WebNovels

Chapter 5 - SISI GELAP PONDOKKU

Entah harus senang atau bagaimana, sebenarnya ini adalah aib ku, hanya saja setelah kemarin Allah pertemukan aku dengan Widasu, salah satu penuGhaliyatul cerita 'panas' favoritku, dan beberapa teman - teman yang baru yang ternyata memiliki masa lalu yang sama denganku, aku jadi tertarik untuk sedikit berbagi kisahku dulu. Dan apabila banyak kekurangan dalam penulisan, tolong dimaafkan.

Namaku Ghaliyatul (bukan nama sebenarnya) dan kejadian ini terjadi sekitar beberapa tahun yang lalu. Saat itu aku masih berumur 19 tahun. Masih terpatri dengan jelas dalam ingatanku semua yang terjadi saat itu yang membuat diriku seperti ini sekarang. Jujur saja, aku berasal dari keluarga yang mengenal agama. Orang tuaku, terlebih ayah ku, sering sekali diundang untuk menjadi pembicara dalam kajian - kajian di daerahku di Ciamis. Ibu ku pun hari - hari selalu menutup rapat auratnya tiap kali keluar rumah dan juga cadar selalu menutupi wajah putih cantiknya yang saat itu masih berumur 35 tahun, sementara ayahku sendiri lebih tua 8 tahun.

Aku adalah anak semata wayang. Hidupku sehari - hari biasa saja seperti anak - anak lainnya. Namun semua itu mulai berubah ketika virus itu datang. Ya, virus pink, virus yang pasti menghinggapi setiap anak muda. Saat itu aku berumur 15 tahun dan duduk di bangku kelas 9 MTS. Awalnya aku tak terlalu peduli dengan keadaan sekitarku. Layaknya anak perempuan seumuran itu pastilah pergaulannya dengan teman - teman sesama perempuan. Tapi ada seorang siswa laki - laki yang entah kenapa selalu mencoba mencuri perhatianku. Padahal fisikku biasa saja tak ada bedanya dengan rata - rata fisik perempuan jawa barat. Kulit putih, tinggi standar anak SMP akhir, cantik juga standar saja menurutku. Terlebih lagi aku termasuk cuek dengan para siswa laki - laki di kelas maupun sekolahku. Ayahku sering berpesan padaku agar selalu menjaga diri dari lelaki, termasuk membatasi komunikasi. Kemudian jika sudah waktu pulang sekolah, aku tidak boleh kemana - mana dan hanya boleh menunggu di sekolah. Pernah kejadian aku harus menunggu selama lebih dari 1 jam karena motor ayahku bocor dalam perjalanan.

"Ehh... Ghaliyatul... Ghaliyatul... pinjem tipe - X mu dong... ehh mintak... ahaha...", celetuk seorang siswa lelaki dari meja sebelah.

"Ngapain pinjem? Tuh kamu punya sendiri...", jawabku singkat sambil sibuk menyalin tulisan di papan tuGhaliyatul.

"Yaaahh... punyaku habis nih Ghaliyatul... tuhh liatt...", jawab siswa lelaki tadi sambil menunjukkan tipe - x nya yang memang habis.

"Halah Mochamad... Mochamad... nih...", jawabku ketus sambil melemparkan tipe - x ke Mochamad.

Ya dia adalah Mochamad. Seorang siswa lelaki di kelasku. Tak ada yang spesial dari fisiknya atau kemampuan akademisnya. Bahkan kalau bisa kubilang aku dan Mochamad ini mirip banget kayak zebra - cross. Aku yang putih, dia yang hitam. Tapi entah kenapa hatiku berkata lain setelah beberapa bulan setelahnya. Ada saja cara dia untuk menarik perhatianku padahal aku selalu cuek. Bahkan pernah ia dengan sengaja menaruh bunga beberapa tangkai di atas tasku saat aku tengah keluar untuk buang air. Sontak saja seluruh kelas menjadi riuh ramai saat aku kembali. Tak hanya karena tingkah Mochamad yang meletakkan bunga, tapi juga yang tiba - tiba dia menembakku untuk jadi pacarnya.

Seluruh mukaku merah karena malu. Semua teman - teman sekelas bersorak dan memaksaku untuk menerimanya. Yaah karena sudah terlanjur malu, aku pun tak bisa berkutik dan berakhir dengan mengangguk kecil. Bukannya reda, malah seluruh kelas semakin heboh lagi bersorak - sorai hingga menyebabkan beberapa guru yang ada datang.

"Aaahh... Bahagia banget loh aku say...", kata Mochamad sambil merapikan buku - buku pelajarannya.

"Hah? Kenapa?? Kok bisa...?? Lagian ngapain panggil say gitu!?", tanyaku ketus karena masih kesal dengan apa yang ia lakukan tadi.

"Yaah kan kita udah resmi pacaran... jadinya wajar dong kalo aku panggil sayang gitu...??", balas Mochamad.

Kata - kata Mochamad itu ibarat halilintar yang menghujam kuat di hatiku. Aku baru ingat dan tersadar akan apa yang ku lakukan sebelumnya. Kebingungan melanda diriku, apakah aku harus benar - benar menerima kenyataan ini, ataukah aku harus bersandiwara saja. Aku pun memutuskan untuk menerima kenyataan yang terjadi, tapi tetap aku menjaga sifatku yang selalu cuek pada lelaki.

Meski status kami dikenal sudah menjadi sepasang kekasih, tapi tetap saja aku selalu mencari alasan untuk menghindari Mochamad. Kadang alasan sibuk lah, ada acara keluarga, udah ditunggu orang tua, ada acara kampung, dll. Apapun yang bisa kujadikan alasan akan kugunakan untuk tetap menjaga jarak dengannya.

"Ghaliyatul... kamu tega kayak gitu sama Mochamad?? Dia itu serius lhoo...", celetuk salah seorang teman perempuanku di kelas.

"Tega dong... kan dia aja yang ngerasa gitu... aku sih biasa - biasa aja...", jawabku santai.

"Ya Allah Ghaliyatul... kalo emang gak suka... bilang dong... jangan maenin perasaan orang gituu...", timpalnya.

Selama beberapa hari aku memikirkan benar kata - kata temanku itu. Mungkin saja aku terlalu jahat pada Mochamad. Mungkin sebaiknya aku menyudahi hubungan ini meski baru berjalan beberapa minggu saja. Dan hal baru seperti itu yang membuatku hampir tak bisa tidur hari - hari.

"Umi... nanya dong...", kataku sambil menikmati makanan.

"Hem?? Gak biasanya nih kamu nannya... mau nannya apa??", jawab umiku yang sedang menyiapkan makanan.

"Mmmm... Cinta tuh apa sih??", tanyaku polos.

"Ppfftt... Ahahaha... anakku udah nanya tentang cinta sekarang... kenapa? Lagi kasmaran yaaa...??", jawab umi ku menggodaku.

"Bukan sih mi... yaa penasaran ajaa... iihh... kasih tau laahh...", jawabku agak kesal ke umi.

"Apaa yaaa... Bingung juga umi jelasin... intinya tuh kayak rasaaa... yaahh... gak pengen kehilangan aja... Cuma kalo jelasinnya... umi aja bingung...", jawab Umi.

"isshhh... ngomong aja gamau cerita... huh...", jawabku agak kesal.

"Lohh... Lohh... kok malah ngambek?? Umi aja cinta sama abi mu gak perlu penjelasan kok... cukup dirasakan aja dan dibuktikan... gituuhhh...", lanjut umi.

"Yaaa... paling nggak kan umi bisa kasih kisi - kisi dikit gituuu... kan umi lebih pengalaman...", jawabku.

"Yaa mau gimana?? Buat umi itu tuh... ehh bentar... kok anak Umi jadi pengen tau banget sih?? Biasanya kamu tuh paling males ngobrol ga penting lama - lama gitu...??", tanya Umi yang mulai penasaran.

"Ahh... Ngga jadi deh...", kataku yang kemudian melanjutkan makan sementara umi melihatku dengan keheranan.

Kemudian hari - hari ku berlanjut seperti biasa dengan aku yang terus berusaha menolak setiap ajakan Mochamad. Hingga suatu ketika aku benar - benar lupa untuk bawa uang saku, sehingga aku tak bisa menolak ajakan makan siang dari Mochamad karena sangat lapar.

"Udah sayaang... santai aja... nanti aku yang bayar kok...", ujar Mochamad sambil memesan makanan di kantin sekolah.

"Eehh... nggakk... nanti aku ganti yah...", jawabku yang merasa tak enak dengan Mochamad.

"Apasih...?? Udah makan dulu... itu pikir nanti aja... sayang mau makan apa...??", tanya Mochamad yang terdengar tulus.

"Mmm... apa aja yang murah...", kataku sambil menahan malu.

"Ohhh... yaudah... Ambuu...!! Pesan ayam bakar dua ya... sama es teh manis dua...", ujar Mochamad.

Mendengar apa yang dipesan Mochamad membuatku semakin merasa bersalah, bukan hanya karena harga ayam bakar yang termasuk mahal di kantin, tapi juga sikapku yang selama ini selalu acuh pada Mochamad. Akhirnya kami pun duduk di meja makan sambil berhadapan. Meski tak banyak yang makan dikantin karena kebanyakan siswa sudah pulang, tapi tetap saja ada beberapa siswa yang memang sengaja 'ngecengin' aku dan Mochamad disana.

"Ehemm... Ehemm... Kayaknya ada yang lagi asik nihh... mana belom ada pajak jadiaann...", celetuk salah seorang siswa.

"Ahahah... sabar lah... doain aja gampang rejeki... ntar aku traktir... ", timpal Mochamad mencoba membalas kata - kata siswa itu.

Yah sudah jadi konsekuensi ketika kita membuat 'sensasi' di lingkungan sekolah. Sebenarnya aku sudah memprediksi akan terjadi hal - hal seperti ini, maka dari itu aku bersikap cuek pada Mochamad. Tapi siang itu, rasa lapar membuatku tak punya banyak pilihan. Aku pun terpaksa menahan malu karena terus - menerus menjadi bahan pembicaraan di kantin. Bahkan teman - teman sekelasku yang perempuan pun sama saja.

"Ahahah... maaf yah sayang... jadi gini...", kata Mochamad mencoba mencairkan suasana.

"Iyaaa... udah... salahku juga kok...", jawabku singkat sambil mulai menikmati ayam bakar dihadapanku.

Meski awalnya kesal, namun keteguhan Mochamad untuk terus pendekatan padaku pun berbuah juga. Entah kenapa siang itu aku lebih banyak menjawab setiap pembicaraan yang Mochamad sampaikan meski awalnya aku juga tak peduli.

"Ahh... ternyata gak buruk juga ngobrol sama ikhwan...", ucapku dalam hati.

Itulah awal mula hubungan kami semakin dekat. Aku yang tadinya cuek, mulai sedikit demi sedikit membalas perhatian dari Mochamad. Itulah saat di mana benih - benih cinta mulai kurasakan. Teman - teman sekelas yang biasanya 'ngecengin' aku pun mulai berkurang karena kini aku dan Mochamad sudah seperti layaknya pasangan kekasih. Mungkin bagi mereka aku sudah tak seperti dulu yang asik untuk dijadikan bahan bercanda.

"Iyah sayang... makasih yaaa...", ucapku sebelum kemudian aku berjalan keluar kelas menuju ayahku yang sudah menanti di luar gerbang sekolah.

Setelah berada di motor, aku baru sadar akan apa yang aku ucapkan. Tak pernah kubayangkan kata itu akan mengalir lepas dari mulutku. Aku pun menutupi wajahku dengan kedua tanganku karena malu. Selama perjalanan pulang hatiku terus berdegup kencang, "apakah ini yang namanya cinta?".

"Haaaahh...?? Mau buat apa hape segala...?? Kamu tuh masih SMP...", jawab abi sambil menjumput makanan.

"Yaa kan temen - temen udah pada punya HP bi, masa aku sendiri yang ga punya?? Serong loh bi aku di sekolah tuh gatau apa - apa... yaahh bi yaaa...??", rengekku.

"Nggaaaak... belum waktunya... lebih banyak mudharat kalo abi kasih HP ke kamu sekarang...", jawab Abi ku yang memang terkenal tegas.

"Kasih aja kenapa sih Bi...?? Ghaliyatul tuh udah besar... lagian kasian juga dia ga bisa komunikasi sama teman - temannya...", jawab umi yang berupaya membujuk abi ku.

Yaah bukan abi namanya kalau langsung mengabulkan permintaan anaknya. Memang hanya aku sendiri yang tidak punya HP di kelas. Bukan karena orangtua ku tak mampu, tapi lebih karena mereka menganggapku belum cukup dewasa untuk menggunakan HP.

"Assalamu'alaykum...", ucapku sambil membuka pintu depan rumah.

"Wa'alaykumsalam...", jawab umi dari dalam rumah.

"Miihh... Abi mau kemana tuh? Ga biasanya siang - siang gini pergi...??", tanyaku sambil masuk ke rumah setelah melepas sepatu.

"Ngga tau juga... tadi katanya mau ada musyawarah sama temen kajian abi... ", jawab Umi yang lagi santai tiduran di kamar.

"Ohh gitu... Ehh, ini apa mi...??", tanyaku yang terkejut dengan kotak hadiah di atas meja.

"Hem...?? Kenapa sih...??", tanya Umi.

"Iniiihh... kotak hadiah ini... punya siapaaa...??", tanyaku penasaran sambil berlari menuju kamar umi sambil membawa kotak yang terbungkus kertas kado itu.

"Oohh itu... itu hadiah dari Allah buat putriku tersayang...", jawab Umi yang sudah dalam posisi duduk di pinggir kasur.

"Aaahh... buatku!? Aaaaa... maaaaciihhh uummmiii...", jawabku yang langsung membongkar cepat kotak hadiah itu.

Mataku terbelalak melihat apa yang ada di dalamnya. Seluruh hatiku ingin berteriak karena rasa senang yang amat sangat. Entah bagaimana caraku mengungkapkan rasa senang yang kurasakan siang itu. Sebuah HP yang selama ini ingin kumiliki, meski bukan termasuk yang tercanggih, tapi sudah cukup bagiku. Tampak sekali raut wajah bahagia di wajah umi yang sudah berumur 35 tahun itu.

"Seneng ya?? Tapi inget pesan umi sama abi... kontrol pemakaian... gunakan buat apa saja yang membuat Allah ridho...", ujar umi.

"Iyaa miii... Inshaa Allah... yaayy...", jawabku singkat tanpa pikir panjang karena terlalu hype dengan hadiah itu.

Selanjutnya? Seperti halnya yang dilakukan oleh anak - anak perempuan sebayaku. Sudah pasti sosial media menjadi aplikasi wajib. WhatsApp pun prioritas utama yang harus ku install lebih dulu. Tak butuh waktu lama hingga beberapa teman - temanku akhirnya terhubung denganku via online, tak terlepas Mochamad.

"Ehh... yang udah punya HP sekarang... seneng dong sayang...", kata Mochamad di chat.

"hehe... yaa gitu sayang...", jawabku.

Kini hubunganku menjadi lebih sering dengan Mochamad. Hanya gara - gara satu benda saja bisa begitu mengubah jalan hidupku. Yang tadinya aku berupaya untuk menghindari virus cinta, kini malah diriku terjangkit dan tak ingin sembuh darinya. Perlahan kontak fisik kami semakin sering, bahkan Mochamad sudah mulai berIsytihar menggenggam tanganku. Awalnya aku marah saat tau ia dengan sengaja menggenggam tanganku.

"Ehh...!! Apaan sih pegang - pegang!??", tanyaku dengan nada tinggi karena terkejut.

"Hah...?? Ohh... Ahh... anu... gak sengaja kok sayang...", jawab Mochamad yang berpura - pura tidak sengaja.

Tapi ia tak berhenti disitu, bahkan beberapa kali ia masih sering mengulanginya. Tak hanya menggenggam tanganku, kadang ia merangkul pundakku sesaat. Akhirnya karena terlalu sering, aku pun capek sendiri. Meski berkali - kali ku tegur dia, Mochamad sama sekali tak bergeming. Ingin rasanya aku marah, Cuma rasa cintaku padanya sudah terlalu dalam untuk dikubur.

"Eehh... gak marah lagi nih dipegang gini...??", tanya Mochamad sambil memijat - mijat telapak tangan kiriku sementara tangan kananku menggenggam gelas thai tea.

"Hemm...?? Emang kalo aku larang kamu bakal berhenti?? Capek tau ngasih tau kamu tuh...", jawabku yang masih kesal sekaligus nyaman.

"Ahahah... yaa gimana?? Masa iya bidadari secantik sayangku ini ngga diperjuangin sungguh - sungguh??", jawab Mochamad yang membuatku tersipu.

"Ahhh... apaan sih... ngegombal mulu...", jawabku.

"Yaa gapapa kan?? Sama kekasihnya sendiri juga...", jawab Mochamad yang tiba - tiba membelai lembut pipiku.

Aku hanya terdiam saat kulit jemarinya menyentuh kulit pipiku yang cukup kenyal. Antara rasa bersalah dan juga bahagia bercampur jadi satu. Aku tak tau lagi harus menjawab apa. Selama beberapa detik aku terdiam, namun tak lama kemudian bisikan malaikat yang lebih dulu membangunkan diriku dari lamunan singkatku.

Plak!!

"Udah ya...! Jangan kelewatan!!", ucapku sambil menepis tangan Mochamad sambil aku langsung berlalu pergi meninggalkan Mochamad di kantin yang sudah mulai sepi.

"Ehh... sayaaang...??", ucap Mochamad yang terdengar seperti kebingungan.

Sesampainya di rumah, aku segera menuju kamarku dan mengunci pintu. Ku benamkan wajahku ke bantal dan tak terasa air mataku menetes. Aku baru sadar kalau aku sudah terlalu jauh melangkah melewati batas hubungan antara ikhwan dan akhwat. Aku lupa pesan abi dan umi untuk menjaga jarak dengan lelaki yang bukan mahramku. Selama sekitar 15 menit lamanya aku terus menyalahkan diriku hingga akhirnya aku tertidur.

"Kenapa matamu sembab gitu...? Belekan??", tanya umi yang menyadari perubahan pada wajahku.

"Emm...?? Iyakah?? Gatau mi...", jawabku lesu sambil menusuk - nusuk nasi di hadapanku dengan garpu.

"Kenapa sih anakku ini?? Cerita dong sama umi kalau ada masalah...", jawab Umi.

"Heemmhh... Mi... Allah tuh maha pengampun kan...??", tanyaku.

"Iya dong... kenapa??", tanya umi.

"Kalau aku buat dosa gitu... diampuni ngga ya...??", tanyaku sambil terus menatap lesu nasi di depanku.

"Hemmffhh... Ahahah... kenapa baru sadar sekarang...??", jawab umi sambil menahan tawa.

"Ahhh... apaan sih umi nih malah ketawa...!! Serius lhoo...", jawabku yang agak kesal.

"Coba umi nannya... udah berapa kali Umi suruh sesuatu sama Ghaliyatul, tapi Ghaliyatul bangkang? Dosa ngga coba...??", tanya Umi.

"Mmm... yaaaa... gituu...", jawabku sambil menunduk malu.

"Nahh... tapi Allah gak langsung marah sama Ghaliyatul kan?? Jadi Inshaa Allah, Allah tetap mengampuni dosa selama bukan dosa syirik...", lanjut umi.

"Mmm... gitu yah mi... jadi gini... tadi tuh pas di kantin tuh ada temenku yang iseng gitu terus pegang tanganku gitu... kan dosa yahh...??", tanyaku.

"Yaa tergantung... itu Ghaliyatul yang pengen atau dianya yang pengen??", tanya umi.

"Dianya lah mii... orang Ghaliyatul lagi enak - enak makan...", jawabku berbohong pada umi.

Umi pun menyampaikan kalau dosa itu menjadi tanggungan kita kalau hal itu memang kita sengaja dan kita tau dalil tentang larangan akan hal itu, tapi kalau tidak sengaja atau kita tidak sadar maka kita terbebas dari dosa. Aku memang sengaja tak menyampaikan dengan jujur tentang apa yang terjadi pada diriku. Aku takut kalau umi sampai marah. Apalagi kalau abi tau, ahh sudahlah mati sudah.

Selama semalaman aku sama sekali tak menghiraukan chat WhatsApp dari Mochamad. Bahkan beberapa kali ia melakukan panggilan WA. Namun suasana hatiku malam itu memang sedang tak ingin untuk berkomunikasi dulu dengan Mochamad.

"Sayang!! Sayang...!! Ghaliyatul sayang...?? Jawab dong... tungguin...", ujar Mochamad yang berjalan cepat ke arahku saat sampai di gerbang sekolah pagi harinya.

"Kok semalem aku chat ga bales?? TelAnsyori juga ga diangkat...?? Kenapa sih...??", tanya Mochamad.

"Nggak... Gapapa...", jawabku singkat tanpa memandang Mochamad.

"Yaah... ngambek yaaa...?? Kenapa??", tanya Mochamad yang terdengar panik.

Kemudian seharian aku tak menghiraukan apapun yang Mochamad lakukan. Beberapa kali ia berusaha untuk mendapatkan perhatianku. Tapi aku masih merasa bersalah atas apa yang ku lakukan.

"Kenapa e Ghaliyatul?? Marahan sama Mochamad...??", tanya Hafsha teman karibku.

"He'emh...", jawabku.

"Kenapa coba...??", tanya Hafsha kembali sambil menikmati tempura.

"Yaaahh... ada lah pokoknyaa...", jawabku yang tak mau rahasiaku diketahui.

"Ohhh... kamu sayang Mochamad ngaa sih...??", tanya Hafsha lagi.

"Mmm... Sayang sihhh...", jawabku setelah terdiam beberapa saat.

"Kalo beneran sayang... diomongin baik - baik laahh... jangan kayak gini... kasian tuh Mochamad... coba kamu di posisi dia, pasti bakal sakit hati...", jawab Hafsha yang membuatku tersadar.

Ternyata aku sudah terlalu egois dan tak menghiraukan perasaan Mochamad. Setelah istirahat pagi itu aku mencoba untuk memberikan peluang pada Mochamad meskipun aku sendiri masih merasa kesal entah kenapa. Yah tapi teringat kata - kata Hafsha, kalau memang aku sayang dengan Mochamad, maka tak ada salahnya mencoba.

"Mochamad... ikut aku yuk...", ucapku setelah selesai sekolah.

"Ehh... iya sayang... mau kemana...??", tanya Mochamad.

"Yaaa... ngobrol aja gitu...", kataku sambil malu - malu kemudian berjalan lebih dulu.

Mochamad pun segera berjalan mengikutiku dari belakang dan aku yakin pasti ada rasa penasaran dalam dirinya. Memang semenjak aku dihadiahi HP, setiap harinya pasti ada saja alasanku untuk menunda abi menjemputku. Entah alasan tugas lah, meeting OSIS, ketemuan sama teman, dll. Untungnya abi tak curiga.

"Mmm... aku mau...", ucapku sesaat sebelum Mochamad memotongnya.

"Aaahh... iyah sayang... aku minta maaf yaah kalo ada salah... jujur aja aku gatau dimana salahku karena kan kemarin - kemarin kita ga ada apa - apa tuh... terus tiba - tiba sayangku ngambek... maaf yaahh... kalo boleh tau, aku salahnya dimana yaa...??", ujar Mochamad sambil berlutut di depanku yang sedang duduk di kursi panjang di depan kelas 3 - 8.

"Aahh... Mmmhh... anu...",

Aku tak mampu melanjutkan kata - kataku. Entah kenapa mulutku serasa terkunci oleh ketulusan maaf yang diucapkan Mochamad. Terlebih lagi sikapnya saat mengucapkan kata - kata maaf itu. Seluruh hatiku terasa meleleh. Rasa kesal yang sedari tadi menyelimuti hatiku kini berganti dengan hangatnya dekapan cinta yang muncul tiba - tiba. Tak kuasa air mataku mengalir karena rasa bersalahku padanya.

"Kok bisa sih kamu Ghaliyatul!? Ikhwan se - tulus ini kamu sia - siain!?", gumamku dalam hati.

"Sayang...?? Kok diem...?? Kok malah nangis...?? Kata - kataku nyakitin yaah...?? Maaf aku gatau... duhh...", ucap Mochamad yang kemudian duduk disamping kananku dan berusaha menenangkanku dengan menepuk - nepuk pundak kiriku dengan tangan kirinya.

"Nggak... aku yang salah... maafin aku yah... sayaanghh...", ucapku begitu saja tanpa kusadari.

Bahkan entah kenapa tanganku begitu mudahnya mendekap tubuh Mochamad tanpa sedikitpun merasa malu ataupun jijik padahal ini pertama kalinya bagiku. Hangatnya tubuh Mochamad siang itu begitu nyaman untukku. Ditambah lagi belaian lembut tangan Mochamad dikepalaku yang masih terbalut jilbab segi empat putih dan bersandar di pundaknya semakin membuatku ingin berlama - lama dengannya.

"Iya sama - sama sayang... btw ngga pulang kah??", tanya Mochamad sambil terus membelai kepalaku.

"Nghh... ntarrhh... lagi nyamanhh...", jawabku yang semakin erat mendekap Mochamad.

Selama beberapa menit kami hanya diam dan tak berbicara sedikitpun. Aku ingin berlama - lama merasakan hangatnya saat itu. Meski dalam hati kecilku terus berusaha berbisik kalau yang ku lakukan ini salah, tapi entah kenapa siang itu diriku begitu mudahnya melanggar larangan agama.

"Sayang... sayang... ga bobo kann...??", tanya Mochamad sambil mengguncangkan tubuhku.

"Ahhh... ngga sayang... keenakan aja... kenapah...??", tanyaku sambil menatap wajah Mochamad yang entah kenapa terlihat syahdu.

"Udahh... pulang dulu yuukk... ntar orangtua kamu khawatir lohh...", ujar Mochamad sambil membelai pipiku.

Ahh... entah kenapa kali ini belaian Mochamad terasa begitu hangat dan lembut. Selama beberapa saat ku tutup mataku untuk menikmati momen itu. Aku pun menggenggam tangan Mochamad yang masih menempel dipipiku dan menahannya untuk sementara. Benar - benar nyaman.

"He'emhh... bentar sayang, aku WA abi dulu...", jawabku sambil melihat ke HP.

Saat ku buka HP betapa terkejutnya aku ketika melihat begitu banyak misscal dari abi. Ternyata abi sedari tadi sudah menunggu di halaman sekolah.

"Kok daritadi abi telAnsyori ngga dijawab sih??", tanya abi yang terdengar agak kesal.

"Iyaa maaf bi... tadi masih di musholla, terus aku silent gitu bi... bentar lagi keluar kok", jawabku yang agak panik.

Aku pun segera mengemasi barang - barangku. Saat hendak beranjak meninggalkan Mochamad, tiba - tiba Mochamad menarik tangan kananku. Dengan kuatnya ia menarikku ke belakang yang membuatku agak kehilangan keseimbangan dan berakhir dalam dekapan Mochamad. Belum selesai aku terkejut, tiba - tiba Mochamad dengan cepatnya mendaratkan bibirnya di bibirku.

Sontak aku pun terkejut namun entah kenapa tubuhku seperti membeku. Mataku hanya bisa terbelalak mendapati sensasi ciuman pertama itu. Dekapan Mochamad terasa semakin erat sementara bibirnya terasa begitu hangat. Jantungku berdegup kencang saat itu. Hingga kemudian setelah beberapa detik, Mochamad melepaskan dekapannya.

"Ahhh... Maaf sayang... jangan marah yaahh... aku Cuma terlalu kangen aja sama Ghaliyatulku sayang...", ujar Mochamad sambil memegang pundakku.

"Ahh... i... iyaa... yaa... udahh... dadah sayang...", jawabku singkat dengan tergagap.

Seluruh pikiranku nge - blank, bahkan beberapa kali Abi harus berteriak saat memanggilku sambil mengendarai motor. Bukan hanya karena angin, tapi pikiranku yang masih tak menyangka akan kejadian yang baru saja terjadi. Semuanya begitu cepat yang membuatku tak tahu harus meresAnsyori seperti apa.

"Ghaliyatul!! Ngelamun teruss...!! Dipanggil abi nya kok diem aja! Besok - besok Inshaa Allah abi mau ngisi kajian diluar... jadi besok kamu pulangnya nge - grab aja...", kata abi dengan suara keras supaya aku bisa dengar.

"Haahh?? Ohh... yaa bii... tapi kan aku maluu bii...", jawabku ngeles.

"Halah... biasanya juga kamu kalo pergi main juga pake grab... dah lah jangan bikin repot umi...", jawab abi.

Mendengar hal itu aku semakin senang. Karena aku tak perlu khawatir untuk harus menunggu kedatangan abi, juga karena kini aku bisa leluasa main tanpa khawatir akan dimarahi abi. Dan benar saja, bisikan setan yang selama ini terdengar lemah, kini terasa tak bisa terelakkan lagi. Semua keimananku serasa tak ada artinya. Begitu mudahnya aku mengiyakan setiap tingkah yang dibuat Mochamad.

Baru saja kemarin ia dengan berIsytiharnya mencium bibirku, kini hal itu sudah seperti kewajiban yang harus kita tunaikan. Bahkan tangan Mochamad tak lagi malu untuk menjamah bagian tubuhku yang lain. Benar kata orang tua, kalau matamu, telingamu, bibirmu, hatimu telah mengiyakan cabang - cabang Zina, maka tunggulah saatnya kamu akan kehilangan perhiasan terpentingmu sebagai seorang wanita.

"Ahhh... Sayanghh... Ntar kalo ada yang liat gimana...??", tanyaku yang sudah terlanjur dilanda birahi.

"Mmfhh... Mcchh... Nggak kok sayangh... santai ajaahh... kan kitahh udah sering disinihh...", jawab Mochamad yang tengah mencumbu tubuhku yang masih berpakaian biru - putih.

Semenjak abi sibuk untuk mengisi kajian, aku dan Mochamad semakin intens dalam menjelajahi kenikmatan syahwat dunia. Gudang bangsal olah raga pun menjadi tempat rahasia kami setiap selesai sekolah untuk memadu kasih. Siang itu paha mulus putihku yang biasa tertutup rok biru dan inner - pants panjang telah terekspos dan tengah dibelai oleh tangan kanan Mochamad. Ia terus melumat bibirku seperti hewan yang kelaparan sementara aku terduduk di atas tumpukan matras yang cukup tinggi. Kedua kakiku di tekuk hingga mengangkang sementara tubuhku yang agak condong ke belakang kusangga dengan kedua tanganku. Toketkun yang tengah tumbuh masih aman terbungkus oleh bra sporty hitam yang menjumbul dari balik bajuku yang terbuka 2 kancingnya.

"Aaahh... Sayanghh... Mhhh... Aahh... Ahhh...", desahku saat tangan kiri Mochamad meremasi toket kiriku yang masih terbungkus bra.

"Mmffh... Mffhh... Cupphh... Wangi banget kamu sayanghh...", jawab Mochamad yang tengah mencumbu leherku.

Seluruh tubuhku terbuai dengan kenikmatan dosa yang kulakukan siang itu. Rasa penasaran ditambah kenikmatan yang masih tergolong 'baru' kurasakan membuatku ingin untuk segera mencapai puncaknya. Tapi meski aku sudah tenggelam dalam syahwat, aku masih cukup sadar untuk tak membiarkan semuanya terjadi terlalu jauh.

"Aaaaahhh... Aaaahhh... Sshhh... Oohhh... Sayaanghh... Mmhhhh...", lenguhku tak kuasa menahan nikmat saat Mochamad kini mulai melahap memekku yang masih sempit namun telah banjir oleh cairan birahi.

Tak serta merta Mochamad langsung melepas CD ku dan melakukan oral di selakanganku, tapi ia terlebih dulu memanjakanku dengan permainan jemarinya mengobok - obok bibir memekku. Aahh... begitu nikmatnya saat itu kalau kuingat kembali. Mochamad dengan terampil menstimulasi bibir liang memekku dan sudah kubilang padanya kalau aku tak ingin kehilangan keperawananku. Sekitar 8 menitan Mochamad menikmati gurihnya memek perawan sebelum kemudian aku mengejang kuat merasakan orgasmeku.

"Haemfhh... Mfhh... Mffhh... Srrpp... Srrpp... Mffhh...", desahku saat menikmati kontol Mochamad yang berukuran sekitar 12 cm itu.

Bagiku saat itu kontol Mochamad termasuk besar karena itu yang pertama bagiku. Butuh waktu sekitar 3 hari untukku agar terbiasa dengan rasa dan aroma kontol lelaki. Mochamad yang kini berganti duduk di tumpukan matras terlihat merem melek menikmati kulumanku. Posisiku yang berlutut dengan agak condong ke depan dan juga kepalaku yang masih terbalut jilbab putih jumbo membuat Mochamad semakin terbang dalam fantasinya. Kulumanku ku variasikan dengan jilatan dan seAnsyorigan di zakarnya sementara tanganku terus mengocok batang kenikmatan Mochamad.

"Aarghh... Arghhh... Keluar sayanghh... Arrghhhh...!!!!", geram Mochamad karena ejakulasi.

Crrt... crrrtt... crrttt...

Kedua tangan Mochamad menahan kepalaku sehingga seluruh sperma Mochamad untuk kesekian kalianya memenuhi seluruh rongga mulutku. Aku berupaya menelan sebagian besar sperma Mochamad. Meski sudah berkali - kali, namun tetap saja aku tersedak karena pekatnya rasa dan aroma sperma lelaki.

"Assalamu'alaykum...", ucapku memasuki rumah sekitar jam 15.30 sore.

"Wa'alaykumsalam...", jawab Abi.

Aku pun keheranan karena tidak biasanya abi sudah ada di rumah jam segini. Setelah melepas sepatu dan kaos kaki, aku segera menuju ruang keluarga dan kujumpai umi dan abi sudah menungguku. Ada yang aneh yang membuat hatiku merasa tidak nyaman karena Umi terlihat tertunduk sambil menyeka air matanya, sementara Abi, tak pernah kulihat ekspresi yang menyeramkan seperti itu.

"Kamu... kalo pulang sekolah itu kemana...???", tanya Abi singkat tapi tegas.

"Ehh... Mmm... anu Abi... ituu... main sama temen... kadang kerja kelompok...", jawabku yang mulai gugup.

"YANG BENER!!! KAMU BOHONG KAN SAMA ABI SAMA UMI...!!??", tegas Abi dengan nada tinggi sambil memukul meja sangat keras.

Aku yang mendengar hal itu seperti hatiku tengah dihujam beribu - ribu tombak. Aku tau kalau tingkahku selama ini sudah tercium oleh abi, bahkan mungkin lebih parah lagi kalau abi sudah mengetahui dosa - dosaku. Aku hanya terdiam dan menunduk. Hatiku serasa hancur, seluruh tubuhku gemetaran. Aku tak sanggup mengangkat kepalaku, apalagi menatap abi dan umi. Bisa kudengar jelas suara sesenggukan umi yang tak kuasa menahan sedihnya.

"INI...!! AAPAAA INIIII...!!!!! HAAAHH...!!!! JELASIN KE ORANGTUAMU INI GHALIYATUL!!!", Teriak Abi.

Aku mencoba mengangkat kepalaku dan mencoba menatap HP Abi yang ia genggam. Kemarahan Abi masih tak seberapa dibanding kenyataan yang terjadi di hadapanku. Tampak jelas di HP abi videoku siang ini saat tengah mengulum kontol Mochamad.

"Matilah aku...", gumamku dalam hati.

Seluruh tubuhku serasa lemas. Sendi - sendiku gemetar hebat. Hatiku sudah tak berbentuk lagi. Pikiranku kalut. Aku hanya bisa menatap kosong ke lantai. Suara abi yang begitu menggelegar pun sudah tak bisa kudengar karena hidupku rasanya habis saat itu juga. Beberapa saat kemudian, kurasakan tamparan keras tangan abi di wajahku. Untung saja Umi segera mencegah Abi untuk berbuat lebih jauh. Tak lama setelah itu aku diseret paksa oleh Abi dan dilempar ke kamarku. Aku rela kalau siang itu aku harus menjadi samsak kemarahan abi. Buatku siang itu tak ada yang lebih penting daripada kedua orangtuaku memaafkanku.

Selama seharian aku tak berIsytihar keluar kamar. Beberapa kali umi memanggilku untuk makan, tapi aku tak mengindahkan panggilannya. Aku hanya bisa menangis tanpa henti, bantal dan gulingku pun basah oleh air mataku. Semua dosa - dosaku pun terngiang - ngiang selama aku berdiam diri di kamar. HPku pun penuh dengan WA dan telAnsyori dari Mochamad.

"Udahan ya sayang... mulai sekarang jangan hubungi aku lagi...", jawabku terakhir kali di WA pada Mochamad.

Setelah hari itu aku sama sekali tak pernah keluar rumah meskipun hanya untuk jajan. Bahkan saat pengambilan rapor pun aku tidak ikut. Aku keluar kamar pun seperlunya saja. Setiap kali bertemu abi aku segera buru - buru kembali ke kamar. HPku sudah lama disita abi sejak kejadian memalukan itu. Aku juga tak tau apa yang terjadi pada Mochamad, yang kutau kalo abi sempat bilang akan meminta pertanggungjawaban pada Mochamad.

Hari - hari pun berlalu dengan aku yang terus menutup diri. Beberapa tetangga rumah sudah sering menanyakan tentang diriku, tapi umi bisa menjawab dengan sigap untuk mengurangi kecurigaan tetangga. Hampir sebulan lamanya aku berada terus menerus di rumah. Umi pun merasa tak tega dan berkali - kali mencoba untuk berbicara denganku tapi justru aku yang tak mampu sedikitpun berbicara pada orang yang telah berjasa begitu banyak padaku itu.

"Besok pagi ikut abi sama umi... jam 7 harus udah siap!", ucap abi singkat tanpa memandangku sedikitpun.

"Iya... abii...", jawabku lemah.

Aku sudah tak peduli lagi mau dikemanakan, yang kupikirkan hanyalah senyum abi yang dulu. Esok harinya, seperti biasa aku mengenakan jilbab segi empat jumbo hitam dan masker, sementara gamisku berwarna biru dongker yang panjang hingga mata kaki. Kaos kaki pun menutupi aurat paling bawah dari tubuhku agar tak menjadi santapan mata lelaki. Mobil Avanza silver milik abi sudah terparkir di depan rumah, setelah persiapan selesai, kami pun berangkat.

Aku masih tak tau akan dibawa kemana, bahkan untuk bertanya pun aku tak berIsytihar. Sudah terlalu parah aku mengecewakan abi dan umi.

"Ohh iyaa... Ghaliyatul belum tau yaa... ini Abi sama Umi... mau ngakakin Ghaliyatul buat mondok aja... gapapa kan...??", ujar Umi mencoba memecah kesunyian.

"iyaa... gapapa kok umi...", jawabku singkat.

Lebih dari satu jam lamanya perjalanan kami. Suasana hiruk pikuk kota ciamis pun mulai berangsur - angsur menghilang dan berganti dengan suasana khas perkampungan dan pedesaan. Suasana serba hijau nan asri yang menyejukkan hati mulai memikat mataku. Anak - anak kecil berlarian dan bermain bersama layaknya dulu ketika belum ada serangan smartphone, tampak jelas di setiap jalan kampung yang kami lalui. Setelah beberapa lama melewati jalan yang hanya dikelilingi oleh pepohonan rindang khas daerah hutan, maka tibalah kami di sebuah Pondok yang tak terlalu besar.

Sudah menjadi kebiasaan kalau lokasi Pondok atau pesantren biasanya berada di tempat yang jauh dari pemukiman. Selain agar tidak banyak gangguan, juga agar pembelajaran di sekitar Pondok lebih kondusif. Abi pun segera turun dan menjumpai salah satu ustad pengasuh di Pondok itu. Aku tak terlalu tau apa yang keduanya bicarakan, tapi tak berselang lama aku pun di ajak untuk masuk ke ruang tunggu Pondok. Bangunan Pondok yang begitu sederhana, tak banyak ornamen di luarnya, namun ketika masuk ke ruang tunggu, suasana khas Pondok begitu kental terasa. Banyaknya meja - meja kecil yang biasa digunakan para santri untuk menghafal Al - Qur'an, beberapa rak buku yang berisi kitab - kitab yang biasa digunakan di Pondok, dan ruang tamu yang terhampar luas hanya dilapisi karpet tipis tanpa kursi.

"Assalamu'alaykum... iya nama ana Ibnatu, Inshaa Allah mulai dari sekarang dan seterusnya saya yang akan bertanggungjawab untuk menjaga mba... siapa namanya?? Afwan... ahaha...", ujar salah satu ustadzah yang berpakaian serba hitam dan bercadar.

"Eehh... itu lohh ditanya sama ustadzah... jawab dong...", celetuk ibu.

"Ohh... saya Ghaliyatul ustadzah...", jawabku sambil menjabat tangan ustadzah Ibnatu.

Hampir seharian lamanya aku dan kedua orangtuaku berada di Pondok itu untuk mengetahui penjelasan tentang agenda dan peraturan Pondok. Kami pun diajak untuk berkeliling Pondok dan juga ditunjukkan dimana para santriwati menginap. Lokasi Pondok putra dan putri tidak terlalu jauh dan dibatasi tembok. Beberapa terlihat santriwati yang tengah lalu lalang, ada juga yang baru saja selesai mencuci baju, dan beberapa tengah sibuk menyiapkan keperluan makan siang di dapur.

"Yaah begitu ustadzah... saya amanahkan anak saya ke Pondok ini... saya harapkan anak saya bisa berubah lebih baik kedepannya dan bisa jadi wasilah untuk kami menuju ridho Allah...", ujar ayahku pada ustadzah Ibnatu.

"Inshaa Allah bapak... kami akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik para santriwati agar lebih dalam mengenal dinnul Islam... dan Inshaa Allah akan menjadi anak - anak yang bisa memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya kelak di yaumul akhir...", jawab Ustadzah Ibnatu.

Selama sehari semalam orang tuaku menginap sebelum kemudian berpamitan padaku keesokan harinya. Meski aku sudah siap akan konsekuensi dari tindakanku tapi tetap saja ini masih terasa berat bagiku untuk berpisah dari kedua orang tuaku.

"Yang sungguh - sungguh belajarnya disini yaa... umi percaya Ghaliyatul bisa berubah... Inshaa Allah yang kemarin sudah terjadi biarlah terjadi... Ghaliyatul buat lagi lembaran baru... Umi bisa percaya Ghaliyatul kan...??", tanya umi yang terlihat matanya berkaca - kaca.

"Iyahh umi... Maafin Ghaliyatula... Maaf...", jawabku yang kemudian memeluk erat umi ku seakan seperti akan kehilangan dirinya.

"Udah... Sana... udah ditunggu ustadzah tuh...", celetuk abi sambil menatap ke arah lain.

Meski terlihat cuek, aku bisa merasakan dari suara Abi kalau sebenarnya ia juga menahan tangisnya karena ini pengalaman pertamanya melepas anaknya. Hatiku pun amat senang dan entah kenapa tubuhku begitu ringan untuk melangkah dan langsung mendekap erat tubuh abiku.

"Makasih abi... makasih udaah sayang sama Ghaliyatul... Inshaa Allah Ghaliyatul akan berubahh... akan berusaha untuk buat abi bangga...", ucapku.

Abi tak banyak berkata - kata, namun saat tangan abi membelai lembut kepalaku, tak terasa air mataku mengalir. Sudah lama sekali rasanya sejak terakhir kalinya aku merasakan kehangatan telapak tangan abi. Ingin rasanya aku mengulang waktu dimana aku tak terjerumus dalam kemaksiatan. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain melangkah maju untuk menutupi segala kesalahanku.

"Yuk dek Ghaliyatul, ikut saya...", ujar ustadzah Ibnatu beberapa saat setelah mobil kedua orang tuaku hilang di kejauhan.

"Iya ustadzah...", jawabku sambil menyeka air mataku dan berlalu mengikuti ustadzah Ibnatu sambil menenteng tas yang berisi beberapa perlengkapanku.

"Tapi dek Ghaliyatul termasuk langka lhoo... biasanya tuh kalo awal - awal ditinggal tuh pada gamau gitu, jadi seringnya kita yang harus nahan anak - anak biar ga lari ngikutin orang tuanya...", celetuk ustadzah Ibnatu membuka pembicaraan.

"Ohhh banyak yang gitu yah Ustadzah??", tanyaku.

"Yaaa hampir mayoritas gitu... jadi tadi waktu saya lihat dek Ghaliyatul kok bisa cukup tenang tuh saya kayak waaooww... gitu...", lanjut ustadzah Ibnatu yang mungkin baru berumur sekitar 37 tahunan.

Sambil terus berjalan, aku cukup terkesan dengan fisik ustadzah Ibnatu yang terawat. Tubuhnya yang tinggi semampai tetep terlihat seksi menawan meskipun tertutup pakaian serba hitam. Kulit wajahnya yang putih glowing terlihat jelas dari sebagian wajahnya yang tak tertutup cadar. Jemarinya yang lentik dan punggung tangannya yang juga putih mulus pun menandakan keindahan kulit tubuhnya yang tersembunyi dibalik pakaian syar'i miliknya. Matanya yang lentik dan manis sudah pasti akan meluluhkan tiap lelaki yang memandangnya.

"Nahh disini nanti yaah dek Ghaliyatul istirahat... untuk yang lain - lain nanti biar dijelaskan sama dek Inas...", kata Ustadzah Ibnatu sambil membuka pintu kamar.

"ohh iya ustdazah...", jawabku sambil mencoba melihat kamarku.

"Assalamu'alaykum... Inash... sini bentar dek... ini ada temen baru buat kalian namanya dek Ghaliyatul... tolong dibantu yaa...", ujar ustadzah Ibnatu pada Inas.

"Ohh... iyah ustadzah... Hai... namaku Inas... dengan siapa ini...??", ujar Inas sambil mengulurkan tangannya.

"Emm... Saya Ghaliyatul...", jawabku sambil menjabat tangan Inas.

Setelah itu, Inas mulai menjelaskan peraturan di Pondok dan juga jadwal pembelajaran di Pondok. Aku juga baru tahu kalau ternyata program Pondok di bagi dua, pagi hari untuk pembelajaran umum yaitu sekolah di MAN, sementara malam harinya untuk diniyah. Inas sendiri termasuk wanita yang lumayan cantik. Wajahnya yang oval dengan kulit putih bersih dihias hidung yang mangir dan mata yang cantik. Bibirnya yang tipis kemerahan berpadu sempurna dengan senyumnya. Tubuhnya padat berisi sehingga menonjolkan gunung kembarnya di usianya yang baru masuk 16 tahun. Kulitnya yang putih bersih khas perempuan sunda menambah kesempurnaan dirinya.

"Yaahh... bentar lagi juga bakal tau sih... ada Isytihar sama Izzah juga disni...", jawab Inas menjelaskan ketiga teman sekamarku.

"Ohh... pada kemana mereka??", tanyaku.

"Ngga tau juga sih... tapi tadi bilangnya mau nyuci baju... yaah biasalah kapan lagi kalo nggak minggu gini kita nyucinya?? Ahahaha...", jawab Inas sambil merebahkan dirinya di kasur.

"Ohh iya... itu barang - barangmu yang lain udah diantar beberapa hari yang lalu sama orang tuamu... enak yaah... punya orang tua yang perhatian gitu...", lanjut Inas sambil tidur terlentang.

"Ahh... biasa aja sih... malah justru dirumah dulu aku ngga terlalu sering ketemu orangtua... khususnya abi...", jawabku sambil meletakkan tasku dan duduk di kasur tepat di depan kasur Inas.

"Yaahh setidaknya kamu masih punya orang tua Ghaliyatul... kalo aku... udah lama banget aku disini... orang tuaku cerai... bahkan hampir aku gak pernah dijenguk lohh...", jawab Inas menceritakan kisahnya.

Siang itu Inas bercerita panjang tentang kondisi keluarganya yang broken home. Itu terjadi tak beberapa lama setelah dirinya mendaftar di Pondok itu. Setelah Inas masuk Pondok, akhirnya kelakuan ayahnya yang suka selingkuh pun dibuka oleh Allah dihadapan ibunya. Tapi itu tak sepenuhnya salah ayahnya, ternyata ibunya juga beberapa kali Inas lihat sering menginap di hotel bersama lelaki lain saat ayahnya pergi dinas dalam waktu yang lumayan lama. Mendengar penuturan Inas pun aku menjadi lebih bersyukur atas karunia Allah padaku.

"Aahhh... capeknyaa... mana tuh Inas... katanya mau nyuci juga...", ucap salah seorang santriwati yang tiba - tiba masuk ke kamar.

"Lhohh... udah selesai nyuci??", tanya Inas yang terbangun setelah mendengar langkah kaki temannya.

"Ini nemenin warga baru kamar kita... nih kenalin, yang bawel ini namanya Isytihar... terus yang cantik itu si Izzah...", ujar Inas dengan nada mengejek sambil tangannya menjulur ke arah keduanya.

"Yee... apaan sih?? Kamu aja yang bikin aku jadi bawel...", jawab Isytihar sambil melepas jilbabnya.

"Hei... kenalin... Izzah...", ujar Izzah yang dengan segera menjabat tanganku.

Yah memang diantara mereka bertiga, Izzah lah yang paling cantik. Wajahnya yang mirip sekali dengan tipikal orang china dengan kulit putih mulusnya ditambah rambut hitam lurus sepundak membuatnya cocok sebagai model. Postur tubuhnya yang termasuk tinggi bagi perempuan semakin sempurna berpadu dengan kaki jenjangnya. Tak butuh waktu lama bagi kami untuk akrab karena memang kami semua hampir seumuran. Yang paling tua adalah Inas yang terpaut 1 tahun dariku.

Esok paginya adalah hari pertamaku untuk masuk sekolah di MAN sekaligus hari pertamaku untuk mengikuti kegiatan Pondok. Semua keperluan sekolahku ternyata sudah dipersiapkan jauh - jauh hari oleh kedua orangtuaku termasuk sebuah sepeda yang lumayan bagus menurutku meskipun tidak baru. Hiruk pikuk pagi hari Pondok dipenuhi oleh para santriwati yang beramal - ramai hendak berangkat sekolah, begitu juga Inas, Isytihar, dan Izzah.

Ini pengalaman baruku berangkat ke sekolah dengan bersepeda. Asyik juga gumamku dalam hati. Selain karena ini pertama kalinya, juga karena aku tak sendirian melainkan bersepeda bersama dengan hampir seluruh santriwati yang ada di Pondok. Jalanan sepi yang masih berupa tanah dihiasi oleh pepohonan rindang di sisi kanan jalan membuat sejuknya udara pagi semakin terasa. Meskipun aku hari itu mengenakan masker, tidak seperti temanku yang lain yang sudah mulai bercadar, namun tak mengurangi nikmatnya hawa segar pagi hari. Cukup jauh jarak antara Pondok hingga sekolah kami. Hanya ada beberapa rumah warga yang sangat sederhana di sepanjang perjalanan kami. Satu saja bangunan yang cukup modern yaitu sebuah kantor yang biasa disebut koramil. Beberapa anggota Angkatan Darat (AD) berpakaian kaos loreng hijau tengah menjalani latihan pagi sebagai rutinitasnya.

"Berangkat sekolah neng??", tegur salah seorang anggota.

"Iya pak Ansyori...", jawab Inas lumayan keras karena jarak antara pos jaga dengan kami cukup jauh sekitar 15 meteran.

"Okee... Ati - ati neng...", jawab anggota tadi sambil melambaikan tangannya pada kami.

Kami terus melanjutkan perjalanan hingga akhirnya sampai di sekolahan. Yah sekolah kami pun tak bisa dibandingkan dengan yang ada di perkotaan. Meskipun begitu tetap saja para guru mengajar kami dengan sangat professional.

"Ehh iya Inas... tadi itu siapa??", tanyaku sambil merapikan tasku di parkiran sepeda.

"Yang mana?? Yang tadi di pos jaga itu...??", jawab Inas yang sedang membenarkan jilbabnya.

"iya... kayaknya akrab banget deh...", jawabku.

"Ohh... itu pak Ansyori... udah lama dia tugas disitu...", jawab Inas yang mengenakan cadar putih senada dengan jilbab segi empat jumbonya.

Sekitar jam 12.30 sekolah pun usai. Tak hanya di Pondok, di sekolah pun aku harus berkenalan dengan teman - teman baru yang berasal dari berbagai daerah. Terlihat dari kejauhan Inas dan Izzah sudah menungguku di parkiran sepeda. Meski sudah seharian sekolah, entah kenapa Izzah tetap saja terlihat cantik dan anggun. Tak seperti diriku yang sudah mulai merasa kucel.

"Gimana hari pertama sekolah...??", tanya Inas.

"Yaaah... biasa... harus kenalan sana - sini... tapi asik sih...", jawabku.

"Berarti udah mulai terbiasa dong...", timpal Izzah sambil terus mengayuh sepeda.

"Ahahaha... semoga aja yaa... kalo inget ortu masih sih...", jawabku sambil mulai membayangkan apa yang dilakukan kedua orangtuaku sekarang.

Tak lama kemudian kembali lagi kami melewati daerah koramil namun tak dijumpai pak Ansyori disana. Yaah bagiku tak masalah toh aku juga tak mengenalnya. Hingga akhirnya kami sampai kembali di Pondok. Rasa lelah bercampur gerah membuatku ingin cepat - cepat mandi. Memang sudah jadi kebiasaanku karena ini juga keturunan dari ayahku yang juga mudah berkeringat.

"Langsung mandi Ghaliyatul...??", tanya Izzah yang masih asik tiduran.

"Iyaa... gerah banget... mana bau ketek lagi...", jawabku sambil mencium ketiak kiriku.

"Ahahah... iya sih... besok - besok lagi pake ini aja...", jawab Izzah sambil menyodorkan bedak penghilang bau badan.

"Okey... Inshaa Allah nanti aku cobain...", jawabku.

Karena lokasi Pondok yang berada di pelosok pedesaan dan di kaki gunung maka meskipun siang hari tetap saja air terasa cukup dingin. Tak seperti dulu ketika masih dirumah. Karena lokasi tandon air berada di atas rumah dan aku tinggal di perkotaan sehingga kalau siang hari air pun terasa hangat.

Byuur... Byurrr...

Segarnya siraman air khas pegunungan membuat tubuhku terasa segar kembali. Kulitku yang putih bersih terlihat tampak segar dan kenyal. Aku pun mulai menggosok tubuhku dengan sabun. Yah meskipun bukan sabun cair tapi itu tak masalah bagiku. Tak sengaja tanganku menyentuh putingku yang berwarna coklat muda.

"Aaahh...", desahku.

Entah kenapa rasa geli muncul yang membuatku sedikit teringat akan dosaku dulu. Namun aku tak mau menghiraukannya dan terus menyelesaikan mandiku. Sore harinya pelajaran diniyah pun dimulai. Untukku yang baru pertama kali masuk Pondok maka hafalan Qur'an ku yang digenjot. Meski Abi dan Umi sudah sering mengajarkanku untuk membaca Al Qur'an, tapi ketika kini tengah diuji oleh Ustadzah Ibnatu rasanya aku seperti anak TK saja. Hampir seluruh makhorijal hurufku tak ada yang sesuai dengan standar Pondok. Alhasil aku harus kembali lagi ke Iqro'.

"Gapapa kok dek Ghaliyatul... semuanya juga gitu pas pertama kali masuk kesini... ada sih beberapa yang memang sudah lumayan... kayak itu tuh...", ujar Ustadzah Ibnatu sambil menunjuk ke arah salah satu santriwati.

Memang benar. Kalau aku dibandingkan dengannya seperti halnya langit dan bumi. Begitu indah dan menenangkan. Setiap huruf yang keluar dari mulut santriwati itu sangatlah menyejukkan hati, terlebih lagi saat ia mulai melantunkan ayat - ayat suci Al - Qur'an, serasa hati ini begitu bahagia mendengarnya. Dan mulai saat itulah aku bertekad untuk bisa menyainginya.

Malam harinya memang tak ada pelajaran diniyah di Pondok karena digunakan untuk mengerjakan tugas dan PR dari sekolah. Pagi harinya, ba'da Shubuh setelah wirid dan dzikir pagi - petang, maka kemudian dilanjutkan dengan kajian Fiqh Sunnah yang disampaikan oleh salah seorang ustadzah senior. Dan sudah menjadi rahasia umum kalau santri pasti banyak yang mengantuk, termasuk diriku. Setelah selesai sholat syuruq sekitar jam 05.45, aku segera kembali ke kamar untuk persiapan berangkat sekolah. Memang tidak banyak waktu yang tersisa, tapi disitulah aku mulai belajar me - manage waktu.

"Udah siap semua Ghaliyatul...??", tanya Isytihar sambil mengunyah sarapannya yang berupa nasi dan sayur dengan lauk tempe mendoan.

"Udah sih... Inshaa Allah...", jawabku yang juga makan menu yang sama.

"Ehh iya... besok minggu ada acara nggak kalian semua...??", tanya Inas yang sudah selesai makan.

"Emang kenapa Inas...??", tanya Izzah.

"Jalan - jalan aja kita berempat... kan itu si Ghaliyatul belom tau daerah sini...", jawab Inas.

"Lha emang kalo minggu ga ada kegiatan di Pondok??", tanyaku.

"Kan hari minggu... paling bersih - bersih kamar kita aja abis itu acara bebas seharian... ya kalo mau juga bisa tuh main HP...", jawab Inas.

Aku baru tau kalau ternyata dalam seminggu para santriwati diberikan satu hari untuk libur yaitu mulai sabtu malam hingga minggu malam. Semua santriwati bebas dari agenda Pondok dan bagi mereka yang memiliki HP diperkenankan untuk mengambilnya di ruang amanah.

Sudah seminggu lamanya aku menjalani kehidupanku di Pondok itu. Tak bisa kupungkiri kalau santriwati jugalah manusia. Meskipun hari - hari mereka bercadar dan terpisah dari Pondok putra, tetap saja mereka punya 'jalan' untuk bisa saling berkomunikasi. Itu terlihat jelas saat Izzah tengah asyik dengan HPnya dan tak ikut kami untuk jalan - jalan.

"Hadehh... yang jadi artiss yaa... ikutan ga Izzah...?? Sibuk teruss sama HP...", ujar Inas yang agak jengkel pada Izzah.

"Nggak ahh... mumpung libur mau santai dulu di sini ajaahh...", jawab Izzah yang sedang asik chatting dengan teman lelakinya.

"Yaudah yaa... jangan rewel kalo ntar ga ada temen...", jawab Inas yang mengenakan setelan gamis dan jilbab dan cadar warna coklat susu.

"Kamu juga ngapain sih Inas... orang udah kebiasaan Izzah kalo liburan yaa gitu... udah yuk...", timpal Isytihar yang mengenakan gamis hitam dan khimar biru muda sementara cadar talinya berwarna hitam.

Pagi itu hanya aku sendiri yang belum mengenakan cadar karena memang belum terbiasa. Kembali sepeda pun menjadi modal transportasi utama kami. Tak seperti hari - hari biasa, kalau hari minggu seperti ini jalanan jadi terasa lebih lenggang. Rute yang kami tempuh sama dengan rute menuju sekolah, hanya saja ditengah perjalanan kami berbelok ke arah utara. Jalanan pun semakin susah, lebih mirip jalan setapak. Hanya sekitar 50 meter saja bagian jalan uang yang bisa dilalui oleh sepeda, selebihnya kami harus berjalan kaki.

"Iyaa emang ga bisa pake sepeda Ghaliyatul... sekali - kali jalan kaki gapapa kan?? Itung - itung olahraga biar badan kita tetep langsing...", ujar Inas sambil menstandarkan sepedanya.

"Yaahh... gppa juga sih...", jawabku yang mengenakan jilbab marun jumbo dan gamis panjang dengan warna yang sama sementara wajahku tertutup masker sebagian.

"Tenang aja Ghaliyatul, ntar kalo udah sampai sana capeknya kita kebayar kok...", ujar Inas yang menjadi pimpinan perjalanan kami.

Yaah meskipun ini pertama kalinya aku masuk ke hutan, tapi karena bersama dengan kedua temanku tak terlalu membuatku takut. Hampir tak kutemui apapun selain pepohonan dalam perjalanan kami. Inas dan Isytihar begitu mudahnya melewati jalan yang ada, sementara aku harus susah payah menghindari becek dan lumpur.

"Naahh... udah sampe...", ujar Inas.

Mataku hanya bisa terbelalak melihat apa yang ada di hadapanku. Sebuah air terjun yang sangat indah dan cukup tinggi. Mungkin ada kalau hanya 20 meter tingginya. Memang tak terlalu deras, namun banyaknya bebatuan yang menonjol di tebing tempat air terjun mengalir membuat sebagian air terhempas dan menyebabkan munculnya pelangi. Seumur hidupku aku tak pernah melihat air terjun secara langsung. Bahkan air yang mengalir di sungai dibawahnya juga terlihat begitu jernih hingga terlihat dasarnya meski cukup dalam.

"Hey Ghaliyatul... kok bengong...??", tegur Isytihar yang entah kenapa malah melepas jilbab dan cadarnya.

"Ehh... Lohh... kok malah dicopotin?? Kalian mau mandi disini...??", tanyaku keheranan.

"Ya mau ngapain lagi Ghaliyatul...?? Kamu Cuma mau nonton aja?? Udahh nyebur aja sihh...", timpal Inas yang sudah telanjang dan hanya menyisakan bra dan CD krem yang masih menutupi tubuh putih mulusnya.

"Ntar kalo ada yang lihat gimana...?? Kan tempat umum ini...", jawabku panik.

"Santai aja Ghaliyatul... kamu kan baru pertama kali, lha kita ini kan udah lama disini... amaaaann pokoknya...", jawab Isytihar yang sudah mulai berjalan masuk ke sungai tanpa sehelai kainpun yang menutupi tubuhnya.

Masih teringat jelas dalam pikiranku keindahan tubuh Isytihar yang tingginya sekitar 160 cm itu. Rambut panjang hitamnya yang agak bergelombang menghias indah wajahnya yang tidak terlalu cantik tapi manis. Kulitnya yang kuning langsat membalut tubuh langsingnya yang dihiasi oleh toket berukuran 36B berputing coklat. Bokongnya yang bulat kencang dan gundukan kecil berbulu tipis di selakangannya tampak menggiurkan jikalau ada lelaki yang melihatnya.

"Ayook... tunggu apaan Ghaliyatul?? Udahh santai aja... aku jamin ga ada yang liat kok...", jawab Inas yang sudah berenang santai.

Aku juga baru sadar kalo ternyata Inas sudah bugil juga. Tubuhnya cukup berisi bagi wanita berumur 18 tahun. Toketnya lebih besar daripada milik Isytihar. Mungkin ada di cup C, begitu bulat kenyal dihiasi puting kecoklatan. Perutnya tidak ramping layaknya Isytihar, tapi agak berisi dengan pinggul yang lebar dan bokong yang sintal. Karena mereka berdua sudah seperti itu, aku pun tak ada pilihan lain selain mengikuti keduanya.

"Waaahhh... cantiknya badan kamu yah Ghaliyatul... mirip banget kayak punya si Izzah... apalagi payudaramu... ahhh... bikin minder lohh...", celetuk Isytihar yang terkagum - kagum melihat keindahan tubuh putih mulus yang terawat.

"Iya setuju banget... kenapa juga kamu ga jadi model aja Ghaliyatul?? Ramping, semampai, cantik, kencang, mmmhh... idaman banget tubuh kamu tuh...", timpal Ifa yang sengaja mencubit toketku sesaat setelah aku masuk ke sungai.

"Apaa sih... biasa aja lohh...", jawabku sambil menutupi kedua toket 36C ku dengan kedua tanganku.

Selama lebih dari 1 jam kami bertiga berendam dan bermain di jernihnya air sungai itu. Begitu segar sehingga membuatku berfikir kalau air ini bisa langsung diminum tanpa harus dimasak terlebih dulu. Saat aku sedang asik membasuh rambutku, tiba - tiba Inas mendekapku dari belakang dan langsung meremasi toketku. Sontak saja aku terkejut dan berupaya mengelak karena sensasi geli dan risih. Berbeda ketika Mochamad yang meremasnya dulu, mungkin karena ini pengalaman pertamaku jadi aku belum terbiasa.

"Eesshh... apaan sih Inas...!?", tegurku yang berupaya berontak.

"Gapapa kaan...?? Kan kita sama - sama perempuan... lagian aku penasaran sih sama rasanya payudaramu... Bentarhh... ihh... diem dikit laahh... mmhh...", jawab Inas yang berupaya keras untuk tetap meremas toketku meskipun aku menolaknya.

"Ahahah... sabar ya Ghaliyatul... ospek dulu kamunya...", lanjut Isytihar yang justru memegangi kedua tanganku sehingga tak banyak yang bisa kulakukan.

Melawan Inas dan Isytihar, jelas aku tak punya kesempatan sama sekali. Inas terkikik saat melihatku menggelinjang ketika jemarinya memilin putingku yang berwarna pink. Isytihar pun sama saja, ia juga malah ikut tertawa saat temannya kesusahan. Meski begitu, selama beberapa detik tubuhku serasa seperti rindu akan sensasi itu. Kenangan akan Mochamad yang dengan sengaja membenamkan kepalanya di dadaku dan melumat kedua toketku itulah yang membuatku menggelinjang dan sempat aku mendesah ketika Inas memilin putingku pertama kalinya.

"Ahh... Shh... Udahan sih...!! Geli tauk...!!", ucapku saat tersadar aku baru saja mendesah sambil kembali berupaya berontak.

"Ntar Ahh... kenyal sih punyamu Ghaliyatul... gede pula... nihhh... enak kan diginiin...", kata Inas yang justru semakin kuat meremas dan memilin putingku.

"Iyaa kan... ahahaah... udahh ngaku aja kalo enak...", kata Isytihar yang masih memegangi tanganku.

"Sshh... Engg... Nggakk... Apaa... aann Sihh... Gelihhh... Udahh...", jawabku mencoba membela diri sementara kurasakan kekenyalan toket Inas di punggungku.

Ada mungkin sekitar 5 menit lamanya mereka mengerjaiku sebelum akhirnya mereka puas. Aku sendiri agak kesal tapi juga senang karena bisa kembali teringat dengan permainan lidah Mochamad yang cukup liar.

"Kenapa sih kalian gitu?? Ga lucuu...", kataku dengan nada kesal.

"Ahahah... maaf maaf... abisnya aku penasaran aja sama payudaramu itu... bisa sih segede itu??", tanya Inas yang hanya terlihat kepalanya saja karena seluruh tubuhnya terendam di air.

"Iya... kasih tau dong...", timpal Isytihar yang juga sama.

"Yaa mana ku tau... udah bawaan lahir mungkin...", jawabku singkat sambil ikut berendam.

"Serius?? Bukan karena sering diremesin ikhwan kan...??", tanya Inas dengan nada mengejek.

"Haaahhhh...??!! Nggaklah!! Mana mungkin aku mau digituin sama ikhwan...!? Lagian emang bisa tambah gede kalo diremes ikhwan....???", jawabku dengan nada tinggi untuk menghindari kecurigaan keduanya.

"Yaaa siapa tau kan... yaa bisa aja... Cuma denger - denger sih dari Izzah... katanya bisa tambah gede kalo diremes sama ikhwan...", jawab Inas.

"Hah!? Serius??? Berarti Izzah pernah dong digituin??", tanyaku kaget.

"Pernah ngga ya...?? Gatau sih... dia Cuma cerita aja ya...??", jawab Inas sambil melihat ke Isytihar.

"Mmm... gatau juga... tapi... tapi lhoo... kalau menurutku sih pernah...", jawab Isytihar yang membuatku semakin penasaran.

"Hey... yang bener?? Tau darimana kamu??", tanya Inas yang juga penasaran.

"Ngga tau kalo liat langsung... Cuma kan kalo Izzah bisa ngomong gitu tanpa merasa sungkan kan berarti kayak udah pernah nglakuin kaan??", jawab Isytihar yang ternyata hanya spekulasi.

"Ahahah... kirain kamu liat beneran Isytihar...", jawabku agak lega.

Bukan maksud apa - apa hanya saja Izzah terlihat seperti akhwat yang selalu menjaga marwahnya di luar sana meski di sosmed menjadi idola para ikhwan. Puas setelah sekitar 2 jam mandi, kami pun segera kembali ke Pondok karena aku baru ingat kalau belum mencuci bajuku. Meski sudah 2 jam di lokasi air terjun, ternyata kata - kata Inas memang benar kalau tak ada orang yang datang. Mungkin karena lokasinya yang terlalu jauh dari jalanan, atau karena orang - orang sekitar sini memang sudah bosan kemari.

"Lohh... Neng... abis dari Air Terjun yaa...??", tegur pak Ansyori yang ternyata sedang lari pagi sambil membawa ransel dan senapan SS1 tanpa magazine.

"Iya pak... ini ngajakin temen baru Inas buat lihat - lihat Air Terjun...", jawab Inas ramah yang memang sudah terbiasa dengan pak Ansyori.

"Ohh... Ati - ati neng... itu hutaan... besok - besok ngabari bapak dulu, biar bapak temenin... ntar kalo ada apa - apa gimana??", jawab pak Ansyori yang terlihat khawatir.

"Ngga apa - apa kok pak Ansyori... nih Inas kan ditemenin Isytihar juga... ntar kalo ada apa - apa tinggal teriak... kan ada pak Ansyori yang patroli terus... ahahah...", jawab Inas sambil bercanda dengan pak Ansyori.

"Ahahah... neng Inas bisa aja... tapi bapak serius ini... besok - besok lagi jangan diulangi yaa... paling ngga pemberitahuan dulu sama bapak atau temen bapak yang ada di pos jaga... buat bapak sama temen bapak di kantor, neng Inas sama temen santri yang lain udah kami anggap kayak anak sendiri...", jawab pak Ansyori yang memang sudah berumur memasuki 50an tahun.

"iya pak... Inas minta maaf... Inshaa Allah ke depannya kabar - kabar dulu... ohh iya, sendirian aja pak?? Biasanya sama temen yang lain patroli...??", tanya Inas.

"Iya sih pak... kok gak keliatan yang lain??", timpal Isytihar.

"Yaah... tau sendiri lah neng... latihan kayak gini ga banyak yang suka, lagian dari kantor Cuma sekedar anjuran bukan kewajiban... nah kalo bapak yaa wajib biar tetep fit kalo pulang tugas nanti... hahahah...", jawab pak Ansyori yang kemudian melanjutkan patrolinya sambil lari - lari.

Meski berbeda agama tapi tetap pak Ansyori begitu perhatian dengan para santri dari pondokku. Umurnya yang sudah setengah abad tak membuatnya kehilangan senyumnya yang menenangkan. Badannya terlihat gagah, tegap, dan kencang karena hasil dari latihannya setiap hari. Selama perjalanan pulang, entah kenapa pikiranku mulai kembali teracuni oleh kenangan bersama Mochamad. Tak bisa kupungkiri kalau tubuhku merindukan sentuhan tangannya.

"Aaahhh... Mochamad...", desahku perlahan.

Malam harinya meskipun hari Ahad, tetap saja ada materi dari ustadzah Ibnatu khusus untukku. Aku diajarkan bagaimana tata cara tidur seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah. Dari mulai persiapan hingga apa yang harus kulakukan kalau aku mimpi buruk.

"Iyaa dek Ghaliyatul... jadi kalau kita tidur tanpa pakai adab - adab tidur, itu sama aja kita tidur selama 8 jam tanpa adanya ganjaran pahala... rugi banget kan?? Makanya penting banget buat kita belajar tata cara atau adab - adab sehari - hari...", jelas Ustadzah Ibnatu menutup materi khusus untukku malam itu.

"Ssst... Ssst... Izzah... mau nannya nih...", kataku pada Izzah yang masih sibuk dengan HP nya.

"Hem?? Napa Ghaliyatul...??", tanya Izzah sambil asik chattingan dengan temannya.

"Ehh... jangan keras - keras... ntar yang lain bangun...", kataku karena sudah jam 10 malam saat itu sementara Inas dan Isytihar sudah terlelap tidur.

"Ohh... ga biasanya jam segini udah pada tidur tuh 2 orang... kenapa Ghaliyatul??", tanya Izzah yang bangun untuk mengecek Inas dan Isytihar.

"Mm... emang bener ya kalo payudara kita di remes - remes bisa tambah gede...??", tanyaku penasaran.

"Mmm... gatau sih... Cuma denger aja aku... kenapa juga kamu tanya kayak gitu...??", jawab Izzah yang kemudian masuk lagi ke selimut sambil kembali sibuk dengan HP nya.

"Ohh... ngga... kalau kamu pernah ngga di remesin ikhwan gitu...??", tanyaku.

"Hah??!! Gilak apa...?? Ya gak pernah lahh... biarpun aku chatting gini sama ikhwan tapi aku tuh ga sampe kayak gitu... kok bisa mikir kayak gitu napa Ghaliyatul??", tanya Izzah yang kedengaran agak kesal.

"Ehhh... Nggak... soalnya kan kamu bilang bisa gede, tak kira kalau kamu udah di remesin ikhwan gitu payudaranya...", jawabku agak panik.

"Aduhh Ghaliyatula... Ghaliyatul... kan ga harus sama ikhwan juga... kita remes sendiri juga bisa kaann...??", jawab Izzah santai.

"Ehh... Ahhh... iya yaa... kenapa aku ga kepikiran sampe sana ya?? Ahahah... yaudah deh... bobo... jadi malu sendiri aku...", jawabku yang kemudian segera naik ke ranjang atas.

Hari - hari berikutnya aku mulai terbiasa dengan agenda pondok dan sistem yang ada di Pondok. Hanya sekitar 2 bulan saja hingga kemudian aku memutuskan untuk bercadar. Itu semua tak lepas dari pengaruh lingkungan. Tak ada kewajiban ataupun paksaan untuk mengenakan cadar, tapi support dari teman - temanku membuatku semakin yakin dan mantab untuk bercadar.

"Naahh... bentar... Mmhh... Daahhh... Coba liat ke kaca... cantiiikk kaaann...???", kata Inas setelah selesai memakaikan cadar tali hitam yang berpadu khimar segi empat putih yang membalut kepalaku.

Aku pun terpana melihat perubahan pada diriku. Tak pernah kubayangkan akan datang hari dimana aku akan seperti umi yang hari - hari selalu mengenakan cadar. Dan jujur saja, setelah melihat diriku yang baru dari cermin, aku pun sependapat dengan Inas kalau aku memang terlihat lebih cantik. Bahkan Isytihar pun tak ada henti - hentinya memujiku dan menyamakan kecantikanku dengan Izzah.

"Heeeehhh...??? Ini neng Ghaliyatul...?? Beda lohh... bapak jadi gak kenal... ahahahah...", jawab pak Ansyori yang juga terkejut melihat perubahanku.

"Coba pak Ansyori... cantik mana Ghaliyatul sama Izzah??", tanya Inas menggoda pak Ansyori.

"Aduh neng Inas... bingung bapak jawabnya... cantik semua... coba bapak masih muda... udah bapak nikahin kalian berdua neng...", jawab pak Ansyori yang wajahnya mengkilap karena keringat yang membasahi wajahnya setelah push up.

Di sekolah pun hampir semua teman - temanku mengakui kalau aku terlihat jauh lebih cantik ketika wajahku tertutup cadar. Aku pun semakin mantab untuk Istiqomah mengenakan cadar seterusnya. Awalnya memang terasa pengap dan agak susah bernafas karena harus mengayuh sepeda, tapi setelah beberapa hari aku pun mulai terbiasa.

Suatu malam aku terbangun dari tidurku karena rasa kebelet buang air kecil. Seperti orang pada umumnya, sebelum terasa aku sempat bermimpi buang air kecil di toilet, untungnya aku masih sempat bangun sebelum ngompol. Segeralah aku berlari menuju toilet Pondok yang jaraknya tidak terlalu jauh dari bangunan tinggal santriwati.

"Aahhh lega...", gumamku dalam hati setelah puas buang air.

Aku pun ingin segera kembali ke kamar. Saat dalam perjalanan, aku mendengar sayup - sayup suara yang tak asing. Dalam hatiku sempat hadir rasa takut jangan - jangan itu suara makhluk ghoib. Meskipun para ustad dan ustadzah berpesan agar tak perlu takut, tapi tetap saja rasa manusiawiku tetap ada. Hanya saja saat aku hendak beranjak pergi, rasa penasaranku lebih kuat. Aku pun berjalan perlahan menuju salah satu toilet yang berada di paling ujung sekitar jam 23.30 an itu. Semakin dekat semakin jelas suara yang kudengar. Itu bukanlah suara makhluk ghoib melainkan suara perempuan.

"ini sih bukan jin... tapi suara desahan...", gumamku dalam hati karena aku pun pernah mengeluarkan suara yang sama saat menikmati cumbuan Mochamad.

Aku mencoba memanjat bak kamar mandi yang memang terbuat dari cor semen yang menghubungkan semua toilet di toilet Pondok. Dengan perlahan aku mencoba melihat apa yang terjadi meskipun bagian atas tembok pembatas kotor oleh sarang laba - laba.

"Ehhh... Izzahhh...!!??", teriakku dalam hati dengan mata terbelalak.

Kulihat Izzah yang hanya mengenakan jilbab abu - abu dengan cadar tali hitam tengah duduk di pinggiran bak. Seluruh tubuhnya bugil sehingga menampakkan indahnya kulit putih mulus miliknya. Toketnya yang cukup besar, mungkin di cup C juga terlihat membusung indah dihias puting coklat muda. Kedua kaki jenjang mulusnya mengangkang dengan telapak kakinya berjinjit di lantai toilet. Jemari tangannya tengah sibuk melesak cepat mengocok memeknya yang berwarna coklat mulus tanpa bulu sementara tangan kirinya sibuk meremas - remas toketnya sendiri.

"Aahh... Ahhh... Ahhh... Ustadd... Ahhh... Mmhh... Ayokk Ustaadhh... Sodokk... Mmhh... Ahhh...", desah Izzah yang membuatku terkejut.

Setelah kulihat ternyata ia sedang video call dengan salah seorang pengasuh Pondok putra. Ustad Azzam namanya. Bagiku meski baru sekali berjumpa dengannya, aku pun cukup terkejut dengan ketampanan wajahnya. Postur tubuhnya yang tinggi dan dadanya yang bidang, terlihat semakin indah ketika tertutup oleh jubah yang sempit itu. Meski jarak antara wajahku dengan HP Izzah yang digantung di pintu Toilet cukup jauh, tapi bisa kulihat jelas kalau Ustad Azzam juga tengah bugil dan sedang mengocok kontolnya yang cukup panjang dan besar.

"Apa - apaan nih!?", gumamku kesal dalam hati.

Tak bisa kuterima dengan akal sehatku kalau seorang pengasuh Pondok tengah berbuat maksiat dengan santriwatinya. Dia yang seharusnya menjadi panutan dan percontohan bagi santri - santrinya, kini justru tengah asik menambah pundi - pundi dosanya. Yang lebih mengejutkan lagi ia melakukannya dengan santriwatinya, bukan dengan orang di luar Pondok.

Meski geram dan kesal, tapi aku tak ingin segera beranjak dari tempat itu. Bukan Izzah yang membuatku bertahan, tapi keindahan tubuh ustad Azzam dan terongnya yang begitu 'rupawan' membuat hasrat dalam diriku kembali bangkit dari tidurnya. Sudah hampir berjalan 6 bulan lamanya aku menahan gejolak ini dengan menyibukkan diriku dengan mempelajari agama, tapi justru teman sekamarku sendiri memiliki 'sisi lain' yang tak pernah ia ceritakan.

Sayup - sayup kudengar suara Ustad Azzam yang tengah mendesah keenakan karena melihat santriwati cantik tengah masturbasi di hadapannya. Tak terasa memekku kembali berkedut nikmat dan rasa becek yang sudah lama tak kualami pun kembali datang. Aku tak mampu menahan syahwat dalam diriku dan ingin sekali rasanya melihat secara langsung ketika Ustad Azzam mengocok kontolnya di hadapanku. Tangan kiriku pun sudah aktif meremasi toketku sendiri sementara bibir bawahku ku gigit karena menahan desahanku.

"Aahh... Ahhh... Ukhti Izzahh... Ahh... Ana mau keluarhh... Ahhh... Enaknya Farji ukhti... Ahh... Ahhh...", desah Ustad Azzam yang semakin cepat mengocok kontolnya.

"Uhhh... Shhh... Ahhh... Mmhh... Ahhh... Ahhh... Ahhhhh... Na'amhh Ustadhh... Penis Ustadh juga enak bangethh... Ahhh... Gedehh... Ahhh... Mau keluar jugah anaa... Ahhh...", jawab Izzah yang juga semakin cepat mengocok memeknya hingga suara becek pun menggema.

Tak lama berselang, Izzah pun melenguh dan mengejang hebat merasakan datangnya orgasme. Di lain sisi, Ustad Azzam pun terdengar menggeram dan terlihat di dalam HP begitu banyak spermanya yang tumpah hingga hampir seluruh tangan dan perutnya berwarna putih kental. Aku pun tak tahan lagi dan segera pergi meninggalkan tempat itu dengan birahi yang masih bergolak. Aku berjalan cepat menuju kamarku dan kudapati Inas sedang mendengkur pulas sementara Isytihar tidur tengkurap. Cepat - cepat ku panjat tangga ranjang dan segera merebahkan diriku. Aku yang sudah tenggelam dalam syahwat segera menaikkan kaos yang kupakai hingga toketku yang berukuran 36C dan masih terbalut Bra warna pink muda terbebaskan. Sementara tangan kananku sudah masuk ke dalam celana training panjang dan CD yang kupakai.

"Mhh... Shhh... Mhhh... Aahhh... Ahsaann... Ahhh... Ehh... jangan Mochamad... Ahhh... Ustad Hamzzaahhh...", desahku tertahan supaya tidak didengar oleh Inas dan Isytihar.

Bukan lagi Mochamad yang menjadi fantasiku setelah melihat keindahan tubuh Ustad Azzam. Meski tak bertemu langsung, tapi gambar yang ditunjukkan HP Izzah sudah cukup untuk membuatku tahu detil tubuh salah satu pengasuh Pondok ikhwan itu. Dada yang bidang, perut yang six pack, tangan yang terlihat kuat dan kencang, ditambah kontol yang gagah, besar dan panjang. Jauh berbeda dengan milik Mochamad yang terlihat kecil setelah kubRakangkan.

Jemari kananku menggesek cepat memekku karena birahi yang sudah sampai ke ubun - ubun. Tubuhku blingsatan, membanting ke kanan - kiri saat jemariku bermain di itil sementara tangan kiriku memilin gemas puting kiriku yang sudah tak tertutup Bra lagi. Kenikmatan yang sudah begitu lama kulupakan. Ku kira tubuhku sudah tak menginginkannya, tapi malam ini aku ingin melampiaskannya.

Bayangan ustad Azzam yang tengah menjilati memekku membuat pikiranku melayang. Meski sudah kutahan, tetap saja desahanku sedikit terdengar. Terasa begitu becek di bibir memekku. Tangan kiriku secara bergantian meremasi toket kanan dan kiriku. Sungguh nikmat kurasakan meskipun hanya menggunakan jari dan menggesek memek saja.

"Unnghhhhh....", Erangku tertahan.

Kakiku mengejang lurus, mataku terpejam dan kugigit kuat bibir bawahku saat merasakan klimaks yang sudah 6 bulan ini tak kurasakan. Benar - benar nikmat dan sesaat setelahnya rasa lega pun kurasakan. Namun itu tak berlangsung lama karena kemudian aku teringat kembali kejadian saat orang tuaku marah padaku. Seketika itu juga rasa bersalah yang amat sangat menghampiriku. Aku segera membenahi kembali bajuku dan terus menyalahkan diriku yang begitu mudahnya terjebak dalam bujuk rayu setan. Kembali ku ingat saat umi kecewa dan menangis yang membuatku tak terasa meneteskan air mata malam itu.

"Ghaliyatul... Ghaliyatul.!! Mau sampe kapan tidur terus...!??", kata Izzah sambil mengguncangkan tubuhku.

"Ohh... Emmmh... Knapa Izzah...??", tanyaku yang masih setengah sadar.

"Udah jam segini...!! Kamu mau dimarahin ustadzah Ibnatu apa gimana!? Buruan ganti baju terus ke masjid...", ujar Izzah yang kemudian turun dan langsung bergegas menuju masjid sambil mengenakan gamis marun dan khimar hitamnya.

Kucoba untuk melihat jam karena bingung kenapa Izzah terburu - buru. Aku terkejut ketika mendapati waktu tinggal 5 menit lagi sebelum adzan Subuh. Segera aku bangun dan mengganti seluruh pakaianku. Saat aku hendak mengenakan khimar, aku teringat kalau semalam sudah junub. Waktu yang semakin mepet membuatku hanya mandi bebek saja yang penting persyaratan wajib mandi junub sudah terpenuhi.

"Gak biasanya kamu telat gini Ghaliyatul...", kata Inas sambil menahan menguap.

"Yaahh... manusia juga Inas... kadang kesiangan...", jawabku sambil duduk dengan mukena putih berenda dongker memangku kitab fiqh sunnah di tanganku.

"Ahaha... iya juga sih... tapi jangan pake alasan itu laahh... apa bedanya sama orang - orang lain diluar sana yang pake Alasan itu untuk membenarkan kelakuannya...", jawab Inas.

"Ahaha... Yaa gapapa kan Inas... sesekali jadi kayak mereka...", jawabku santai sambil menahan tawa.

Di depan sana Ustadzah Ibnatu menjelaskan tentang fiqh Wudhu dengan begitu bersemangat. Meski raga ku ada di masjid, namun pikiranku traveling entah kemana. Tak bisa kupungkiri, kebanyakan santriwati pun sama, mereka lebih banyak mengantuk atau melamun daripada memperhatikan apa yang disampaikan. Maka tak jarang beberapa kali Ustadzah Ibnatu harus berteriak keras untuk menegur santriwati yang tidak memperhatikan materi. Sudah cukup lama sejak pertama kali aku melihat Ustad Azzam di Pondok ini. Saat itu tepat aku satu bulan berada di Pondok dan sedang ada kunjungan dari beberapa Ulama dari yayasan yang menaungi Pondok.

"Ehh... siapa tuh Inas...??", Tanyaku mencolek Inas yang duduk di sebelah kananku.

"Hem? Yang mana?? Ohh... itu...?? Itu mah idaman semua akhwat disini... namanya ustad Azzam...", jawab Inas yang juga sepertinya ada rasa dengan ustad Azzam.

"Ohh... ustad Azzam... orang mana?? Ustad disini juga...??", tanyaku kepo.

"Iya dong... beliau ngajar Tahfidz di kalangan santriwan... Ahhh... Coba jadi suamiku... uhhh... bakal ku iket di rumah aja... ahahaha...", jawab Inas yang terlihat gemas dengan penampilan menawan Ustad Azzam.

Aku juga tak bisa melepaskan pandangan mataku pagi itu dari pesona sang Ustad. Meski berpakaian serba putih dan berjubah, tetapi keindahan tubuhnya tetap tampak. Paras yang rupawan dengan kulit putihnya, tubuh yang tinggi dan gagah, dada yang bidang dan tubuh yang cukup atletis, nampak jelas dari jubahnya yang full - pressed body sehingga menunjukkan lekukan tubuhnya. Aku yang baru pertama kali melihatnya saja serasa meleleh, apalagi para santriwati senior yang lain. Sudah pasti harus menenggak ludah karena ketampanan dan kesolehan yang menjadi idaman mereka.

Selesai dari kajian rutin pagi, aku dan teman - temanku yang lain segera bersiap - siap untuk sekolah layaknya biasanya. Sempat kami berempat berpapasan dengan Usatd Azzam yang sedang naik motor Aerox Hitam dengan striping kuningnya. Baik Aku, Inas, Isytihar, dan Izzah tak bisa sedetikpun berkedip saat ia melintas, terlebih lagi ustad Azzam sempat melepaskan senyum manisnya pada kami. Mhhh... serasa seperti terbang sampai ke puncak khayangan. Hanya saja kami harus memendam sedikit kesedihan karena Ustad Azzam sedang berboncengan dengan istrinya saat itu. Menurut cerita Inas dan Izzah, Istri Ustad Azzam tak kalah cantiknya. Berkulit putih bersih, wajah yang cantik jelita, mata yang lentik, tubuh yang indah tinggi semampai, ditambah ukuran toketnya yang tergolong besar meskipun teman - temanku tak bisa menerangkan dengan jelas ukuran cup nya.

Selama di sekolahan pikiranku tetap saja terbang entah kemana. Selalu saja terbayang akan kejantanan Ustad Azzam di kepalaku. Hingga sering sekali aku berfantasi dengannya dalam pikiranku.

"Ahhh... andaikan aku menjadi istri Ustad Azzam, Istri simpanan pun aku rela...", gumamku yang sudah dikuasai syahwat siang itu.

Semakin lama, semakin jauh fantasiku membayangkan Ustad Azzam. Sudah jelas hal itu membuat putingku mengeras dan selakanganku berdenyut kuat seakan ingin segera untuk merasakan kejantanan Ustad Azzam. Namun di lain sisi aku tak ingin kehilangan keperawananku tanpa ikatan yang jelas. Sepulang sekolah, rute biasa yang kulewati pun tak lepas dari fantasiku. Aku yang sudah terlalu dalam tenggelam dalam birahi, tak mampu lagi memendam fantasiku untuk disetubuhi oleh Ustad Azzam di hutan rindang yang ada di kanan - kiriku.

"Ehh... Kalian duluan yaa... aku kelupaan nih... kayaknya ada yang ketinggalan di sekolah...", ujarku pada Inas, Isytihar, dan Izzah.

"Apa yang ketinggalan?? Makanya di cek dulu... jauh lhoo kalo balik...", kata Isytihar sambil memberhentikan sepedanya.

"Iya sih... terus ntar baliknya gimana Ghaliyatul??", tanya Izzah yang juga ikut berhenti.

"Ahh... gapapa... bentar aja kok... udah sana duluan aja...", jawabku.

Inas, Isytihar, dan Izzah pun tak menaruh curiga padaku dan terus melanjutkan perjalanannya menuju Pondok. Aku berpura - pura membuka tasku sambil mengecek isi tas padahal aku hanya ingin memastikan kalau mereka sudah cukup jauh dariku. Setelah ketiga temanku sudah tak terlihat lagi, aku segera mengayuh sepedaku ke arah air terjun yang kemarin kukunjungi. Kurang lebih sekitar jam 13.30 saat itu dan kulanjutkan dengan berjalan kaki. Aku masih ingat saat itu kulihat ada satu batu yang cukup besar di dalam hutan yang cukup pas bagiku untuk melampiaskan gelora syahwatku yang sudah tak tertolong lagi.

"Sssshhh... Mhhhh... Aaahh... Akhirnyaa bisaahh lagiiihh... Mmmhh... Oohhhh... Ustaadhh... Mmhh...", desahku sambil merem melek menikmati permainan jemariku sendiri.

Kusandarkan diriku di batu besar itu yang juga teduh karena tertutupi oleh pepohonan di atasnya. Kaki kiriku berpijak di bekas batang pohon yang ada di sisi kiriku sementara kaki kananku menapak di tanah. CD ku yang berwarna pink muda sudah ku lepas dan kumasukkan ke dalam tas. Rok panjang berwarna abu - abu khas anak SMA yang menutupi paha putih ku pun sudah kusingkapkan. Mataku terpejam menikmati masturbasi yang akhirnya bisa kembali kurasakan, terlebih lagi kini aku berada di alam terbuka. Sungguh pengalaman yang berbeda. Kubayangkan diriku saat itu berdiri agak mengangkang sementara ustad Azzam berjongkok di bawah dan membenamkan wajahnya di selakanganku.

"Oouwhh... Mmhh... Ustaaddhh... Ahhh...", desahku merasakan nikmatnya syahwat yang menerpa saat kubayangkan lidah Ustad Azzam menari liar menyapu memekku.

Khimar putih jumbo yang kukenakan sudah tersingkap di pundakku sementara baju OSIS putihku sudah terbelah dan memuntahkan kedua bukit indahku yang masih tertutup Bra warna pink muda. Birahi yang semakin memuncak membuatku ingin merasakan yang lebih. Tangan kiriku menyusup di balik Bra dan kuremas perlahan toket kiriku yang terasa begitu kenyal. Sesekali jemariku memilin putingku yang justru semakin membuatku terbang dalam nikmat fantasiku sendiri.

Suasana hutan yang rindang menjadikan siang itu terasa sejuk bagiku yang juga semakin membuat fantasiku semakin jauh. Kala itu kubayangkan aku tengah duduk di atas batu itu sementara kedua kakiku mengangkang lebar. Dengan gagah dan mantab Ustad Azzam melesakkan kontol perkasanya jauh menembus liang memekku yang membuatku mabuk kepayang. Jemariku pun semakin cepat menggesek bibir memekku yang sudah begitu becek oleh lendir syahwat yang berwarna putih. Desahan dan rintihan ku semakin kuat karena sedikit lagi aku mencapai orgasmeku.

"Aahh... Ahhh... Ustadd... Aahhh... Sshh... Sodok terus Ustaad... Ahhh... Enakk... Ahhhhhhh", desahku sesaat sebelum akhirnya aku mencapai klimaks.

Meski tak sampai squirt, namun aku tetap merasa puas tak terkira. Seluruh tubuhku mengejang, kuremas kuat toket kiriku, mataku terpejam kuat dengan bibir bawahku kugigit saat merasakan kenikmatan itu melanda. Selama beberapa saat tubuhku terasa lemas dan nafasku tersengal - sengal yang membuatku terpaksa bersandar sebentar di batu itu. Sekitar jam 14.00, setelah kembali merapikan pakaian dan cadarku, aku pun segera melanjutkan perjalananku pulang.

"Ehh... Neng Ghaliyatul... sendirian aja...??", tegur pak Ansyori yang tiba - tiba muncul dihadapanku saat aku hendak mengambil sepeda yang kuparkirkan sekitar 70 meter dari pinggir jalan utama dan masuk ke arah hutan.

"Ehh... pak Ansyori... ahh... iya... Ngga... iseng aja... Bapak juga kok sendirian?? Dari mana...??", tanyaku yang tergagap karena panik.

"Iya neng... memang ini jadwal bapak patroli siang... tadi sempat liat dari kejauhan kok kayak ada yang beda... pas bapak sampe sini liat sepeda neng Ghaliyatul... yaa bapak kira kalo neng Ghaliyatul lagi sama temennya jadi bapak sengaja jalan - jalan di sekitar sini aja buat bikin parameter...", jawab pak Ansyori yang siang itu mengenakan kaos loreng hijau dengan celana militernya.

"Ohh... gitu pak yaa...?? Buat ngamanin daerah sini yaa...??", tanyaku untuk mengalihkan perhatian pak Ansyori sambil aku mendorong sepedaku.

"Yaa gitu neng... namanya juga tugas... Ohh iya, perlu bapak antar sampai jalan utama nggak...??", tanya pak Ansyori sambil mengambil beberapa ranting pohon.

"Ohhh... ngga usah pak... Ghaliyatul masih hafal jalannya kok... makasih ya pak...", jawabku yang kemudian meninggalkan pak Ansyori disana.

Kebiasan baruku untuk masturbasi kini menjadi lebih sering. Kurang lebih kulakukan 2 - 3x dalam seminggu. Untuk tempat aku pun tak terlalu memikirkannya. Kadang di kamar kalau malam hari, atau di toilet Pondok seperti yang dilakukan Izzah. Khusus untuk outdoor, terlebih lagi di hutan, maka harus ku sesuaikan dengan jadwal piket kebersihan kelas sehingga ada alasan untuk aku pulang terlambat.

Meski kini cukup sering aku bermasturbasi untuk meluapkan syahwatku, namun tak jarang juga aku teringat akan ancaman dosa dari Allah. Saat perasaan itu datang, maka rasa bersalah pun mendatangiku. Pesan ustadzah Ibnatu untuk berpuasa saat syahwat mulai melanda sudah sering kucoba. Bahkan beberapa temanku, termasuk Inas selalu menanyakan kenapa aku selalu puasa. Tapi tetap saja hal itu tak bisa membendung gelora syahwatku yang selalu muncul. Apalagi hampir tiap malam senin aku selalu membuntuti kemana Izzah pergi.

Suatu malam, aku sudah berniat untuk mengikuti kemana Izzah malam itu. Seperti biasa aku pura - pura tidur, sementara Inas dan Isytihar memang tertidur pulas. Dengkuran Inas pun cukup keras bagi seorang perempuan. Sekitar jam 11.45, kulihat Izzah mulai mengendap - endap keluar kamar. Aku tak langsung mengikutinya, tapi sengaja kujeda sekitar beberapa menit supaya tidak ketahuan. Setelah dirasa cukup jauh, aku mulai mengikutinya dari belakang. Namun yang membuatku heran adalah Izzah tak seperti malam senin biasanya. Kali ini jalur yang ia tempuh mengarah ke perbatasan Pondok putra dan putri padahal biasanya ia menuju toilet putri. Aku pun tak ambil pusing dan terus mengikutinya secara perlahan. Suasana yang cukup gelap di sekitar Pondok putri memudahkan Izzah untuk menyelinap dan berhenti di depan pintu pembatas antar Pondok Putra dan Putri.

*Cklek... Klang...* suara kunci pintu besi pembatas dibuka.

Meski malam cukup gelap, tapi aku bisa melihat dari kejauhan kalau Izzah malam itu mengenakan setelan abaya, khimar, dan cadar warna coklat susu. Aku sempat berpikir dimana ia berganti pakaiannya sebab saat ia keluar kamar tadi masih mengenakan kaos lengan panjang biru tua dan celana training hitam.

"Ahh... mungkin tadi waktu aku nungguin dia di kamar terus ganti...", gumamku dalam hati.

Kunci pintu pembatas Pondok berada di sisi dalam Pondok putri, alhasil sudah pasti Izzah yang membukanya. Kembali diriku dibuat keheranan bagaimana bisa dia mendapatkan akses kunci untuk membuka gembok pintu pembatas itu. Kemudian muncullah dua orang ikhwan mengenakan gamis putih dari balik pintu itu, aku yakin salah satunya adalah ustad Azzam melihat dari postur tubuhnya, tapi aku tak mengenali yang lain. Keduanya nampak akrab dan tak sungkan untuk mencium bibir Izzah yang tertutup cadar, begitu pula Izzah yang juga terlihat nyaman bahkan tangannya tak ragu untuk menyentuh kulit ikhwan ajnabi itu.

Tak berlama - lama, ketiganya segera beranjak ke salah satu bangunan kecil di pojok Pondok putri. Dari pintu pembatas Pondok putra - putri berjarak sekitar 40an meter saja. Karena itu bangunan yang sepertinya sudah lama ditinggalkan sehingga penerangan di jalur menuju bangunan itu pun sekedarnya. Saat ketiganya sudah memasuki bangunan itu, aku berjalan mengendap - endap dan sebisa mungkin tak menimbulkan suara dengan melepas alas kakiku. Posisi jendela bangunan itu standar dan tidak terlalu tinggi sehingga cukup mudah bagiku untuk mengaksesnya. Dan begitulah, seperti yang semua pembaca tebak, adegan perzinaan 2 lawan 1 pun terjadi. Karena aku yang tadinya menjaga jarak, maka saat aku sampai di lokasi, kini Izzah tengah berlutut di antara ustad Azzam dan seorang ustad lain yang sudah bugil. Khimar jumbo Izzah sudah disibakkan dan menampilkan kedua bongkahan gunung kembar 36C miliknya yang dihias puting coklat.

Melihat adegan panas di bangunan yang ternyata bekas mushola itu membuat jemariku tak tahan untuk segera menjamah selakanganku sendiri. Mulut mungil Izzah yang dihias bibir pink kemerahan begitu mudahnya melahap kontol Ustad Azzam yang berukuran sekitar 17 cm sementara kontol lain berukuran hampir sama. Cadar yang ia kenakan semakin membuat kedua ustad pengajar Pondok itu bernafsu untuk menikmati mulut sempit Izzah. Secara bergantian keduanya mencengkeram kepala Izzah dan menyodok cepat kontolnya di mulut Izzah sehingga beberapa kali kudengar Izzah tersedak.

"Mmhhh... Shhh... Aahhh... Sshhh...", desahku tertahan sambil terus menggesek - gesek memekku dengan tangan kananku yang sudah menyusup masuk ke dalam celana training yang kupakai.

Bagaimana bisa birahiku tak bergolak? Kali ini Izzah tengah jongkok mengangkang di atas wajah Ustad Azzam yang telentang di atas karpet mushola bekas menikmati tarian lidah sang ustad ganteng idamanku itu memanjakan memeknya sementara di atas mulutnya terus dihadiahi oleh lezatnya kontol ustad yang lain. Semakin lama aku melihatnya, semakin kurasakan beceknya lendir yang mengalir di selakanganku. Kali ini Izzah lebih dulu memulai aksinya dengan memanjakan kontol ustad Fulan (karena aku tidak tau namanya) dengan posisi WOT. Bisa kulihat dengan jelas memek cantik Izzah yang berwarna coklat tua mulus itu menelan kontol panjang sang ustad.

"Ooooohhhhhh... sssshhh... aaaahhhh...", lenguh Izzah saat lubang kenikmatannya disesaki kontol ustad Fulan sementara kini hanya tersisa Khimar, cadar, dan kaos kaki saja yang masih menutupi keindahan tubuh putih mulusnya.

Ustad Azzam pun segera menyumpal kembali mulut Izzah supaya aksi perzinaan ketiganya tak diketahui orang. Meski tengah melayani 2 kontol sekaligus, tubuh Izzah tetap bergoyang cepat seakan ia sudah ahli dalam melakukannya. Toketnya yang membusung dan menantang kini sudah menjadi sasaran kebrutalan tangan ustad Fulan. Sekitar 5 menit kemudian, berganti ustad Azzam yang melesakkan kontolnya menembus sempitnya memek Izzah dengan posisi doggy sementara mulut Izzah harus mengulum kontol Ustad Fulan yang masih mengkilap oleh cairan memeknya sendiri.

Jemariku semakin cepat memanjakan memekku yang entah sudah berapa kali aku orgasme. Meski capek tapi aku penasaran dengan akhir dari panasnya perzinaan mereka. Bahkan aku membayangkan jika aku berada di posisi Izzah, merasakan dari depan dan belakang disodok kontol secara liar seperti itu sudah membuatku mabuk kepayang.

Mataku dibuat terbelalak karena melihat adegan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Izzah yang tengah WOT di atas tubuh Ustad Fulan kemudian di dorong oleh Ustad Azzam sehingga tubuhnya agak merendah dan condong ke depan. Tak lama kemudian Ustad Azzam mengarahkan kontolnya dan Blesshh... anus sempit Izzah tanpa halangan melahap kontol Ustad Azzam sepenuhanya.

"Aaaaaooouhhhhhhhhh... Ustaaadhh... Mmmhhhh... Aahh... Ahhh... Ahhhh...", rintih Izzah ketika merasakan kedua lubangnya tersumpal kontol sekaligus.

KELANJUTAN CERITANYA ADA DIKARYAKARSA ATAU BISA MENGHUBUNGI INSTAGRAM AUTHOR @ WIDASU.ID

JANGAN LUPA KOMEN, VOTE DAN FOLLOW, AYOO MARI BANTU ADMIN SUPAYA BISA LANJUTIN KARYA INI...

KALO ADA LEBIH REJEKI BOLEH DONASI KE ADMIN SUPAYA LEBIH SEMANGAT LAGI UPDATE NYA...

JANGAN LUPA JUGA FOLLOW SOSIAL MEDIA ADMIN

INFORMASI!!! NANTI AKAN ADA KONTEN PREMIUM BERGENRE : NTR, GANGBANG, PEMERKOSAAN, CUKOLD DLL DARI KARAKTER YANG UDAH GW BUAT DI KARYA INI...

JADI BUAT KALIAN YANG MINAT BELI KONTEN PREMIUM GW, BISA KONTAK SOSIAL MEDIA GW ATAU KE PLATFORM SEBELAH YAITU KARYAKARSA!!!

TERIMAKASIH KEPADA PEMBACA YANG SUDAH DUKUNG KARYA INI...

More Chapters