WebNovels

Chapter 3 - Bab 3

BAB 3: Luka yang Akhirnya Terucap

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian itu, dan selama tiga hari itu pula, aku hanya meringkuk di dalam kamar. Seragam putih merahku masih tergantung kaku di balik pintu, seolah mengejekku yang kini kehilangan keberanian bahkan hanya untuk sekadar melangkah keluar rumah. Dunia di luar sana terasa sangat mengancam dan menakutkan. Bayangan gedung SDN 11, bau rokok yang tajam, dan suara langkah sepatu yang berat terus menghantuiku setiap kali aku mencoba memejamkan mata.

Aku kehilangan semangat. Semangat yang dulu meledak-ledak, kini padam seperti lilin yang disiram air es. Aku lebih banyak diam, menatap dinding kamar yang kosong, atau sekadar mendengarkan detak jam yang terasa sangat lambat. Makan pun hanya beberapa suap, itu pun karena dipaksa oleh Ibu.

Ibu, yang juga mengajar di sekolah yang sama, mulai curiga. Beliau tahu ada yang tidak beres, tapi aku selalu berkelit dengan alasan sakit perut atau pusing. Hingga pada suatu sore, keberanianku akhirnya terkumpul, didorong oleh rasa sesak yang sudah tidak tahan lagi kupendam sendiri.

"Bu..." panggilku lirih saat Ibu masuk ke kamar untuk membawakan segelas susu.

Ibu duduk di tepi tempat tidur, mengelus rambutku dengan lembut. "Kenapa, Arya? Masih sakit kepalanya? Sudah tiga hari kamu tidak masuk sekolah, Nak. Teman-temanmu pasti mencari."

Mendengar kata 'sekolah', dadaku kembali sesak. Air mata yang kukira sudah habis, tiba-tiba mengalir lagi tanpa permisi. Aku bangkit dari rebahan, duduk bersandar di bantal, dan menatap Ibu dengan mata yang sembap.

"Aku... aku tidak mau sekolah di sana lagi, Bu," ucapku tersedu-sedu.

Ibu terdiam, raut wajahnya berubah cemas. "Lho, kenapa? Ada masalah dengan teman? Atau pelajaran kelas lima terlalu sulit?"

Aku menggeleng kuat-kuat. "Bukan, Bu. Pak Arnos..." aku berhenti sejenak, tenggorokanku terasa tercekik. "Pak Arnos menamparku di depan kelas, Bu. Keras sekali. Gara-gara aku tidak bisa jawab pertanyaan di papan tulis. Padahal aku sudah coba, tapi aku takut... dan dia malah menamparku di kursi belakang."

Tangan Ibu yang sedang memegang gelas susu seketika bergetar. Gelas itu hampir saja terjatuh jika Ibu tidak segera meletakkannya di meja nakas. Wajah Ibu yang biasanya tenang kini berubah pucat, lalu perlahan memerah. Sebagai sesama guru, aku tahu Ibu merasa terpukul—bukan hanya sebagai orang tua, tapi sebagai kolega dari orang yang telah menyakitiku.

"Dia... dia menamparmu?" suara Ibu bergetar, nada bicaranya penuh dengan kekecewaan yang mendalam. "Di depan teman-temanmu, Arya?"

Aku hanya bisa mengangguk sambil terus menangis. Aku menceritakan semuanya. Bagaimana rasanya berdiri gemetar di barisan paling belakang, bagaimana Pak Arnos menyindirku setiap hari, dan bagaimana tamparan itu membungkam suaraku di hadapan satu kelas. Aku menumpahkan semua rasa malu yang kupendam selama berminggu-minggu.

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka dengan kasar. Bapak berdiri di sana. Ternyata Bapak sudah pulang dari tadi dan mendengarkan semua ceritaku dari balik pintu. Wajah Bapak terlihat sangat menyeramkan. Rahangnya mengeras, dan tangannya mengepal kuat hingga buku-bukunya memutih.

"Apa?! Guru macam apa dia?!" suara Bapak meledak, memenuhi seluruh sudut kamar.

"Pak, tenang dulu..." Ibu mencoba menenangkan, tapi Bapak sudah terlanjur dikuasai amarah.

"Tenang bagaimana, Bu?! Anak kita dipukul! Bukan karena dia mencuri, bukan karena dia berkelahi, tapi karena dia tidak bisa menjawab pertanyaan?!" Bapak berjalan mondar-mandir dengan langkah gusar. "Dia itu guru, tugasnya mendidik, bukan menjadi tukang pukul! Siapa namanya tadi? Arnos? Saya tidak terima!"

Bapak kemudian duduk di sampingku, menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan—antara marah pada keadaan dan sedih melihat kondisiku. "Kenapa kamu baru bilang sekarang, Arya? Kenapa kamu diam saja selama tiga hari ini?"

"Aku takut, Pak... aku malu," jawabku jujur di sela isak tangis.

"Tidak ada yang perlu kamu malukan! Yang harusnya malu itu dia!" Bapak kembali berdiri, suaranya kembali meninggi. "Besok saya akan ke sekolah. Saya akan buat perhitungan dengan guru itu. Dia pikir dia siapa bisa main tangan begitu saja?"

Ibu menatap Bapak dengan mata berkaca-kaca. "Pak, saya juga kecewa. Sangat kecewa. Saya tidak menyangka rekan kerja saya sendiri bisa sekejam itu pada murid, apalagi pada anak rekannya sendiri. Tapi tolong, jangan pakai kekerasan."

"Saya tidak akan pakai kekerasan kalau dia bisa memberikan alasan yang masuk akal! Tapi menurutku, tidak ada alasan di dunia ini yang membolehkan seorang guru menampar muridnya sampai anak itu trauma begini!" Bapak masih meledak-ledak. "Lihat Arya, Bu! Dia yang biasanya ceria sekarang jadi seperti orang mati begini. Semangatnya hilang! Ini bukan sekadar tamparan di pipi, tapi tamparan di jiwanya!"

Malam itu, suasana rumah yang biasanya hangat berubah menjadi penuh ketegangan. Ibu menangis di dapur, mungkin menyesali kenapa beliau tidak menyadari perubahan sikapku lebih awal. Sementara Bapak terus mengomel, merencanakan apa yang akan beliau katakan di kantor kepala sekolah besok.

Aku sendiri merasa sedikit lega karena rahasia itu sudah keluar, tapi ketakutan baru muncul. Bagaimana jika besok keadaan makin parah? Bagaimana jika Pak Arnos makin benci padaku setelah Bapak datang? Pikiran itu membuatku semakin yakin dengan keputusanku.

"Pak... Bu..." panggilku di tengah perdebatan mereka. "Aku ingin pindah sekolah. Aku tidak mau kembali ke SDN 11. Aku tidak mau melihat Pak Arnos lagi."

Bapak dan Ibu terhenti. Mereka menatapku secara bersamaan. Ada keheningan panjang yang menyakitkan.

"Pindah sekolah?" tanya Ibu pelan. "Tapi ini sudah pertengahan tahun, Nak."

"Aku tidak peduli, Bu. Aku tidak sanggup masuk ke gerbang sekolah itu lagi. Setiap kali aku lewat sana, dadaku sakit," aku memohon dengan sangat.

Bapak menarik napas panjang, mencoba meredam amarahnya demi mendengarkan permintaanku. Beliau duduk kembali, kali ini lebih tenang. "Baiklah, kalau itu maumu. Bapak akan urus kepindahanmu. Kamu tidak perlu sekolah di sana lagi. Bapak tidak akan membiarkan anak Bapak hancur di tangan guru seperti itu."

Ibu hanya bisa mengangguk setuju sambil mengusap air matanya. "Ibu akan bantu urus berkasnya besok sekalian Bapak bicara dengan kepala sekolah. Kita cari sekolah yang lebih baik untuk Arya."

Malam itu, untuk pertama kalinya setelah tiga hari, aku bisa memejamkan mata sedikit lebih tenang. Meskipun aku tahu, luka di hatiku tidak akan sembuh begitu saja hanya dengan pindah sekolah. Namun, setidaknya aku tahu bahwa aku tidak akan kembali ke kursi belakang yang dingin dan menakutkan itu lagi.

Aku akan pergi. Aku akan mencari tempat di mana suaraku boleh terdengar lagi, meskipun aku tahu, Arya yang sekarang tidak akan pernah sama lagi dengan Arya yang dulu.

More Chapters