BAB 2: PINTU MASUK PESANTREN YANG TERSembunyi
Matahari baru mulai menyinari puncak gunung ketika mobil ayah Raka berhenti di depan pagar bambu yang tinggi, dengan tulisan kecil "PESANTREN PEDANG GARUDA LANGIT" yang terukir rapi. Tidak ada gedung megah, cuma hutan yang lebat dan jalan tanah yang menanjak ke dalam.
"Gue pikir ini pesantren, bukan hutan liar," gumam Raka sambil melihat sekeliling.
Ayah membuka pintu mobil, tungkai palsunya menginjak tanah dengan hati-hati. "Pintu masuk yang sebenarnya cuma bisa ditemukan sama orang yang mau memasuki nya dengan niat benar. Cari aja, Raka."
Raka menghela napas, turun mobil, dan melangkah ke arah pagar. Dia coba mendorongnya, tapi pagar itu kokoh. Dia melihat sekeliling — ada pohon beringin yang besar di samping pagar, dengan batang yang melengkung seperti tangan. Di batang pohon itu, terukir simbol pedang yang menyilang dengan bulan sabit.
Dia menyentuh simbol itu. Tiba-tiba, bagian pagar di depannya membuka sendiri dengan suara "kresek" yang perlahan. Di baliknya, ada lorong sempit yang dipenuhi tumbuhan merambat, dan di ujungnya terlihat bangunan berwarna coklat tua yang terbuat dari batu.
Saat Raka melangkah ke dalam, suara seorang pria tua terdengar dari atas tangga bangunan. "Selamat datang, Raka Aditya. Saya Kyai Hasan, pengasuh pesantren ini."
Raka mengangkat kepala. Kyai Hasan berdiri tegak, baju putihnya bersih, dan matanya tajam tapi penuh kasih. Di sisinya, ada sepasang siswa dengan baju hitam, pedang terikat di pinggang mereka.
"Kamu punya ayah yang dulu sangat hebat," lanjut Kyai. "Tapi kamu bukan dia. Kamu datang ke sini dengan niat apa?"
Raka mengangkat dagu. "Buat buktikan bahwa gue bisa hidup tanpa bergantung pada pedang, Pa!"
Kyai tersenyum pelan. "Kalau begitu, kenapa kamu masih mau masuk? Ayo, jawab dengan jujur."
Raka terdiam. Dia ingat quote yang ditulis Angela — "jalan yang paling sulit, kadang itu jalan yang paling berharga". Dia juga ingat mata ayahnya yang basah kemarin. "Gue... gue gak tahu. Tapi mungkin... gue mau tahu apa yang membuat ayah begitu bertekad biar gue masuk sini."
"Baiklah." Kyai mengarahkan tangannya ke arah kamar yang kecil. "Itu kamar mu. Besok pagi, latihan dimulai jam enam. Ingat: di sini, pedang bukan cuma alat untuk bertarung — tapi alat untuk mengenal diri sendiri."
Saat Raka memasuki kamar, dia melihat selembar kertas di atas ranjang. Dia mengambilnya — tulisan itu sama dengan tulisan Angela! Di atasnya tertulis:
"Kamu mungkin belum tahu apa yang dicintai, tapi saat kamu mulai melindungi, kamu akan menemukan jawabannya."
Di bawah tulisan itu, ada cerita question yang ditulis dengan huruf tebal:
"Jika ada seseorang yang kamu sayangi dalam bahaya, dan kamu hanya punya dua pilihan: menggunakan pedang untuk melawan penyerang, atau melarikan diri bersama dia — mana yang akan kamu pilih? Dan mengapa pilihan itu lebih berharga daripada yang lain?"
Raka duduk di ranjang, membaca question itu berulang-ulang. Dia ingat Angela, ayah nya, dan semua orang yang pernah dia jaga. Apa yang akan dia pilih? Dan apa artinya itu untuk kehidupannya di pesantren ini?
Di luar kamar, suara azan maghrib terdengar. Raka berdiri, keluar kamar, dan ikut siswa lain ke mesjid. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar dari apa yang dia bayangkan.
