WebNovels

Chapter 3 - MAAFKAN AKU MAS FAUZI

Sudah lama aku jadi penggemar cerita - cerita dewasa seperti ini. Dulunya sih aku juga tidak tau tentang yang seperti ini, hobi ini mulai menjangkitiku sekitar beberapa bulan yang lalu, di tahun 2020. Awalnya aku juga merasa jijik, tapi lambat laun aku mulai ketagihan. Hanya saja saat itu aku tak terlalu tertarik dengan video - video bokep, aku lebih suka baca cerita - cerita dewasa karena lebih memancing imajinasiku. Dan tulisan Widasu merupakan salah satu favoritku karena berupa sekuel yang selalu membuatku antusias untuk menanti update berikutnya, dan Mashaa Allah, Allah pertemukan langsung diriku ini dengan beliau, Widasu, di majelis yang sama. Benar - benar tak menyangka, meskipun di awal sempat ragu - ragu ternyata banyak juga teman - teman waktu dauroh yang memiliki kisah - kisah privasi mereka dan itulah yang membuat ikatan di antara kami semakin kuat.

Oh iya, namaku Balqis (bukan nama asli). Aku kelahiran jawa barat, tapi sudah lama tinggal di Jogja. Awal perkenalanku dengan suamiku yang sekarang, juga waktu aku kuliah di Jogja. Semenjak aku kecil, orangtua ku selalu mendidikku dengan ajaran agama islam yang baik. Selalu memberi nasihat kalau perempuan itu harus pintar - pintar jaga diri. Dan kedua orangtua ku pun mencontohkan dengan baik bagaimana seorang wanita menjaga dirinya, apalagi kalau keluar rumah. Alhamdulillah, aku dikaruniai orangtua yang taat beragama. Ayahku salah seorang penggerak di salah satu pergerakan dakwah islam di Indonesia. Hari - hari ia selalu mengenakan jubah dan bersurban. Begitu pula ibuku, gamis dan jilbab hitam lebar dan cadar selalu menutup rapat auratnya meskipun hanya keluar rumah untuk keperluan yang remeh. Alhasil, karena pendidikan orangtua yang penuh perhatian, kini hari - hari aku pun berpakaian serba lebar, baik khimar, gamis, meski aku belum bercadar dan hanya mengenakan masker saja.

"Serius Balqis mau ke jogja buat kuliah?? Tapi itu jauh lhoo", kata ayah yang mengkhawatirkan ku.

"Iyaa, Ibu masih belum siap buat lepasin Balqis sendirian di Jogja. Apalagi Balqis ini kan anak perempuan ibu satu - satunya", timpal ibu yang datang membawa gelas besar teh hangat untuk ayah.

"Inshaa Allah Balqis nanti akan cari teman - teman yang baik Ayah, Ibu. Kalau bisa juga kontrakan Balqis nanti yang dekat masjid supaya tetap terjaga iman Balqis", jawabku berupaya meyakinkan orangtuaku.

"Terus Balqis disana sama siapa aja? Ayah ngga kenal temen - temen Balqis disana", jawab Ayahku yang mulai menikmati teh nya.

Singkat cerita akhirnya kedua orangtuaku membolehkan aku untuk melanjutkan kuliah di salah satu Universitas swasta disana. Begitu khawatirnya orangtuaku dengan masa depanku di Jogja, keduanya pun ikut mendampingiku hingga akhirnya aku dapat kos - kosan di daerah sekitaran kampus. Lokasinya pun dekat dengan masjid.

Seiring berjalannya waktu, selama menjalani perkuliahan, Alhamdulillah Allah beri kemudahan bagiku untuk bergaul dengan teman - teman akhwat yang sama - sama belajar mendalami agama. Hingga akhirnya aku mantab mengenakan cadar di tahun kedua ku kuliah. Melihat perubahanku, kedua orangtuaku begitu senang. Aku pun semakin semangat dalam menjalani kehidupan ku sebagai mahasiswa di Jogjakarta, meskipun tidak sedikit juga uang yang memandang sinis diriku.

3,5 tahun sudah berlalu, kini tiba masanya aku harus berangkat KKN di daerah Cangkringan Jogjakarta. Sekitar 15 mahasiswa dari berbagai jurusan di kampusku pun berkumpul dalam satu kelompok KKN dan hanya aku saja yang bercadar dari 6 orang mahasiswi di kelompokku. Tapi Alhamdulillah semuanya mendukung bahkan menjagaku sebaik mungkin. Sekitar 1 bulan lamanya kami melaksanakan KKN sebagai syarat kelulusan. Benar kata orang - orang, kalau istilah KKN sebenarnya adalah singkatan dari Kisah Kasih Nyata. Di sanalah aku mengenal suamiku yang sekarang.

Pertama kali aku terpikat adalah saat ia diminta untuk menjadi imam sholat Maghrib oleh warga di kampung tempat kami KKN. Aku benar - benar tak menyangka kalau ia memiliki suara yang merdu nan menyejukkan saat melantunkan ayat - ayat Al Qur'an. Aku pun mulai terpikat meski tetap menjaga jarak dengannya.

"Kenapa Balqis? Cieee... udah mulai ada rasa yaa?? Kok nanya - nanya??", goda Diyanah sambil sibuk bermain HP.

"Apaan sih... pengen tau aja aku tuh... jarang - jarang ada ikhwan kayak Fauzi", jawabku sambil mencubit Diyanah karena salting.

"Aww... iya iyaa... kalo ga salah sih emang sering kok dia ngaji - ngaji gitu. Napa ngga kamu aja tanya langsung sama dia?? Haha", jawab Diyanah sambil tertawa.

"Ahhh... susah ngomong sama kamu Diyanah", jawabku.

Meski aku tak terlalu menunjukkan rasa takjubku padanya, tapi Allah tidak diam saja. Beberapa kali Fauzi berusaha untuk mendekatiku, namun aku nya saja yang memang kurang peka. Hingga akhirnya KKN kami pun selesai. Rasa dalam hatiku pun bercampur baur antara senang dan sedih. Senang karena sebentar lagi akan bisa segera lulus, sedih karena akan berpisah dengan Fauzi.

Hari - hari pun mulai berjalan seperti biasa. Kenangan tentang KKN pun masih membekas erat dalam ingatanku. Dalam hati kecilku, aku masih berharap kalau bisa bertemu dengan Fauzi lagi. Hingga suatu hari aku dikejutkan dengan chat WA dari nomor yang tak kukenal.

"Assalamu'alaykum... benar nomer Ukhti Balqis?", tanya nomer itu.

"Wa'alaykumsalam warahmatullahi wa barakatuh... benar, afwan ini nomer siapa?", balasku.

"Alhamdulillah... afwan ganggu, ana Fauzi, dulu kita sempat KKN bareng", jawabnya.

Aku pun terdiam beberapa saat. Hatiku bergolak dengan kebahagiaan yang meluap. Tanganku tak berhenti bergetar. Penantianku selama ini akhirnya di ijabah Allah. Selama beberapa saat aku tak membalas chat dari Fauzi karena terlalu senangnya.

"Ohh akhi Fauzi... ada yang bisa ana bantu?", jawabku yang masih jaim.

"Gapapa sih Ukhti... Cuma pengen tau kabar aja... udah selesai buat laporan KKN nya?", tanya akhi Fauzi mencoba membuka pembicaraan.

"Ini masih proses akhi. Banyak materi yang lupa ngga di catat... eh iya, akhi masih ingat catatan tentang kegiatan - kegiatan waktu KKN kemarin?", tanyaku.

"Alhamdulillah masih ada Ukhti. Butuh yang mana ukhti? Meetup sekalian aja Ukhti biar gampang ntar ukhti pilihnya...", balas Fauzi.

"Boleh juga akhi, meetup dimana ya?", tanyaku yang mengiyakan tanpa sadar karena sudah kelabakan dengan deadline laporan.

Dan dari pertemuan itulah kemudian aku dan Fauzi semakin dekat bahkan beberapa teman - teman kampusku pun sering menjadikanku dengan Fauzi menjadi bahan ejekan. Setelah beberapa bulan menjalin hubungan yang dijaga oleh jarak karena aturan agama, akhirnya Allah pun persatukan aku dan Fauzi di tahun 2015 lalu. Saat itu aku berumur 22 tahun dan Fauzi di umur 23 tahun. Penantian panjang ku selama ini terbayar sudah. Kata pepatah, sabar itu berbuah manis. Dan Mashaa Allah semuanya di mudahkan dalam proses pernikahanku dengan Fauzi. Mulai dari kedua orangtua kami yang langsung merestui, teman - teman yang siap bantu - bantu, sampai akhirnya semuanya berjalan begitu lancar di hari pernikahan kami.

Hari - hari kami jalani dengan penuh kesenangan dan kebahagiaan. Aku pun mulai memanggilnya dengan panggilan 'mas'. Seperti halnya Rasulullah yang mengajarkan untuk memanggil orang yang kita sayangi dengan panggilan sayang. Mas Fauzi memiliki fisik yang lumayan tinggi sekitar 175 cm, tubuhnya tegap dan atletis. Ia pun memiliki jiwa pemimpin keluarga yang baik dan selalu menafkahiku dengan sangat baik, bahkan bagiku hampir sempurna. Jarang sekali terjadi cekcok diantara kami, dan kalaupun aku marah, mas Fauzi pasti selalu minta maaf terlebih dulu. Hampir tak pernah mas Fauzi menyalahkanku meskipun itu kesalahan yang ku buat.

Urusan ranjang pun mas Fauzi juga 'memuaskan' menurutku. Bagiku yang masih sangat awam saat itu untuk urusan seks, mas Fauzi bisa tetap membuatku enjoy saat pertama kali aku melepaskan keperawanannku untuknya. Ia begitu pintar menghadirkan suasana yang bisa menggugah libidoku. Malam itu aku pun tak tau harus bagaimana memulainya. Untung saja mas Fauzi perlahan melakukan pendekatan dengan memelukku, kemudian mulai mencumbuiku dibagian - bagian sensitif, terutama di telingaku yang saat itu masih tertutup khimar jumbo. Aku paham kalau aku sudah menjadi istri sah suamiku mas Fauzi, tapi ini pengalaman pertamaku satu kamar dengan lelaki. Tetap saja berat untukku menunjukkan bagian privasi tubuhku seperti payudara dan selakangan.

"Maaf mas... Balqis masih belum kebiasa telanjang di depan laki - laki", kataku sambil tertunduk menahan gamis dan khimarku yang berwarna pink muda senada dengan kulit putihku.

"Iya gapapa kok sayang... mas juga masih latihan... bismillah yaa...", kata mas Fauzi yang kemudian mendorongku perlahan hingga terlentang di ranjang.

Kembali mas Fauzi menciumi ku dibagian telinga. Aku bisa benar - benar merasakan hembusan nafas mas Fauzi yang mulai terdengar berat. Tangannya pun perlahan mulai meraba - raba tubuhku. Hatiku bergolak merasakan sensasi ini. Ingin rasanya menolak, tapi entah kenapa tubuhku justru menikmatinya. Sensasi geli bercampur enak pun mengalir cepat ke seluruh bagian tubuhku. Aku pun coba memantabkan diri untuk pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya.

"Ahh... Shhh... Mas Fauziihh... Mmhh...", lenguhan dan desisan pun tak terasa keluar dari mulutku.

Dan Cupphh... itulah pertama kalinya aku merasakan ciuman. Pengalaman pertamaku melakukan ciuman dengan lelaki. Entah apa yang kurasakan saat itu. Tapi yang pasti ciuman itulah yang membuka gerbang hasrat dalam diriku. Perlahan lidah mas Fauzi mencoba menelusuri mulutku. Rasa penasaran akan seks pun mendorongku untuk membalas apa yang mas Fauzi lakukan. Pikiranku pun sudah tak jernih lagi. Semuanya semakin bertambah lepas saat kurasakan gunung kembarku mulai diremas - remas kedua tangan mas Fauzi yang berada di atasku. Awalnya pasti aku akan menolaknya, tapi entah kenapa aku justru ingin merasakan lebih.

"Mmhhh... Sshhh... Gelihh... Mashh... Ahhh...", aku pun tak mampu menahan lenguhan dan desisan nikmat saat putingku yang sudah keras mencuat di balik gamis dan bra mulai di remas - remas.

Toketku yang berukuran 38C terasa begitu keras dan sensitif. Aku hanya bisa pasrah saat mas Fauzi mulai membuka perlahan resleting gamisku hingga menunjukkan bukit kembarku yang terlihat sesak oleh bra warna marun berenda. Beberapa saat mas Fauzi tertegun melihat toketku.

"Mashaa Allah sayang... bagus banget dada kamu...", ucap mas Fauzi sembari berupaya melepaskan ikatan bra ku.

"Ahh... Masa sih mass... jangan diliatin... Balqis malu...", jawabku sambil terpejam namun dalam hatiku aku berharap mas Fauzi untuk melanjutkan aksinya.

"He'mhh... mas serius ini... bulat, kencang, terus putingnya coklat muda gini... bikin mas jadi ga tahan...", kata mas Fauzi yang berbisik mesra di telinga kiriku.

"Sshhh... Aahh... Iyakah masshh?? Mas Fauzii sukaahh?? Mmhh... Gelihh Mashh...", jawabku yang sudah mulai terangsang.

"Gelih kenapah sayang?? Mau nya digimanain??", tanya mas Fauzi yang kini jemarinya mulai memilin - milin lembut putingku yang sudah mencuat keras dan sangat sensitif.

"Aawhh... Sshhh... Gelihh... Gatauh... Enakk Mashh... Ahhh... Gatau Balqishh... Terserah mas ajahh... Pasrahh...", kataku yang sudah terbius oleh syahwat yang menjalar cepat di otakku.

Kata - kataku itu sudah tentu menjadi pemicu hasrat dalam diri mas Fauzi. Kedua tangan kekarnya memeras lembut toket bulat milikku, terkadang jemarinya memilin nakal putingku yang sudah menjulang tinggi. Aku pun hanya bisa mendesah merasakan kenikmatan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Dalam hatiku masih bergolak tentang semua ini. Sebagian hati kecilku masih belum bisa menerima hal ini karena beranggapan mas Fauzi sebagai seorang yang bukan mahramku. Bukan karena aku tidak paham dengan ilmu agama, tapi lebih ke belum terbiasanya aku di sentuh lelaki. Tapi sebagian besar hatiku yang sudah mulai terbuai oleh kenikmatan pun mengiyakan apapun yang nantinya akan mas Fauzi lakukan.

"Unnghhh... Mhhhh... Aahhh... Shhh... Awhhh... terushh Mashh... Ahhh...", lenguhku manja karena sengatan nikmat yang tiada tara bertepatan dengan lidah mas Fauzi yang menyapu lembut putingku.

Aku tak pernah menyangka kalau dijamah lelaki akan senikmat ini. Selama ini pelajaran tentang seks masih begitu tabu bagiku. Lebih sering aku menghindar kalau ada orang ataupun teman yang membicarakan hal itu. Kata orangtuaku pembicaraan tentang hubungan suami - istri tidak perlu dibicarakan terlalu sering, justru pembicaraan pentingnya iman - amal sholeh harus dibicarakan hari - hari. Alhasil aku pun hanya bisa menggigit kuat bibir bawahku dan memejamkan mata karena intensnya sensasi kenikmatan yang dihantarkan melalui permainan mulut mas Fauzi di kedua bukit kembarku yang tampak ranum.

Mas Fauzi pun begitu sabar dalam merangsang tubuhku. Ia juga tak serta merta menyerang putingku, namun secara perlahan mencupangi mesra di sekeliling toketku yang justru semakin membuatku bergairah. Aku pun hanya bisa blingsatan menahan terpaan birahi yang begitu deras menghantam sementara mas Fauzi tak kunjung ke 'menu utama' yaitu putingku. Kedua tanganku meremas - remas rambut mas Fauzi karena tak sabar. Tapi itu semua berujung kenikmatan yang tiada tara saat akhirnya putingku tenggelam dalam mulutnya. Kehangatan, kelembutan, geli, nikmat, semuanya bercampur padu menjadi satu bersama mengirim gelombang lendir yang mulai membanjiri selakanganku.

"Kenapa sayang...?? Enak yah??", tanya mas Fauzi di sela - sela jilatannya yang lihai membelai putingku dengan nada menggoda.

"Aahh... Ahhh... Shhh... E'emhh... Mashh... Uwwhh... Kok bisa sih enak bangethh ginih... Mmhh...", jawabku sambil menahan malu.

Mas Fauzi pun hanya tersenyum melihatku yang kelabakan dengan aksinya. Aku pun pasrah saat mas Fauzi mulai melepas perlahan gamisku. Sudah kuambil keputusan untuk memasrahkan diriku padanya malam itu. Dalam satu tarikan pun hilang sudah kain yang sedari tadi menutupi keindahan lekuk tubuhku. Mata mas Fauzi kembali menatapi tubuhku dengan penuh kekaguman. Bagaimana tidak? Aku selalu melakukan perawatan sederhana pada tubuhku termasuk secara rutin mencukur bulu ketiak dan kemaluanku. Setiap minggu jogging di sekitar boulevard kampus selalu menjadi rutinitasku.

"Cantiknya istriku ini...", kata mas Fauzi yang terkesima dengan tubuhku.

"Udah ahh mass... maluuhh... jangan diliatin mulu...", jawabku yang berupaya menutupi lekuk tubuhku dengan kedua tanganku.

Mas Fauzi pun hanya tersenyum dan mulai melepas kaos yang ia kenakan. Aku pun terpana melihat tubuhnya yang cukup atletis dengan dada bidang dan perut yang menawan. Belum selesai aku memandangi tubuhnya, mataku kembali dikejutkan saat melihat kontol mas Fauzi yang sudah tegak mengacung sesaat setelah ia melepas sirwalnya. Tak pernah kubayangkan kalau akan sebesar dan sepanjang itu dengan panjang 16 cm dan diameter 3,5 cm. Pernah aku melihat kemaluan laki - laki dari adikku yang masih SD, kukira kalau ukuran kemaluan akan tetap seperti itu sehingga wajar saja kalau nantinya akan dimasukkan ke kemaluanku. Tapi yang di hadapanku saat ini benar - benar berbeda, ibarat kacang dan terong, sesuatu yang diluar ekspektasi ku.

"Hem? Kenapa sayang?? Kaget yah liat punya mas??", tanya mas Fauzi yang mulai mengocok perlahan kontolnya.

"E'emhh... itu ntar mau diapain mas...??", tanyaku yang benar - benar masih polos saat itu.

"Ini? Dimasukin sini lah sayang...", jawab mas Fauzi yang meraba lembut bibir memekku yang masih rapat dan berwarna coklat tua.

"Ehh... Gak mungkin muat mass... masa iya sihh...??", jawabku yang mulai ragu.

"Tenang aja sayang... Muat kok... yang penting sayangku rileks ajah... ntar mas pelan - pelan kok...", kata mas Fauzi sambil menggosokkan jemarinya membelah bibir memekku.

Kesabaran mas Fauzi untuk membuatku terangsang penuh berakhir manis. Aku yang tadinya mulai panik saat menyaksikan besarnya kontol mas Fauzi, kini berangsur - angsur mulai menikmati permainan jemarinya di bibir memekku. Geli bercampur nikmat yang lebih daripada saat ia bermain di putingku, rasa itu kini menjalar dan menguasai tubuhku. Desahan dan lenguhanku menikmati fingerplay mas Fauzi kembali menghiasi kamar tidur kami. Apalagi saat kepala kontol mas Fauzi yang kini bertugas menggesek mesra bibir memekku hingga ke itil, ledakan kenikmatan pun melayangkan tinggi diriku.

"Ahhh... Mmhhh... Mhhh... Masshh... Nghhh... Enakhh... Mmhhh...", desahku yang merem melek keenakan.

"Oke sayang... mas masukin yaahh... tahan dikit, ntar juga enak kok...", kata mas Fauzi berbisik mesra di kupingku yang tertutup khimar.

Aku pun mengangguk dan pasrah saat diminta mas Fauzi untuk membuka lebar kedua paha putihku. Tangan kanan mas Fauzi menggenggam batang kontol beruratnya yang berwarna sawo matang. Perlahan tapi pasti kepala kontol mas Fauzi mulai membelah masuk memekku. Mataku terbelalak saat merasakan selakanganku serasa terbelah. Rasa panas dan perih pun tak terelakkan meskipun dinding memekku sudah banjir bandang oleh lendir birahiku.

"Aaaghh... Sakiittt masshh... ssshhh...", rintihku menahan pedih.

Mas Fauzi pun dengan sigap segera kembali melumat bibirku sementara tangan kirinya sibuk meremas dan memilin - milin puting kiriku. Begitu perih rasanya padahal baru separuh saja kontol mas Fauzi yang masuk. Meski aku kesakitan, mas Fauzi tetap saja meneruskan penetrasinya secara perlahan hingga akhirnya seluruh kontolnya terbenam di dalam liang peranakanku. Air mata pun tak terasa mengalir karena rasa perih yang luar biasa. Bahkan aku bisa merasakan dengan jelas ada bagian dalam tubuhku yang robek beberapa saat yang lalu.

Mas Fauzi pun mendekap diriku dengan eratnya. Beberapa saat ia menghentikan gerakan penetrasinya karena tak tahan melihat tangisanku. Ia pun terus mencumbu leherku dengan kedua tangannya terus merangsang kedua bukit kembar yang menghias dadaku. Perasaan mengganjal begitu terasa di bagian bawah sana. Aku tak menyangka kalau benda sebesar itu akan benar - benar bisa muat ke dalam kemaluanku yang sempit.

"Ahhh... Sshhh... Masshh... Mmmhhh... Udaahh... Udaahh ga sakitt koo...", kataku yang sudah mulai nyaman dan kembali terangsang oleh cumbuan mas Fauzi.

"Ahh... iyah... maaf yah sayang... mas tadi kurang sabaran...", jawab mas Fauzi sambil memandangi wajahku.

"Iyahh mas... gapapa kok... yukk... lanjuthh... Balqis udah enakan kok...", kataku padahal sebenarnya aku sudah tak sabar untuk merasakan seks yang sebenarnya hanya saja aku malu untuk mengungkapkan perasaan itu.

Mas Fauzi pun tersenyum dan dengan posisi missionary, ia mulai menggerakkan pinggulnya maju - mundur. Meski sesak penuh, rasa sakit itu sudah tak kurasakan lagi. Padahal tadi terasa begitu pedihnya seperti disayat pisau. Tapi entah apa yang terjadi, yang kurasakan kini hanya nikmat. Bahkan begitu nikmatnya yang membuatku kehilangan akal sehatku.

"Ahh... Ahhh... Mhhh... Ahhh... Masshh... Ohhh... Ohhh... Terushh... Ahhh... Ohhh...", desahku yang tak karuan merasakan kenikmatan baru yang tiada tara.

Mataku terpejam sembari menggigit kuat bibir bawahku sementara kedua tanganku mencengkram bantal dan sprei tempat kami bersetubuh. Kedua kakiku mengangkang lebar, seolah - olah pasrah menyerahkan bagian paling berharga di tubuhku itu untuk dinikmati oleh lelaki. Toketku berayun - ayun mengikuti irama sodokan mas Fauzi yang mulai makin kencang. Aku pun tak mampu lagi mengendalikan suara desahanku. Benar - benar kenikmatan yang luar biasa. Kontol mas Fauzi begitu jelas terasa di perut bawahku. Seluruh tubuhku terasa meleleh merasakan kenikmatan yang tak pernah terbayangkan olehku. Rasa nikmat akan seks telah merasuki pikiranku. Kini kedua tanganku beralih mencengkram pinggang mas Fauzi berupaya untuk mendekap tubuhnya. Mas Fauzi pun paham dan kini membungkukkan tubuhnya sehingga bisa kudekap kuat.

"Ahh... kalau tau seks akan senikmat ini, aku mau nikah lebih muda lagi...", gumamku dalam hati.

Nafas mas Fauzi yang menderu cepat bisa kurasakan di telingaku. Begitu pula mas Fauzi yang semakin bersemangat menggempur selakanganku karena desahan dan lenguhanku. Malam itu aku belajar akan kenikmatan baru yang seharusnya aku bisa rasakan dari dulu. Putingku yang tergencet oleh dada mas Fauzi justru menambah kenikmatan yang kurasakan karena bergesekan dengan tubuh mas Fauzi. Kurang lebih sekitar 7 menit kemudian aku merasakan rasa layaknya orang kebelet buang air kecil, tapi rasa ini berbeda. Yang kurasakan saat itu lebih aku ingin segera mencapainya, beda kalau orang kebelet buang air kecil yang justru ingin ditahan.

"Ahh... Ahhh... Sayang... Mas mau keluarhh... Ahh... Ahhh...", kata mas Fauzi.

"Mmhh... Ahh... Ohh... Shhh... Masshh... Iyaahh... Balqis mau pipis jugaahh... Ahh... Ahhh...", jawabku menikmati sodokan kencang mas Fauzi.

Saat itu aku tak paham maksud mas Fauzi mau keluar itu gimana. Yang pasti aku pun merasakan hal yang sama hingga akhirnya aku tak kuasa membendung datangnya klimaks bersamaan dengan erangan mas Fauzi memancarkan seluruh spermanya di rahimku.

"Arrrrghhhhh...!", erang mas Fauzi.

"Mmmhh... Nnngghhhhhhh...", erangku bersamaan dengan mas Fauzi.

Creet... Crreett... Creeetttt...

Aku pun melenguh panjang, jemariku mencengkram erat punggung mas Fauzi sementara tubuhku mengejang bagaikan disengat listrik saat merasakan nikmatnya orgasme untuk pertama kalinya. Sungguh kenikmatan yang tak pernah terbayangkan olehku. Perut bagian bawahku terasa hangat karena dibanjiri sperma kental mas Fauzi. Mas Fauzi sendiri terdengar ngos - ngosan, tubuhnya basah oleh keringat. Tapi tampak dari wajahnya kepuasan yang sama seperti halnya diriku.

"Hhh... Hhh... Capek banget sayang... tapi enak yah... hahah... dek Balqis sayang gimana? Enak atau sakit??", tanya mas Fauzi yang masih tengkurap di atas tubuhku sambil memandangi wajahku yang sayu dengan beberapa helai rambutku keluar dari sela - sela khimar yang kupakai.

"Hhh... Mmmhh... E'emhh mass... Enaakk... Shhh... Balqis ga pernah... bayangin kalau jima' seenak ini... uwhh...", jawabku sedikit malu.

"Ahahah... Alhamdulillah kalo sayangku juga keenakan... besok - besok mau lagi...??," tanya mas Fauzi sambil mencubit mesra hidungku.

"E'emhh... terserah mas Fauzihh ajah...", jawabku yang sudah mulai ketagihan akan seks.

Hari - hari berikutnya pun kami jalani layaknya sepasang kekasih yang baru di mabuk cinta. Ya memang karena kami baru mulai 'berpacaran' layaknya orang lain pada umumnya setelah menikah. Benih - benih cinta yang selama ini kami pendam mulai tumbuh kuat mengakar dan berbunga indah. Ditambah kegiatan baru kami yang begitu 'menyenangkan' membuat kami hampir lupa waktu. Bahkan intensitas persetubuhan kami pun bisa lebih dari 3x dalam sehari. Memang saat itu kami masih sangat awam dalam seks sehingga tak banyak gaya seks yang kami ketahui.

Kehadiran agama dalam kehidupanku dan mas Fauzi lah yang paling banyak menjaga hubungan kami berdua. Masing - masing dari kami saling menjaga hak dan kewajiban antara suami - istri seperti yang diajarkan dalam agama. Banyak pasangan muda yang baru saja menikah tak bisa bertahan lama karena minimnya pengetahuan agama dalam berkeluarga. Dan Alhamdulillah setelah beberapa bulan, kini mas Fauzi pun mulai lebih aktif dalam kegiatan - kegiatan dakwah Islam. Sifatnya yang lembut terhadap perempuan mulai tampak setelah ia ikut dakwah dengan ayahku selama 40 hari. Meski berat untuk melepasnya berangkat dakwah, tapi kini aku akan merasakan hasil manis dari pengorbananku melepasnya berangkat dakwah.

Rasa rindu yang amat sangat dikarenakan rasa cinta yang mulai tumbuh ditambah lagi mas Fauzi dilarang membawakan Handphone ketika dalam kegiatan dakwah sungguh begitu menguji keimananku. Untungnya mas Fauzi pengertian sehingga untuk sementara waktu aku dibawa pulang ke rumah ortu di jawa barat sehingga aku tak terlalu kesepian. Tapi tetap saja, selakanganku meronta - ronta karena sudah begitu dahaga akan nikmatnya sodokan kontol mas Fauzi. Saat hasrat seksual mulai menerpaku, masturbasi pun menjadi jalan keluar utama yang bisa kulakukan. Tapi karena minimnya pengetahuan tentang tata cara masturbasi dan saat itu aku belum mengenal video porno, akhirnya masturbasi ku pun tidak maksimal.

"Aahhh... kok gak kayak waktu sama mas Fauzi sihh... uhh... pengen ehh...", gumamku dalam hati yang baru saja masturbasi sebisaku.

Waktu 40 hari terasa sangat lama bagiku. Hari berganti hari, kalender pun menjadi benda yang paling sering ku datangi di rumah. Hingga akhirnya 40 hari selesai sudah dan aku pun sudah tak sabar menanti pengeranku kembali. Pesan ibuku agar aku berias dengan riasan terbaik saat nantinya menyambut kepulangan suami. Meluaplah kebahagiaanku saat mendengar suara salam mas Fauzi di ruang tamu. Bagaikan magnet, tubuhku bergerak sendiri dan langsung mendekap erat mas Fauzi. Kedua orangtuaku pun tertawa melihat tingkahku yang mengingatkan mereka akan dulu saat ayahku pertama kali berangkat 40 hari dakwah setelah menikah dengan ibuku. Dan sudah jelas apa yang terjadi malam harinya, kerinduan tubuh kami untuk menjadi satu harus segera di penuhi. Jalan - jalan malam sebagai alasan saja untuk kami keluar meninggalkan rumah, padahal hanya ingin mencari ruang khusus dimana aku dan mas Fauzi bisa mendesah sepuasnya tanpa khawatir akan di dengar oleh orang lain.

"Ahh... Ahhh... Mass... Ohhh... Enaknyahhh... Ahhh... Balqis kangen banget sama mas Fauzi sayanghhh... Ohhh... Ohhh... Terushh Masshhh...", desahku keenakan merasakan kontol keras mas Fauzi kembali mengobok - obok liang memekku.

"Ahh... Shhh... He'mhh... Mas juga kangen bangethh... Ahh... Ahh...", jawab mas Fauzi yang begitu bersemangat menggempurku dengan doggy.

Aku dan mas Fauzi yang sama - sama sudah menahan hasrat seks kami selama 40 hari, membuat ku tak sempat untuk melucuti pakaianku secara menyeluruh. Jilbab syar'i jumbo dan cadar hitam serta kaos kaki sepaha berwarna hitam saja yang masih melekat di tubuh putih seksiku. Dengusan nafas mas Fauzi yang begitu liar menyusuri tubuhku dengan lidahnya, terasa hangat membelai ku dan menghantarkan nafsuku memuncak. Terlebih lagi putingku yang kemudian menjadi santapan malam mas Fauzi, telah menghujamkanku ke dalam lembah kenikmatan surga dunia.

"Ouhh... Terusshh Mashhh... Ahh... Ahhh... Nakall siihh... Batang mass Fauzihh enak bangethh... Ohh... Gedehh... Uhhh... sodok Balqisahh teruss...", kataku yang sudah hilang akal.

Pinggulku bergerak liar maju mundur, kadang berganti naik - turun mengocok kontol mas Fauzi dengan posisi WOT di ronde 2. Aku benar - benar menggila malam itu, ingin rasanya semalaman penuh tubuhku dinikmati oleh mas Fauzi. Toket 38C ku berayun - ayun mengikuti irama pinggulku menari di perut mas Fauzi. Kontol mas Fauzi yang berukuran 16 cm, memang tak terlalu panjang, tapi mentok mantab mengganjal saluran rahimku yang membuatku melayang tinggi dalam dekapan kenikmatan seks.

"Ahhh... Ahh... Ahhh... Balqishh mau pipiss masshhh... Ahhh... Aaahnnnnnggh....", lenguhku panjang seraya mengangkat pinggulku hingga kontol mas Fauzi terlepas.

Ceerrrrr.... Ceeerrrrr.... Ceeerrrrr....

Kepalaku menengadah dengan kedua mataku terpejam merasakan nikmatnya orgasme yang entah sudah berapa kali kualami malam itu. Untung saja sleeping bag yang biasa digunakan mas Fauzi terbuat dari material sintetik sehingga bisa melapisi ranjang hotel agar tidak basah kuyup oleh cairan orgasmeku. Sekitar jam 11.30 malam kami berdua terlelap tidur dengan kondisi mas Fauzi hanya mengenakan kaos yang sudah basah kuyup oleh cairan orgasme akhwat sementara jilbab dan cadar yang kupakai terlihat kusut berantakan.

"Kapan mas berangkatnya...??", tanyaku sambil merapikan jubah mas Fauzi pagi hari itu.

"Inshaa Allah sekitar bulan Agustus ini Inshaa Allah sayang. Tapi mas Fauzi juga masih nunggu kepastian jama'ahnya", jawab mas Fauzi yang selalu tampil menawan dengan pakaian full - sunnah nya.

"Adek tunggu kabarnya yah mas sayang", ucapku sambil melepas mas Fauzi untuk berangkat ke musyawarah harian di salah satu masjid pusat dakwah di Jogjakarta.

Hampir sekitar 1 tahun lamanya setelah terakhir kalinya mas Fauzi berangkat dakwah 40 hari. Aku pun mulai terbiasa dan nyaman jika ada panggilan dakwah datang pada mas Fauzi. Bukan hanya karena itu adalah panggilan agama, tapi juga karena sikap mas Fauzi yang semakin hari semakin membuatku nyaman dengan kasih sayangnya.

Meski begitu, dalam perihal ranjang memang kami tak terlalu banyak ada perubahan. Saat itu aku pun juga tak berpikir tentang variasi dalam urusan seks. Yang kutahu hanyalah sebatas apa yang selama ini aku lakukan bersama mas Fauzi. Kemampuan mas Fauzi yang hanya bisa bertahan sekitar kurang dari 20 menit pun aku anggap biasa saja karena dalam 10 menit pun aku sudah bisa mencapai klimaks.

Tahun ini mas Fauzi akan berangkat dakwah selama 4 bulan. Bagiku yang sudah terbiasa di tinggal mas Fauzi berdakwah, setelah tahu akan berangkat selama 4 bulan pun masih terasa berat bagiku. Tapi semuanya terasa sedikit lebih ringan saat aku dipertemukan dengan istri - istri dari anggota jama'ah yang lain yang juga akan berangkat dakwah selama 4 bulan. Meski umur mereka tak lagi muda, rata - rata hampir berusia 40 tahunan, tapi semangat mereka dalam mendukung suami - suami mereka untuk berangkat berdakwah membuatku takjub. Sama sekali tak terlihat dari diri para ummahat di hadapanku itu rasa sedih akan ditinggal oleh kekasihnya selama 4 bulan. Aku benar - benar dibuat takjub, bahkan dari pembicaraan yang selalu mereka bicarakan pasti tak jauh - jauh dari pembicaraan tentang kebesaran Allah. Belum pernah kurasakan suasana iman yang begitu kuat seperti saat ini. Targhib dan nasihat yang disampaikan terdengar dalam dan mengena dihatiku meski dibalut dengan bahasa yang santai dan mudah dicerna bahkan bagi orang 'awam' sepertiku.

"Ahahah... ya emang gitu mba Balqis, dulu saya waktu pertama juga sedih gitu, kok harus 4 bulan?? Tapi setelah beberapa waktu berlalu ternyata suami - suami kita berangkat 4 bulan untuk dakwah memang kebutuhan paling minimum untuk mengamalkan ayat Kuu Anfusakum Wa Ahlikum Naaraa...", kata bu Faiha.

"Iya sih bu... Dulu aku juga awal - awal gitu... tapi Mashaa Allah, umat dimana - mana sedang lalai ini, kalau da'inya malah santai - santai di rumah, apa jawaban kita waktu jumpa sahabat atau sahabiyah nanti??", timpal bu Fakihah yang memang lebih senior.

Aku pun hanya tertegun dan terdiam mendengar jawaban dari para ummahat yang baru saja kukenal. Aku yang sudah dididik oleh orangtuaku selama ini ternyata tak ada apa - apanya dibandingkan dengan para ummahat sejati di hadapanku ini. Aku masih saja berpikiran sempit dan hanya mengkhawatirkan tentang diriku dan keluargaku, sementara ibu - ibu solihah ini sudah berpikiran jauh hingga umat di ujung dunia. Alhasil aku pun semakin semangat untuk mendorong mas Fauzi berangkat dakwah selama 4 bulan di bulan Agustus 2020 ini.

"Terus biasanya gimana bu ya tinggalnya? Apa semuanya balik ke rumah orangtua??", tanyaku polos.

"Ohh iya ya... kalo mba Balqis kan masih muda jadi masih ada orangtua, kalau kita - kita sih udah biasa ditinggal gitu aja sama anak - anak di rumah... Inshaa Allah nanti Allah yang akan jaga dan penuhi keperluan kita...", jawab bu Fakihah dengan penuh semangat.

"Iya sih bu, tapi kan mba Balqis masih baru pertama kali ini mau ditinggal 4 bulan... kalau saya sih ada fikir gimana kalau kita tinggal bareng - bareng di pondok Abah Maulana? Sekalian biar bisa belajar sama ummah Fariah di sana", kata bu Farhah yang tetap terlihat cantik menawan di usianya yang memasuki umur 42 tahun.

"Boleh juga tuh... kita semua aja nih berlima nginep di sana, toh kemarin ummah Fariah juga nawarin tempat buat kita nginep...", tukas bu Faiha.

"Mmm... kalau saya sih ga masalah, toh anak - anak juga udah mandiri... tergantung mba Balqis aja... gimana mba Balqis? Biar makin asik ntar ngobrolnya...", kata bu Fakihah yang malam itu juga langsung menjadi idola di hatiku.

"Boleh juga bu...", jawabku tanpa pikir panjang karena sudah tersuasana oleh pembicaraan luar biasa ibu - ibu ummahat di hadapanku.

Singkat cerita waktu yang ditentukan pun datang. Mas Fauzi pun sangat senang saat mengetahui aku mendorongnya untuk berangkat dakwah 4 bulan tanpa adanya paksaan. Bahkan aku mengusulkan kalau ingin tinggal di pondok Abah Maulana bersama ibu - ibu lainnya.

"Ehh... beneran dek Balqis sayang mau?? Ntar betah nggak disana??", tanya mas Fauzi yang mengkhawatirkan keadaanku ke depannya.

"Inshaa Allah ngga masalah mas... udah mas Fauzi dakwahnya yang serius yaa... tolong doain Balqis juga biar bisa istiqomah dan selalu menjadi istri Solihah buat mas Fauzi sayang...", jawabku dengan mantab sambil merapikan rompi hitam yang mas Fauzi kenakan.

"Mashaa Allah... Alhamdulillah... kalau gitu mas berangkat dulu ya... jaga amalannya yah dek Balqis sayang... Inshaa Allah kita saling do'a di sepertiga malam terakhir...", jawab mas Fauzi seraya mencium mesra bibirku yang terbalut cadar hitam.

Mas Fauzi pun mengantarku hingga sampai di pondok Abah Maulana bersama mertuaku. Jarak antara rumah kami dengan pondok Abah Maulana sekitar 1 jam perjalanan. Sesampainya di lokasi pondok, aku terkejut dengan suasana yang sangat asri penuh dengan pepohonan dan sawah yang semuanya berwarna hijau. Suasana khas pedesaan dengan udara segarnya pun segera membelai diriku. Hatiku pun langsung jatuh cinta dengan pandangan pertama desa tempat pondok Abah Maulana berada. Jauh berbeda dengan suasana kota dimana kami tinggal. Hiruk pikuk kendaraan beserta orang - orang yang selalu memikirkan keduniaan selalu mewarnai setiap detik waktu yang berjalan. Tapi disini semuanya berbalik 180 derajat, ditambah lagi sambutan para santriwati yang lalu lalang mengenakan pakaian serba hitam dan bercadar semakin menguatkan suasana ukhrowi di desa itu. Para santriwan pun mengenakan gamis dan berjubah, dan yang pasti semuanya mengenakan kopyah khas Bangladesh. Memang tak salah ketika aku memutuskan untuk tinggal disini selama 4 bulan ke depan.

"Baik - baik disini yah sayang... tetap jaga amalannya... mas berangkat dulu...", ucap mas Fauzi setelah memberikan kecupan mesra di dahiku.

"Iyahh... mas Fauzi juga yaahh...", jawabku singkat sambil melepas mas Fauzi pergi menuju stasiun bersama mertuaku.

"Ehmm... Ehmm... jadi iri sama darah mudaa... ahhh... bikin semangat...", celetuk bu Fakihah yang tiba - tiba sudah berada di belakangku dengan setelan serba hitam termasuk cadarnya.

"Ehh... Ahh... bu Fakihahhh... bikin kaget aja lhoo...", jawabku yang terkejut dengan kehadiran bu Fakihah.

"Hahaha... yuk ahh masuk... belum pernah ketemu ummah Fariah kan??", tanya bu Fakihah yang langsung menggandeng tangan kananku sementara tangan kiriku masih menggenggam koper tempat semua kebutuhan ku berada.

Aku pun memasuki ruangan khusus pondok putri bersama bu Fakihah. Bangunan pondok putri begitu sederhana seperti rumah tua di bagian luarnya. Tapi begitu masuk di dalamnya, suasana kental khas pondok tahfidz Qur'an yang menenangkan hati langsung menerpa. Santriwati yang berasal dari berbagai daerah dan berbeda - beda usia tengah sibuk membaca Qur'an, ada juga yang sedang muroja'ah hafalannya. Sebagian juga ada yang mengikuti setoran akbar bersama santriwati yang lebih senior.

"Nah, ini ummah Fariah...", kata bu Fakihah yang kemudian mendudukkanku di hadapan seorang ummahat.

Sekali saja memandangnya, seluruh hatiku langsung luluh lantak. Bagi orang awam sekalipun langsung bisa menilai kalau beliau ini orang yang istimewa. Selain karena keilmuannya dan juga hafalannya, juga kesholihan yang terpancar begitu jelas tapi tetap terbalut dengan ketawadhu'an beliau sebagai istri seorang kyai di pondok itu. Setelah beberapa saat, ummah Fariah pun memandangku dan membuatku semakin terkejut. Mas Fauzi sempat bercerita kalau Abah Maulana berusia sekitar 60an tahun, bagiku umur segitu sudah termasuk tua. Tapi ummah Fariah tak terlihat tua sedikitpun. Bahkan aku bisa menebak kalau umurnya masih sekitar 35an tahun. Hampir tak tampak kerutan karena usia di wajahnya yang putih bersih kenyal dan 'glowing' itu. Celak hitam menghiasi matanya yang lentik dan jeli yang meningkatkan kecantikan alami seorang ummahat. Bibirnya terlihat pink mengkilap dengan senyuman manis yang sudah pasti meluluhkan hati setiap lelaki yang melihatnya. Postur tubuh yang ideal, tidak kurus dan juga tidak gemuk, yang menjadi idaman setiap akhwat pun ia memilikinya. Ditambah lagi kedua gunung kembarnya yang masih nampak menonjol meski sudah ditutupi jilbab jumbo dengan bahan yang tidak terlalu lemas menjadi poin lebih yang membuat ummah Fariah adalah sosok seorang istri yang sempurna idaman setiap lelaki sholih.

"Mba Balqis yaa?? Kok ngelamun aja mba...??", tegur ummah Fariah.

"Ahh... Iya ummah... hahah... ga nyangka kalau ummah secantik ini...", jawabku tersipu malu karena malah sibuk kagum dengan fisik ummah Fariah.

"Iya yah... udah lama ga jumpa tapi ummah tetep stay beauty ginih...", ujar bu Faiha yang memang sudah akrab dengan ummah Fariah.

"Iya nih... bikin kita - kita jadi insecure lhoo ummah... ahahah...", timpal bu Farhah yang juga seumuran dengan bu Fakihah.

"Ahh... Ngga lho... masa sih bu?? Kayaknya saya ngga pernah perawatan lhooh...", jawab Ummah Fariah merendah yang justru semakin menunjukkan keanggunannya.

Ummah Fariah yang lebih muda dari ibu - ibu yang lain, membuatku merasa memiliki kakak dan memang ummah Fariah lebih banyak memberikan perhatiannya padaku daripada ibu - ibu yang lain. Setelah ngobrol santai untuk saling kenal satu sama lain, kemudian aku diajak oleh Ummu Fariah untuk berkeliling area pondok sekaligus mengenalkan kondisi pondok padaku dan ibu - ibu yang lain. Ada kurang lebih 15 santriwati sementara untuk santriwannya sekitar 25 orang. Antara pondok putra dan putri terpaut jarak sekitar 70an meter dan memang pondok putri sangat tertutup. Kalaupun santriwati keluar dari lingkungan pondok putri paling hanya yang bertugas untuk khidmat (tugas belanja untuk memasak). Itupun hanya sekitar 3 - 4 santriwati saja. Untuk pondok putri sendiri memang tak terlalu luas, hanya seperti rumah biasa yang terdiri dari 5 kamar yang cukup besar. Meski sederhana tapi lingkungan yang masih sangat alami memberikan kesan yang begitu melekat.

Tak lama berselang, saat aku dan ibu - ibu yang lain tengah berjalan - jalan di sekitar sungai arah menuju pondok putra, aku pun di colek oleh bu Fakihah.

"Nah itu tuh mba Balqis, itu kyai disini... Abah Maulana yang juga suami Ummah Fariah yang super cantik ini...", kata bu Fakihah yang langsung membuat Ummah Fariah tersipu malu.

Aku pun terkejut ketika melihat sosok abah Maulana. Tak kusangka kalau beliau masih keturunan arab. Hidung mancung dengan wajah khas timur tengah serta jenggot yang lebat semakin mengesankan kalau beliau keturunan arab. Postur tubuh yang tinggi, gempal, besar menjadi ciri khas orang - orang dari daerah sana. Meski sudah berumur 60 tahun, tapi fisiknya masih tegap dan segar tak seperti orang - orang tua pada umumnya. Aura seorang ustad yang berilmu agama tinggi begitu terasa serta kesholihan yang kuat memancar jelas dari dalam diri beliau. Senyum ikhlas menghiasi wajah teduhnya yang membuatku tak sanggup untuk memandang wajahnya yang penuh nur itu. Benar - benar pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya bisa berjumpa dan bertemu langsung dengan orang yang seperti itu.

"Mashaa Allah yaa Ummah... entah kenapa saya pas lihat Abah kok kerasa gimanaa gitu... ga kuat sih sama nur beliau", kataku sesaat setelah Abah Maulana tersenyum pada kami dan berlanjut menuju pondok putra.

Ummah Fariah pun hanya tersenyum mendengar pendapatku soal Abah Maulana. Memang aku tak terlalu tahu soal kedalaman ilmu agama beliau, tapi cukuplah kesan pertama tadi membuatku merasa seperti kerikil di hadapan gunung. Hari - hari pun kami lalui dengan suasana kebersamaan meski berbeda umur. Bu Fakihah dan bu Farhah lah yang paling ribet kalau sudah mulai pembicaraan. Tapi sifat humble keduanya membuat kami pun tak merasa sumpek ketika bergaul dengan keduanya. Bu Faiha sendiri punya sifat humoris yang tiada duanya yang selalu membuat malam - malam kami menjadi berwarna. Para santriwati pondok pun cepat akrab dengan kami sehingga bisa meredam rasa rinduku pada mas Fauzi.

"Ehemm... Ehemm... yang manten baru... gimana nih kesannya?? Udah semingguan ga ketemu kekasih lhoo...", celetuk ummah Fariah yang mengenakan daster lengan panjang hitam motif bunga tulip sambil ia merapikan baju - baju anaknya.

"Ehh... Ummah... kok tiba - tiba tanya gitu sih?? Jadi keinget kann...", jawabku.

"Ahahah... yaa saya penasaran aja sama mba Balqis nih, kan pengalaman pertama ditinggal 4 bulan kan??", lanjut Ummah.

"Mmm... iya sih Umm, biasa sih Umm... kalau jujur yaa kangen sebenernya. Tapi kan harus bersabar...", jawabku sambil menghela nafas.

"Hemm... Inshaa Allah mba Balqis, setiap kesusahan yang kita alami untuk mendukung suami kita berdakwah di jalan Allah maka Allah pasti akan gantikan dengan surga - Nya. Masih ingat kisah Nabi Ibrahim dan Siti Hajar kan?? Istri beliau yang ta'at dengan kata - kata suaminya, maka Allah muliakan dengan ibadah haji sebagai pengingat mujahadah Siti Hajar...", jelas Ummah Fariah untuk menyemangatiku.

Hampir setiap malam atau kalau ada waktu - waktu senggang di luar kesibukan beliau mengajar, aku selalu menyempatkan mengobrol santai dengan Ummah Fariah. Meski sudah sering bicara - bicara santai, tetap saja rasa hormatku pada beliau tak berubah. Terkadang malah beliau, Ummah Fariah, menegurku untuk menggunakan bahasa biasa saja layaknya kakak - adik. Tapi tetap saja hal itu masih belum bisa kulakukan melihat kuatnya pancaran kesholihan dari dalam dirinya.

"Hihihih... iya sih ya bun... gimana yaahh?? Mumpung udah pada nikah mah bahas - bahas dikit gapapa kaan??", celetuk bu Farhah malam itu.

"Iya sih, mumpung Ummah ga ada... takut aja ntar kena teguran... tapi harusnya gapapa sih...", timpal bu Faiha mengiyakan.

"Apa sih bu...?? Kok Balqis ga paham yaa...??", tanyaku polos yang baru saja ikut nimbrung setelah selesai dari toilet.

Yaa seperti yang sudah kuduga sebelumnya, akhirnya meski cadar dan abaya selalu menutupi aurat kami, kami tetaplah perempuan yang juga membutuhkan kontol untuk memenuhi hasrat kami. Dan dimulailah pembicaraan tentang ranjang diantara kami berempat. Mulai dari pembahasan ringan tentang tips - tips seks agar bisa memuaskan suami tapi tetap kita para wanita juga mendapatkan kepuasan, berlanjut hingga fantasi seks kita masing - masing. Aku pun terpana dengan kata - kata vulgar yang keluar dari mulut para ummahat yang kukagumi itu. Aku tak pernah menyangka kalau ternyata sesuatu yang bagiku terasa 'tabu' begitu mudah mengalir dari bibir suci mereka yang hari - hari membicarakan pentingnya dakwah di kalangan wanita.

"Kenapa mba Balqis?? Bingung yah kok bisa gitu kita - kita ngomongin kayak ginian?? Kontol lah, memek lah, atau ngentot lah...?? Sama - sama belajar ya mba Balqis... dulu saya awal - awal nikah juga kayak gitu, tapi seiring berjalannya waktu ternyata mempelajari ilmu 'ranjang' juga penting untuk keharmonisan keluarga...", kata bu Faiha yang selalu menjaga penampilannya, bahkan ia membawa tas khusus untuk paket skin - carenya.

"Ohh gitu ya bun... afwan Balqis belom pernah sih denger istilah - istilah gitu...", jawabku dengan agak tersipu karena memang aku baru banget mendengar istilah - istilah seperti itu.

"Gapapa kok mba... coba besok deh kata - kata, afwan yaa... penis gitu diganti kontol... atau vagina diganti memek... mmmhhh... pasti suami mba Balqis langsung deh makin ganass...", lanjut bu Faiha.

"Aahahah... iya sih... apalagi kalo mba Balqis ngomongnya sambil agak ndesah gitu di telinga suami mba Balqis ntar... "Mashh... sodok memek akuhh... pake kontolh perkasah masshh... mmhh" gituhh...", timpal bu Farhah yang malah makin membuat suasana malam itu semakin 'panas'.

Aku yang mendengar pembahasan 'panas' tentang ranjang di antara para ummahat itu malah terangsang sendiri. Memekku berkedut saat aku mulai mengkhayal membayangkan kontol mas Fauzi yang panjang berurat itu kembali menusuk - nusuk cepat memekku. Tanpa kusadari posisi dudukku pun mulai gelisah. Terlebih lagi saat bu Fakihah mulai membicarakan tentang posisi - posisi seks yang paling ia suka. Untungnya pembicaraan itu tak berlangsung lama karena sudah terlalu larut malam yang kemudian ketiga ibu - ibu binal itu pun tidur. Aku pun mencoba untuk bisa tidur dengan memejamkan paksa mataku. Ahh tapi kesan dari pembicaraan yang baru saja masih terngiang - ngiang di pikiranku. Aku pun tak tahan ingin masturbasi, terlebih lagi memekku sudah becek parah bahkan hingga membasahi CD yang kupakai. Alhasil aku pun segera meninggalkan ruang tidur khusus tamu dan menuju toilet sekitar jam 23.30 malam itu.

Meski terdapat sekitar 8 toilet umum santri, tapi aku khawatir kalau aksi masturbasiku diketahui orang lain. Aku pun teringat pesan Ummah Fariah kalau ada 2 toilet lagi yang terpisah dari pondok putri dan bisa dipakai khusus tamu seandainya toilet pondok putri tidak memadai. Aku pun memutuskan untuk menuju toilet itu yang mana terletak sekitar 15 meter dari pondok putri dan sangat dekat dengan rumah Ummah Fariah. Saat kubuka pintu belakang pondok, jalanan menuju toilet dan rumah Ummah Fariah hanya disinari oleh 2 buah lampu seadanya. Tentu saja suasana sekitar yang masih pepohonan rindang membuat nyaliku sedikit turun. Tapi hasrat birahi dalam diriku memaksaku untuk tak menghiraukan keadaan.

"Ahh... bodo amat... bismillah aja... ", gumamku dalam hati.

Aku pun berlari sekencangnya menuju toilet itu dan segera masuk dan mengunci pintu toilet. Ukuran toilet yang tak terlalu luas namun cukup nyaman membuatku bisa bermasturbasi sepuasnya. Tembok toilet memang hanya berupa galvalum saja, bahkan ada bagian tembok yang sedikit pecah, tapi untungnya bagian itu tak bisa diakses oleh orang sehingga aman dari pengintip.

Abaya hitam yang kupakai pun mulai kutanggalkan. Suasana dingin khas pedesaan pun mulai membelai tubuhku yang sudah bugil dan hanya menyisakan bergo dongker yang menutupi kepalaku. Bukit kembar 38C ku pun terasa begitu kencang dan keras. Putingku pun sudah mencuat tinggi seakan ingin lepas.

"Ahh... masshh Fauziihh... kangennhh... pengen di iseph lagihh...", gumamku sambil mulai meraba - raba kedua toketku.

Bak kamar mandi yang terbuat dari cor semen pun menjadi tumpuan ku untuk melepas hasratku malam itu. Biarpun tak terlalu nyaman duduk di pinggiran bibir bak, yang penting birahiku bisa tersalurkan. Mataku merem melek sementara dari mulutku mengalir desahan lembut saat jemariku mulai menyentuh dan memilin perlahan kedua puting coklat mudaku. Kubayangkan di hadapanku kini mas Fauzi sedang berlutut bugil sambil membenamkan wajahnya di kedua gunung putih indahku.

"Ahhh... Shhh... Mass Fauziihhh... Mmhhh... Isephh... Ahhh... Enakkhh...", desahku menikmati permainan jemariku sendiri.

Suasana yang baru, outdoor, dan hanya disinari cahaya lampu remang - remang semakin membuat birahiku meluap. Aku penasaran bagaimana rasanya disetubuhi mas Fauzi di toilet ini. Semakin kubayangkan mas Fauzi yang liar menjilati setiap bagian tubuhku, semakin deras hasrat yang membakar diriku. Aku pun tak mampu menahan lagi gejolak di selakanganku. Kaki kiriku pun menyandar di tiang galvalum kamar mandi sementara kaki kananku sedikit mengangkang dan menapak di lantai. Posisi ini meng - ekspos jelas memek coklat ku yang mulus tanpa bulu.

"Ooohhhhh... Shhh... Enaknyahhh... Mmmhh... Aahh... Mmhhh... Shhh...", desahku nikmat merasakan jemariku yang menari liar menggesek - gesek bibir memekku.

Kepalaku mendongak, mulutku menganga lepas merasakan kenikmatan yang menjalar cepat sampai ke ubun - ubun. Apalagi saat jemariku mulai melesak masuk menggesek G - spot ku, serasa seluruh sendi tubuhku lemas karena hentakan kenikmatan yang luar biasa. Bayangan akan kontol mas Fauzi terus menerus membiusku.

"Ohh... Mas... Ohh... Mas Fauziihhh... Iyahh Sodok terushh... Ahhh... Balqish kangen kontol mas Fauziihh...", ucapku bercampur dengan erangan dan rintihan.

Tanganku pun semakin cepat mengobok - obok liang senggamaku. Aku pun sudah tak peduli lagi kalau nantinya ketahuan orang lain. Yang kupikirkan saat itu hanya ingin segera mencapai puncak kenikmatan yang kudambakan.

Creepp... Creepp... Creepp... decak becek lendir birahi yang mengucur deras dari memekku mulai membasahi tanganku. Meski tak senikmat kontol suamiku, mas Fauzi, tapi lumayan untuk menghilangkan syahwatku yang sudah memuncak.

"Ahhh... Ahhh... Awwhh... Masshh... Ahhh... NNGGHHHHHH...!!!", Desahanku berakhir dengan erangan kuatku menyambut datangnya klimaks.

Ceerrr... Ceeeerrrrr... Cceeerrrkkkk...

Tubuhku mengejang hebat saat memekku menyemburkan kencang cairan kenikmatan yang tertahan sedari tadi. Kugigit kuat bibir bawahku sementara mataku terpejam menikmati setiap detik klimaks yang kualami malam itu. Tubuhku tersentak - sentak beberapa saat sebelum kemudian rasa lemas menyerang setiap sendi tubuhku. Capek, tapi puas... itulah yang kurasakan malam itu. Awalnya aku berniat untuk sebisa mungkin selama 4 bulan akan bertahan dari masturbasi, tapi baru seminggu saja sudah seperti ini.

Sekitar jam 23.45an aku pun kembali mengenakan pakaianku tanpa mengenakan dalaman. Bergo instan dongker kembali menghiasi kepalaku dan menutupi rambutku yang cukup panjang hingga se - punggung. Karena suasana yang dingin malam itu, aku pun menunda mandi junubku karena sunnah untuk mandi di sepertiga malam terakhir. Sesaat setelah syahwat dalam tubuhku mereda, kembali rasa takut akan suasana yang gelap di sekitar toilet mulai mendatangiku. Aku pun bersiap berlari setelah membuka pintu toilet, tapi entah kenapa pandanganku justru tertuju ke rumah Abah Maulana yang masih menyala terang dari balik pintu samping yang sedikit terbuka. Seingatku tadi tak ada sedikitpun cahaya yang tampak dari rumah beliau saat aku datang ke toilet untuk masturbasi. Rasa penasaranku semakin kuat setelah mendengar sayup - sayup suara erangan dan desahan yang terdengar dari balik pintu itu.

"Sst... Jangan... Haram liat isi dalam rumah orang lain tanpa izin...", gumamku dalam hati.

Tapi memang sudah kerjaan setan untuk menghasut anak turun nabi Adam. Meski hati menolak, tapi entah kenapa kakiku begitu mudahnya melangkah mendekat ke arah rumah abah Maulana meski gelap yang begitu pekat di sekitarku. Jarak antara toilet luar dan rumah abah Maulana hanya sekitar 10 meteran saja. Semakin ku mendekat, semakin jelas suara desahan yang datang dari dalam sana. Mataku pun terbelalak saat melihat ke celah pintu samping rumah abah Maulana dan disuguhi pemandangan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Benar - benar sesuatu yang menghantam dan menghancurkan pandanganku selama ini pada kedua orang yang begitu kumuliakan.

"Aaahhmm... Mmhh... Abaahhh... Mmmchh... Mmcchhh...", desah Ummah Fariah yang tengah berpagutan liar dengan Abah Maulana.

"Aahh... Ahhh... Terusshh Abahh... Ohhh... Ohhh... Sshhh... Gede banget Abaahh...", rintih seorang akhwat lain yang ternyata adalah ustadzah Ghadah.

Entah apa yang sedang terjadi dihadapanku malam itu. Ustadzah Ghadah tampak sedang doggy sementara kontol besar Abah Maulana menyodoknya dari belakang. Ummah Fariah sendiri begitu bernafsu melumat bibir Abah Maulana yang begitu mantab menggempur bokong putih mulus ustadzah Ghadah dengan posisi berlutut. Yang semakin membuatku tak habis pikir adalah ketiganya ngentot di mushola rumah Abah Maulana. Terlebih lagi Ummah Fariah dan ustadzah Ghadah hanya mengenakan atasan mukena sementara bagian bawah tubuh mereka yang aduhai putih dan mulus itupun terekspos sempurna tanpa cela.

Aku tau kalau ustadzah Ghadah adalah salah satu santriwati senior di pondok Abah Maulana dan berumur hampir sama denganku sekitar 22 tahun. Ustadzah Ghadah selain sudah hafal 30 juz juga merupakan wanita yang begitu sholihah dan selalu menjaga pandangannya. Meski ia berstatus yatim - piatu, tapi tak membuatnya patah semangat untuk berprestasi dalam menjadi huffaz Qur'an. Kini sebagai syarat kelulusan dari pondok, memang diwajibkan bagi santriwan dan santriwati untuk berkhidmat di pondok sekitar 2 tahun agar terbentuk adab - adab dalam dirinya, tapi tak kusangka khidmat yang dimaksud adalah melayani sang Abah dengan kesucian tubuhnya.

"Apa - apaan nih!? Itu dosa!! DOSAA BESAARR!! NA'UDZUBILLAH MIN DZALIKKK...!!!", ucapku dalam hati yang geram melihat tingkah seorang kyai pondok yang tak sepatutnya dilakukan.

Tapi meski hati kecilku berteriak seperti itu, ntah kenapa selakanganku malah bereaksi sebaliknya. Bisa kurasakan dengan jelas lelehan lendir syahwat mulai membasahi paha mulusku. Desahan tertahan pun mulai mengalir lembut dari mulutku yang berusaha menahan diri. Mataku pun tak bisa berkedip sedikitpun, apalagi kini aku dibuat menahan nafas saat melihat Ummah Fariah melahap kontol Abah Maulana yang begitu besar dan panjang.

"Aaaahhhh... Ssshhhh... Mmmmhhh... Glekk... Glekk...", desahku tertahan sambil menelan ludah ketika menatap Ummah Fariah yang begitu lahap menikmati terong raksasa itu menyumpal mulutnya.

18 cm dan mungkin diameter sekitar 4 cm, berwarna pink kecoklatan, berurat, dan dihiasi bulu yang begitu lebat. Tenggorokanku pun serasa begitu kering dan berharap kontol Abah Maulana yang kini menyumpal tenggorokan Ummah Fariah berpindah di mulutku. Pikiranku berkecamuk antara mengutuk perbuatan Abah Maulana ataukah mengiyakan setiap detil kenikmatan yang dipertunjukkan oleh ketiga manusia itu. Badanku pun bergidik kencang saat menyaksikan ustadzah Ghadah melenguh keras dan panjang sambil menyemburkan deras orgasmenya hingga membasahi wajah cantik Ummah Fariah yang sudah bersiap melahap selakangan santriwatinya itu. Posisi Ustadzah Ghadah yang kini terlentang di karpet mushola dengan kedua kakinya mengangkang ditekuk hingga menyentuh perutnya memudahkan ibu angkatnya, Ummah Fariah untuk menikmati sajian lezat minuman pelepas dahaga yang disediakan sang ustadzah. Saat Ummah Fariah yang sedang membenamkan wajahnya di selakangan Ustadzah Ghadah dengan posisi doggy, abah Maulana yang keturunan arab dan terkenal dengan libido mereka yang begitu besar, langsung mengambil posisi di hadapan bokong bulat Ummah Fariah. Blesh... kontol besar panjang itu melesak masuk dengan mudahnya tanpa hambatan. Tak tampak kelelahan dalam diri abah Maulana padahal ia baru saja meluluhlantakkan seorang akhwat yang jauh lebih muda hingga menggelepar lemas. Usia 60 tahun sepertinya bukan penghalang untuknya menyalurkan nafsu syahwatnya ke muslimah muda di rumahnya malam itu. Bahkan seorang ummah Fariah yang sudah menjadi istri sah beliau pun tak mampu bertahan dengan dahsyatnya libido sang suami yang akhirnya juga tumbang setelah sekitar 20an menit bertahan. Cairan sperma kental pun memancar kencang di kedua wajah putih cantik ustadzah Ghadah dan Ummah Fariah yang duduk bersimpuh dan mendongakkan wajahnya menanti facial gratis dari sang kyai.

Aku sendiri yang menyaksikan kejadian itu pun sempat klimaks saat menyaksikan Ummah Fariah melepaskan orgasmenya dengan deras. Tangan kananku begitu sibuk bergerilya dan mengobok - obok selakanganku sendiri sembari berfantasi kalau aku ikut bersama ustadzah Ghadah dan Ummah Fariah menikmati kontol Abah Maulana di mushola malam itu. Melihat ketiganya sudah selesai beraksi, aku pun buru - buru kembali menuju kamar tamu di pondok putri. Seluruh pikiranku penuh dengan banyak pertanyaan akan kejadian yang baru saja kulihat. Ingin rasanya aku berteriak, tapi disisi lain aku pun bersalah karena juga menikmati apa yang terjadi saat itu dan hanya bisa terdiam tak mencegahnya. Meski sudah kurebahkan diriku, tapi tetap saja sulit buatku untuk tidur setelah melihat adegan barusan.

"Itu kan statusnya masih Santriwatinyaa... kok Abah tega?! Padahal itu dosaa!! Ehh, tapi kayaknya asik jugaa... uhh... kontol Abah gedeenyaa... Ssshh!! Setan!! Otak gak beres!! Jelas - jelas kemungkaran kenapa kamu malah enjoy!? Ahh... gimana!?? Kan aku juga pengen kontol... normal kan kalo perempuan doyan kontol???", pikirku yang terus - menerus dibuat pusing antara haruskah ku biarkan ataukah ku luruskan perkara itu.

"Mba... Mba Balqis...?? Bangun mbaa... udah jam 5 lhoo...", ucap bu Faiha yang terdengar sayup - sayup karena rasa kantuk yang masih amat sangat.

"Ohh... Emm... Iyahh bunn...", jawabku sambil membenahi posisi tidurku dan berupaya untuk tidur lagi.

"Eeehhh... kok malah bobo lagii?? Udah siang ini mbaa... ga malu sama santriwati yang lain kahh??", kata bu Faiha dengan nada agak tinggi sambil menggoyangkan tubuhku lebih kuat.

Terpaksa aku pun harus bangun karena memang aku sudah terlambat sekali dari waktu sholat subuh. Samar - samar kulihat jam dan mencoba mengingat jam berapa semalam tadi aku terlelap tidur. Ahh sekitar jam 1.30an mungkin gumamku dalam hati. Hari itu pun kulalui seperti biasanya meski tiap kali aku berjumpa dengan Ummah Fariah dan Ustadzah Ghadah, ada perubahan dalam sikapku. Aku pun mulai sedikit cuek dan tak terlalu peduli dengan kehadiran mereka. Yang biasanya aku humble dan sering mengumbar tawa, kali ini lebih ke menahan pembicaraan. Entah kenapa ada rasa yang mengganjal dalam hatiku kalau ingin berbicara lebih dengan keduanya.

Meski begitu, hasrat akan kontol lelaki sudah merasukiku semenjak pembicaraan tentang 'ranjang' di antara ibu - ibu malam lalu. Bahkan pertunjukan 'panas' abah Maulana yang tak sengaja ikut 'kunikmati' pun semakin kuat mendorong gejolak birahi yang sudah tertidur hampir 2 mingguan ini. Malam - malam berikutnya pun, setiap jam 23.30an aku selalu bangun dan sengaja menuju rumah Abah Maulana. Memang benar kata hadits Rasulullah kalau umat akhir zaman kondisi imannya kalau pagi dia beriman, kalau malam dia kafir, begitupun sebaliknya, kalau malamnya beriman maka paginya kafir. Dan itulah yang terjadi dalam diriku. Panjangnya abaya dan jilbabku, serta istiqomahnya aku bercadar pun tak mampu menutupi keaslian diriku yang haus akan hantaman kontol lelaki di pintu rahimku. Ditambah rasa rindu akan kenikmatan yang biasa diberikan mas Fauzi selepas kami menikah menambah kuatnya seruan setan yang menjadi pengawalku tiap malam untuk menghalalkan apa yang tiap malam kulakukan.

Namun tak setiap malam kujumpai Abah Maulana ngentot dengan Ummah Fariah ataupun Ustadzah Ghadah. Kalau malam itu tak kujumpai, maka tangan pun menjadi pelampiasan hasrat seksualku dan toilet luar pondok kembali menjadi saksi liarnya diriku saat birahi menerpa.

"Aawhh... Ahh... Ahhh... Sshh... Abaaahh... Awwhh... Iyaahh... Fariah anjingnya Abaahh... nikmati Fariah sepuas Abaahh...", racau Ummah Fariah yang merem melek keenakan digenjot Abah Maulana dengan posisi digendong.

Tubuh putih mulus Ummah Fariah yang tergolong tinggi, 163 cm, tetap terlihat kecil di dalam dekapan Abah Maulana yang begitu tinggi besar. Bisa kulihat dengan jelas kontol 18 cm Abah Maulana begitu gagah melesak masuk di memek sempit Ummah Fariah. Malam itu Ummah Fariah tampil cantik dengan rias sederhana dan hanya mengenakan jilbab segi empat jumbo dan cadar tali warna putih. Aku pun mulai berpikir apakah kalau ngentot bagi seorang wanita tetap harus mengenakan jilbabnya. Lebih dari 2x Ummah Fariah klimaks dan membasahi karpet mushola dengan cairan orgasmenya. Tubuhku pun terasa panas karena ledakan syahwat yang mulai membakar diriku. Bagian selangkanganku pun terasa sangat gatal dan sangat becek yang memanggil tangan kananku untuk segera beraksi di bawah sana.

"Mmmhh... Sshh... Aahhh... Ahhh... Mmhh... Aawwhh... Mauuhh...", desahku perlahan tertahan agar tak diketahui oleh Abah Maulana.

PLAK! PLAK! PLAKK!! Suara hantaman pinggul Abah Maulana begitu jelas di telingaku yang terdengar bak harmoni. Ummah Fariah pun terpaksa mendongak dengan posisi doggy karena jilbabnya ditarik kuat oleh Abah Maulana yang menggempur bokong putihnya dari belakang hingga kemerahan. Kedua gunung kembar Ummah Fariah yang seperti pepaya itu pun terlihat berayun anggun mengikuti irama sodokan Abah Maulana yang begitu kuat dan mantab.

"Aahh... Ahhh...!! Abaaahh!! Fariahahh... Ahhh... Anjing inihh mau keluarhh...!! Ahh... Enak Abahh... Ahh... Ahhh... Aaaahhhhh...!!!", erang Ummah Fariah menikmati liang peranakannya di sesaki kontol besar perkasa Abah Maulana.

Plop... Ceeerrrrrrr...

Derasnya cairan orgasme Ummah Fariah membanjiri karpet mushola yang berwarna putih bersih. Seluruh tubuhnya mengejang hebat sementara kedua tangan Ummah Fariah meremas kuat karpet mushola. Dan persenggamaan keduanya pun berakhir dengan Abah Maulana duduk di bantal besar sementara Ummah Fariah terus mengenyot kontol Abah Maulana dengan bersimpuh di selakangan Abah Maulana.

"Aaarrghhhh...!!", geram Abah Maulana menggelontorkan sperma kentalnya membanjiri mulut suci Ummah Fariah yang kesehariannya untuk melantunkan ayat - ayat Al Qur'an itu.

Nafasku pun tersengal - sengal setelah 30 menit menyaksikan keperkasaan Abah Maulana menggagahi Ummah Fariah, seorang Hafidzah 30 juz yang selalu menjaga marwahnya di hadapan orang lain. Saat aku sadar, posisiku tengah membungkuk berlutut sementara abaya kremku dari mulai paha ke bawah basah kuyup oleh cairan orgasmeku. Rasa letih pun meliputi diriku seusai aku beranjak meninggalkan pintu samping rumah Abah Maulana malam itu.

"Mmm... Ummah, Penting banget yah kalau seorang istri itu... afwan... puasin suami waktu jima'...??", tanyaku sambil tertunduk malu membuka pembicaraan ba'da maghrib beberapa hari berikutnya.

"Kenapa mba Balqis malu - malu tanya kayak gitu? Ahahah... saya udah nebak kok suatu saat mba Balqis pasti bakal tanya tentang itu...", jawab Ummah Fariah dengan senyum manis cantiknya.

"Kok bisa tau Ummah...?? Kayaknya Balqis ga pernah ngomong ke siapa - siapa lhoo...", jawabku yang sedang membantu Ummah Fariah merapikan ruang utama pondok putri sementara ibu - ibu yang lain sibuk mempersiapkan makan malam dengan para santriwati.

"Hihihih... Iya dong mba... kan saya udah lama tinggal disini, dan sering banget ibu - ibu ummahat kalo pas ditinggal dakwah suaminya tuh pada ngobrolin tentang jima'... terlebih lagi saya juga tau kok kalau mba Balqis sering masturbasi sambil liatin saya sama Abah jima' kaan...??", jawab Ummah Fariah dengan tenangnya.

Bak disambar petir, seluruh badanku langsung mengucur deras keringat dingin. Panik... itulah yang kurasakan malam itu. Tak kusangka ternyata kegiatan dosaku yang kurasa aman karena gelapnya malam bisa diketahui oleh seorang Nyai. Takut, panik, malu, semua perasaan bersalah itu bercampur padu dalam diriku. Mulutku serasa terkunci rapat, ingin sekali aku menangis sejadi - jadinya karena teringat akan dosaku yang bahkan diketahui oleh Ummah Fariah.

"Pukk... Pukk... Udah... Gapapa kok mba Balqis... Normal... bukan salah mba Balqis kayak gitu... semua ibu - ibu yang ditinggal suaminya akan merasa seperti itu... dan memang kok saya sama Abah sengaja ngga ngunci pintu...", lanjut Ummah Fariah sambil tertawa kecil tanpa beban seraya menepuk perlahan pundakku.

"Ehh ya... mba Balqis bisa jaga rahasia ngga? Kalau iya... nanti saya kasih sesuatu yang pasti bikin mba Balqis bahagia dehh... tapi kalo ngga, yaa afwan ntar aib mba Balqis bisa jadi bahan pembicaraan di kalangan ibu - ibu se - Jogja...", timpal Ummah Fariah yang kini duduk santai sambil sandaran di tembok ruang utama.

"Ahh... Duhh... Afwan Ummah... Balqis ga ada maksud buat nonton Ummah sama Abah... cumaa... Afwann...", jawabku tak sanggup melanjutkan kata - kataku dan hanya bisa menunduk.

"Udaahh... ga masalah kok mba Balqis... itu aja, bisa ngga mba Balqis jaga rahasia??", tanya Ummah Fariah sambil mengedipkan mata sebelah kanannya.

"Emm... inshaaAllah bisa Ummah... kenapa yaa...??", tanyaku agak kebingungan.

"Wallahi ya mba?? Jadi... emang itu fantasi nya Abah dari dulu... beliau paling seneng kalau pas lagi jima' gitu di tempat terbuka, terus kitanya pake paling ngga jilbab atau mukena gitu, terus bawahnya telanjang... hihihih... apalagi kalau di tonton orang lain, beliau makin senang dan semangat...", jawab Ummah Fariah yang tanpa beban menceritakan rahasia ranjangnya.

Aku pun hanya terbengong mendengar penuturan jujur dari sang Nyai. Tak kusangka beliau akan mengungkapkan secara blak - blakan apa yang selama ini beliau tutup rapat - rapat. Entah karena percaya atau karena hal lain. Bahkan ia juga cerita kalau Abah juga pernah memintanya untuk muroja'ah hafalan dengan hanya mengenakan jilbab dan cadar sambil Abah mensetubuhinya.

"Seriusan Ummah...?? Bukannya itu...", kataku.

"Dosa?? Kalau dipandang Cuma dari segi syari'at umum memang gitu... Cuma kan kembali lagi, dimana sih letak surga kita mba?? Ridho suami kan? Dan juga tanggung jawab kita sebagai seorang istri, apalagi yang diberi kefahaman agama, untuk lebih sempurna lagi dalam pelayanan pada suami...", lanjut Ummah Fariah berterus terang.

Memang selama ini hal yang kupelajari adalah bagaimana kita membentuk keluarga yang sakinah mawadah rahmah tapi tanpa melanggar aturan agama sedikitpun. Pola pikirku pun mulai berubah setelah mudzakarah dengan Ummah Fariah maghrib itu hingga menjelang isya.

"Waktu sama Ustadzah Ghadah juga liat yah mba?? Coba masih inget ngga gimana ekspresi ustadzah Ghadah waktu itu... atau detil kejadiannya...??", tanya Ummah Fariah.

Antara Ummah Fariah dan Ustadzah Ghadah mendapatkan gilirannya masing - masing, dan di hari ketiga dari seminggu mereka akan ber - threesome ria (istilah ini kudapat setelah membaca karya Widasu). Suatu malam, kudapati suara yang muncul dari balik pintu adalah suara ustadzah Ghadah. Terlihat lebih seperti seorang kakek tengah asik menikmati tubuh cucunya. Berbeda dengan Ummah Fariah, kalau dengan Ustadzah Ghadah malam itu, Abah Maulana lebih pasif dan membiarkan Ustadzah Ghadah melepas fantasi terliarnya.

"AHHH... AHHH... SSHHH... ENAK BANGETH ABAAHH... KONTOLHH... MMHHH... SSHH... OHHH...", racau Ustadzah Ghadah yang begitu lepas tak peduli akan suasana disekitarnya.

Tubuh kencang langsing Ustadzah Ghadah yang berkulit kuning langsat dihiasi toket 38C itu pun menari indah seirama dengan pinggulnya yang maju mundur cepat menjepit kuat kontol sang kyai di liang kenikmatan miliknya. Biarpun tak sebesar milik Ummah Fariah yang berukuran 38E, tapi terlihat serasi dengan bentuk tubuhnya yang seksi. Jujur saja, Ustadzah Ghadah jauh lebih binal daripada Ummah Fariah, mungkin karena umurnya yang jauh lebih muda daripada Ummah Fariah. Pakaian yang ia kenakan pun membuatku geleng - geleng kepala. Fishnet body lingerie warna hitam menghiasi tubuhnya dengan handsock dan kaos kaki overknee yang senada semakin menambah ke - eksotisan santriwati senior itu. Jilbab instan non - pet mini warna hitam dan cadar yaman long hitam menutupi wajah putih cantiknya. Perpaduan syar'i dan seksi justru membuat suasana yang ada semakin menggugah libido setiap ikhwan sholeh yang melihatnya.

Posisi favorit setiap wanita, WOT menjadi andalan Ustadzah Ghadah malam itu. Beberapa kali ia mengibaskan kepalanya menampakkan keanggunan cadar yaman long yang elok dan kontras dengan warna kulitnya yang indah. Abah Maulana pun hanya terlentang santai menikmati pelayanan liar sang santriwati. Namun tetap saja, kedua tangan Abah Maulana tak bisa tinggal diam ketika dihadapkan dengan puting ranum kecoklatan Ustadzah Ghadah dan langsung ia pilih - pilih perlahan. Sontak hal ini membuat Ustadzah Ghadah semakin blingsatan dan meningkatkan tempo goyangan pinggulnya dengan tubuhnya yang sedikit condong ke belakang dan disangga oleh kedua tangannya.

"AWWHH... AWHHH... SHH... AHH... ABAHH NAKALHHH... AHH... OHH... AHH... ENAK ABAHH... AHH... AUNNGHHHH...!!!", desah ustadzah Ghadah yang diakhiri dengan lenguhan panjangnya menyambut datangnya klimaks.

SERRRR... SEEERRR...

Ustadzah Ghadah segera mengangkat tinggi pinggulnya yang membuat kontol Abah Maulana terlepas. Segera memek coklat ustadzah Ghadah memompa deras cairan orgasmenya yang membuat Abah Maulana cekikikan. Tubuh sang hafidzah 30 juz itu mengejang kuat selama beberapa saat sebelum kemudian ia melanjutkan kembali goyangannya.

Bleshh... kontol panjang Abah Maulana kembali tenggelam ke memek sempit muslimah umur 22 tahun itu. Kali ini kedua tangan ustadzah Ghadah bertumpu di dada Abah Maulana dan dengan posisi jongkok ia mulai menggerakkan pinggulnya naik turun. PLOK! PLOK! PLOK! Sebuah harmoni yang begitu membakar syahwat berpadu apik dengan erotisnya cadar syar'i yang menutupi wajah sang hafidzah. Aku hanya mampu mendesah tertahan melihat bokong bulat Ustadzah Ghadah yang mulus tanpa cela seperti ditusuk benda besar di sela - selanya. Begitu jelas memeknya merekah lebar karena ukuran kontol lelaki arab yang memuaskan dahaga selakangan setiap wanita yang mencicipinya. Gerakan itu sudah tentu melesakkan kontol Abah Maulana deras menggempur pintu rahim ustadzah Ghadah. Jeritan kecil terdengar dari balik cadar hitam yang menutupi mulut suci hafidzah 30 juz itu. Deraan kenikmatan yang meluap membuatnya lupa akan besarnya dosa yang ia tengah nikmati. Tak lama, hanya sekitar 2 menitan saja ustadzah Ghadah mampu bertahan sebelum ia kembali membanjiri perut buncit Abah Maulana dengan cairan kenikmatannya.

Bukan Abah Maulana namanya kalau ia akan mudah muncrat hanya dari goyangan santriwatinya, bahkan seorang Ummah Fariah pun hanya bisa tunduk pasrah menjadi lubang kenikmatan pemuas nafsu Abah. Tentu saja 20 menit ke depan Ustadzah Ghadah hanya bisa pasrah merasakan sodokan kontol keras perkasa Abah Maulana di selakangan putihnya yang kini mulai kemerahan. Bahkan tampak mata Ustadzah Ghadah yang mulai nanar karena letih bercampur nikmat yang terus - menerus ia rasakan. Kedua tangan Ustadzah Ghadah harus berpegangan pada sesuatu agar tubuhnya tidak terlalu bergoncang menahan dahsyatnya gempuran lelaki umur 60 tahun keturunan arab itu. Mataku kembali dimanjakan dengan gagahnya kontol Abah Maulana melesak cepat dan memekarkan memek Ustadzah Ghadah dimana ustadzah Ghadah terlentang dengan kedua kakinya ditekuk dan dibuka lebar hingga lututnya hampir menyentuh perut sementara Abah Maulana yang ada di atas Ustadzah Ghadah menahan kedua kaki putih mulus Ustadzah Ghadah dengan kedua lengannya.

SPLOK! SPLOK! SPLOK!

"AAGHH... AGHH... ABAHH... OHHH... MENTOK... MMHHH... ENAK ABAHH... AHHH... GHADAH MAU KELUARRHH... AHH... OWHH... MMHH... AAANNGHHHHH...!!!", erang ustadzah Ghadah yang tak lagi mampu menahan orgasme ke - 10 nya malam itu.

Abah Maulana pun mencapai klimaksnya di saat yang sama dan dengan cepat mencabut kontolnya kemudian mengangkangi wajah ustadzah Ghadah yang tengah mengejang menyemburkan deras cairan orgasmenya.

"AAARRGGHH... NIH KESUKAAANMUHH!!", geram Abah Maulana seraya membanjiri wajah Ustadzah Ghadah yang tertutup cadar dengan cairan kental putih hangat.

"Ahh... iyah Ummah... emmhh... ekspresi Ustadzah Ghadah...?? Keenakan gituhh...", jawabku malu - malu.

"Coba dipikir... kan Ustadzah Ghadah berilmu banyak iya kan?? Masa iya dia mau ngelakuin kayak gitu kalo Cuma pengen enak?? Pasti ada yang lain sampe - sampe Ustadzah Ghadah se - liar itu kan?? Hihihih...", jawab Ummah Fariah mencoba mengubah mindset ku.

"Tapi... Ummah... Oke deh... Cuma Balqis juga pernah liat waktu sabtu malem ituuhh... Ummah sama Ustadzah Ghadah maen bertiga sama Abahh...", ucapku.

"Oohh... iyaa... he'emh... emang tiap sabtu malam Abah pasti pengen maen bertiga... soalnya pasti Abah minum obat, jadinya kalo cuma Ummah sendirian... waahh... ga puas dong Abah...", jawab Ummah Fariah ringan tapi tetap anggun.

"ii... iya sih Ummah... tapi bukan ituhh... Balqis penasaran... kan itu mainnya juga dimasukin ke lubang dubur Ummah... kan dosa Ummah... lagian apa ngga sakit Ummah...??", jawabku mencoba membela diri.

"Ohhh... Anal yaah...?? Kalo sakit sih dulu waktu awal ajah... sama kayak waktu diperawanin gitu mba... abis itu... sisanya enaaaakk terushh... hihihih... balik lagi ke tujuan awal kita mba Balqis... buat siapa sih?? Kan buat nyari surga, sementara surga kita para istri Sholihah ada di ridho suami... Nah makanya kita harus lakuin apa aja asal suami Ridho... udah deh, jaminan banget ntar masuk surganya...", jawab Ummah Fariah dengan penuh keyakinan.

Iya memang seperti itu kejadiannya. Setiap sabtu malam pasti adegan threesome menjadi menu wajib malam minggu Abah Maulana. Dan malam itu seperti biasa Ummah Fariah dan Ustadzah Ghadah berpakaian hanya cadar dan jilbab saja. Jilbab instan non pet dan cadar tali warna pink peach pun menyelimuti cantik Ummah Fariah dan Ustadzah Ghadah sementara yang menutupi bagian bawah tubuh mulus tanpa cela mereka hanyalah kaos kaki overknee putih yang membalut kedua kaki jenjang keduanya. Saat aku tiba dilokasi, Abah Maulana sedang asik menyodok memek Ustadzah Ghadah yang terlentang di meja ngaji beliau dengan kedua kaki Ustadzah Ghadah mengangkang lebar dan menjadi tumpuan tangan Abah Maulana. Setiap sodokan pinggul Abah Maulana begitu deras dan mantab membuat mata Ustadzah Ghadah mendelik ke atas karena kenikmatan yang amat sangat. Desahan dan erangan keras pun terdengar jelas dari mulut sucinya yang tertutup cadar. Gunung kembar berputing kecoklatan Ustadzah Ghadah berayun - ayun karena goncangan persetubuhan keduanya. Ummah Fariah sendiri tengah asik memeluk Abah Maulana dari belakang hingga toket jumbo 38E miliknya tergencet di punggung Abah Maulana dan tampak seakan hendak pecah. Jemari lentik kiri Ummah Fariah begitu lihai membelai dan meremas zakar Abah Maulana yang membuat Abah Maulana mendesis nikmat merasakan double attack.

"Ahh... Ahhh... Cuhh... Memek edan punya Ghadah lacur yaa... Behh... bikin Abah keenakan... Mmhh... Nghh... Nghhn... Sinih kamu anjing syar'i... bersihin nih...", ucap Abah Maulana yang sedang asik menggenjot memek Ustadzah Ghadah yang kemudian mencabut kontolnya.

Melihat kontol Abah Maulana yang mengkilat oleh lendir memek justru membuat Ummah Fariah semakin dahaga dan dengan liarnya ia melahap habis kontol 18 cm itu. Kepala Ummah Fariah maju mundur cepat dibarengi dengan lidahnya yang lihai menyapu setiap bagian batang berurat Abah Maulana. Aku pun tak kuasa menahan syahwatku dan segera duduk di kursi yang sudah kusiapkam sebelumnya. Jarak antara pintu samping dengan mushola hanya sekitar 7 meter saja, Cuma karena ruangan mushola jauh lebih terang daripada diluar sehingga posisi dudukku yang kini tengah mengangkang dengan kedua kakiku ku sandarkan di handrest kursi tak begitu tampak. Aku yang sudah sangat terangsang segera melesakkan jemariku ke liang kenikmatanku sendiri. Saat aku mencoba kembali melihat ke arah musholla, mataku pun dikejutkan saat kontol Abah Maulana diarahkan ke anus Ustadzah Ghadah. Dan parahnya lagi, justru Ustadzah Ghadah menawarkan liang anusnya dan merengek - rengek seperti halnya pelacur.

"Ahhh... sini Abahh... Masukin kesinih... ke bokong Ghadah yang lacur inihh... Ahh... kontol Abah perkasa banget sihh... Ayukk Bahh... Udah ga tahan pengen di anal sama Abahh yang kasarrrhh...", rengek Ustadzah Ghadah dengan kedua tangannya menarik bokongnya sehingga anusnya sedikit terbuka.

Ummah Fariah pun membantu dengan meludahi anus Ustadzah Ghadah dan Sleebb... Blesshh... liang sempit itu meregang disesaki kontol keras Abah Maulana. Lenguhan panjang melepas nikmat keluar lembut dari mulut Ustadzah Ghadah yang sepertinya memang sudah menantikan anusnya di sesaki kontol Abah.

"AGHH... AGHH... ABAHH... AGHH... ENAKKHH... AGHH... ENAKNYAHH...", desah dan racau Ustadzah Ghadah yang merem melek menikmati sodokan kencang Abah Maulana di anusnya.

Aku pun tak habis pikir, bagaimana bisa seorang ustadzah yang hafal Qur'an tak merasa bersalah dengan yang ia lakukan saat ini. Tak hanya menikmati zina, bahkan malam itu ia mempersembahkan anusnya untuk dinikmati oleh sang Kyai yang jelas - jelas itu melanggar kaidah agama. Namun pikiranku yang sudah terlanjur dipenuhi virus syahwat tak lagi mengindahkan bisikan malaikat yang berusaha mempertahankan imanku. Apalagi melihat Ustadzah Ghadah yang kini mengerang dan mengejang hebat saat merasakan klimaks karena anal - seks.

"AGHH... AMPUNNHH ABAHH... ENAK BANGETHH... AGHH... OHH... SHHH... AAANNGHHHH...!!", pekik Ustadzah Ghadah menyerah akan keperkasaan sang Kyai.

SSSEEEERRRRRR... SEEERRR....

Tubuh mulus kuning langsat Ustadzah Ghadah melengkung ke atas sementara memeknya tak henti - hentinya memompa habis seluruh cairan orgasmenya membanjiri lantai musholla. Ummah Fariah yang paham kalau Abah tak mungkin puas hanya dengan itu segera melahap kembali kontol Abah yang masih mengkilap itu.

"Ahhh... Kayaknya enak... Mmmhh... Pengen punya mas Fauzihh...", batinku membayangkan kontol mas Fauzi di mulutku.

Meski aku tak pernah melakukan oral - seks sebelumnya, tapi ekspresi Ummah Fariah sudah cukup bagiku untuk tau kelezatan kontol sesungguhnya. Ummah Fariah kini segera mengambil posisi doggy di atas Ustadzah Ghadah yang masih kelelahan setelah 15an menit menahan gempuran Abah Maulana di anusnya. Tanpa berlama - lama, bokong bulat putih bersih Ummah Fariah yang dihiasi anus dan memek coklat tua menjadi sasaran berikutnya.

"OUNGHHHH... AAAHH... MMHH... AHHH... ABAHH... AHHH... TERUSHH... AHHH... ALLAHH... KONTOL ABAH GEDEH... AHH... ENAK BAHH... ABAHH... YANG KENCENGHH...", racau Ummah Fariah yang kini merasakan liang bo'olnya melar maksimal disumpal kontol berurat Abah Maulana.

Aku yang melihat adegan itu sudah tak lagi bisa berpikir jernih. Desahan, erangan, racauan yang kudengar jelas bersatu padu membakar syahwat dalam diriku. Alhasil, banjir bandang tak terhindarkan mengalir deras dari memekku. Bisa kurasakan jemariku begitu becek oleh lendir khas memek Akhwat. Aku pun sudah tak peduli lagi berapa kali aku orgasme malam itu. Kontol Abah Maulana tampak begitu gagah dan merajai semua liang kenikmatan Ummah Fariah dan Ustadzah Ghadah. Layaknya pesta seks, Abah Maulana sesuka hatinya melesakkan kontolnya baik di memek atau pun anus Ustadzah Ghadah dan Ummah Fariah. Bahkan mulut suci kedua muslimah itu ia gunakan sebagai pembersih kontolnya sebelum kembali melesak ke anus siapapun diantara keduanya yang ia mau.

"AHH... AHH... ABAAHHH... ABAAHH... OUUNGGGGHHHHH...!!!", Lenguh panjang Ummah Fariah melepas orgasmenya yang sudah lebih dari 10 kali.

SERRRR... SSSEEEERRRRRR...

Sodokan Abah Maulana tetap kencang dan intens meskipun Ummah Fariah tengah orgasme yang membuat semburan cairan orgasmenya menyebar membasahi seluruh ruangan. Posisi Reverse Cow - Girl dimana Ummah Fariah berjongkok mengangkang di atas pinggul Abah Maulana dengan tubuhnya agak condong ke belakang dan di topang oleh kedua tangannya, sementara Abah Maulana yang terlentang di bawah Ummah Fariah begitu bebas menyodok cepat anus Ummah Fariah karena sudah hampir mencapai batasnya.

PLOK! PLOK! PLOK! PLOK! PLOK!

Aku bisa melihat dengan jelas anus Ummah Fariah yang merekah lebar disodok cepat oleh batang perkasa Abah Maulana. Toket jumbo Ummah Fariah berayun cepat menambah keerotisan suasana di musholla Abah malam itu. Bokong dan paha Ummah Fariah pun mulai tampak kemerahan karena terus menerus menahan hantaman pinggul dan paha Abah Maulana. Dan benar saja, beberapa saat kemudian Abah Maulana mengerang dan memuntahkan seluruh benih nya di anus Ummah Fariah. Dan tak berhenti disitu, Ustadzah Ghadah dengan sigap segera terlentang sesaat setelah Abah Maulana mencabut kontolnya. Ia menyibakkan cadarnya dan benar saja, Ummah Fariah yang masih jongkok mulai menggelontorkan lendir kental putih bercampur lendir anusnya ke mulut Ustadzah Ghadah sementara mulutnya sendiri tengah tersumpal kontol Abah Maulana. Benar - benar malam yang panas, aku pun kenyang dengan pengalaman seks liar yang tak pernah kubayangkan sebelumnya.

"Hihihih... iya gitu mba... coba deh sesekali mba Balqis icip rasa sperma... Inshaa Allah bakal ketagihan...", kata Ummah Fariah yang terlihat nyaman - nyaman saja meskipun aku tau seluruh aibnya.

"Umm... Inshaa Allah nanti Balqis coba kalau mas Fauzi udah pulang...", jawabku yang menahan gelisah karena memekku yang mulai basah setelah membayangkan kejadian threesome mereka.

"Yakin? Ga kelamaan tuh mba Balqis...?? Ehh iya... tadi kan saya udah janji yah bakal kasih sesuatu yang bakal bikin mba Balqis seneng...", jawab Ummah Fariah.

"Emm... iya Ummah... Inshaa Allah Balqis bisa jaga rahasia... emangnya apa Ummah...??", tanyaku penasaran.

"Jadi jujur aja... saya sama Ustadzah Ghadah tuh masih belum cukup buat ladenin libido Abah Maulana... nahh... mba Balqis mau coba ngga? Jarang - jarang lohh bisa khidmat sama kyai gini...", jawab Ummah Fariah yang membuatku melongo.

"Haaaaahhhhh...?? Ummah sehat kann...?? Seriusan Ummah nawarin kayak gituan...??", jawabku yang terperangah tak percaya.

Yah memang aku menginginkan bisa merasakan kontol secepatnya, bahkan sering berfantasi dengan kontol Abah, tapi tetap saja beliau sudah umur 60an tahun. Disisi lain aku masih tak percaya kalau Ummah Fariah akan sebegitu mudahnya berkata - kata seperti itu. Ku kira dia akan berusaha keras untuk menutupi aibnya, tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"He'emhh... seriusan dong... saya tuh paling tau mba tentang Abah... mesti kalau liat ummahat yang cantik gitu pengen... dan itu yang Abah lihat waktu lihat mba Balqis pertama kali... lagian mba Balqis emang masih bisa nahan yaa...??", jawab Ummah Fariah sambil menggodaku.

"Kaget lohh Balqis... Emang Ummah setuju gitu?? Mmm... yaa pengen sih Ummah... mana bisa nahan kalau udah nonton gitu tiap malem... tapii... mmm...", jawabku yang kebingungan.

"Lohh... kan saya yang nawarin ke mba Balqis... ya setuju banget dong... kalau buat saya sih sekalian aja itu praktikum buat mba Balqis ntar... siapa tau pulang - pulang bisa jadi lebih mantab lagi... kan jadinya suami makin cintaa... hihihih...", jawab Ummah Fariah dengan mudahnya.

Pembicaraan singkatku dengan ummah Fariah pagi itu terus terngiang - ngiang hingga malam hari. Memang sudah menjadi kebiasaanku untuk tidur malam semenjak tinggal di pondok bersama ibu - ibu ummahat yang lain, apalagi bisa nonton 'bokep' live gratis tiap malam semakin membuatku harus meluangkan waktu di malam hari.

"Mmm... kalo malam ini sih kayaknya abah pas lagi libur sih mba Balqis... kan tiap 2 hari sekali kita digilir abah... hihihih... tapi pengecualian sih... kalo mba Balqis mau coba, ntar malem kamar jangan dikunci yaa...", ucap Ummah Fariah menggodaku.

"Ehh... tapi kan di kamar banyak ibu - ibu yang lain Ummah... ntar kalo ketauan gimanah...??", Jawabku ragu karena khawatir dan menjadi fitnah di kalangan ibu - ibu ummahat nantinya.

"Udaahh... tenang ajah mba Balqis... saya kan udah tinggal lama di pondok ini, apalagi Abah orangnya 'pengalaman' banget kalau masalah bikin perempuan keenakan tanpa buat berisik sihh...", jawab Ummah Fariah meyakinkanku.

Aku pun terus memandangi 2 buah kapsul obat yang diberikan Ummah Fariah yang katanya biar bisa bikin Abah Maulana cepet puas. Aku tak pernah tau kalau ada hal - hal sepeti ini hanya untuk perkara jima'. Pikiranku masih dipenuhi ketakutan, khawatir kalau nanti aku mengiyakan dan terjadi zina di antara kami kemudian para ibu - ibu yang lain memergoki apa yang kami lakukan. Buatku tak ada masalah kalau hanya dengan lingkungan, tetapi yang membuatku tak bisa bertahan kalau mas Fauzi mengetahui pengkhianatanku. Sudah sekitar jam 22.15 malam saat itu. Bu Faiha dan yang lain sudah tertidur pulas, hanya aku yang masih tiduran miring sambil memandangi kedua kapsul biru ditanganku.

"issshh... gimana yahh... pengen bangethh... mana udah becek bangethh... tapi kalo ketauan, aku gamau kehilangan mas Fauzihh...", gumamku dalam hati.

Begitulah diriku, munafik dalam diriku tersimpan begitu rapat oleh lebarnya cadar dan jilbabku. Rasa sakit saat membayangkan mas Fauzi nantinya akan pergi meninggalkanku jika tau aku mencuranginya benar - benar membuatku takut. Tapi selintas saja, alasan klasik yang mungkin bisa jadi membuatku terhindar dari fitnah dan bisa menjadi tameng untuk kemunafikanku.

"Ahh... Ntar kalo ketauan bilang aja kalo Abah yang berusaha perkosa aku... aku kan gamau, Cuma karena aku ini cewe jadi yaa ga kuat lawan kekuatan cowo dan Cuma bisa pasrah waktu disetubuhin...", pikirku yang kemudian beranggapan kalau itu merupakan alasan yang bagus untuk menuruti setan yang bersemayam di dalam diriku.

Tanpa pikir panjang juga karena syahwat yang juga selalu menghampiriku tiap waktu, kedua kapsul biru yang baru saja kudapat dari Ummah Fariah itu pun melenggang masuk ke perutku yang dibantu oleh tegukan air putih. Aku pun kembali tiduran di pinggir ranjang di samping kiri bu Farhah dengan posisi miring ke kanan menghadap bu Farhah. Suasana yang remang - remang membuat rasa kantuk datang menyerang. Sekitar jam 22.40an selain merasakan kantuk entah kenapa seluruh tubuhku terasa hangat. Aku pun mulai gelisah, bukan karena hal - hal lain, hanya saja seluruh bagian tubuhku jadi terasa sensitif. Apalagi kedua putingku entah kenapa terasa keras mencuat seperti halnya kalau aku sedang terangsang. Selakanganku pun mulai terasa becek dan gatal persis seperti saat aku terangsang oleh cumbuan mas Fauzi atau saat menyaksikan perzinaan Abah dengan kedua selirnya. Nafasku pun terasa berat, dan imajinasi tentang kontol Abah Maulana yang menggagahi setiap liang kenikmatan di tubuhku menguasai seluruh pikiranku. Malam itu aku hanya mengenakan daster saja tanpa dalaman apapun sehingga desahanku pun tak tertahankan bahkan saat merasakan kain daster menggesek perlahan putingku yang sudah begitu keras. Tangan kananku pun kuganjalkan di selakanganku dan dijepit kedua pahaku sementara tangan kiriku sibuk meremasi toketku. Desisan nikmat mengalir lepas menikmati permainan tanganku memanjakan kedua bukit indahku. Ditambah tangan kananku yang kuganjal di bawah sana dan menggesek perlahan itilku, semakin menambah desakan nafsu yang menjalar cepat menguasaiku.

Tok... Tok... Tokkk...

Suara ketukan pintu yang bernada tertentu membuatku terkejut, khawatir kalau ibu - ibu yang lain terbangun dan mengetahui aksiku. Kulihat sejenak sekeliling dan terlihat ibu - ibu ummahat yang lain masih tertidur lelap, bahkan bu Fakihah mendengkur lepas menikmati tidurnya. Ummah Fariah memberitahu, kalau memang aku mau untuk mencicipi keperkasaan Abah Maulana, maka cukup diam saja tanpa perlu membalas ketukan. Tapi kalau tidak mau, maka cukup memberikan kode dengan mengunci pintu. Meski syahwatku sempat mereda karena terkejut ketukan pintu Abah Maulana, tapi tubuhku seperti sudah pasrah untuk merasakan kasarnya hantaman pinggul sang Kyai. Aku hanya diberi waktu 5 menit untuk bersiap - siap sebelum Abah masuk ke kamar. Sekejap sempat terlintas dalam hatiku akan ancaman dosa besar yang menanti. Begitu juga dengan ancaman cerai yang menanti kalau nantinya aku dipergoki oleh orang lain.

"Ahh Serah dehh... udah terlanjur basah juga...", gumamku dalam hati.

Bergo jumbo instan dan cadar tali double - layer warna dongker segera kupakai. Warna pakaianku tampak begitu kontras dengan kulitku yang putih bersih. Aku pun segera kembali pura - pura tidur menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya membayangkan saja sudah membuat memekku banjir tak karuan.

"Mmmhh... Mas Fauzihh... Maaf yahh... Cuma sekali ini aja kokk... Balqis udah ga tahan pengen kontol...", ucapku dalam hati sambil meremas - remas bantal karena menahan birahi yang memuncak.

Benar saja, 5 menit kemudian ku dengar suara pintu dibuka. Tak berselang lama aku merasakan sensasi geli karena rabaan kasar khas tangan lelaki yang menyusuri kaki kiriku mulai dari telapak kaki hingga lututku. Aku yang tidur dengan posisi miring ke kanan berusaha tetap terdiam dan menahan diriku. Jujur saja, sentuhan jemari Abah Maulana sudah cukup membuatku tersentak karena kejutan ledakan syahwat yang menerpa hebat. Apalagi saat belaian lembut tangannya mulai menelusuri kaki mulus putihku yang selama ini hanya dinikmati mas Fauzi semakin meliarkan imajinasiku.

"Wwuuhhh... Mantab nih mbak Balqis...", ucap abah Maulana yang sepertinya tengah mengagumi bulatnya bokongku yang berpadu indah dengan pinggulku yang lumayan lebar.

Bagian bokong hingga ujung kaki kini terekspos penuh dan memanjakan mata sang kyai yang memang sudah kunanti selama ini. Aku pun hanya bisa menggigit bibir menanti perlakuannya yang berikutnya. Aku berusaha menahan desisanku saat merasakan tangan Abah Maulana meremasi bokongku. Betapa nikmatnya setelah sekian lama tubuhku ini gersang dari sentuhan lelaki. Desahan tertahanku pun lepas saat merasakan hembusan nafas Abah Maulana di belahan bokongku dan bisa kurasakan jelas kehangatan nafasnya di anusku.

"Ahh... kayaknya Abah lagi bukain bokongkuhh... mmmhhh... pantes ajah Ummah Fariahhh ketagihann...", gumamku yang menikmati jilatan Abah Maulana menyapu anusku yang berwarna coklat tua.

Meski aku menahan sebisaku untuk tidak menunjukkan pada Abah kalau aku sudah terangsang berat, tapi tubuhku bergerak sendiri seolah - olah menginginkan agar Abah lebih jauh menjamah setiap bagian tubuhku. Hanya sekitar 5 menit saja Abah bermain - main dengan bokongku. Kini ia tiduran disampingku dan mendekapaku dari belakang. Dengusan nafasnya terasa sekali di telinga yang masih tertutup jilbab. Meski daster hitam masih menempel di tubuhku, tapi kehangatan tubuh Abah Maulana begitu terasa.

"Ehh... Jangan - jangan Abah udah telanjang nih...", ucapku dalam hati karena aku bisa merasakan benar hangatnya tubuh lelaki 60 tahun itu.

Tangan kiri Abah Maulana kini yang bertugas meraba dan membelai kaki kiriku hingga pinggulku yang sudah tak tertutup oleh daster. Begitu lihainya jemari terampil Abah Maulana menjamah setiap bagian sensitif tubuhku dan terus naik menyibakkan dasterku. Jantungku berdegup kencang merasakan zina pertamaku. Tangan Abah Maulana pun berhenti saat ia mendapati gundukan jumbo kenyal yang kini memenuhi telapak tangannya.

"Ssshh... Mmhhhhh....", desahku perlahan merasakan tangan kasar Abah Maulana mulai meremas - remas toket bulatku bersamaan dengan jemarinya yang memilin putingku.

"Mmhh... Kenyal banget mba Balqis susunya... Enak ya mba?? Kalau enak bilang dongghh...", kata Abah Maulana berbisik di telingaku yang semakin membuatku terangsang hebat.

Tubuhku pun tak bisa berbohong dan menggeliat menikmati permainan tangan sang kyai. Pikiranku pun sudah tak karuan. Ditambah lagi kini tangan kiriku ditarik oleh Abah Maulana ke arah selakangannya. Betapa terkejutnya aku saat merasakan kontolnya yang begitu keras dan panjang.

"Ahhh... jadi inihh yang sedari tadih ngeganjal di bokongkuhh... mmhhh... gedehnyaahh...", gumamku yang mulai terpejam menikmati kerasnya kontol Abah Maulana dalam genggamanku.

Bahkan tanganku pun mulai bergerak mengocok perlahan kontol Abah Maulana. Entah kenapa malam itu aku tak bisa mengontrol tubuhku sendiri seakan - akan ada orang lain yang mengendalikanku. Aku sadar betul saat itu, tapi aku tak ada kuasa atas tubuhku sendiri.

"Ngga nyaman nih mba Balqis... ganti posisi yaa??", tanya Abah Maulana yang kini tangan kirinya sudah sibuk menyeruak masuk diantara sela - sela pahaku.

Aku hanya terdiam seakan mengabaikan pertanyaan Abah. Tapi tangan Abah terus tanpa henti mengobok - obok selakanganku dan menggesek bibir memekku. Kenikmatan akan derasnya birahi terlalu berlebihan bagiku malam itu ditambah tubuhku yang sudah sangat terangsang membuatku tanpa sadar mengangguk setelah Abah mengutarakan pertanyaan yang sama hingga 3 kali.

KELANJUTAN CERITANYA ADA DIKARYAKARSA ATAU BISA MENGHUBUNGI INSTAGRAM AUTHOR @ WIDASU.ID

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI...

KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA...

JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN

INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI...

JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!

TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...

More Chapters