WebNovels

Chapter 22 - Menembus Batas Langit Kedua

Langit di atas Gunung Angket tampak bergetar. Awan gelap menyelimuti puncaknya seperti selimut raksasa yang menyimpan rahasia alam semesta. Angin berhembus tajam, membawa aroma logam yang menusuk, pertanda energi spiritual tengah mengguncang ruang-waktu.

Di tengah pusaran energi itu, Edwin duduk bersila. Tubuhnya diliputi cahaya biru lembut, namun sesekali berubah menjadi ungu pekat dan merah darah. Aura yang terpancar dari tubuhnya menembus tanah dan langit, membentuk formasi alamiah yang menjelma menjadi Rune Langit Kuno — simbol dari Batas Langit Kedua.

Sudah tiga hari tiga malam Edwin tidak bergerak dari tempatnya. Tak makan, tak minum, bahkan tak bernapas layaknya manusia biasa. Ia telah menutup seluruh indra fisiknya untuk menyelam ke dalam dimensi terdalam kesadarannya—Void Inner Realm. Di sana, dia berhadapan dengan dirinya sendiri.

Di depan cermin raksasa dalam Void Inner Realm itu, Edwin melihat berbagai versi dirinya. Ada Edwin yang menjadi tiran, menguasai Arkos dengan tangan besi. Ada pula Edwin yang menghilang sepenuhnya dari sejarah, memilih diam dalam gua abadi. Tapi versi paling menakutkan adalah dirinya yang menjadi Penghancur Keseimbangan — kultivator dengan kekuatan absolut yang menghapus batas antara terang dan gelap.

"Pilihanmu takkan bisa dihindari selamanya," bisik versi kegelapannya. "Jika kamu terlalu lemah untuk memilih, kehancuran akan memilihmu."

Edwin menggenggam tinjunya, rasa sakit menusuk dalam dada.

Namun di saat itulah, sosok cahaya menyeruak dari balik kegelapan: seorang wanita berjubah putih keperakan, bermata seperti danau tanpa dasar. Itu adalah Nyanyian Langit, roh purba pelindung Void Sanctum.

"Anak Keseimbangan," suaranya bergema lembut namun tegas. "Waktumu telah tiba. Kau telah menguasai Jalur Roh, Jalur Energi, dan Jalur Jiwa. Kini, ku buka gerbang menuju Langit Kedua. Tapi ingat, kekuatan sejati bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk diseimbangkan."

Dengan satu gerakan tangannya, sebuah celah cahaya membelah ruang di Void Inner Realm, menghubungkan kesadaran Edwin ke lapisan dimensi yang lebih tinggi — Dimensi Harmoni.

Edwin membuka matanya di dunia nyata.

Ledakan cahaya biru keperakan membuncah dari tubuhnya. Gempa kecil mengguncang Gunung Angket. Langit yang semula gelap perlahan terbuka, menampakkan semburat aurora yang menari di atas kepala.

Dari balik semak, sosok berkerudung hitam mengamati dengan mata menyala merah. "Akhirnya… dia menembus Langit Kedua," gumamnya. "Dewa Penjaga Bangsa akan bergerak. Waktu kita sempit."

Sementara itu, jauh di bagian timur Arkos, di Kota Teratai Perak, pertemuan para tetua kultivator dari Faksi Langit Terbuka digelar dengan tergesa.

"Energi yang muncul dari Utara… itu pasti Edwin, Pangeran Keseimbangan," ujar Master Kiral dengan suara serius.

"Apakah kita harus bertindak?" tanya salah satu tetua.

"Jika dia benar-benar mampu menguasai Void Sanctum, maka dia adalah satu-satunya harapan Arkos," jawab Kiral. "Tapi juga, satu-satunya ancaman."

Beberapa hari kemudian, Edwin berjalan keluar dari gua kultivasi di Gunung Angket. Rambutnya yang panjang berkibar, matanya berkilat seperti kristal langit. Dia terlihat lebih dewasa, lebih dalam, namun tetap menyimpan ketenangan yang sulit ditafsirkan.

Di kakinya berlutut para pengawal bayangan yang dulu dilatihnya. Mereka bisa merasakan perbedaan aura dari pemimpin mereka. Aura itu… tak lagi manusiawi.

 

"Tuanku," ucap Lina yang kini mengenakan baju zirah biru dan jubah hijau muda, simbol Kepala Pasukan Penjaga Ibu Suri. "Surat dari Ibu Suri telah sampai. Beliau meminta anda kembali ke Ibukota. Ada sesuatu yang terjadi."

Edwin menerima surat itu. Saat ia membacanya, ekspresinya mengeras.

— "Kekaisaran Aurathar dalam bahaya. Salah satu jenderal agung kita ternyata adalah pengkhianat. Dan lebih dari itu, Arga… saudaramu… menghilang." —

Edwin mengepalkan tinjunya. Tak ada waktu untuk ragu.

"Lina, persiapkan Shadow Division. Kita berangkat malam ini."

Dalam perjalanan menuju Ibukota, Edwin dan pasukannya melewati Kota Karfang yang telah hancur. Asap mengepul, tubuh-tubuh tak bernyawa berserakan.

Di tengah reruntuhan, seorang anak kecil merangkak ke arah mereka, menangis.

"Mereka datang dari langit… pria bersayap… membakar semuanya…"

Edwin mendekat dan menyentuh kepala anak itu. Dalam sekejap, ia melihat ingatan sang anak — makhluk bersayap perak dengan tatapan kosong, menyerang tanpa ampun.

"Celestial Corps…" gumamnya.

Lina menatap Edwin penuh cemas. "Bukankah mereka itu legenda saja?"

Edwin mengangguk pelan. "Mereka legenda… yang ternyata nyata. Dan mereka kembali…"

 

Tanpa ragu, Edwin menciptakan formasi pelindung untuk Kota Karfang dan menyerahkan sang anak pada penduduk yang selamat.

"Aku bersumpah, tak akan ada kota yang hancur seperti ini lagi…"

Di Ibukota, Ratu Kasia menanti di balkon istana. Tatapannya tertuju ke utara. Dalam hatinya, perasaan tak tenang terus menggelayut.

Saat Edwin dan pasukannya tiba, istana gempar. Semua orang tunduk hormat, bahkan para jenderal tidak berani menatap langsung ke arah Edwin. Aura miliknya terlalu megah… seperti dewa yang turun dari langit.

"Ibu…" ucap Edwin dengan suara lembut saat menghampiri permaisuri.

Kasia menatapnya penuh haru. "Kau telah berubah, anakku…"

"Maaf, Ibu. Tapi aku harus tahu — siapa jenderal yang berkhianat?"

Permaisuri menyerahkan simbol batu segel yang pecah — milik Jenderal Orian, penjaga Batas Selatan Kekaisaran.

Dan saat itulah, Edwin tahu: ini bukan lagi masalah politik.

Ini adalah perang antara dunia nyata dan dimensi spiritual. Dan dirinya… berada di tengah-tengahnya.

Malam itu, Edwin berdiri di puncak menara istana. Cahaya bintang menggantung di atas kepalanya, seolah menjadi saksi kesunyian yang menyelimuti dirinya.

Dalam hati, ia tahu… Langit Kedua hanyalah awal. Di depan sana, masih ada Langit Ketiga, Langit Keempat… dan ancaman yang tak terbayangkan.

Namun ia juga tahu satu hal:

Keseimbangan bukan tentang memilih baik atau buruk.

Tapi tentang menanggung keduanya.

More Chapters