WebNovels

Desir Ombak Dan luka yg diam

kazumii
7
chs / week
The average realized release rate over the past 30 days is 7 chs / week.
--
NOT RATINGS
294
Views
Synopsis
Deskripsi Cerita (Blurb): "Satu tamparan keras di kursi belakang kelas 5 SDN 11 bukan hanya meninggalkan bekas merah di pipi Arya, tapi juga meruntuhkan harga dirinya. Pak Arnos, guru yang seharusnya membimbing, justru menjadi monster yang memaksa Arya untuk melarikan diri ke sekolah baru. Februari tiba, Arya pindah ke SDN 12 dengan sejuta harapan untuk menghilang. Namun, ia justru ditempatkan di barisan paling depan—tempat yang paling telanjang di mata guru. Di belakang sampingnya, duduk Nayara Amora, gadis yang suaranya bisa menjadi pelindung sekaligus belati yang menyakitkan. Di antara ejekan 'boti' dari Fahmi dkk dan tawa satu kelas saat pelajaran olahraga, Arya belajar bahwa dunia sekolah bisa sekecil kotak korek api yang menyesakkan. Hanya laut dan kesunyian malam yang mengerti bahwa di balik diamnya, Arya sedang berjuang untuk tidak tenggelam."
VIEW MORE

Chapter 1 - Bab 1

BAB 1: Senja yang Terenggut di Kursi Belakang

Nama gue Arya Rezky Pratama.

Kalau kau datang ke SDN 11 beberapa tahun lalu dan bertanya pada siapa pun tentang siapa bocah laki-laki yang paling sering tertawa di lapangan, mereka akan menunjuk ke arahku. Aku adalah definisi dari keceriaan yang meledak-ledak. Bagiku, sekolah bukan sekadar tempat belajar; sekolah adalah panggung sandiwara di mana aku adalah tokoh utama yang selalu bahagia. Dari kelas satu hingga kelas empat, hidupku layaknya pelangi yang tak pernah pudar. Aku punya banyak teman, nilai-nilaiku cukup aman, dan yang paling penting, suaraku selalu terdengar paling nyaring saat kami bermain petak umpet di bawah pohon kersen samping sekolah.

Namun, semua warna itu mendadak luntur saat aku menginjakkan kaki di kelas lima.

Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Aku melangkah menyusuri koridor sekolah dengan tas punggung biru kesayanganku, berharap akan mendapatkan kursi di barisan tengah seperti tahun lalu. Namun, saat namaku dibacakan dalam pembagian denah kelas, langkahku terhenti.

"Arya Rezky Pratama, baris paling belakang, pojok kanan."

Kalimat wali kelas baruku itu bagaikan guntur yang menyambar di siang bolong. Aku terpaku. Barisan belakang? Bagiku, barisan belakang adalah tempat bagi mereka yang terlupakan. Tempat bagi meja-meja kayu yang sudah lapuk, yang permukaannya penuh dengan ukiran nama-nama murid nakal dari tahun-tahun sebelumnya.

Aku menyeret kakiku menuju pojok ruangan. Meja itu benar-benar menyedihkan. Kayunya sudah mulai mengelupas di bagian pinggir, dan salah satu kakinya tidak menapak sempurna di lantai semen yang retak, membuat meja itu selalu berderit protes setiap kali aku menaruh beban di atasnya. Di pojok ini, cahaya matahari seolah enggan mampir. Suasananya pengap, gelap, dan membuatku merasa terisolasi dari keramaian teman-temanku di barisan depan. Aku mencoba memprotes dalam hati, namun melihat sosok pria yang berdiri di depan kelas, nyaliku ciut seketika.

Dia adalah Pak Arnos.

Wali kelas lima yang namanya sudah menjadi buah bibir horor bagi adik-adik kelas. Pak Arnos adalah pria dengan perawakan tinggi besar, kulitnya gelap dengan guratan-guratan di wajah yang menunjukkan bahwa dia jarang sekali tersenyum. Matanya tajam seperti elang yang siap menerkam mangsa, dan tangannya selalu membawa penggaris kayu panjang yang sering ia ketukkan ke telapak tangannya sendiri. Plak, plak, plak. Suara itu saja sudah cukup untuk membungkam mulut paling berisik di kelas ini.

"Di kelas saya, tidak ada yang boleh manja," ucapnya di jam pertama pelajaran. Suaranya berat dan menggelegar, memantul di dinding-dinding kelas yang kusam. "Saya tidak peduli siapa kalian di luar sana. Di sini, saya adalah aturan. Barangsiapa yang tidak bisa mengikuti ritme saya, silakan angkat kaki."

Sejak hari itu, keceriaanku mulai terkikis. Setiap pagi, aku berangkat sekolah dengan perasaan was-was yang luar biasa. Tak ada lagi tawa di koridor. Aku menjadi lebih banyak diam, mencoba bersembunyi di balik tubuh teman-temanku yang lebih besar di barisan depan agar tak tertangkap radar Pak Arnos. Kursi belakang yang awalnya aku benci, kini menjadi bunker perlindunganku yang semu. Namun, tetap saja, aku tidak pernah merasa nyaman. Duduk di belakang membuatku sering melamun, menatap debu-debu yang menari di bawah sorot lampu neon yang berkedip.

Beberapa minggu berlalu dengan ketegangan yang konstan. Hingga sampailah pada suatu siang yang sangat panas. Suara kipas angin di langit-langit kelas yang berputar malas tidak mampu menghalau gerah yang menyengat. Pak Arnos sedang menjelaskan materi matematika yang rumit di papan tulis. Kapur tulisnya bergerak cepat, menciptakan suara tek, tek, tek yang monoton.

Jujur, pikiranku sedang tidak berada di sana. Aku sedang membayangkan betapa segarnya segelas es sirup di kantin sekolah. Aku tidak sadar bahwa Pak Arnos telah berhenti menulis. Suasana kelas mendadak sunyi senyap, jenis sunyi yang membuatmu bisa mendengar detak jantungmu sendiri.

"Arya Rezky Pratama!"

Namaku dipanggil dengan nada yang membuat bulu kudukku berdiri. Aku tersentak, hampir saja menjatuhkan pulpenku ke lantai. Dengan gerakan kaku, aku mengangkat kepala. Pak Arnos sedang menatapku dari depan kelas. Tangannya menunjuk ke arah deretan angka di papan tulis.

"Berdiri kamu!"

Aku bangkit dari kursi kayu yang berderit nyaring. Rasanya seperti seluruh mata di kelas 5 ini tertuju padaku. Aku bisa merasakan tatapan teman-temanku—beberapa merasa kasihan, namun lebih banyak yang terlihat tegang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku berdiri di pojok belakang yang gelap, merasa seperti terdakwa yang sedang menunggu vonis mati.

"Jelaskan pada saya, bagaimana hasil dari persamaan ini bisa didapat?" tanya Pak Arnos dengan nada dingin yang menusuk.

Aku menatap papan tulis itu. Angka-angka di sana mendadak terlihat seperti cacing-cacing yang menggeliat, tidak masuk akal, dan sangat asing. Otakku membeku. Rasa takut yang luar biasa menyumbat seluruh saraf logikaku. Aku mencoba mengingat penjelasan yang baru saja ia berikan, namun yang tersisa di kepalaku hanyalah suara gemuruh napas Pak Arnos yang terdengar hingga ke baris belakang.

"Anu... itu... Pak..." suaraku keluar sangat kecil, nyaris menyerupai bisikan semut.

"Bicara yang keras! Kamu laki-laki atau bukan?!" Pak Arnos mulai melangkah maju.

Lantai semen kelas itu seolah bergetar di setiap langkah kakinya. Duk... duk... duk... Langkah sepatunya yang berat semakin mendekat. Aku menahan napas. Tanganku yang berada di bawah meja mengepal kuat hingga kuku-kukuku memutih. Rasa malu mulai membakar wajahku. Aku adalah Arya yang ceria, Arya yang selalu punya jawaban untuk candaan teman-temannya. Tapi di sini, di bawah tekanan Pak Arnos, aku merasa seperti remah-remah debu yang tidak berarti.

"Saya... saya tidak tahu, Pak," akhirnya aku mengaku dengan suara yang gemetar hebat. Aku menundukkan kepala sedalam-dalamnya, tidak berani melihat ke depan. Air mata mulai menggenang di sudut mataku, namun aku menahannya sekuat tenaga. Aku tidak ingin terlihat lemah di depan satu kelas.

"Tidak tahu? Lalu apa yang kamu lakukan dari tadi di belakang sana? Mengkhayal? Merenung?" Pak Arnos kini sudah berada tepat di depan mejaku.

Sosoknya yang tinggi besar menutupi cahaya yang tersisa di pojok belakang itu. Bayangannya jatuh menimpa tubuhku yang kecil. Aku bisa mencium bau rokok dan minyak rambut yang tajam dari tubuhnya. Bau yang selama bertahun-tahun kemudian akan selalu memicu rasa mual di perutku setiap kali aku mengingatnya.

Satu kelas menahan napas. Tak ada yang berani berbisik. Keheningan itu begitu mencekam, seolah-olah waktu sedang berhenti berputar hanya untuk menyaksikan kehancuranku.

"Angkat mukamu, Arya!" bentaknya.

Aku perlahan mengangkat wajahku yang sudah basah oleh keringat dingin. Aku melihat tangannya bergerak. Sebuah gerakan yang sangat cepat, namun dalam ingatanku, itu terjadi seperti slow motion. Penggaris kayu panjang itu ia letakkan di atas meja dengan dentuman keras, dan tangannya yang besar terangkat ke udara.

Di detik itu, aku tersadar. Keceriaanku, tawa-tawaku di SDN 11, dan masa kecilku yang penuh warna, semuanya akan berakhir di sini. Di kursi paling belakang yang sangat aku benci.