WebNovels

Chapter 15 - Bayangan di Balik Faksi

Langit Arkos berubah kelabu. Di kejauhan, awan berputar lambat, membentuk pusaran besar seolah menyembunyikan sesuatu yang akan turun dari langit.

Di kaki Gunung Angket, Edwin duduk bersila di atas sebuah batu raksasa, membiarkan energi alam mengalir melalui tubuhnya. Sejak kembali dari Void Sanctum, ia merasakan perubahan dalam dirinya — kekuatan barunya seakan tak berbatas, namun juga rapuh, bagaikan jembatan tipis yang siap runtuh bila ia salah melangkah.

"Jadi... ini kekuatan para legenda," gumam Edwin lirih, membuka matanya perlahan.

Di sekelilingnya, rumput dan bunga tumbuh liar meskipun tanah itu tandus. Setiap tarikan napasnya seolah mempercepat hidup di sekitarnya. Namun bukan itu yang membuat Edwin cemas — melainkan aura-aura asing yang ia rasakan mendekat dari berbagai penjuru.

Dalam tiga hari terakhir, para utusan dari berbagai faksi besar mulai berdatangan. Ada yang datang menawarkan aliansi. Ada yang mengintai. Ada pula yang terang-terangan mengancam.

Sore itu, suara langkah kaki terdengar dari balik pepohonan.

"Kau tampak lebih kuat dari rumor yang kudengar," suara berat itu menggema.

Seorang pria bertubuh besar, mengenakan armor berwarna obsidian dengan motif naga yang terukir di dadanya, muncul. Matanya merah menyala, tanda kultivasi kegelapan tingkat tinggi. Di belakangnya, sekelompok prajurit berbaris rapi—semua mengenakan lambang Faksi Abyssum, faksi rahasia yang dikenal karena kelicikannya dalam politik dunia bawah.

Edwin berdiri perlahan, tetap tenang.

"Utusan dari Abyssum," ujar Edwin datar. "Apa maumu?"

 

Pria itu tersenyum miring. "Kami datang dengan tawaran: bergabunglah dengan kami. Dengan kekuatanmu dan jaringan kami, dunia ini akan tunduk di bawah satu bendera."

Edwin hanya mengangkat alis. "Dan bila aku menolak?"

Tatapan pria itu mengeras. "Maka kami akan menganggapmu ancaman, dan Abyssum tidak pernah membiarkan ancaman hidup terlalu lama."

Angin berdesir kencang. Daun-daun kering beterbangan di sekitar mereka.

"Pergilah," kata Edwin dingin. "Aku tidak berpihak pada siapapun."

"Sayang sekali," gumam pria itu, sebelum mengangkat tangan. Dalam sekejap, lusinan anak panah energi gelap ditembakkan ke arah Edwin.

Namun sebelum panah-panah itu sempat menyentuhnya, Edwin menggerakkan jari telunjuknya. Sebuah kubah cahaya biru keperakan muncul, menghentikan semua serangan itu seolah-olah waktu sendiri membeku.

Mata pria itu membelalak kaget.

Tanpa peringatan, Edwin melompat, meninggalkan jejak retakan di tanah, dan dalam sekejap mendarat di hadapan pria itu. Satu pukulan ringan mengenai dadanya, namun efeknya bagaikan meteor menghantam bumi—pria itu terlempar puluhan meter, menghantam pohon besar hingga roboh.

Anak buahnya gemetar, sebagian mulai mundur.

"Aku memberi kalian kesempatan," suara Edwin bergema penuh tekanan. "Katakan pada pemimpinmu, aku tidak tertarik memimpin atau menghancurkan. Tapi... jika kalian memaksaku, aku tidak akan menahan diri."

Para prajurit Abyssum akhirnya mundur tergesa-gesa, menyeret pemimpin mereka yang terluka parah.

Saat ketenangan kembali, seorang sosok lain muncul dari balik kabut — seorang wanita dengan jubah hijau berhiaskan untaian perak, membawa tongkat kristal yang berpendar lembut. Lambang daun berkilauan di jubahnya menunjukkan bahwa dia dari Faksi Verdantia, faksi yang dikenal menjaga harmoni alam.

"Edwin," katanya lembut. "Kami tidak datang untuk bertarung."

Edwin mengangguk. Ia mengenal Verdantia—faksi itu lebih mengutamakan keseimbangan daripada kekuasaan.

"Aku mendengarmu," jawab Edwin singkat.

Wanita itu tersenyum samar. "Kami hanya ingin mengingatkanmu... dunia ini rapuh. Setiap tindakanmu, bahkan sekecil apapun, akan menimbulkan gelombang yang bisa mengubah nasib banyak jiwa."

Edwin menghela napas panjang. "Aku tahu. Karena itu aku tidak ingin terburu-buru mengambil keputusan."

"Bagus," kata wanita itu sambil membungkuk hormat. "Kami akan mengawasimu, bukan untuk mengikatmu, tapi untuk memastikan keseimbangan tetap terjaga."

Setelah wanita itu pergi, Edwin menatap langit yang semakin menggelap.

Banyak mata kini memperhatikannya. Banyak tangan yang berusaha menariknya ke satu sisi. Void Sanctum memberinya kekuatan untuk mengubah segalanya, namun ia tahu... kekuatan tanpa kontrol akan membawa kehancuran.

Dalam benaknya, terngiang kembali kata-kata terakhir para arwah legenda di Void Sanctum:

"Keseimbangan bukan berarti tidak bergerak. Kadang, keseimbangan harus diciptakan melalui perubahan. Pilihanmu akan menentukan Arkos — sebagai dunia yang damai... atau medan perang para dewa."

Edwin mengepalkan tangannya, cahaya biru samar berdenyut dari kulitnya.

"Aku akan memilih jalanku sendiri," bisiknya. "Bukan karena dunia memintaku... tapi karena aku yang memutuskan."

Dan di kejauhan, di antara bayang-bayang gunung, sosok-sosok lain mulai bergerak—mereka yang selama ini bersembunyi, menunggu waktu yang tepat untuk muncul.

Perjalanan Edwin baru saja dimulai.

More Chapters