WebNovels

Chapter 2 - IMPIANKU YANG MENJADI NYATA

"Syukron ana sampaikan untuk Widasu yang telah mau bekerjasama dan meluangkan waktu untuk merealisasikan penulisan kisah sesuai yang saya mau. Sudah beberapa bulan ini saya membaca karya - karya Widasu dan berkeinginan untuk berbagi pengalaman, Dan juga catatan untuk para pembaca, ana tidak bermaksud menjelekkan salah satu pergerakan Islam. Ana hanyalah 'oknum', dan cerita ini ana publish melalui persetujuan antara ana dan Widasu hanya sebagai hiburan semata. Dan juga dalam penulisan, ana dan Widasu setuju untuk adanya penyuntingan disesuaikan dengan gaya penulisan Widasu. Dan sebagai penutup, ana harap para pembaca untuk bijak dan tidak menyalahkan pergerakan Islam yang ana ikuti"

"Mas Miguel, ayok sini... abi udah mau berangkat... salaman dulu cepet...", kata istriku pagi itu yang mengenakan jilbab, abaya, dan cadar hitam.

"Dah yah, abi berangkat dulu... mas Miguel jaga dek Embun yang baik, dijaga sholatnya, jangan bikin repot umi, sekolah juga yang baik jangan malas - malasan", kataku sambil mengusap kepala Miguel, anakku yang pertama.

"Abi... Abi... besok kalau pulang bawa hadiah yaa... kata Umi, abi mau beliin hadiah kalau pulang...", kata Miguel sambil menarik - narik jubah yang kupakai.

"Umi bilang gitu yaa?? Inshaa Allah... tapi mas Miguel juga minta sama Allah yang banyak ya...", jawabku sambil menatap sedikit kesal pada istriku.

"Ehh, mas Miguel... coba dek Embun di dilihat sana, siapa tau udah bangun...", ujar istriku sambil menunjuk ke arah kamar.

"Yaa umi...", jawab Miguel yang segera berlari menuju kamar tempat adiknya tidur.

"Hemm... Hemm... gitu yaa... malah diajarin minta hadiah gitu yaa...??", kataku sambil merangkul pinggang istriku, Fadiyah.

"Ahh... ahahah... biar abi gak lupa sama Miguel... Jangan lupa umi juga dibawain hadiah yaa...", jawab istriku mesra seraya kedua tangannya yang putih itu merapikan kerah rompi yang kupakai.

"Mau hadiah yang gimana sih? Yang ini yaa??", jawabku sambil menarik tangan kirinya ke selakanganku.

"Eehh... Kalau yang ini sih wajib 'ain hukumnya...", jawab istriku menggodaku dengan mata lentiknya sembari tangannya meremas - remas batangku.

"Ahahah... cium dulu lah mii... ", kataku sambil memagut bibir istriku yang tertutup cadar tali hitam.

"Mmmhh... sshh... udah bi, ga enak kalau dilihat tetangga", kata istriku sambil mendorongku perlahan.

"Yaah... dasar umi... belum berangkat aja udah bikin kangen...", kataku sambil mencium dahinya.

"Iya abi sayang, awas telat ntar... hati - hati di jalan, jangan lupa do'a dulu", pesan istriku sambil melambaikan tangannya melepas keberangkatanku.

Ohh iya, perkenalkan namaku Suganda. Saat ini aku berumur 37 tahun. Aku dan istriku sudah cukup lama tinggal di Jogjakarta. Pagi ini memang sudah jadwalku untuk berangkat dakwah keliling sebagai agenda tahunan. Alhamdulillah, karena Allah perkenalkan aku dengan teman - teman yang baik dan sering ke masjid, aku pun dipertemukan dengan jamaah dakwah ini.

Sebenarnya aku berasal dari keluarga islam, namun yaa hanya islam saja bahkan sholat pun hanya sholat Jum'at saja. Hampir tidak pernah bagiku menjalankan yang namanya sholat fardhu, apalagi pergi ke masjid. Setiap Jum'at aku memaksa diri untuk ke masjid hanya karena malas saja kalau nantinya dibilang kafir oleh teman - teman, bukan karena kesadaran akan wajibnya sholat Jum'at. Kedua orangtua ku pun tak pernah peduli dengan ibadahku. Keduanya sibuk bekerja dan selalu pulang malam. Bahkan terkadang di rumah, teman - teman ayahku sering berkumpul untuk minum - minum bersama. Qodarullah saat aku berumur 28 tahun, ayahku meninggal dunia karena kecelakaan. Semasa hidupnya ibu sering menegurnya untuk berhenti minum - minum, tapi yang ada ayahku malah memarahinya. Namun alhamdulilah kini ibuku sudah berubah. Setelah mengetahui perubahan pada diriku yang terlihat mulai lebih ta'at, ibu pun berubah dan mulai mau sholat. Sekarang Alhamdulillah sudah mulai istiqomah berjilbab.

Setiap tahun, aku selalu meluangkan waktu setidaknya 40 hari untuk pergi berdakwah. Setiap kali aku berangkat pasti aku selalu menjumpai ibuku lebih dulu untuk pamitan dan berpesan untuk selalu menjaga sholatnya. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak aku berumur 31 tahun. Saat itu pernikahanku dengan istriku, Ukhti Fadiyah, baru berumur kurang dari 1 tahun. Aku pun mengenal istriku karena dikenalkan oleh teman. Kami sempat berpacaran selama sekitar 5 bulanan. Meskipun aku berasal dari keluarga yang tidak mengenal agama, namun Allah masih jaga diriku dari seks di luar nikah dan Alhamdulillah berkat dari keberkahan hijrahku, sekarang istriku sudah mulai bercadar.

 Jam 10 pagi adalah jadwal pembekalan keberangkatan ku bersama jama'ah yang akan dikirim ke Semarang selama masa 40 hari. Karena masih dalam masa pandemi, maka jumlah maksimal anggota dalam jama'ah hanya 6 orang saja. Saat itu hanya aku sendiri anggota jama'ah yang paling muda. Rata - rata anggota jama'ah yang lain sudah berumur di atas 45 tahunan. Memang ini bukanlah kali pertama aku menjalani kegiatan dakwah keliling selama 40 hari seperti ini, tapi rute dakwah ke Semarang adalah yang pertama bagiku. Setelah bermusyawarah, tanggal 10 Agustus 2020 jam 02.00 pagi kami memutuskan untuk memulai keberangkatan. Hal ini ditujukan untuk menghindari razia tim covid selama perjalanan.

"Mam... gimana semalem? Lancar toh 'setoran' sama istri?", tanya Pak Khairul menggodaku karena aku yang paling muda.

"Awas ojo kakean, mengko encok malah ora sido mangkat (Awas jangan kebanyakan, nanti encok malah gak jadi berangkat)", timpal Pak Sunandar yang sama - sama mengerjaiku.

"Waduh... kalau sampai encok malah enak dong pak di rumah teruss... hahah...", jawabku santai.

Pak Khairul dan Pak Sunandar sudah berumur di atas 40 tahun. Di umur mereka yang sudah hampir separuh abad itu, mereka sudah pernah berdakwah hingga ke luar negeri berkali - kali. Aku pun menganggap keduanya sebagai guruku dalam jama'ah ini karena pengalaman mereka.

"Kalau istri mas sekarang umur berapa mas Suganda?", tanya pak Mukhamad yang merupakan amir (pimpinan) jama'ah kami.

"Kalau sekarang umur 27 tahun Mir (panggilan untuk Amir jama'ah)", jawabku.

"Lhaa, kalau mas Suganda sendiri umur berapa sekarang??", tanya pak Mukhamad penasaran.

"Wah... kalau saya umur 37 tahun Mir...", jawabku.

"Mmm... berarti 10 tahun yaa?? Bisa dapet yang kepaut 10 tahun gitu gimana caranya?? Pantes aja mesam - mesem gitu... ahahahah... masih kesat sih yaa", goda pak Mukhamad yang duduk di samping supir.

Kalau diingat - ingat, dulu kenapa aku bisa bertemu dengan istriku yang sekarang pun aku setengah tidak percaya. Jujur saja saat itu umurku dianggap cukup tua bagi teman - teman sebayaku yang sudah menikah lebih dulu. Kebanyakan teman - temanku yang ahli masjid sudah menikah maksimal di umur 25 tahun, sedangkan aku yang berumur 29 tahun belum juga menikah.

"Mam, tekan kapan kowe meh jomblo? Opo ora pengen wedokan meneh awakmu? (Mam, sampai kapan kamu mau jomblo? Apa ga doyan perempuan lagi dirimu?)", tanya Tsani yang merupakan temanku kajian di masjid.

"Yo pengenlah Tsani... sopo jal sing ora pengen?? Tur opo ono sing gelem karo awakku? (Yaa mau lah Tsani... Siapa coba yang gak pengen? Tapi apa ada yang mau sama aku?)", Tanyaku pesimis pada Tsani.

"Kan durung tau njajal to kowe? Kae nek gelem karo si Fadwa wae lumayan... Jilbab'e yo wes gede, ayu, putih, aktif melu ngaji... (Kan belum pernah nyoba toh kamu? Itu kalo mau sama si Fadwa aja lumayan... Jilbabnya juga udah besar, cantik, putih, aktif ikut ngaji)", Kata Tsani sambil menepuk punggungku.

Sesaat setelah Tsani berkata begitu, Ukhti Fadwa dan Ukhti Fadwah baru saja selesai beres - beres ruang sholat putri masjid. Memang malam itu jadwal kajian rutin masjid di sekitar tempat kos ku.

"Assalamu'alaykum akhi Suganda... afwan tolong minggu depan ngabari Ustad Surya untuk mulai kajian ba'da maghrib ya, soalnya pas banget sama jadwal kita ujian paginya...", pinta Ukhti Fadwa yang mengenakan jilbab jumbo warna cream cerah dengan abaya hitam panjang.

"Oohh... Inshaa Allah ukhti... kalau bisa sehari sebelumnya ana tolong diingatkan, WA juga boleh...", Jawabku dengan sedikit menggoda Ukhti Fadwa.

"Inshaa Allah ana ingatkan... Assalamu'alaykum...", jawab Ukhti Fadwa sambil berlalu pergi.

"Ciee... lagi wae diomongke langsung praktek yaakk... jaann tenan... nek dudu Suganda rak mungkin wes... (Ciee... baru saja diomongin langsung praktek yaa... emang bener... kalo bukan Suganda gak mungkin lah)" sorak Tsani sambil memukuli punggungku.

"Woy!! Loro!! Tapi aku rak wani nek kon nembung... ayu banget jhe... gek solehah ngono... (Woy!! Sakit!! Tapi aku gak berani kalau di suruh ngomong... cantik banget sih... solehah juga gitu...)", sahutku pesimis.

"Halah... jajal sek wae... kan jodo rak eneng sing ngerti... haha (Halah... coba dulu aja... kan jodoh ga ada yang tau... haha)", ujar Tsani menyemangati ku.

Memang hampir semua teman - teman masjid yang juga anak kos - kosan sering menyarankan aku untuk mencoba melamar ukhti Fadwa. Namun karena rasa minder yang berlebihan, akhirnya 3 bulan kemudian ukhti Fadwa dinikahi oleh ikhwan lainnya. Saat itu rasa menyesal yang amat sangat mendera diriku karena tak mencoba mengambil kesempatan untuk menanyakan pada ukhti Fadwa tentang menikah denganku.

"Naahh... gelo rak kowe?? Kesuwen sihh... (Naahh... kecewa gak kamu?? Kelamaan sih...)", Ujar Tsani dengan nada kesal padaku.

"Iyo jhe... Ahh tapi jodo ki wes dhewe - dhewe... (Iya sih... Ahh tapi jodoh juga udah sendiri - sendiri...)", jawabku sebagai pembenaran diriku.

"Heleh... ngeles wae... ngomong wae nek loro ati (Heleh... alasan aja... ngomong aja kalau sakit hati)", balas Tsani dengan nada mengejek.

Hari itu kita diundang untuk hadir dalam acara pernikahan ukhti Fadwa. Karena kita sering ikut dan mengurusi kajian di masjid yang sama, sungkan kalau tidak menghadiri undangannya, meski sebenarnya hadir dalam acara itu cukup menyiksaku. Tapi sesaat kemudian terlihat seorang akhwat lain yang menarik perhatianku. Ia terlihat begitu akrab dengan Ukhti Fadwa dan yang lainnya. Meski tak secantik Ukhti Fadwa, namun manis senyumnya dan indah matanya menghujam kuat ke hatiku.

"Heh Tsani... sopo kae?? Sing nganggo jilbab pink... (Heh Tsani... siapa itu? Yang pake jilbab pink...)", tanyaku pada Tsani.

"Hem? Sing ndi?? Kae sing lagi ngobrol karo Fahimah? Iku jenenge Fadiyah... orak kenal kowe?? (Hem... yang mana?? Itu yang baru ngobrol sama Fahimah? Itu namanya Fadiyah... gak kenal kamu??)", jawab Tsani sambil menikmati jamuan prasmanan.

"Orak ki... anyar po? Kok aku ora ngerti? (Nggak tuh... Baru kah? Kok aku gak tau?)", tanyaku heran.

"Woo... kelingan aku. Wong'e pernah melu kajian sih, tapi bar kuwi pas awakmu gabung, dewek'e lagi pulkam... (Woo... ingat aku. Orangnya pernah ikut kajian sih, tapi abis itu pas kamu gabung, dia nya lagi pulkam...)", jelas Tsani yang masih asik dengan makanannya.

Singkat cerita mulailah aku berusaha untuk mengenal ukhti Fadiyah dan mendapati nomor WhatsApp nya dari grup kajian di masjid dekat kos.

"Assalamu'alaykum... benar dengan Ukhti Fadiyah?", tanyaku memulai chat WA.

"Wa'alaykumsalam... benar, dengan siapa ya?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Afwan, ana Suganda. Benar kalau ukhti yang tadi pagi pakai jilbab pink saat walimahannya ukhti Fadwa ya??", tanyaku.

"Iyaa benar.... Ohh, kak Suganda... afwan ana ga tau...", jawab ukhti Fadiyah.

"Ana cuma penasaran aja kok baru keliatan lagi kemana aja?", tanyaku modus.

"Iya kak afwan, soalnya kemarin ortu sakit, jadi ana balik dulu buat ngerawat ortu...", balas ukhti Fadiyah.

Dan begitulah seterusnya aku pendekatan pada Ukhti Fadiyah. Mulai dari sekedar basa - basi tanya tentang hal - hal yang tidak penting, urusan kajian, dll. Apapun yang bisa ditanyakan pasti aku chat Ukhti Fadiyah. Hingga tak terasa 2 bulan sudah berjalan sejak dari yang awalnya chat WA sekedar seperlunya, kini terkadang Ukhti Fadiyah yang nge - chat aku lebih dulu. Entah apa yang terjadi, namun aku mulai merasa sayang meski tak pernah berbicara ia intens berdua.

Suatu hari aku mencoba memberanikan diri untuk mengajaknya makan bersama di luar. Selama ini aku tak merasa ada penolakan apapun saat aku bertanya macam - macam padanya dan aku juga tak ingin kejadian seperti dengan Ukhti Fadwa terulang kembali.

"Ehh, ukhti ntar malam ada agenda?", chat ku via WA

"Ntar malem kalau ba'da isya'sih nggak ada kak... gimana?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Gini, kalau nemenin ana makan malam di luar bisa? Soalnya makan sendirian kan ga sunnah... katanya sih...", balasku dengan canda.

"Ahaaha... kak Suganda nih modusnya ga pinter sih...", jawab Ukhti Fadiyah.

"Wah, ketauan nih... jadi gamau ya...?", jawabku dengan perasaan malu.

"Emang ada ya kalau Fadiyah bilang ga mau??", balas Ukhti Fadiyah yang membuatku begitu senang.

"Alhamdulillah... berarti bisa ya? Ketemuan di mana nih?", tanyaku.

"Terserah kak Suganda aja... eh, kalau di tempat makannya aja gimana kak?", tanya Ukhti Fadiyah.

"Yaa gapapa sih... ntar ana kabarin lagi yaa lokasinya...", jawabku sedikit kecewa.

Meski begitu aku tetap menemuinya di tempat makan sesuai yang aku janjikan. Itulah awal mula aku mulai berani untuk jalan berdua dengan Ukhti Fadiyah. Mulai dari sekedar makan malam, sampai belanja kebutuhan harian pun berdua. Meski banyak sekali kesempatan yang terbuka bagiku untuk menikmati tubuhnya, namun keimanan dalam diriku berontak melawan. Ukhti Fadiyah pun juga seperti membatasi dirinya ketika bertemu denganku, tapi kini ia sudah lebih berani untuk melingkarkan tangannya saat boncengan dan juga menggandeng tanganku saat kita hangout berdua. Kami berdua tau bahwa yang kami lakukan sebenarnya bagian dari zina, tapi rasa sayang di antara kami berdua meruntuhkan segala kajian yang pernah kami dengar tentang hal itu.

"Hah??? Jadi beneran kalau baru umur 18 tahun?? Kirain kalau adek bercanda...", kataku terkejut sembari merangkul pundaknya menikmati indahnya Bukit Bintang Jogjakarta.

"Iya lohh... kak Suganda sih yang ngeyel...", jawabnya sambil menyandarkan kepalanya yang terbalut jilbab hitam berukuran sedang di pundakku.

Sekitar jam 11 malam kita berdua baru sampai di kos Ukhti Fadiyah. Suasana kampung cukup sepi yang semakin menguatkan kehangatan rasa di antara aku dan Ukhti Fadiyah.

"Alhamdulillah... syukron kak, Fadiyah seneng banget malam ini...", kata Ukhti Fadiyah yang terlihat agak kesusahan membuka helm.

"Iya, kakak juga... Susah ya? Coba sini kakak bantu", kataku sambil mendekatkan wajahku ke wajah Ukhti Fadiyah yang manis seraya mengecek tali pengikat helmnya.

"Oohh... bentar... ini mah..."

Belum selesai aku menjelaskan tentang kerusakan helmnya, tiba - tiba kurasakan nafas Ukhti Fadiyah membelai wajahku. Saat itulah aku baru sadar kalau bibir kami sudah begitu dekat dan nampak Ukhti Fadiyah memejamkan mata seolah pasrah akan apa yang terjadi selanjutnya. Kata ustad, kalau ada pasangan lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, maka yang ketiga adalah setan, dan itulah yang terjadi. Aku pun tak berpikir panjang dan langsung mendaratkan bibirku di bibir pink manis Ukhti Fadiyah. Aku pun mencoba memagut lembut bibirnya dan tak kusangka Ukhti Fadiyah pun membalas pagutanku. Sekitar 3 detik saja hal itu terjadi sebelum kemudian Ukhti Fadiyah tersadar dan sedikit menjaga jarak dariku.

"Afwan kak Suganda, Fadiyah masuk dulu... Assalamu'alaykum...", ucap Ukhti Fadiyah sambil bergegas masuk ke kosan.

Sesaat kemudian hatiku pun berkecamuk. Meski bagiku hal yang baru saja terjadi bukanlah sesuatu yang besar dan parah, tapi aku lupa kalau Ukhti Fadiyah adalah seorang akhwat yang sedang hijrah dan sudah barang tentu baginya ini adalah sesuatu yang sangat ia hindari. Aku pun kembali ke kosan dengan penuh rasa bersalah karena terlalu terburu - buru padanya.

"Assalamu'alaykum dek Fadiyah... Maafin kakak buat yang tadi yaa... kakak khilaf... kakak sama sekali ga ada niatan buat lakuin hal itu... maaf...", chatku ke Ukhti Fadiyah setelah aku sampai di kos.

"Na'am kak... Fadiyah juga salah kok. Fadiyah tidur dulu kak... Assalamu'alaykum...", balas Ukhti Fadiyah singkat.

Semenjak malam itu, hari - hari berikutnya yang kujalani tak seindah hari - hari yang lalu. Ukhti Fadiyah pun terkesan menjaga jarak dariku meskipun chat WA ku tetap ia balas namun terasa hanya seperlunya saja dan itu semua berjalan hingga 1 bulan. Rasa sakit yang kurasakan tak mampu lagi ku pendam. Kemudian ku beranikan diriku untuk mengajaknya bertemu di salah satu cafe di Jogja dan Alhamdulillah Ukhti Fadiyah pun menyanggupinya karena aku bilang ada sesuatu yang penting yang ingin ku sampaikan. Sekitar jam 16.30 Ukhti Fadiyah pun datang ke cafe di mana aku sudah menantinya.

"Macet ya ukhti jalannya...??", tanyaku membuka pembicaraan.

Sudah seperti yang kuduga kalau pertemuan ini tidak akan mudah. Karena aku sudah tau akan terjadi seperti ini, maka aku pun menyiapkan semua yang mau aku sampaikan padanya sore itu.

"Mmm... untuk yang pertama, kakak mau minta maaf secara langsung untuk kejadian malam itu. Jujur, dalam hati, kakak tidak pernah ada sama sekali keniatan untuk melakukan hal itu pada dek Fadiyah. Kakak benar - benar merasa bersalah dan kakak harap dek Fadiyah memaafkan kakak meskipun tidak bisa secara total...", kataku sambil melihat Ukhti Fadiyah yang hanya tertunduk diam.

"Kemudian yang kedua... Jujur saja, kakak sudah terlanjur cinta pada dek Fadiyah, sejak pertama kali dek Fadiyah mau menemani kakak malam - malam di luar itulah saat pertama kehangatan rasa ini masuk ke hati kakak... Namun semua itu berubah drastis semenjak kejadian malam lalu. Sakit sekali hati ini saat dek Fadiyah berubah menjauh dari kakak. Kakak tau itu semua salah kakak, tapi tetap saja hati kakak kangen banget sama dek Fadiyah yang dulu dan kakak berharap rasa itu masih di dalam hati dek Fadiyah...", lanjutku.

"Hemh... kemudian yang terakhir, kakak ga mau lagi terjadi untuk kedua kalinya. Kakak gamau kehilangan lagi orang yang kakak suka tanpa kakak coba untuk mendapatkannya. Maka sore ini kakak coba memberanikan diri bertanya pada dek Fadiyah... Bolehkah kakak menjadi suami sah dari adek...??", tanyaku dengan penuh harap.

Aku pun terkejut saat kudengar samar - samar suara sesenggukan Ukhti Fadiyah setelah mendengar pengakuanku karena aku tak pernah melihat seorang akhwat menangis di hadapanku sebelumnya. Aku pun panik dan berusaha untuk menghiburnya.

"Aduh... kakak salah lagi yah dek? Maaf...", kataku dengan panik karena keadaan di cafe yang cukup ramai.

Sore itu Ukhti Fadiyah mengenakan jilbab dan gamis warna coklat susu muda. Memang jilbabnya tak sebesar Ukhti Fadwa, tapi cukup panjang hingga menutupi perutnya. Wajahnya yang cantik, manis, putih pun terlihat kemerahan karena tangisnya. Yang semakin membuatku bingung, Ukhti Fadiyah tidak berkata apa - apa dan hanya menggelengkan kepala. Beberapa kali tangannya mengusap air mata yang membasahi pipi chubbynya.

"Duhh... kalau nggak karena kata - kata kakak kenapa dong?? Kakak jadi bingung...", jawabku masih dengan panik.

"Mau...", ucap Ukhti Fadiyah lirih.

"Ehh, gimana dek Fadiyah...??", tanyaku karena kurang jelas.

"Mau kak...", ucap Ukhti Fadiyah yang kedua kalinya.

Saat mendengar jawaban Ukhti Fadiyah yang singkat namun begitu berkesan, membuat seluruh pahit yang selama sebulan ini kurasakan pun sirna. Aku pun segera mengabari Tsani tentang keinginanku menikahi Ukhti Fadiyah dan memintanya untuk menemaniku ke Magelang guna berjumpa langsung dengan orang tua Ukhti Fadiyah. Alhamdulillah orang tua Ukhti Fadiyah menyambut gembira tentang kesungguhanku untuk menikahi anak mereka, begitu pula Ukhti Fadiyah yang juga duduk di samping orangtuanya terlihat menahan senyum bahagianya siang itu. Tak butuh waktu lama, setelah aku memberi kabar pada ibuku dan ia merestuinya, tak lebih dari 2 minggu kami pun sah menjadi pasangan suami - istri.

"Hey! Mas Suganda... malah ngelamun... mesti udah ingat istri lagi yaa??", goda pak Mukhamad.

"Ahahah... penak'e sing isih enom... (Ahahah... Enaknya yang masih muda...)", timpal pak Sunandar.

Ya karena aku yang paling muda di antara anggota jama'ah lainnya maka diperlakukan seperti itu bagiku wajar saja.

Sekitar jam 04.30 kami pun sampai di masjid pusat Jam'ah Dakwah di Semarang. Sudah menjadi arahan dari Ulama kami apabila hendak berdakwah di suatu daerah maka diharuskan untuk transit dulu di masjid pusat di daerah yang di tuju. Ini ditujukan agar setiap jama'ah yang hendak berdakwah di daerah tersebut mengetahui kondisi medan dakwahnya serta mendapatkan pembekalan yang sesuai sehingga tidak terjadi suasana masyarakat yang keruh.

Setelah selesai pembekalan dan menginap sehari semalam di masjid pusat dakwah Semarang, kami pun di rute kan selama 40 hari di salah satu kecamatan di sana. Sesampainya di masjid pertama, maka kami segera bersiap - siap untuk program termasuk memberi kabar kepada Umara' kampung tentang kedatangan kami. Setiap kami datang di satu masjid, penting untuk menyampaikan maksud kedatangan kami di kampung tersebut yaitu untuk ishlah (perbaikan) diri, belajar memakmurkan masjid 24 jam, dan juga untuk belajar amar ma'ruf pada saudara muslim di sekitar masjid. Biasanya setiap jama'ah yang datang hanya akan ber'tikaf di satu masjid selama 3 hari, tapi ada juga yang bisa sampai 6 hari, tergantung target dari masing - masing jama'ah yang datang.

Meski sudah berkali - kali mengikuti kegiatan dakwah 40 hari setiap tahunnya, tapi tetap saja rasa rindu dengan istri saat terpisah seperti ini pun tak tertahankan. Pada prinsipnya setiap anggota jama'ah dilarang membawa HP saat mengikuti kegiatan dakwah seperti ini supaya pembelajaran dan perbaikan iman dan amal dalam diri bisa lebih maksimal. Yah memang aku nya saja yang bandel, jadi HP pun tetap ku bawa. Jujur saja semenjak aku dan istriku (Fadiyah) menikah dan merasakan nikmatnya ngentot untuk pertama kalinya, kami berdua pun ketagihan untuk terus melakukannya. Bahkan dulu sebelum Miguel lahir, kami pernah ngentot sehari hingga 5x. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, yang ada hanya hasrat yang begitu menggebu - gebu untuk menikmati tubuh indah istriku yang masih belia. Istriku, Fadiyah, pun sama saja denganku. Ternyata di balik jilbab dan gamis syar'inya tersimpan gelora syahwat yang luar biasa dan aku bersyukur mendapatkan istri sepertinya yang bisa memahami liarnya nafsu birahiku. Hampir setiap malam aku chat istriku via WA mulai dari ngobrol biasa hingga membahas selakangan.

"Miumiumiumiumi...", chatku ke istriku malam itu.

"Ya abi sayang? Kok chat mulu tiap malam? Gak ditegur Amir jama'ahkah??", balas istriku.

"Sering sih, tapi yaa sambil bercanda gitu... btw umi sayang lagi apa?", balasku.

"Biasa bi... lagi ngangenin seseorang di sana yang sok ganteng...", balas istriku.

"Hayoo... siapa tuh? Si Miguel sama Embun gimana??", balasku.

"Uda pulas daritadi bi... mmm... siapa yaa?? Mas Suganda ku dong...", balas istriku dengan emot love.

"Uhh... abi juga kangen nih sama istriku Fadiyah... kalau lagi kangen gini biasanya umi ngapain??", tanyaku yang sudah menahan rindu padahal baru hari ke delapan.

"Iyakah? Kangen umi juga?? Uww... ngapain yaa?? Bayangin di ciumin abi ajah...", balasnya.

"He'emh, banget... tiap detik kepikiran umi mulu... kangen bibir manisnya umiihh... Ehh, diciumin apanya nih sayang...??", tanyaku menggodanya.

"Auuww... mau diapain bibir umi sayang?? Mau diciumin semuanya...", balas istriku.

"Mau abi ciumin sepuasnya bibir atas sama bawahnya... Semuanya? Ntar kalau ketagihan gimana tuh...??", tanyaku yang mulai terangsang.

"Aahh... Uhhh... Mau bii... siniihh... Umi pasrah mah diapain ajah sama abih... kalau ketagihan?? Perkosa aja umi sih bii... uww... pengen...", balas istriku yang sepertinya mulai terangsang juga.

"Duuhh... kangen nihh pengen emut ama sedot - sedot puting coklat umih... terus jilatin memek nyahh sambil umi jongkok gituhh... lezat banget mii... ", jawabku sambil mengelus - elus kontolku yang mulai bangun.

"Uuhh... abi nakal siih... jadi pengen banget nih bii...", jawabnya dengan emot terong.

"Aww... lagi apa nih mi?? Lagi colmek yaa??", balasku yang sudah tegang maksimal.

"Aahh... abi sih godain mulu... u'umhh... lagi enak bii... tapi ga ada terongnya abi nihh...", balas istriku yang sudah terangsang berat.

"Mau ini kah...?", balasku sambil mengirimkan foto sarungku yang sudah menjulang di desak kontolku.

"Iyaa bi... mau ituu... mau yang ada di balik sarung...", balas Fadiyah istriku.

"Mau diapain sayang...?? Sini selfie dulu dong...", balasku.

"Mau diemut, dijilat, mau semuanyah... uuhh... ", jelas istriku sambil mengirimkan fotonya yang sudah ngangkang hanya mengenakan daster hitam motif bunga - bunga merah.

"Uuhh... beceknya Miihh... abi jadi haus nih pengen minum pipisnya umii...", jawabku yang semakin terangsang melihat selakangan putih mulus Fadiyah istriku dihias memek beceknya yang berwarna coklat gelap.

"Uuhh... abii... ga tahan loohh... VCS yuu...", balas istriku yang sudah tak bisa menahan birahinya.

"Yok... tapi umi pake cadar sama jilbab dulu, biar abi makin semangat...", balasku yang memang lebih terangsang kalau melihatnya tertutup sempurna di luar tapi bugil total di dalam tanpa dalaman.

Hari itu qodarullah jama'ahku di rute kan di salah satu masjid agung di daerah Semarang, sehingga aku agak leluasa mencari spot - spot untuk berfantasi ria dengan istriku. Aku pun memilih area toilet masjid karena ada banyak kamar toilet dan juga luas. Selain itu pencahayaan yang bagus ditambah tempatnya yang bersih, pas sekali untuk Video Call malam - malam. Dengan bergegas aku menuju toilet masjid dan langsung melakukan Video Call dengan istriku. Sambil menanti, aku pun melepas sarungku hingga tersisa kaos dan peci saja.

"Ahhh... abi sayaang... maaf lama...", kata istriku sesaat setelah menjawab panggilan VC ku.

"Uuwh... seksinya istriku ini... mulus banget sayang tubuh umi nihh...", pujiku yang sudah terangsang maksimal.

Kontolku begitu keras menjulang melihat istriku yang malam itu tampil bugil dengan toketnya yang berukuran 36B, terlihat bulat kencang dihiasi puting coklatnya yang sudah mencuat. Ia duduk di sofa ruang keluarga dengan kedua kakinya yang putih mulus mengangkang di sofa, dan dengan bangga memamerkan memeknya yang banjir sementara ia hanya mengenakan jilbab dan cadar tali warna hitam.

"Oohh... becek bii... aahh... kangen lidah abi... mau dijilatin... sshh...", desah istriku yang terdengar jelas karena aku mengenakan wireless earphone.

"Aahh... iyah mi... siniihh... dudukin mulut abi dongh...", jawabku dengan sedikit mendesah yang membuatnya semakin blingsatan.

Desahan istriku semakin kuat setelah tangan kirinya meremas toket dan memilin putingnya sendiri, sementara tangan kanannya mulai menggesek cepat memeknya. Melihat aksi istriku yang seperti itu, aku pun semakin terangsang dan mempercepat kocokanku di kontolku.

"Aahh... abi... kontol abi gede banget sih... mau dong dientot... sini bii... aahh... gatel bii... awwhh...", desah istriku yang mulai memasukkan dua jemarinya ke memek.

Istriku semakin kelojotan, matanya merem - melek, desahan dan erangannya pun terdengar persis seperti saat kita ngentot. Aku pun semakin kuat dan cepat mengocok kontolku sambil menyaksikan istriku yang tampak seperti akan klimaks.

Sesaat kemudian istriku melenguh panjang bersamaan dengan memancurnya cairan orgasmenya yang seperti orang kencing. Tubuh putih istriku mengejang sementara tangan kirinya meremas kuat toket kirinya dengan matanya terpejam menikmati orgasme. Aku pun sudah tak tahan dan juga ikut mencapai klimaks, bahkan spermaku muncrat hingga membasahi HP yang kugunakan untuk Video Call. Kami pun selesai Video Call sekitar jam 11 malam sekaligus jadwalku untuk shift malam hari itu. Sudah jadi keputusan bersama anggota jama'ah kami untuk belajar menghidupkan amal di masjid selama 24 jam tiap harinya. Bisa dengan dzikir, sholat sunnah, ataupun tilawah Qur'an. Setiap 2 hari sekali aku bermasturbasi bersama istriku via Video Call karena memang sudah jadi kebiasaanku setidaknya minimal 2 hari sekali mensetubuhi istriku.

"Mas Suganda, enak'e masak opo yo? Sayur meneh wae po??? (Mas Suganda, Enak nya masak apa ya? Sayur lagi aja kah?)", tanya pak Sunandar

"Wah kalau saya ngikut aja pak. Saya bantu - bantu saja nanti", jawabku sambil memakai .

Pagi itu di masjid ke - 4, aku dan pak Sunandar bertugas sebagai tim khidmat. Tim khidmat memiliki tugas untuk menyiapkan segala kebutuhan jama'ah kami. Tapi yang paling utama adalah untuk menyiapkan menu makan untuk seharian sementara anggota jama'ah yang lain ada tugas masing - masing. Dan inilah yang aku sukai dari jama'ah dakwah ini, selain dapat bertemu dengan berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang, sedikit bicara tentang keduniaan selama program, saling mudzakaroh tentang iman, kami pun dilatih untuk bisa memasak meskipun semampunya. Tapi meskipun makanan yang kita masak tak seenak makanan rumah, namun tak ada satupun anggota jama'ah yang mengeluh. Justru semua makan dengan lahap karena sering ada targhib bahwasanya banyak orang yang tidak bisa makan layaknya kita sekarang.

"Alhamdulillah... ada warung... Assalamu'alaykum...", ucapku saat masuk warung kelontong dekat masjid.

"Wa'alaykumsalam... mari ustad... cari apa??", jawab seorang akhwat penjaga warung.

Aku pun terkejut ketika melihat keindahan sang akhwat. Meski tak semuda istriku namun kecantikannya tetap terjaga. Wajahnya yang agak oval bermata jeli yang lentik, terbingkai indah oleh bergo instan warna kuning tua. Rias wajah yang sederhana dan lipstik merah di bibirnya justru menambah kecantikan alami sang penjaga warung itu.

"Maaf ustad, mau belanja apa?", tegur si akhwat.

"Ohh, sebentar bu... saya pilih - pilih dulu...", jawabku sembari mencari bahan - bahan masakan.

Pak Sunandar pun terlihat sibuk mencari keperluan untuk menu kita hari ini, sementara aku malah sibuk menelusuri lekuk tubuh penjaga warung. Kalau aku perkirakan umurnya tak jauh berbeda dari ku, sekitar 30 tahunan ke atas. Bergo instan yang ia kenakan tak terlalu besar hanya sebatas dada saja. Tapi justru saat pandanganku turun ke dadanya, aku hanya bisa menelan ludah melihat bongkahan gunung kembarnya yang begitu ketat menonjol bahkan terlihat gamis yang ia kenakan seperti akan sobek. Gamis biru dongker yang ia kenakan terlihat ketat membentuk tubuh bagian atasnya hingga pinggul. Perutnya yang tidak buncit justru semakin menarik perhatianku. Senyumnya yang ramah serta suara lembutnya membuatku betah berlama - lama meskipun tak ada lagi barang - barang yang ingin ku beli.

"Ehh, mas Suganda... aku dhisikan yo... loro weteng jhe (Ehh, mas Suganda... aku duluan ya... sakit perut nih)", kata pak Sunandar sembari memberiku uang untuk membayar belanjaan.

"Ohh... iya pak", jawabku.

Kini tinggal aku dan akhwat penjaga warung saja yang sedang sibuk menghitung total belanjaan ku. Lengan gamisnya yang hanya sampai siku menyebabkan kulit kuning mulusnya menjadi santapan mataku tiap kali ia menjulurkan tangannya untuk memasukkan belanjaanku ke plastik kresek. Wangi harum tubuhnya begitu menggoda libidoku ditambah lagi posisi berdirinya yang menyamping sehingga terlihat jelas gunung raksasanya yang sesak di balik gamis ketatnya.

"Maaf ustad, tinggal di mana ya?? Kok saya gak pernah lihat ustad?", tanya si akhwat. Ia memanggilku ustad mungkin karena saat itu aku mengenakan jubah dan surban.

"Ohh, nggak bu... ini saya lagi i'tikaf di masjid An Nur sini... Inshaa Allah selama 5 hari di sini...", jawabku.

"Ohh... acara apa ya ustad? Kok sampai 5 hari?", tanya si akhwat sambil mengikat kresek belanjaan.

"Ini kan saya satu rombongan dari Jogja sedang belajar silaturahmi di masjid ini... yaa belajar memperbaiki iman gitu bu", jawabku.

"Ohh gitu... berapa orang jama'ahnya ustad?", tanyanya lagi.

"Kita ada 6 orang bu... Ohh ya, perkenalkan saya Suganda. Kalau boleh tau nama ibu siapa??", tanyaku memulai modus.

"Nama saya Fahima... wah banyak juga ya", jawab bu Fahima.

"Yaa nggak juga bu, kalau idealnya sih 8 - 10 orang. Cuma karena masih pandemi, jadi dibatasi maksimal 6 orang", jelasku.

Saat aku sedang asik pendekatan, tiba - tiba terdengar suara lelaki dari dalam yang memanggil Fahima dengan suara keras. Aku pun terkejut karena seharusnya penting menjaga adab pada istri, apalagi ada tamu atau pelanggan.

"Aduhh... maaf ya ustad Suganda... ini totalnya 54 ribu", kata Fahima.

Aku pun menyodorkan uang 60 ribu. Dan dengan terburu - buru Fahima pun memberikan kembalian uangku dan segera masuk ke dalam rumah. Aku pun segera kembali ke masjid untuk bersiap memasak. Hanya saja aku heran jika istri secantik Fahima bisa dapat suami kasar seperti itu. Ya meskipun jika dibandingkan dengan istriku Fadiyah, maka jelas lebih cantik istriku. Hanya saja Fahima memiliki poin lebih di ukuran toketnya yang jumbo itu. Ahh aku pun jadi kepikiran dan menebak - nebak ukuran Bra Fahima yang mungkin ukuran D itu.

"Assalamu'alaykum bu Fahima... mau beli nih...", kata ku dengan berani langsung memanggil Fahima karena aku sudah mengecek kalau motor suaminya sudah pergi siang itu ba'da dhuhur.

"Wa'alaykumsalam... ehh... ustad Suganda, mau beli apa ustad?", tanya Fahima sambil membenahi jilbabnya.

"Mmm... kalau snack yang ini berapaan ya?", tanyaku.

"Kalau yang itu 2000an, kalau yang kuning 3000an ustad", jawabnya.

"Ambil yang ini saja 2 bu... ngomong - ngomong tadi pagi itu suami ibu??", tanyaku memulai pembicaraan.

"Aduhh... iya ustad, maaf yaa kalau kurang sopan. Suami saya memang suka begitu...", jawab Fahima terlihat sedih.

"Oohh... kok bisa gitu bu? Sudah lama kah?", tanyaku sambil duduk di atas tumpukan karung beras dan menikmati camilan.

Fahima pun menceritakan kisahnya dengan suaminya. Ia memang asli Semarang sementara suaminya orang Purworejo. Fahima bersekolah hanya sampai MAN saja, setelah itu ia mondok di salah satu pondok di Ungaran. Selama di pondok, Fahima termasuk santriwati yang baik, bahkan ia hafal sekitar 10 juz Al - Qur'an. Hafalannya memang tak banyak karena saat dirinya berumur 22 tahun, ia pun dijodohkan dengan salah seorang santri yang sudah lama lulus dari pondok lain dan sudah menjadi pengajar di salah satu madrasah salafiyah. Karena dijodohkan, maka Fahima pun merasakan hangatnya kasih sayang sang suami saat berusaha mendapatkan hatinya. Begitu sabar, lemah lembut, bahkan perhatiannya begitu tampak yang membuat Fahima akhirnya luluh meskipun dari segi tampang dan fisik, suami Fahima biasa saja bahkan kalau boleh dibilang seperti beauty and the beast. Keduanya menjalani hari - hari dengan penuh kebahagiaan, hubungan ranjang mereka pun intens dan sang suami pun bisa memberikan kepuasan padanya.

Kemudian semuanya mulai berubah saat hadirnya sang buah hati. Suami terlihat jadi mudah marah, tak lagi peduli pada kondisi dirinya, bahkan sedikit membantu pekerjaan rumah tangga pun enggan. Meskipun begitu, Fahima tetap berusaha melayani sang suami dengan baik. Tapi entah kenapa apa yang ia berusaha lakukan terlihat selalu salah padahal ia juga sudah berusaha menuruti kemauan suami, termasuk dalam urusan ranjang. Fahima pun selalu berupaya untuk memenuhi apa yang menjadi fantasi suaminya. Namun ada beberapa hal yang ia belum mau lakukan termasuk salah satunya blowjob karena menurut Kyai Fahima itu hal yang dilarang. Mulut yang seharusnya digunakan untuk tilawah Al - Qur'an dilarang untuk perkara - perkara yang najis seraya Fahima menirukan pesan dari Kyainya. Keretakan rumah tangganya semakin terasa saat suaminya diberhentikan dari pekerjaannya dan berganti pekerjaan menjadi satpam. Pemasukan yang tak mencukupi menjadi faktor utama berubahnya sifat suami. Sekarang suaminya tak pernah ke masjid, sholat pun jarang, baca Qur'an pun tak pernah. Yang ada hanya merokok terus bahkan dalam 1 hari bisa habis 12 batang lebih. Sifat tempramennya menjadi lebih parah bahkan tak hanya memarahi, membentak dan memukul pun sering sang suami lakukan. Sudah 3 tahun terakhir ini Fahima bertahan dengan kehidupan rumah tangganya yang rusak. Ia membuka toko pun karena bantuan dari kerabatnya yang kasihan dengan kondisi keluarganya.

"Wah... susah juga bu yaa...", kataku sambil mencoba memahami situasi.

"Tapi Alhamdulillah, anak sekarang bisa mondok jadi gak denger kalau ayahnya marah - marah gitu...", jawab Fahima dengan tawa palsunya.

"Yaa itulah beratnya menjadi seorang istri bu, tapi kalau bu Fahima tetap ta'at pada suami tentang perkara - perkara yang Allah ridho maka Inshaa Allah surga balasannya...", jawabku menghibur.

"Aamiin ustad... semoga Allah kuatkan saya... kalau ustad sendiri gimana sama istri?? Ustad aja ganteng, pasti istrinya cantik...", puji Fahima yang kini duduk santai sembari menyangga dagunya dengan tangan kanan.

"Alhamdulillah Allah beri saya istri yang ta'at... Cuma ya dulu butuh perjuangan juga bu... saya yang terlebih dulu harus berubah kemudian baru Allah rubah istri saya", jawabku sambil curi - curi pandang ke dadanya.

"Ohh... Alhamdulillah yaa... terus gimana ustad ceritanya kok bisa harmonis gitu??", tanya Fahima sambil menatapku.

"Yaa berusaha saling mengerti bu... saya dan istri kan beda jauh umurnya... selisih 10 tahun...", jawabku.

"10 tahun...!? Jauh banget... berarti sekarang umur istrinya ustad berapa?", tanya bu Fahima penasaran.

"Kalau sekarang 27 tahun", jawabku.

"Mmm... brarti sekarang ustad umur 37 tahun yaa?? Wahh... lebih tua dari saya... saya sekarang umur 33 tahun... panggilnya Fahima aja ustad, jangan pakai 'bu' gitu", ujar Fahima agak malu.

"Kalau manggilnya cuma Fahima aja kedengarannya kayak kurang sopan gitu. Nanti kalau jadi sayang gimana tuh...", tanyaku bercanda namun juga berharap.

"Ahahah... gapapa loh ustad, saya yang ga enak kalau dipanggil 'bu'... yaa katanya gak kenal maka gak sayang...?", jawab Fahima dengan nada menggoda.

Kami pun terus mengobrol hingga tak terasa jam menunjukkan pukul 14.00. Aku pun izin pamit untuk kembali ke masjid, khawatir kalau Amir Jama'ah mencari - cariku. Sebelum aku pulang, Fahima sempat memberikan beberapa makanan untuk oleh - oleh dan juga senyuman manisnya sambil berkata, "Saya tunggu kalau mau main - main ke sini lagi ustad". Hatiku berdegup kencang mendengar Fahima berkata seperti itu karena aku yakin tak lama lagi aku bisa mengetahui rahasia di balik bongkahan jumbo gamisnya itu.

Sesampainya di masjid, semua jama'ah sedang tidur siang. Karena waktu yang terlalu singkat bagiku untuk istirahat, aku pun chatting dengan istriku sembari menunggu datangnya waktu ashar.

"Wah... ono ghonimah ki... seko sopo?? (Wah... ada ghonimah nih... dari siapa??)", tanya pak Sunandar ketika melihat kresek berisi makanan yang ku bawa.

Ghonimah adalah istilah yang sering kami gunakan kalau ada pemberian dari orang lain.

"Dari Allah pak lewat ibu - ibu di toko tadj pagi...", jawabku.

"Woo... Alhamdulillaah... Mam ojo lali awakmu tugas ta'lim ashar... (Woo... Alhamdulillah... Mam jangan lupa dirimu tugas ta'lim Ashar)", ucap pak Sunandar sambil mengicipi snack yang ku bawa.

Ada beberapa program yang biasa kami buat hari - hari, salah satunya ta'lim. Yaitu pembacaan 1 - 2 hadist Nabi SAW tentang fadhillah amal bertujuan supaya orang yang mendengarnya bisa tau tentang keuntungan mengerjakan suatu amalan.

Setelah Isya, biasanya kami melanjutkan acara dengan makan malam. Setelah makan malam, maka dilanjutkan dengan acara Infirodi (amal masing - masing) atau acara bebas. Kalau ada yang mau langsung tidur dipersilakan, Atau mau silaturahmi ke warga sekitar juga boleh, atau mau ada yang buat amalan pribadi harian pun diperbolehkan. Aku pun memilih untuk jalan - jalan sendiri dengan izin sebelumnya ke amir jama'ah kalau mau keliling kampung untuk buat suasana. Maksudnya adalah berkeliling kampung untuk menebarkan salam dan menjelaskan maksud kedatangan kita pada warga agar mereka tidak asing. Biasanya kalau silaturahmi atau keliling kampung atau kemana pun selama keluar dari lingkungan masjid maka diharuskan berdua dengan salah satu anggota jama'ah, tapi kebetulan teman - teman yang lain memilih untuk tidur atau ngopi, jadi aku pun berkeliling kampung sendirian. Tentu saja tujuanku adalah untuk mengenal lebih dekat Fahima, si pemilik toket jumbo yang harus segera aku un - boxing sesegera mungkin.

Malam itupun aku datang lagi ke warung Fahima, tapi dikarenakan ada suaminya di rumahnya, aku pun tak banyak bicara hanya seperlunya saja. Malam itu pun aku tetap saja mendengar bentakan dari sang suami. Aku merasa kasihan pada Fahima. Sesampainya di masjid, birahiku yang memuncak ku salurkan dengan VCS bersama istriku. Hari berikutnya pun aku masih datang beberapa kali baik pagi maupun malamnya.

"Naah kan datang lagi ustad...", tegur Fahima ketika aku masih berjarak 10 meter dari warungnya.

"Ehh... kok Fahima tau nih aku mau datang??", tanyaku pura - pura.

"Ahahah... Cuma nebak - nebak aja sih ustad... lha dua hari ini aja udah lebih dari 7x ustad kesini", jawabnya sambil menyapu teras warung.

Malam itu Fahima terlihat begitu cantik dan seksi. Selain karena ia mengenakan jilbab instan pinguin warna merah marun dan gamis hitam ketat motif bunga - bunga merah, tubuhnya yang aduhai dengan toket jumbo, dengan perutnya yang tidak buncit, bokong yang semok membuatnya tampak sempurna di bawah cahaya rembulan. Rias tipis di wajahnya dengan lipstik merah di bibirnya membuatku tak sabar untuk bisa segera mencicipinya.

"Ahahah... boleh juga nih tebakannya... aku beli ini ya", jawabku sambil mengambil 1 botol kopi susu di lemari pendingin.

"Harganya 5000 ustad...", jawab Fahima sambil berjalan menuju kasir.

Mataku tak bisa berkedip melihat bokongnya yang terlihat montok, terjepit sesak oleh gamisnya. Ditambah lagi jilbab pinguin yang panjang bagian belakangnya, namun bagian depan hanya sampai di atas dada sehingga gunung kembarnya yang seakan ingin tumpah itu terlihat begitu dominan.

" Ehh yaa... suami kemana Fahima...??", tanyaku mulai akrab sambil duduk menikmati kopiku.

"Suami masuk shift malam ustad...", jawab Fahima sambil membereskan warung.

"Ohhh... berarti sendirian dong malam ini?", tanyaku.

"Iya ustad, mulai malam ini nih suami masuk shift malam gitu jadi yaa sendirian soalnya kan anak sudah mondok", jawabnya.

"Ohh... iya ya... mau ditemenin kah? Ahaha...", tanyaku bercanda.

"Ahaha... ustad nih bisa aja... yaa kalau mau juga boleh", balasnya dengan tertawa.

Sesaat setelah Fahima berkata seperti itu, tiba - tiba saja hujan turun dengan sangat deras. Aku jadi teringat pesan guru - guruku dalam jama'ah dakwah ini kalau kita harus hati - hati dengan apa yang ada dalam pikiran atau hati kita karena Allah akan cepat mewujudkannya kalau kita sedang fii Sabilillah seperti ini. Dan memang 10 menit yang lalu dalam hatiku aku berdo'a agar malam ini hujan terus yang deras hingga tengah malam.

"Walah malah hujan... pantes aja seharian ini gerah banget...", kataku sambil membuka beberapa kancing jubahku.

"Iya nih ustad... lagi ga tentu musimnya... harusnya sih sekarang bukan musim hujan", timpal Fahima yang duduk di kursi dengan menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya sehingga betisnya yang kuning langsat mulus sedikit tersingkap.

"Kaan... jadi beneran nemenin Fahima nihh... Ehh, aku lepas jubah yaa... gerah sih", tanyaku.

"Ohh... iya ustad... nanti di gantung di pintu aja", jawab Fahima.

Aku memang paling tidak tahan dengan cuaca panas, bahkan hanya dengan mendung saja pun sudah cukup untuk membuatku banyak berkeringat. Saat aku melepas jubahku, kaosku sedikit terangkat dan memperlihatkan bentuk perutku yang lumayan bagus pada mata jeli Fahima. Bukan maksud sombong, tapi entah kenapa tubuhku lumayan kencang dan bagus dengan dada cukup bidang dan perut agak sixpack, dengan tinggi tubuh 180 cm dan juga berkulit kuning khas jawa.

"Huufthh... gerah banget... aku emang gak biasa sama cuaca Semarang sih", kataku sambil meniup - niup bagian dalam kaosku.

"Iya sih ustad... Jogja gak sepanas di sini yah??", jawab Fahima sambil menyalakan stand - fan.

"Yaa nggak juga sih Fahima, kadang panas juga... kamu gak gerah kah Fahima??", tanyaku menggoda.

"Yaa gerah juga ustad... tapi masak iya harus dilepas?? Hahaha...", jawabnya sambil tertawa manis.

30 menit sudah hujan turun dan tak menunjukkan tanda - tanda akan berhenti. Bahkan karena derasnya, jarak pandang maksimal hanya sekitar 15 meter. Hawa hangat pun mulai berganti dingin yang membuatku nyaman untuk berlama - lama duduk di situ, apalagi Fahima juga terlihat nyaman dan lepas ketika ngobrol dengan ku.

"Ehh iya... tutup jam berapa nih Fahima??", tanyaku.

"Ehh iya ustad, keasyikan ngobrol sampai lupa kalau udah hampir jam 9", katanya sembari ia bersiap - siap menutup tokonya.

"Lhoo... udah mau ditutup beneran?? Lupa kalau aku masih disini??", tanyaku heran sambil aku mengambil jubahku.

"Kan tadi ustad bilang kalau mau nemenin toh?", jawab Fahima sambil yang kemudian menarik turun rolling - door warungnya.

"Hah?? Beneran nih??", tanyaku yang agak bingung.

"Ahh... udahlah ustad, toh masih ujan deres banget gitu di luar... Fahima yang gak enak sama ustad... masuk dulu ustad, Fahima buatin yang anget - anget dulu...", kata Fahima yang langsung masuk ke dapur dan membuatkan minuman.

Aku pun menatapnya yang berlenggok seksi dengan bokong montoknya berjalan masuk ke dapur. Tapi yang lebih mengherankan lagi kenapa malah jadi kenyataan gini. Aku kembali teringat pesan - pesan guruku untuk hati - hati dengan pikiran ku saat fii Sabilillah seperti ini. Yaah meski iman berontak, tapi setan memang sudah lama menjadi sahabat karibku. Bahkan meski sering ikut kajian sebelum menikah dengan Fadiyah dulu, aku sering bermasturbasi sambil membayangkan ngentot dengan Ukhti Fadwa atau Ukhti Fahimah, atau threesome bersama keduanya.

Desain rumah Fahima cukup sederhana. Warung tempat ia berjualan terhubung dengan ruang tamu dan juga ruang keluarganya. Kemudian dari ruang keluarga baru ada akses ke dapur dan kamar - kamar lainnya. Meski biasa saja, namun bagiku cukup luas kalau hanya ditempati bertiga. Ditambah lagi ada lantai 2 juga. Perabot dan pernak - pernik rumah juga standar saja, yang tampak mencolok bagiku hanyalah TV LCD yang berukuran 80 inch di ruang keluarga saja. Sambil menunggu Fahima, aku pun duduk di sofa dan chatting dengan istriku. Aku bilang pada istriku kalau masturbasi barengnya dibuat 2 hari sekali saja biar ga jadi pertanyaan jama'ah yang lain kalau aku sering menghilang waktu shift jaga malam.

"Maaf ustad, lama ya nunggunya?? Soalnya tadi nyari - nyari dulu stok teh nya gitu...", kata Fahima yang datang dengan membawa baki berisi 2 gelas minuman dan camilan.

"Nggak juga sih, baru juga 5 menitan... tapi di dalem sini dingin juga ya?", tanyaku yang merasa cukup dingin meski di ruang keluarga.

"Ya gitulah ustad, soalnya kan belakang itu tempat njemur, jadi ga dikasih atap gitu biar bisa kena matahari langsung. Cuma yaa angin jadi gampang masuk...", jawab Fahima sambil menghidangkan minuman.

"Ohh gitu...", jawabku sambil melihat Fahima duduk di sofa yang sama denganku tapi dia berada di ujung yang lain.

"Silakan lho ustad... adanya di dapur cuma itu... maaf yaa", kata Fahima dengan wajah dan senyum manisnya.

"He'emh ini aja udah luar biasa Fahima...", jawabku sambil mulai mencicip tehnya.

"Kalau pas sepi gini, Fahima seneng bayangin dulu waktu awal nikah sama suami ustad...", kata Fahima sambil menyalakan TV.

Dia pun kembali bercerita tentang masa - masa indahnya ketika dulu sang suami begitu baik dalam memperlakukan dirinya. Apapun yang Fahima minta pasti akan diusahakan untuk diwujudkan. Tapi sekarang jauh berbeda, Fahima pun sudah merasa kalau suaminya seperti orang lain saja. Benar - benar berubah 180 derajat. Suara Fahima pun terdengar lirih dan mulai sesenggukan. Sebenarnya ia masih sangat sayang dengan suaminya, namun sifat suaminya yang sekarang membuatnya bingung untuk bertahan atau tidak.

"Hik... kalau ustad gimana biar bisa jaga hubungan gitu??", tanya Fahima sambil mengusap air matanya.

"Kalau aku sih, intinya harus jujur dan terbuka satu sama lain baik suami atau istri dalam perkara apapun...", jawabku coba menghibur Fahima.

"Mm... gini contohnya... tentang keuangan, aku pun cerita apa adanya pada istriku tentang usahaku. Kalau pas untung dia tau, kalau pas rugi dia juga tau... jadi bisa saling support. Terus masalah anak, ini aku dan istri ku sering banget ada beda pendapat, tapi kita belajar buat saling mendengar. Sampai... maaf yaa... masalah ranjang pun kami selalu terbuka. Soalnya ini juga penting dalam rumah tangga. Kalau ngga saling terbuka dengan fantasi masing - masing, dikhawatirkan ntar kepuasan nggak maksimal dan bisa membuat keretakan dalam hubungan suami - istri", jelasku.

"Umm... gitu yaa ustad... hik... Fahima cuma gamau keluarga Fahima hancur gitu, tapi suami Fahima... gimana yaa caranya rubah dia??", tanya Fahima putus asa.

Aku pun mencoba duduk lebih dekat dengannya dan menggenggam tangan kirinya. Fahima pun diam saja, namun aku belum berani untuk melangkah lebih jauh.

"Sekeras apapun batu, akan pecah juga jika ditetesi air setiap hari secara istiqomah... Inshaa Allah suatu saat kesabaran Fahima pasti akan Allah pandang... Allah selalu akan berikan yang terbaik, antara Allah rubah sifat suami Fahima atau Allah ganti yang lain yang lebih baik...", kataku untuk menghibur dirinya sambil meremas lembut tangan Fahima.

Tanpa kusadari tiba - tiba Fahima duduk merapat di sisi kananku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Wangi aroma parfum yang biasa Fahima pakai menambah kecantikan dirinya. Kini tangan kanan Fahima menggenggam tangan kananku, sementara tangan kirinya mendekap lengan kananku dan tergencet nyaman oleh empuknya gunung kembar Fahima.

"Maaf ustad... Fahima tau kalau ini dilarang agama, tapi Fahima lagi butuh banget seseorang untuk bersandar dan ustad telah buat Fahima nyaman... maaf...", ujar Fahima sambil menatapku dengan matanya yang berkaca - kaca.

Suara bisikan iman dalam hatiku pun bergolak supaya aku segera pergi dan beristighfar karena aku sedang fii Sabilillah. Namun dentum genderang setan yang lebih keras menenggelamkan bisikan Iman yang terlalu lemah di hatiku. Lagipula aku memang menginginkan hal ini sejak pertama kali bertemu dengan Fahima. Ah sudahlah, kita semua juga tau yang terjadi selanjutnya.

Kedua mata kami pun saling menatap. Bibir merah Fahima yang basah sedikit terbuka menandakan dia siap akan apa yang akan terjadi selanjutnya. Fahima mulai memejamkan matanya saat wajahku semakin dekat dan tanpa berlama - lama aku pun mendaratkan bibirku di bibir Fahima. Jantungku berdegup kencang menanti respon Fahima, khawatir kalau tiba - tiba dirinya tersadar dan berontak. Namun tak ku sangka justru Fahima lah yang memulai memagut bibirku. Kesempatan ini pun tak kulewatkan untuk menunjukkan kemampuanku dalam french kiss yang juga telah diakui oleh istriku sendiri. Lidahku perlahan mulai memasuki mulutnya dan menari lincah di dalam rongga mulut Fahima. Kedua tangan Fahima masih mendekap tangan kananku, sementara tangan kiriku meraba - raba paha Fahima yang masih tertutup gamis.

"mmhh... mmhh... mmhh...", desah Fahima yang terlihat begitu menikmati ciumanku.

Terasa sekali kalau Fahima sudah lama menahan gelora syahwatnya. Ciuman yang ia lancarkan begitu deras yang membuatku semakin bersemangat untuk beraksi lebih jauh. Tangan kiriku yang tadinya hanya membelai pahanya saja, kini mulai bergerilya dan merangsang bagian dalam pahanya. Tentu saja hal ini membuat Fahima mulai gelisah menahan rangsangan ku, bahkan istriku pun langsung basah ketika ku perlakukan seperti ini.

"Mmhh... ustad... pindah kamar aja yukk...", pinta Fahima yang langsung berdiri seraya menarik tanganku.

Aku pun hanya tersenyum dan mengikuti saja kemana Fahima membawaku. Bokongnya yang semok tercetak jelas di gamis ketatnya. Apalagi saat berjalan, kancutnya pun tampak detil menembus ketatnya gamis yang ia kenakan.

"Mmffh... mffhh... mmhh...", desah Fahima tertahan yang langsung kembali melumat bibirku sesaat setelah kita masuk kamar di lantai 2.

Tinggi badan Fahima yang sekitar 165 cm membuatnya harus berjinjit untuk menggapai mulutku. Kedua tanganku yang sudah cukup bersabar selama 2 hari ini, kini tengah melampiaskan dahaganya dengan meremas - remas bokong semok Fahima. Benar seperti dugaanku, bokong Fahima begitu kencang dan mantab, pas sekali untuk doggy - style. Meski tengah berciuman, kedua tangan Fahima begitu terampil melepas kaosku hingga kini tubuh bagian atasku tak tertutup sehelai kain pun. Tangan halus dan lembut Fahima meraba setiap detil dari dada dan perutku. Hembusan nafas Fahima pun semakin berat pertanda ia sudah sangat terangsang. Aku yang kurang nyaman dengan berdiri kemudian menarik Fahima hingga kami berdua tiduran di ranjang. Fahima yang sedang doggy di atas tubuhku masih dengan jilbab dan gamisnya tampak terkesima memandangi tubuhku.

"Mmm... bagus banget badannya ustad...", puji Fahima sambil menciumi leherku dan terus turun ke dadaku.

Jilatan serta cupangan Fahima terasa cukup lihai meskipun tak sepanas Fadiyah istriku, namun cukup lumayan bagi pemula.

"Shhh... belajar darimana nyiumin sama jilat kayak gini Fahima?", tanyaku sambil menikmati permainan Fahima.

"Gatau ustad... yaa kalau sebelum di entot sama suami mesti Fahima disuruh jilatin badan suami Fahima gitu...", ucapnya yang kini sudah sampai pusarku.

"Lumayan juga yaah kamu Fahima, Cuma kurang latihan aja... ehh... ati - ati sama yang ada di balik celana lho...", godaku pada Fahima.

"Hihih... kan emang yang di bawah celana yang Fahima cari ustad...", jawabnya dengan tatapan nakal sembari tangannya meremas - remas kontolku.

Tak kusangka Fahima bisa berkata - kata seperti itu padahal dari kemarin ia selalu menjaga image dirinya. Giliran udah terangsang ternyata ia tipe yang tak malu - malu untuk menggoda pasangannya. Perlahan tapi pasti Fahima menarik turun celana sirwalku.

"Duuhh ustad... sama gantengnya nih kayak yang punya...", puji Fahima sambil mengocok perlahan kontolku.

"Namanya apa tuh Fahima?", tanyaku menggodanya.

"Iihh ustad nihh... kontollh... hihih... mau tanya ustad, apa istri ustad juga jilatin kontol sebelum ngentot??", tanya Fahima polos.

"Kalau istriku? Udah jadi kewajiban tuh... ga Cuma jilat, di emut juga Fahima... malahan sering pas aku pulang atau pas lagi senggang atau pas mau tidur, langsung di emut istriku tanpa ku minta... cobain dulu dehh...", bujukku ke Fahima yang masih mengocok lembut kontolku.

"Mmhh... iya deehh ustad... Fahima coba...", jawab Fahima dengan raut wajah agak jijik.

Namun meski begitu, Fahima tetap memberanikan diri dan mulai menjilati batang kontolku. Pertama mulai dari kepala kontol kemudian dia turun perlahan hingga ke zakarku. Aku pun mendesis merasakan jilatan istri orang lain di kontolku. Sungguh pengalaman yang luar biasa. Melihatku yang keenakan, Fahima pun mencoba untuk memasukkan kontolku ke mulutnya. Ukuran kontolku standar orang Indonesia. Panjang 16 cm, diameter 4 cm, tapi ntah kenapa istriku selalu bilang kalau milikku gede banget.

"Awwhh... ahahah... pelan - pelan Fahima... jangan sampai kena gigi yaah...", ucapku yang merasa nyeri saat gigi Fahima menggesek batang kontolku.

Tak lama kemudian Fahima mulai terbiasa dengan kontol ku. Mulutnya terlihat menggembung saat kontolku memenuhi rongga mulutnya. Hanya sepertiga dari kontolku saja yang mampu Fahima handle. Aku pun maklum karena ini pertama kalinya bagi Fahima.

"Gimana? Enak kan??", tanyaku sembari meminta Fahima untuk doggy.

"E'emhh... mmfhh...", jawab Fahima yang kini doggy di samping kanan ku.

Benar - benar pemandangan yang memanjakan mata dan selakangan, melihat Fahima yang baru 2 hari ini kukenal kini tengah menyumpal mulutnya sendiri dengan kontol pria lain yang bukan suaminya. Tubuhnya yang semok aduhai kini telah sepenuhnya aku kuasai. Tangan kananku pun tak melepaskan bokong Fahima menganggur dan meremasnya kuat - kuat. Jemariku pun tak segan - segan menusuk - nusuk memeknya yang masih tertutup gamis dan kancut itu.

"Ahh... ustad... tangannya kok nakal sihh...", kata Fahima yang sengaja menggoyang - goyangkan pinggulnya menginginkan lebih.

"Hadehh... gak nyangka kalau kamu sebinal ini yah Fahima... kapan terakhir kali ngentot??", tanyaku sambil meremas - remas bokong montoknya.

"Mmffhh... 2 minggu yang lalu ustad... sshh... uhh... itu pun Cuma bentar banget... 10 menit selesai... aahhh...", desah Fahima menikmati sodokan jariku ke memek basahnya.

"Loohh, tadi cerita kalo suami sering bikin kamu puas Fahima...?? Kok 10 menit udah kelar??", tanyaku sambil menampar bokong Fahima.

"Aauuhh... Shhh... nakal yah ustad... Fahima juga gatau ustadhh... ahh... udah setaun ini kayak gituhh... mmhh...", jawab Fahima sambil mendesah sementara tangan kanannya meremas kuat kontolku.

Matanya merem melek dengan sesekali Fahima menggigit bibir bawahnya saat menikmati permainan jemariku. Mirip dengan istriku saat malam pertamaku dengannya yang kelojotan hanya dari permainan jemariku di tubuhnya.

"Sini gantian...", kataku seraya memeluk Fahima dan menelentangkannya di ranjang.

Sekillas kupandangi wajah cantiknya yang bermata jeli berbulu lentik yang dibalut sempurna oleh jilbab pet antem pinguin warna merah marun.

"Kok bisa sih wanita secantik dirimu ada di dunia ini?", bisikku mesra sambil menciumi leher jenjang Fahima yang tertutup jilbab.

"Ahhh... ustaad... mmhh...", desah Fahima yang menggelinjang merasakan geli bercampur nikmat.

Aku pun menyibakkan jilbabnya hingga sebagian leher mulus Fahima nampak sampai ke bagian pundaknya. Dengan penuh nafsu, aku benamkan wajahku, mencumbu liar dirinya. Leher Fahima pun mulai penuh dengan ruam kemerahan akibat cupangan. Kedua tanganku pun sibuk meremasi toket incaran ku selama ini. Begitu besarnya toket Fahima, bahkan tanganku yang tergolong besar pun hanya mampu meraup separuh saja. Padahal toket istiriku begitu mudah dicakup tanganku, namun milik Fahima memang Queen - size. Gamis yang Fahima kenakan kutarik perlahan yang dibantu Fahima dengan mengangkat punggungnya.

"Woww... emang bener sesuai ekspektasiku...", kataku yang terkejut dengan ukuran toket Fahima.

Dengan cepat Fahima sendiri yang melepas bra warna cream yang ia kenakan dan melemparnya. Kini gunung kembar jumbo Fahima yang begitu bulat dan kenyal dengan puting kehitaman tersaji sempurna di depan mataku.

"Kenapa ustad?? Kok diliatin gitu??", tanya Fahima dengan tatapan menggodaku.

"Ohh... gak boleh ya? Yaudah, aku makan aja deh...", jawabku seraya membenamkan wajahku ke toket 36D milik Fahima.

"Aauhh... sshh... aahh... ustaaad... enaakk... mmhh...", desah Fahima merasakan kenikmatan lihainya mulutku di toketnya sementara kedua tangannya mencengkram sprei.

Akhirnya usahaku selama 2 hari ini pun terbayarkan. Toket se - nikmat milik Fahima ku lahap dengan ganas, ku cupangi, ku jilat, ku hisap kuat putingnya yang membuat Fahima kelojotan bak cacing kepanasan. Aku berterimakasih sekali pada hujan yang tak kunjung reda, selain memberiku alasan untuk berlama - lama silaturahmi, Fahima pun bisa melepaskan desahan dan erangannya dengan bebas tanpa khawatir di dengar tetangganya.

Lebih dari 5 menit aku menggilir kedua gunung kembar Fahima. Jilbab instan yang Fahima kenakan pun mulai terlihat acak - acakan karena daritadi ia terus membanting kepalanya kiri dan kanan menahan derasnya syahwat yang menerpanya.

"Ahhh... ssshh... ustadd... aahh... geliihh... tapi enakk... aahh...", lenguh Fahima sembari tangannya meremas - remas rambutku.

Entah kenapa rasa puting dan toket Fahima begitu manis di lidahku yang membuatkan ingin berlama - lama di sana. Kadang kugigit lembut putingnya yang membuat Fahima tersentak dan melenguh panjang. Fahima semakin keras mendesah saat ku satukan kedua toketnya dan kulahap kedua puting manisnya bersamaan. Ia menekan - nekan kepalaku sehingga membuatku sulit bernafas karena tersumpal gunung kenyalnya.

"Ishh... AHHH... AAHH... USTAAD... DUUHH... AMPUUNNH... ENAKK USTAAD... AAHH...", racau Fahima semakin kuat.

Agak lama aku menikmati toketnya sebelum kemudian ku lanjutkan perjalananku meng - unboxing tubuh sintal kuning langsat mulus Fahima. Sembari kedua tanganku menarik turun gamisnya perlahan, lidahku pun menyapu setiap bagian tubuh Fahima hingga ku jumpai pusarnya. Lidahku dengan cepat melesak masuk dan menari - nari di dalam pusarnya membuat Fahima kembali blingsatan. Hingga akhirnya kutarik lepas gamis hitam beserta kancut cream Fahima. Aku pun berhenti sebentar untuk memandangi tubuh Indah akhwat 33 tahun itu. Meski tak seputih istriku Fadiyah, namun paduan tubuh Fahima mulai dari toket jumbonya, perutnya yang tidak buncit, pinggul yang lebar, bokongnya yang montok terlihat pas dengan warna kulitnya yang kuning langsat.

"Mmhh... mmhh... Indahnya tubuhmu Fahima... aku jadi makin nafsu nih", kataku seraya mataku menelusuri lekuk tubuhnya.

"Ahh... ustad... bisa aja sih... yuukk sinih ustaad... udah basah banget nihh...", pinta Fahima sambil membuka lebar kedua pahanya.

Ahh selesai sudah keimananku. Aku pun tak lagi mempedulikan tentang diriku yang seharusnya menjadi contoh untuk umat untuk meninggalkan hal - hal seperti ini. Namun pesona memek Fahima yang kehitaman khas wanita Asia ditambah labia mayora yang tipis merekah menghiasi selakangan mulusnya, benar - benar telah membius diriku untuk menta'ati dakwah setan di hatiku.

Meski sudah terangsang maksimal, aku tak langsung melahap memek becek lezat Fahima. Namun kembali ku permainkan birahi Fahima dengan kujilati jemari kakinya satu persatu, terus telapak kakinya, berlanjut ke betis dan paha mulus semoknya hingga berhenti di selakangannya tanpa menyentuh memeknya sedikitpun. Kulakukan itu di kedua kaki seksi Fahima hingga seluruh kakinya terlihat mengkilat oleh liurku.

"Aahh... sshh... aaahh... uhhh... aaahh...", desah Fahima tak tertahan saat ku jilati kakinya yang sedari tadi tertutup oleh gamis.

Dan kini menu utama siap untuk disantap. Fahima pun semakin membuka lebar kakinya dan mengangkang menyerahkan bagian tubuhnya yang paling berharga untuk dinikmati oleh pria yang baru saja ia kenal.

"OUUH... SHHH... AAHH... MMMHH... AAAHH... USTAADD... OOUHH...", Lenguh Fahima meledak saat lidahku mendarat dan menyapu memeknya dari pangkal hingga kelentitnya, menjilat bersih belahan memek Fahima yang sudah banjir bandang.

Lendir memek Fahima begitu lezat yang membuatku semakin bersemangat untuk terus menjilat dan menghisap habis hingga kesat. Mungkin ini terjadi karena sudah lama Fahima tak disetubuhi, ditambah ia juga sangat terangsang. Sensasi mendebarkan sekaligus menyenangkan menjadi satu di dalam diriku karena kini aku tengah menikmati selakangan istri sah orang lain.

Lidahku dengan begitu lihai memanjakan dan menyapu bersih lendir Fahima yang terus mengalir tanpa henti. Tubuh Fahima blingsatan bak ikan di daratan, merasakan terpaan rangsangan yang menjalar cepat. Mulut manisnya tak henti - hentinya mendesah dan meracau sementara mata lentiknya merem melek menikmati sensasi selingkuh untuk pertama kalinya.

"USTAADD... OOHH... AAMMPUN ENAKNYAA... OOHH... MMHH... SSSHH... OOHH... TERUSH USTAAD... AAAHH...", racau Fahima dengan kedua tangannya menekan kepalaku di memeknya.

Istriku pun yang sudah berkali - kali ngentot denganku masih saja kewalahan apabila aku sudah mengoral memeknya, apalagi Fahima yang baru pertama kalinya. Aku pun tak hanya berhenti disitu saja, kedua jempolku kulesakkan dan kubuka selebar mungkin liang peranakan Fahima. Aroma khas lendir akhwat dan juga beceknya dinding liang peranakan Fahima yang berwarna pink membuatku tak sabar dan dengan penuh nafsu ku tusuk - tusuk dengan lidahku.

"AAUUHH... UUNNGHH... USTAADHH... AAHH... ENAK USTAADD... AAHH... OOHH... OOUHH... SSHH... AAHH...", desah Fahima yang begitu menikmati servisku.

Kini aku berganti memasukkan jari telunjuk dan jari tengah kananku lalu kukocok cepat memek Fahima sementara bibirku menghisap kuat kelentitnya. Aku tau benar tak ada wanita yang mampu bertahan dari serangan seperti ini.

"AAHH... AAHH... OOHH... MMHH... NNGGHH... A... AA... AAAHH... MMHH... USS... TAADD... AHKK... AHKK...", Lenguh Fahima seperti tersendat dibarengi tubuhnya yang kelojotan.

"AHK... US... TAAD... AAHJJ... UDAAHH... PI... PISSHH...", Desah Fahima dengan suara terputus - putus bercampur dengan desahan.

Aku pun tak mendengar jelas apa yang Fahima katakan. Saat diriku tengah asik mengulum kelentit Fahima dan menyodok cepat G - Spotnya, aku dikejutkan oleh semburan hangat orgasme Fahima yang memancar membasahi leherku. Tubuh kuning langsat mulus Fahima mengejang hebat sementara matanya terpejam dibarengi dengan lenguhan panjangnya melepaskan kenikmatan squirting.

"Aauuhhh... ustaad... maaf jadi pipisin ustadhh... sshh...", kata Fahima yang masih tersengal - sengal setelah orgasme.

"Ahahah... gapapa Fahima... justru aku seneng banget kamu bisa squirt gitu...", jawabku sambil mencabut jemariku dari memek Fahima dan kujilati hingga bersih.

"Squirt apa tuh ustad?", tanya Fahima yang mulai berkeringat.

"Yaa itu tadi kamu pipis... namanya squirting... enak kan??", tanyaku sambil menggesek - gesekkan kontolku di memeknya.

"He'emh... bangeth ustad... udah lama banget Fahima ngga ngrasain squirt...", jawab Fahima yang kembali membuka lebar pahanya.

"Mau lagi kah? Masukin yaa??", tanyaku menggodanya.

"E'emhh... mau ustad... iya masukin dong ustad Suganda sayangh... AAUUHH... OOHH... SHH... AAHHH... AAHH... MMHH...", pinta Fahima yang dibarengi desahan lepas Fahima merasakan memeknya ditembus kontolku.

Mata Fahima terpejam sembari mulutnya mendesah dan terkadang menggigit bibir bawahnya menikmati setiap sodokanku di liang memeknya. Posisi Missionary membuat kedua tangan Fahima dengan mudah mencakar - cakar punggung ku. Keindahan tubuh Fahima semakin bertambah saat toket jumbo miliknya bergoyang seirama dengan gerak pinggulku. Desahan dan lenguhan Fahima semakin keras memenuhi seisi kamar. Decit ranjang pun menjadi saksi bisu nikmatnya perselingkuhan kami. Kontolku serasa dipijat - pijat kuat oleh memek Fahima yang sudah 2 minggu tak disodok. Tak pernah kurasakan kenikmatan seperti ini apalagi sampai mensetubuhi istri orang, semakin membuatku bergairah.

Jam sudah menunjukkan pukul 21.50 namun hujan tak juga ada tanda - tanda akan berhenti sementara aku kini tengah menggempur memek Fahima dengan gaya doggy. Bokongnya yang montok benar - benar memanjakan mataku yang membuatku semakin ganas untuk meremas - remas dan menamparinya.

"AWHH!! AAHH... SSSHH... OOHH... TERUSH USTAD... AAHH... ENAKNYAA... KONTOL USTAD... AAHH... GAK SEPERTI SUAMIKU... AAAHH...", racau Fahima yang tengah tenggelam dalam nikmatnya seks dengan pria lain.

Beberapa saat kemudian Fahima pun kembali orgasme dan mengucurkan mani hangatnya namun tak sederas Fadiyah istriku. Aku pun mencabut kontolku yang entah kenapa sampai saat itu belum kurasakan tanda - tanda klimaks. Memek Fahima yang menganga dan nampak banjir itu kembali menjadi santapan mulutku yang haus akan lezatnya lendir akhwat.

"Uhhh... Sshh... jangan disitu ustaad... kotorr aahh... aahh... mmhh...", desah Fahima menikmati tarian lidahku di memek dan anusnya.

Aku pun meminta Fahima untuk berganti giliran. Women On Top pun menjadi posisi favorit Fahima untuk menaklukkan lawannya. Fahima pun segera berjongkok di atas pinggulku sementara tangan kanan lembutnya mengarahkan kontolku.

"OOOUUHHH... SSHH... AAHH... USTAAD... AAAHH... OOUHH... NAKAL... UUHH... MMMHH... ", desah Fahima .yang mulai bergerak maju mundur.

Toket Fahima kembali menari indah seiring mantabnya pinggul lebar Fahima memacu kadar dosa di antara kita. Posisi ini bisa membuat Fahima mencapai klimaks lebih cepat karena ia bisa mengatur tempo dan posisi kontolku di memeknya. Fahima terus mendesah keras seakan meluapkan seluruh nafsunya. Tanganku pun tak tinggal diam dan mulai meremas - remas toket jumbonya.

"Aaahh... jadi begini rasanya berselingkuh dengan istri orang", gumamku dalam hati.

"AAHHH... ADUHH... ENAKNYAAHH... MENTOK USTADD... KONTOLNYAAH... ENAK BANGET... AAAH... MAU PIPISS... AAAHH... USTAADD... OOOHH...", Ucap Fahima yang semakin cepat menggoyang pinggulnya.

"Iya sini... mandiin aku pake pipis kamu Fahima sayaang...", jawabku menggoda Fahima sambil menampar bokongnya.

"AAHH!! IYAAHH... PIPIS USTAAD... AAHH... NNGGHH...", Kata Fahima sembari menegakkan tubuhnya dengan berlutut.

Mata Fahima tampak nanar seraya menggigit bibir bawahnya melepas air maninya, mancur membasahi tubuhku. Begitu hangat sekaligus menyenangkan melihat mantan santriwati pondok tengah bugil dan squirt di atas tubuhku.

Variasi goyangan Fahima pun masih standar, belum se - variatif istriku Fadiyah yang mirip artis porno. Sejak awal nikah dengan istriku Fadiyah, aku sering menekankan padanya tentang pentingnya kepuasan dalam seks, termasuk melampiaskan fantasi seksnya tanpa batas. Awalnya ia ragu - ragu dan malu saat kuminta untuk menonton video - video porno dengan alasan jijik. Tapi kini hampir tiap malam pasti ia sempatkan untuk nonton sebelum tidur sehingga tiap kali kita ngentot, aku pun dibuat takjub dengan caranya men'servis' diriku dan kontolku. Tapi tetap saja Fahima cukup piawai meskipun masih tergolong pemula.

"Mmmhh... mau pipis lagi yah Fahima...?? Sinihh... siram ke mulutku aja...", kataku memancing syahwat Fahima.

"AAHH... AAHH... NGGA MAU USTAD... KOTORR... SSHH... AAHH... GA TAHANN LAGI USTAAD... ENAK BANGETHH... AAHH... NNGHHHHH...", desah Fahima sebelum akhirnya ia kembali orgasme.

Ia kembali ke posisi berlutut saat klimaks sementara tangan kanannya menggesek cepat memeknya. Aku yang sudah terlanjur bernafsu, segera memajukan kepalaku dan membenamkan wajahku di selakangan Fahima dengan kedua tanganku menyangga tubuhku. Derasnya mani hangat Fahima mengalir deras membasahi tenggorokanku. Sudah lama aku tak merasakan kelezatan seperti ini yang membuatku teringat saat Fadiyah pertama kali squirting di mulutku. Wajahnya terlihat begitu puas dan maninya begitu lezat yang membuatku menenggak seluruhnya malam itu tiap kali ia klimaks.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.15 saat Fahima melepaskan orgasme terakhirnya malam itu setelah 7x orgasme. Aku pun kembali mengangkat kepalaku untuk menenggak cairan orgasmenya, yang ternyata kedua tangan Fahima justru menarik kepalaku dan menjepitnya di selakangannya. Tubuhnya mengejang hebat sementara kepalaku agak nyeri karena kedua pahanya menjepit kuat sembari menyemburkan maninya dengan deras. Hujan yang begitu lebat di luar, membungkam teriakan kepuasan Fahima melepas seluruh syahwatnya setelah 1 jam lebih ia berzina denganku. Beberapa saat kemudian tubuhnya lemas dan tersungkur di atas tubuhku dengan pinggulnya dan memeknya menempel di perut bawahku sementara kedua kakinya terlipat di samping kiri dan kanan pinggulku.

"Hhh... uhh... Ustad Suganda sayang... capek... tapi enak... aahh... mmhh...", kata Fahima dengan lemas sementara kepalanya ia sandarkan di dadaku.

"Ahahah... tapi aku belum keluar nih... pinjem memek kamu lagi yah Fahima...", kataku sambil membelai paha mulusnya dan menikmati kekenyalan toketnya di perutku.

"Ehh... maaf Fahima egoiss ustad... E'emhh... pakai aja ustad... sepuasnya...", jawab Fahima sambil merangkul leherku.

Aku yang sudah hampir klimaks kembali melesakkan kontolku dengan mudah menembus memeknya. Kali ini dengan seluruh tenagaku, ku hantam kuat dan cepat bokong Fahima seraya kedua tanganku mencengkram bokong montoknya.

PLOK!! PLOK!! PLOK!!

Suara hantaman pinggulku begitu keras dan menggema memenuhi kamar. Fahima pun hanya bisa mendesah pasrah merelakan selakangannya menjadi tumbal kebuasan syahwatku. Hangatnya liang peranakan Fahima begitu memanjakan kontolku yang sudah siap memuntahkan lahar panasnya. 5 menit sudah aku menggempur Fahima hingga akhirnya aku pun mencapai klimaks.

"Ahh... Ahh... keluarin mana Fahima...??", tanyaku sambil terus menyodok rahim Fahima.

"Dalem ajah ustad... keluarin dalem... aah... ahh... yang banyak ustaad... aahh...", pinta Fahima.

Ku lesakkan kontolku sedalam mungkin dibantu kedua tanganku yang mencengkram erat bokong Fahima dan kutekan ke bawah. Ku rasakan kontolku menabrak kuat pintu rahimnya dan kuledakkan semua spermaku membanjiri rahim mungil Fahima.

"Fuuhh... leganya... ", kataku sambil terkapar lemas setelah orgasme.

"Ahhh... anget banget ustad di dalam... mmhh... makasih yaah ustad Suganda... Fahima seneng banget malam ini...", kata Fahima mendekap erat diriku.

"Iya, aku juga seneng banget... dan maaf udah nodai kamu Fahima, padahal kamu istri orang", jawabku sambil membelai kepalanya yang masih terbalut jilbab.

"Bukan... Ustad ngga salah, Fahima yang salah udah ngajakin Ustad buat zina... maafin Fahima ustad...", jawab Fahima dengan nada menyesal.

"Hemm... yaudah, tohh sama - sama khilaf... ngomong - ngomong kalau khilaf lagi mau ngga??", tanyaku bercanda.

"Isshh... ustad mahh... ngapain harus khilaf?? Kan sama - sama mau... hihihi...", jawab Fahima gemas.

"Ehh... mau lagi beneran??", tanyaku kaget.

"Mau banget ustad... tapi pas suami ngga di rumah yaa...", kata Fahima sebelum kemudian kami tertidur karena kecapekan.

Ranjang tempat kami memadu birahi pun basah kuyup oleh mani Suganda, sementara spermaku meleleh di antara kontolku yang masih terbenam di memek Fahima. Ia pun tertidur telungkup di atas tubuhku yang telah resmi menjadi selingkuhan ku.

Aku pun terbangun dan jam menunjukkan pukul 01.05. Khawatir nantinya jadi pertanyaan teman - teman jama'ah yang lain, aku pun minta izin pada Fahima untuk balik ke masjid.

"Iyaa ustad... makasih yaa...", ucap Fahima yang hanya mengenakan selimut untuk menutupi tubuhnya.

Sesampainya di masjid kudapati teman - teman jama'ah sudah tertidur, dan hanya ada amir jama'ah (pak Mukhamad) yang masih berdiri sholat tahajjud karena memang ini shift malam beliau. Pagi sekali sebelum subuh aku mandi junub karena ada tuntunan Rasulullah bahwa waktu terbaik untuk mandi pagi adalah sebelum subuh.

"Mas Suganda, semalam kemana aja...?", tanya Amir jama'ah, pak Mukhamad, saat musyawarah pagi.

"Afwan Mir... semalam silaturahmi ke tempat kenalan lama saya, trus kejebak ujan, malah diminta beliaunya untuk istirahat di sana sekalian nunggu hujan reda", jawabku ngeles.

"Ohh... terus gimana? Apa saja yang disampaikan ke beliaunya??", tanya pak Mukhamad.

"Yaaa masih bicara apa yang beliau suka Mir, masih kuat dunianya... tapi Inshaa Allah bisa di prospek...", jawabku meyakinkan pak Mukhamad sebagai amir jama'ah.

Salah satu hal yang kusuka dari jama'ah dakwah seperti ini adalah kesatuan hatinya. Setiap anggota jama'ah saling khusnudzon dengan anggota yang lain sehingga celah ini yang kumanfaatkan, termasuk untuk terus menjumpai Fahima. Selama seharian aku terus chatting dengan Fahima, namun malam itu aku tak bisa menjumpainya karena harus membagi waktu dengan jadwal VCS dengan istriku setiap 2 hari sekali.

"Yaah... berarti nanti malam Fahima kesepian dong...", kata Fahima dengan nada kecewa sambil menyerahkan kresek yang berisi beberapa snack yang kubeli pagi itu.

"Hahah... maaf sayang... biar istriku juga dapat jatah... toh sekalian biar besok squirtnya bisa kenceng", jawabku menggoda Fahima sambil meremas toketnya.

"Eeehh... nakal yaa ustad sekarang... uda berani pegang - pegang", jawab Fahima malah membusungkan dadanya untuk dijamah.

"Situ juga seneng dinakalin kan?? Ehh yaa... sini Fahima aku kasih tau biar kamu bisa belajar tentang ngentot lebih banyak...", ujarku sambil meminjam smartphone Fahima.

Aku pun mulai mengajarkan Fahima bagaimana cara meng - akses situs - situs porno, mulai dari penggunaan VPN hingga beberapa situs - situs yang mudah untuk streaming. Mata Fahima terbelalak ketika melihat banyaknya video - video tak senonoh yang bisa dia tonton. Aku pun menunjukkan video salah satu web yang sering di akses istriku.

"iihh... ustad kok tau sih yang kayak beginian??", tanya Fahima yang sedang membiasakan diri dengan video porno.

"Jangan panggil ustad ahh... aneh... lhoo, ini penting biar Fahima juga tau tentang luasnya dunia per - ngen - tot - an...", jawabku sambil meremas bokong semok Fahima yang terbalut gamis mocca.

"Mmm... Fahima panggil pakai mas aja yaa...", jawab Fahima yang mulai berat nafasnya tanda ia terangsang.

Setelah itu kutingggalkan Fahima dengan hobi barunya. Ia pun bercerita kalau ternyata nonton video seperti itu membuatnya birahi sehingga ia sering memainkan memeknya dari balik gamis. Namun meski begitu, ia senang karena wawasan tentang seksnya bertambah.

"Aaauh... shh... uhh... terus umi sayang... masa Cuma 1 sih...??", pintaku pada istriku sambil aku mengocok kontolku melihat aksi istriku.

Malam itu aku kembali ber - VCS ria dengan istriku yang tengah nungging dengan anusnya tersumpal dildo. Kadang aku merasa bersalah karena telah merusak seorang akhwat aktifis dakwah Islam yang dulunya lugu dan hanya memikirkan agama saja. Kini setelah menjadi istriku, seorang ukhti Fadiyah berubah menjadi akhwat hyper - seks. Yang dulunya ia paling segan menjamah lelaki, kini ia pun rela melakukan apa pun demi kontolku menyumpal ketiga lubang kenikmatan di tubuh putih mulus tanpa cela miliknya.

"Aahh... Iyaah bii... sshh... aahh... sshh...", rintih istriku Fadiyah saat dildo kedua menguak anusnya.

Aksi istriku itu membuat nafsu syahwatku bergolak hebat membuatku semakin cepat mengocok batang kejantananku. Kubayangkan mudahnya meng - anal istriku saat pulang nanti.

"Ooouhhh... sshh... kocok terus abi sayaang kontolnyaa... sshh... aahh... kangen kontol abi... uuhh... oohh... mmhhh...", desah istriku yang sedang doggy dan menusuk - nusuk sendiri kedua dido di anusnya sembari terangsang melihatku mengocok kontolku dengan cepat.

Tak lama berselang, aku pun mencapai klimaks ku yang juga diikuti oleh istriku yang menyemburkan deras maninya membasahi karpet ruang depan.

"Makasih yaah abi sayang buat malam inihh...", ucap istriku yang nampak kelelahan dari mata lentiknya.

"iyaa umi sayang... jangan dilepas lhoo dildonya.", pintaku pada istriku Fadiyah yang hanya mengenakan jilbab cream dan cadar hitam itu.

"Uuwwh... ngeganjel abi sayaang... ga bisa bobo umi ntar..." jawabnya sambil mencabut dildo dan mengulumnya.

"Eehh... kok dicopot sih??", tanyaku kecewa.

"Mmmhh... susah abii... ga bisa bobo umi ntar... besok kalo abis pulang aja deh yaa... umi pasrah mau abi apain terseraah... hihihi...", jawabnya sambil kembali mengenakan dasternya.

"Hahah... yaudah deh... met bobo umi sayaang... mmmuacchh...", jawabku sambil mematikan VC.

Esok harinya seperti biasa aku pun mencari alasan pada amir jama'ah untuk bisa menjumpai Fahima. Meskipun peraturan yang berlaku melarang untuk pergi sendirian, tapi aku tetap bersikukuh untuk bisa sendiri dan akhirnya diizinkan. Fahima pun sudah memberi tauku kalau suaminya masuk lembur lagi sehingga pagi sampai sore dia ada di rumah.

"Assalamu'alaykum... bu mau beli...", kataku ketika memasuki warung.

"Wa'alaykumsalam... mas... ehh... ustad... mau beli apa?", tanya Fahima basa - basi.

Karena suami Fahima ada di dalam, aku pun membatasi pembicaraan dan suara di antara kami. Meski begitu Fahima tetap bercerita kalau ia sudah nonton begitu banyak video. Ntah kenapa dirinya tak bisa berhenti untuk menikmati setiap video yang ada di web yang kuberikan.

"Iya nih ustad, jadi ga bisa berhenti... hihihi...", kata Fahima yang mengenakan bergo se - dada dan gamis ketat panjang warna mocca.

"Yaudah... praktek ntar malam ya Fahima...", jawabku berbisik.

"He'emhh... aku tunggu yah mas Suganda...", bisik Fahima kembali.

Kata - kata Fahima membuatku tak sabar untuk menanti datangnya malam hari. Bahkan di setiap program masjid yang ada di benakku hanyalah Fahima yang mengangkang sembari menawarkan memeknya padaku.

"Hayooo!! Nglamunke opo Suganda...?? Lagi mlaku durung ono 20 dino wae wes kangen bojo?? Hahah... (Hayoo!! Nglamunin apa Suganda...?? Baru jalan belum ada 20 hari aja udah kangen istri?? Hahah...)", tegur pak Khairul yang sedang membacakan kitab ta'lim.

"Aahh... iya e pak... ahahah... namanya juga cinta...", jawabku.

Akhirnya shift malamku pun tiba. Setelah memastikan semuanya tertidur lelap, aku pun segera menuju rumah Fahima karena aku hanya punya waktu 1,5 jam saja sebelum masuk shift berikutnya. Aku pun chat Fahima kalau sudah berada di depan pintu samping rumahnya.

"Mas Suganda... langsung masuk aja gih", kata Fahima sambil memastikan tak ada orang lain di sekitar rumahnya.

Setelah memastikan tak ada orang lain, Fahima pun mengunci pintu rumahnya dan langsung mendekapku erat. Toketnya terasa begitu penuh dan kenyal di tubuhku. Kami pun saling pandang sebentar dan memastikan kalau setan sudah hadir di dalam diri kami. Tanpa kita sadari, kita sudah bergumul di ranjang kamar Fahima dimana ia biasa tidur dengan suaminya.

"Ummfhh... ummffh... Ahh... mas Sugandam... Fahima kangen banget", ucap Fahima kembali memagutku sementara ia doggy di atasku.

"Mmchh... mffhh... aku juga Fahima...", jawabku sembari lidahku meladeni tarian liar lidah Fahima di mulutku.

Baru 2 hari yang lalu aku melakukan french kiss bersamanya, tapi malam ini pagutannya sudah layaknya artis porno. Kedua tangan Fahima begitu cekatan melepasi kancing jubahku. Aku pun tak mau tertinggal dan melucuti gamisnya. Nafsu syahwat yang membakar kami berdua telah menguasai iman dalam diri kami. Tak butuh waktu lama bagi Fahima untuk melepas jubahku dan melemparnya entah kemana, sementara ia juga membantuku melepasi gamisnya dan melemparnya. Kini hanya tersisa sirwal saja yang masih menempel di tubuhku.

"Widiihh... ga pake daleman yaa sekarang...", kataku sambil meremas bokong semok Fahima yang sudah menduduki perutku dan hanya tersisa bergo marun di kepalanya.

"Iyaa dong maas... biar cepet gak pake ribet...", jawab Fahima yang kemudian memanjakan seluruh tubuhku dengan cupangan dan jilatannya. Tak seperti ketika hari pertama yang lalu, kini Fahima tau benar bagian - bagian sensitif tubuh pria. Aku pun dibuat takjub dan gelagapan merasakan permainan lidahnya merangsang dada dan perutku. Sirwalku pun tak bisa bertahan lama dari lincahnya jemari lentik Fahima. Kurang dari 5 detik sirwalku sudah bersarang di salah satu sudut ruangan.

"Uuhh... wanginya kontol mas... sluurpp... mmhh... lezaat mass...", kata Fahima yang sedang nungging dengan kepalanya terbenam di selakangan ku.

Benar - benar layaknya artis porno, Fahima menjilati keseluruhan batang kontol 16 cm ku, bahkan ia tak ragu - ragu menghisap zakarku dengan penuh nafsu. Tatapan mata cantiknya terus menggodaku seakan - akan menantangku untuk segera menikmati tubuhnya.

"Ahh... shh... mmhh... 2 hari aja udah berubah drastis gini yaah...", desahku menikmati akhwat berjilbab marun itu yang sedang asik mengulum kontolku.

Sepongan Fahima malam ini benar - benar luar biasa, bahkan tak sekalipun giginya menggesek batang kontolku yang tegak mengacung keras. Decak becek mulut Fahima yang tersumpal separuh dari kontolku terdengar erotis. Air liurnya mengalir membasahi zakarku tiap kali ia membuka mulutnya untuk melahap batang kenikmatan milikku. Toket Fahima terlihat menggantung indah dihiasi puting kehitaman yang sudah mencuat keras menanti untuk di kulum.

"Auhh... sinih Fahima bokong kamuh...", pintaku pada Fahima.

"Mmfhh... mmhh... gimana maksudnya mas...?", tanya Fahima keheranan dengan mulutnya belepotan liur.

"Yaa tetep aja kamu nungging kayak gini, Cuma bokongmu taruh atas kepalaku sini... aku pengen isep memekmu...", kataku seraya mengarahkan posisi Fahima.

"Mmhh... ginih mas Suganda?? Aaahh... shhh... mmhh... hmmffh... mmffh... ockk... ockk... mffhh...", desah Fahima saat kujilati memeknya sementara Fahima langsung melahap kembali kontolku.

KELANJUTAN CERITANYA ADA DIKARYAKARSA ATAU BISA MENGHUBUNGI INSTAGRAM AUTHOR @ WIDASU.ID

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI...

KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA...

JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN

INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI...

JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!

TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...

More Chapters