WebNovels

Chapter 19 - Padang Merah Umbral

Langit di atas Padang Merah Umbral tidak pernah benar-benar cerah. Warna oranye suram menyelimuti cakrawala seperti lukisan yang dicat dengan darah dan debu. Angin berdesir membawa bisikan, seolah roh-roh perang yang telah lama gugur belum pernah benar-benar tidur.

Edwin, Althea, dan dua pengawal dari Istana Cahaya—Kael, seorang pengguna pedang spiritual angin, dan Mirae, pemanah pengendali cahaya—berdiri di tepi padang tandus itu.

"Tempat ini..." gumam Kael sambil menurunkan tudung jubahnya, "...dulu adalah medan perang yang menelan dua kerajaan. Arwah mereka masih berteriak di sini."

Mirae menunduk sambil memegang liontin pelindungnya. "Fragmen Takdir berikutnya tersembunyi di sini?"

Althea mengangguk, matanya menatap peta bercahaya dari Void Scroll. "Di tengah padang ini ada reruntuhan kuil kuno. Konon itu kuil terakhir dari Klan Darah Kuno."

Tanpa membuang waktu, mereka melangkah masuk ke padang.

Sepanjang perjalanan, suara-suara samar mulai terdengar. Kael sesekali menoleh ke belakang, seolah ada yang mengikuti. "Langkah kaki kelima," katanya. "Kita hanya berempat, tapi ada lima jejak."

Althea segera membentuk penghalang aura. Edwin mengangkat tangan, membentuk pusaran kecil dari energi Void.

"Ada yang membuntuti kita," desisnya. "Mungkin Serael. Atau sesuatu yang lebih buruk."

 

Tiba-tiba, kabut merah naik dari tanah. Angin berhenti. Waktu seakan melambat. Dari balik debu, muncul sosok-sosok berjubah merah—makhluk tanpa wajah, tubuh mereka seperti asap padat yang berdenyut.

"Mereka bukan hidup. Bukan juga mati," kata Mirae, menggenggam busurnya. "Ini... roh pembalas."

Satu demi satu makhluk itu menyerang. Kael melompat, pedangnya menari seperti angin badai. Mirae melepaskan panah suci yang meledak dalam cahaya putih. Tapi setiap kali satu makhluk jatuh, ia bangkit lagi dari tanah yang sama.

Edwin tahu: mereka tak bisa mengalahkan arwah di tempat ini hanya dengan kekuatan kasar.

Ia memejamkan mata. Aura biru Void Sanctum menyelubunginya. Ia mengucap mantra kuno dari warisan Void:

"Kembali ke waktu yang terlupakan. Tenanglah di tempat asalmu."

Dengan ledakan cahaya biru lembut, arwah-arwah itu terhenti. Mereka menatap Edwin sejenak—mata kosong mereka seolah mengenali sesuatu. Lalu mereka memudar, menyatu kembali dengan tanah merah yang sunyi.

Hening kembali menyelimuti.

Ketika kelompok itu melanjutkan perjalanan, mereka mulai merasakan gangguan lain—halusinasi.

Mirae melihat kakaknya yang telah mati memanggilnya dari kejauhan. Kael melihat bayangan gurunya yang mengkhianatinya. Althea melihat keluarganya terbakar seperti dulu. Tapi yang paling dalam, paling nyata—datang kepada Edwin.

Ia melihat dirinya sendiri, berdiri di tengah padang, tapi bukan dirinya yang sekarang.

Sosok itu mengenakan jubah Abyssum, mata merah bersinar, tangan memegang Fragmen Takdir berlumur darah.

"Kau tahu bahwa kehancuran lebih jujur dari keseimbangan," kata versi gelap dirinya itu. "Keseimbangan hanya alat untuk menunda yang tak terelakkan."

Edwin menggertakkan gigi. "Kau bukan aku."

"Bukan... belum," jawab sosok itu sebelum menghilang dalam debu.

Akhirnya, mereka sampai di tengah padang. Di sana berdiri reruntuhan kuil kuno, dinding-dindingnya patah, lantainya tertutup debu darah yang tidak pernah kering. Di tengah altar, terletak Fragmen Takdir kedua—berbentuk seperti kristal merah dengan nadi hitam berdenyut di dalamnya.

Saat Edwin menyentuhnya, kilatan ingatan masuk ke dalam benaknya. Ia melihat masa lalu kuil itu—para kultivator Darah Kuno menyegel kekuatan yang mengancam, mengorbankan ratusan nyawa untuk mencegah kehancuran dunia. Tapi pengorbanan itu gagal.

Fragmen itu adalah sisa kehendak dari penguasa darah, makhluk yang haus akan pengorbanan. Sekarang, kekuatannya kembali aktif.

Kristal mulai berdenyut, menciptakan lubang hitam kecil di atas altar. Dari sana muncul makhluk menyerupai ular bersayap berapi—Zhurval, Penjaga Darah Lama.

Pertarungan dimulai.

Zhurval menyembur api darah yang melelehkan batu. Kael mencoba menyerang tapi terhempas. Mirae menembakkan panah penembus pelindung, namun makhluk itu beregenerasi.

Althea dan Edwin berdiri berhadapan. "Ini seperti saat di Menara Ilyria," kata Althea.

Edwin mengangguk. "Tapi kali ini aku tahu apa yang harus kulakukan."

Ia menciptakan lingkaran Void di sekeliling altar, menjebak Zhurval dalam batas spiritual. Dengan bantuan Althea, mereka memperkuat lingkaran itu dengan mantra penyegel warisan Cahaya.

Zhurval mengaum, tapi tubuhnya mulai terurai, ditarik ke dalam kristal Fragmen yang menyerap kekuatannya kembali.

Setelah makhluk itu lenyap, Fragmen Takdir perlahan bersinar merah gelap, lalu kembali menjadi diam.

Edwin mengambilnya, namun merasakan sesuatu berbeda. Fragmen ini tidak hanya memberi kekuatan—ia mengikatkan diri. Bagian dari kehendak Zhurval kini mengendap di dalam dirinya.

Althea memperhatikan Edwin dengan curiga. "Kau... baik-baik saja?"

Edwin mengangguk, meski di dalam, ia merasa... lain.

Saat mereka bersiap kembali, langit Padang Merah Umbral memudar sedikit. Matahari, meski lemah, menembus kabut merah untuk pertama kalinya dalam puluhan tahun.

Namun di balik itu, jauh dari mereka, Serael melapor pada Lyzael. "Mereka sudah mendapat Fragmen kedua. Tapi kekuatan darah kini mengalir dalam dirinya."

Lyzael tersenyum tipis. "Bagus. Biarkan dia mengumpulkan semuanya. Lalu kita akan memutuskan... siapa sebenarnya Penjaga dan siapa yang akan jadi Penghancur."

More Chapters