yang tubuhnya condong ke arahku dengan kedua tangannya bertumpu di meja rias tepat di kiri - kanan pinggulku.
"Gapapaah... Gapapahh... Biarin ajaahh... Sinihh… mashh... Sinihh...", ucapku yang sudah tak peduli lagi dengan keadaan.
Melihat aku yang sudah bernafsu, mas Munajad tersenyum dan kembali melahap bibirku. Kali ini kedua tanganku memegangi pipinya. Mulut kami terus memagut liar. Lidah ku dan mas Munajad terus berdansa di rongga mulut kami secara bergantian. Cadar yang kupakai sudah kusibakkan ke atas. Kaki kiriku diangkat mas Munajad dan ditahan dengan tangan kanannya. Otomatis abayaku terangkat hingga ke pinggang dan menampilkan kakiku yang putih mulus dan hanya tertutup kaos kaki hitam sebetis. Setiap mili gerakan tangannya membuat nafsuku semakin membara meski hanya meraba betis dan pahaku.
"Ahhh... Mas Munajad... Mmmhh...", desahku tertahan.
Entah aku lupa atau memang mas Munajad berbeda. Meski leherku masih tertutup khimar, tapi rakusnya mas Munajad mencumbu leherku begitu terasa. Aahh... geli, tapi enak. Tanganku terus mendekap leher mas Munajad. Mataku terpejam sementara mulutku penuh dengan desahan. Tak puas, kusibakkan khimarku dengan sedikit kubuka abayaku sehingga menampakkan leher putihku yang sebelah kiri. Dan...
"Aahhnghhh... Masshh... Mmhhh... Shhh...", desahku dan erangku semakin kuat.
Jemariku mencakar punggung mas Munajad yang tertutup jubah putih. Tak kuasa menahan geli dan nikmatnya cupangan mas Munajad. Jauh berbeda ketika dengan Ade. Ataukah mungkin karena terlalu lama tubuhku tak dijamah lelaki. Ahhh... peduli amat! Rasanya aku ingin menggila siang itu.
Mas Munajad yang nampaknya sudah sange berat mulai menarik total resleting depan abayaku yang panjangnya hingga dibawah toketku. Aku yang juga sudah sange berat ikut membantu mas Munajad untuk melucuti pakaian khas akhwat yang menjadi penjaga marwahku.
"Mhhh... indahnya tubuhmu... Atikaku sayanghh...", ucap mas Munajad yang berdiri sambil memandangi tubuhku yang putih dengan toket 36C terlihat menggembung padat dikekang bra warna hitam renda.
"Isshh... apa sih mas sayangg... kok Atika Cuma dianggurin??", ucapku sambil meliukkan tubuhku dengan kusilangkan kaki kiriku yang sudah tersibak dari abaya ke atas kaki kananku.
"Duhh... udah pinter godain yaa… sekarang sayangku ini...", jawab mas Munajad yang bagian bawah jubahnya sudah mulai menonjol.
"Gapaapah... hihihi... godain dikit calon suami Atikaah...", ucapku menggoda mas Munajad dengan cadarku yang masih menutupi wajahku.
Mas Munajad sudah seperti singa yang bersiap menerkam mangsanya. Ia kembali mendekatiku dan kembali memagut bibirku yang terlapis cadar. Tapi itu hanya formalitas karena tangannya ternyata tanpa kusadari melepaskan bra ku dan melemparnya ke salah satu sudut ruang salon.
"Awwhh... Mhh... Mashh... Ooohh...", lenguhku lepas saat mas Munajad mulai menyerang dadaku.
Akupun terdorong hingga bersandar pada kaca meja rias. Kedua tangan mas Munajad meremasi toketku yang membusung kencang. Puting coklatku pun tak lepas dari pilinan dan sentilan jemari mas Munajad yang membuatku menggelinjang. Yang membuatku merem melek adalah lidah mas Munajad yang sengaja menjilati mengitari putingku tanpa menyentuhnya. Aahhh... benar - benar tersiksa rasanya. Beberapa kali tangannku mengarahkan kepala mas Munajad, tapi ia tau benar bagaimana membuatku becek banjir di bawah sana hingga akhirnya aku pun harus mengiba.
"Aahh... Mass sayanghh... Ahhh... Isephh... Ahhh... Isephh donghh... Plisss...", rengekku yang sudah tak bisa membendung syahwat yang memuncak.
"Hemm?? Apanyah sayanghh??", tanya mas Munajad sambil terus lidahnya menari di sekeliling putingku.
"Aahh... ituhh... ituuhh... iyahh... puting Atikaahh... Oohh... pliss...", rengekku seperti anak yang ngebet minta mainan.
Dan kepalaku mendongak, mataku sayu, sementara mulutku melenguh panjang saat merasakan putingku akhirnya tenggelam di mulut mas Munajad. Begitu puas rasanya setelah penantian akan siksaan nafsu yang luar biasa. Kujambaki rambut mas Munajad setelah kulempar jauh kopyah dan surbannya. Kedua kakiku melingkat di pinggangnya, tak ingin mulut mas Munajad terlepas dari dadaku.
"Mhh... Sshhh... Oohh... Masshh... Mmhh... Enakk banget...", desahku.
Rasanya?? Geli - geli nikmat. Tak ada yang bisa menjadi pembanding. Lidah mas Munajad lincah dalam membelai putingku. Sesekali ia hisap dan gigit lembut. Aahh... paduan yang sempurna. Layaknya bayi dahaga, ia tak ingin menyisakan sedikitpun untuk yang lain. Kedua putingku benar - benar menjadi santapan birahi mulut mas Munajad. Pantas saja mba Razeta betah menjadi pendamping hidup mas Munajad selama 9 tahun ini. Sudah sholeh diluar, tapi juga beringas di ranjang.
"Aahh... ini baru pemanasan aja udah segila ini... udah mass... miliki aku seutuhnyaa", gumamku dalam hati sambil terus merem melek dan mendesah.
Ada mungkin kalau hanya 15 menit mas Munajad menikmati kedua bukit indahku. Ingin rasanya aku berlama - lama, tapi rasa penasaranku akan 'terong' mas Munajad yang semenjak tadi menggeliat di bawah sana lebih besar.
"Aahh... Masshh... Oohh... Mmhhh... Gantian Atikaahh...", ucapku yang sudah terangsang berat.
"Mmhh... Gantian kenapa sayang...??", tanya mas Munajad yang masih membungkuk.
"Inihh...", kataku sambil meraih batang kejantanan mas Munajad.
Aku terkejut saat menggenggam kontol mas Munajad yang masih tertutup jubah dan sarungnya itu. Terasa begitu keras dan besar, bahkan bisa jadi lebih panjang dari milik Ade. Mas Munajad pun paham. Ia kembali ke posisi berdiri. Aku pun turun dari meja rias, dan saat aku berdiri di hadapan mas Munajad, abayaku yang sedari tadi tersangkut di pinggangku kini tanggal sudah. Mulus dan putihnya tubuhku kini hanya terhalang seonggok CD hitam yang tampak malu - malu menahan keindahan pinggulku. Sambil kutatap penuh nafsu, jemariku mulai melepasi kancing jubah mas Munajad. Dibantu mas Munajad, jubah dan kaos yang ia kenakan lepas sudah. Ahhh... mataku dimanjakan dengan tubuh indah mas Munajad. Dadanya yang bidang dengan perut rata nan kencang, agak sedikit berotot di bagian lengan dan perutnya juga,
"Mmhh... ganteng sih masshh badannyahh...", ucapku sambil meraba - raba tubuh indah mas Munajad yang makin membuatku terangsang.
Hingga kini aku berlutut dihadapan sarung mas Munajad yang mengacung. Aku tak ingin buru - buru. Kuremas - remas dan kubelai sambil sesekali kuciumi kontol mas Munajad yang tertutup sarung. Sesekali kulihat ekspresi mas Munajad yang membuatku semakin penasaran. Perlahan kulepaskan sarung mas Munajad dan... Wuuhh... mataku terbelalak melihat besar dan panjangnya kontol mas Munajad. 18 cm panjangnya kalau diameter mungkin ada 4 cm. Milik Ade jadi seperti mainan saja.
"Kok diem sayang?? Gede kah?", tanya mas Munajad yang tampak bangga.
"He'emh... banget masshh... Uuwhh... gagah juga ini kontolnya...", ucapku tanpa ragu sambil mengocok perlahan kontol mas Munajad yang kontras dengan warna putih tanganku.
Kembali kuciumi kontol mas Munajad yang sudah tegang dan keras. Urat - urat di sekitarnya semakin menampakkan kesan kekar. Madzi yang keluar dari ujung kontol mas Munajad ikut membasahi cadar yang kukenakan. Kusibakkan sedikit cadarku dan perlahan mulai kukulum kejantanan mas Munajad.
"Aawhh... Aghh... pelan - pelan aja sayang... kena giginya", kata mas Munajad yang nyengir saat gigiku mengenainya.
"Mfhhh... Mfhhckk... Ogckk... Mfhh..."
Sudah terlalu lama aku tak 'melayani' kontol dengan mulutku hingga membuatku lupa caranya. Meski beberapa kali saat aku masturbasi sambil mengulum timun, tapi tetap saja berbeda, karena kontol punya saraf yang akan merespon rasa sakit. Butuh waktu beberapa saat hingga akhirnya kini mas Munajad terlihat keenakan meski hanya separuh saja dari kontolnya yang mampu kulahap.
"Sshh... Ahhh... Naahh... Gituh sayanghh... Uuhh...", desah mas Munajad sambil sesekali membelai kepalaku sambil duduk di kursi rias.
Aku yang duduk bersimpuh di antara kedua kaki mas Munajad kini lebih mudah menikmati 'lolipop' jumbo suami mba Razeta itu. Mungkin karena terlalu bernafsu, mas Munajad beberapa kali menekan kepalaku agar menelan kontolnya lebih banyak. Tapi aku yang masih awam, malah tersedak dan hampir muntah.
"Ahahaha... maaf sayang... enak banget sih emutannya...", kata mas Munajad yang nampak puas dengan seponganku.
"Mffh... Mfuaah... Sshh... iyakah massh?? Hihihih... kontolnya juga enak inih... Hammphh... Mfhh... Mfhh...", jawabku sambil mengocok kontol mas Munajad sebelum kembali kulahap.
Buah zakar mas Munajad pun tak luput dari liurku. Meski mas Munajad tak memintanya, namun keseruan ketika melihat wajah mas Munajad yang megap - megap seperti ikan justru membuatku semakin terangsang. Ada 8 menitan aku bermain - main dengan kontol mas Munajad dengan mulutku sebelum kami berpindah tempat.
"Nghh!! Cari yang empuk - empuk aja yah sayang...", ucap mas Munajad sambil menggendongku di depan layaknya sedang membawa anak kecil.
"Uwwhh... Iyah mas... di kamar ajah... Mfhh... Mfhh... Mchh...", jawabku sambil kemudian kami berpagutan menuju kamar.
Perlahan mas Munajad menidurkanku di kasur dengan mulut kami terus berpagutan, membanjiri cadar hitamku dengan liur kami berdua. Foreplay singkat mas Munajad daratkan di sekujur tubuku mulai dari pangkal leher hingga berakhir di pusarku. Aku menggeliat keenakan saat cupangan dan buaian lidah mas Munajad menyusuri tubuhku.
"Boleh dibuka sayang??", tanya mas Munajad yang sudah bersiap menarik CD hitam renda yang kupakai.
"Shhh... Mhh... Ngga bolehh...", kataku menggoda mas Munajad.
"Lohh... ga boleh?? Kok gituhh...??", tanya mas Munajad yang kebingungan sambil duduk membungkuk di atas pinggulku.
"Ahahah... iyah mashh... ga boleh... kalo bukan mas Munajad yang unboxing...", jawabku yang sudah benar - benar melupakan rasa maluku.
Mas Munajad tersenyum. Sambil mengecupi perut bawahku, ia mulai menarik lepas CD hitam ku. Wushh... CD ku terbang dan menampakkan gundukan memekku yang masih rapat dengan selakanganku yang putih bersih. Kulihat mas Munajad melongo. Entah apa yang ia pikirkan saat itu.
"Kenapa mas Munajad sayang?? Kok gantian yang melongo sekarang??", tanyaku sambil kedua tanganku mengatup di kedua bongkahan toketku.
"Indah beneerr... Mhhh... pasti seger nih...", kata mas Munajad yang tampak seperti orang kelaparan melihat makanan di hadapannya.
"Uuhhh... Masshh...", desahku yang makin terangsang saat mas Munajad mulai menekuk kedua kakiku.
"Maunyah diapain sayangkuhh Atikaa...??", tanya mas Munajad sambil mendegus ke bibir memekku.
"Mmmhh... Terserahh... Terserahh mas Munaajaadhh...", jawabku dengan nafas memburu.
Memang namanya professional mungkin, mas Munajad tak langsung menyergap liang keperawananku. Lidahnya sengaja menjilati dan mengecup pangkal pahaku dan berputar - putar di selakanganku. Sudah tentu aku blingsatan tak karuan. Diriku yang terangsang berat justru di 'teasing' seperti itu. Ibarat ikan yang menggelepar di daratan.
"Ahh... Ahhh... Awwhh... Masshh... Awhh...", desahku tak karuan.
Pinggulku terus bergerak kesana - kemari, seakan ingin agar mas Munajad segera menikmati 'apem' segarku yang masih ranum. Namun mas Munajad tetap saja tak peduli. Tanganku pun ikut ribut menjambaki dan memaksa mas Munajad untuk segera melesakkan lidahnya ke sempitnya guaku. Dan suara desahanku pecah saat lidah mas Munajad akhirnya menyapa bibir memekku.
"Aaaaahhhhhh... Shhh... Mmhhh... Masshh... Oohhh...", desahku lepas.
Untungnya diluar salon, lalu lalang kendaraan cukup sering sehingga suara desahan dan eranganku teredam oleh kerasnya suara kendaraan. Benar - benar pengalaman pertama yang luar biasa. Tak pernah kubayangkan rasanya akan se - meledak ini. Dengan penuh kesabaran, lidah mas Munajad menyapu dari pangkal dan berakhir ke klitoris ku. Rasa geli yang sangat tapi enak kurasakan tiap kali mas Munajad bermain - main dengan lidahnya di 'kacang'ku. Ahhhh... tubuhku tak terkontrol lagi. Pinggulku menggila kelojotan kesana kemari. Semuanya semakin menjadi saat kedua jempol mas Munajad menguak bibir memek perawanku dan menjilat habis semua lendir yang mengalir akibat diriku yang sudah nafsu berat.
"Oohh... ohhh... Mashh... Terushh... Ahh... Enakk... Mmhh..."
Desahan dan racauanku berpadu dengan beceknya lidah mas Munajad mengobok - obok memekku di bawah sana. Beberapa kali lidah mas Munajad menusuk masuk. Tanganku terus meremasi kepala mas Munajad. Sungguh kenikmatan yang tiada tara. Mataku merem melek sementara kepalaku beberapa kali terbanting kiri - kanan menahan gelombang kenikmatan yang dihantarkan mas Munajad. Hingga akhirnya aku tak tahan lagi untuk ke tahap berikutnya. "Main Course"
"Aahh... Aahh... Mau kontol... Mau kontol mas Munajadnhh...", ucapku yang sudah kepalang nafsu.
"Mfhh... Mfhh... Mchh... kontol mas mau diapain sayangh??", tanya mas Munajad yang belepotan madzi ku.
"Masukin masshh... Masukinnn... kesiniiihh...", ucapku dengan nafasku memburu sembari kubuka lebar selakanganku.
"Owwhh... Sinihh sayang?? Udah ga tahan yaa??", kata mas Munajad yang sengaja mengulur waktu sementara jemarinya terus menstimulasi memekku.
"Aahh... Aahhh... Sshhh... Uuwhh... Ga Tahannhh Masshh... Mau kontollhh...", jawabku yang sudah gelap mata.
"Okey sayang...", ucap Mas Munajad.
Mas Munajad kemudian berlutut tepat di depan selakanganku dengan kedua pahanya dibuka lebar. Perlahan ia mulai menggesekkan kepala kontolnya, membelah sempitnya bibir memekku yang tampak seperti garis itu. Meski ada kekhawatiran akan rasa sakit di awal penetrasi seperti cerita Arumi, tapi kuatnya syahwat dalam diriku telah membuyarkan racun panik yang kualami.
"Awwhh... Ughhh!! Akhhhh... Sshhh... Pelaanhhh Masshh...", ucapku lirih menahan pedih saat kontol Jumbo mas Munajad mulai melesak.
"Eehh... masih perawan kah sayang?? Belum pernah dientot sebelumnya??", tanya mas Munajad yang tiba - tiba berhenti bergerak.
"E'emh... belum mashh...", jawabku sambil menggelengkan kepala.
"Ya Allaahh… Ya rabbii... Mashaa… Allah... makasih yah sayang... sebegitu percayanya sama mas...", ucap mas Munajad yang tampaknya agak ragu.
"iyahh… mas Munajad sayang... tolong sayangi Atika selalu yah...", kataku sembari menarik tangan mas Munajad memberikan sinyal untuknya terus lanjut.
Sepertinya mas Munajad masih terkejut kalau aku masih perawan. Kembali kontol mas Munajad menggesek lembut bibir memekku sebelum ia mulai menusukkan kontolnya penuh kehati - hatian. Hanya untuk melesakkan separuh kontolnya saja, mas Munajad butuh berkali - kali memaju mundurkan kontolnya dengan sangat perlahan. Air liurnya beberapa kali ia tumpahkan sebagai pelumas. Mataku terpejam kuat dan kugigit bibirku menahan pedihnya saat lubang pipisku dipaksa mekar. Rintihanku ku tahan sebisa mungkin supaya tak menghilangkan mood mas Munajad. Dan... Sleebb…!!
"AAWWGHHH!!!! Uuunnghh... Sshhh... Mmaasshh...", pekikku sesaat cukup keras saat mas Munajad dengan 1 hentakan melesakkan kontolnya sepenuhnya.
Panas, perih, nyeri, semua bercampur menjadi satu. Kalau digambarkan mirip rasa nyeri ketika teriris pisau, hanya saja ini pisaunya tetap menancap, tidak lepas. Aku sudah tau kalau akan terasa sakit, tapi tetap saja ini yang pertama kalinya kurasakan. Sebisa mungkin kutahan air mataku karena perih yang kurasa. Benar - benar terasa sobeknya. Kontol mas Munajad yang berdenyut bisa kurasakan dengan jelas.
"Mfhh... Mfhh... Mchh... Relax dulu sayang...", ucap mas Munajad yang aegera mendekapku.
Cupangan demi cupangan segera mas Munajad lancarkan ke setiap titik sensitif di tubuhku. Kemampuan nya yang terasah selama 9 tahun bersama mba Razeta, dengan cepat kembali membakar libidoku yang sempat padam.
"Ahhh... Shhh... Mashh... kok diem aja?? Emang dientot Cuma gini aja ya??", godaku yang sudah terangsang kembali.
"Oohh... Udah pengen sayang?? Kok diem aja bokongnya??", balas mas Munajad menggodaku.
Yaah... aku kok ditantang? Langsung saja pinggulku mulai bergerak mengulek kontol mas Munajad. Bukannya mas Munajad yang mendesah, justru aku yang gelagapan karena nikmat yang tak pernah kurasakan sebelumnya.
"Bener banget kata Arumi... Nghh... Enaknya dikontolin... Ahhh... pantes pada seneng banget ngentot... seenak… iniiihh!!", gumamku dalam hati.
KELANJUTAN CERITANYA ADA DIKARYAKARSA ATAU BISA MENGHUBUNGI INSTAGRAM AUTHOR @ WIDASU.ID
JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI...
KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA...
JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN
INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI...
JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!
TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...