WebNovels

Chapter 5 - Desas Desus di Ladang Barat

Pagi itu desa tidak terasa seperti biasanya. Udara lembab, matahari seakan malas terbit, dan suara ayam seperti tak ingin berkokok.

Tidak ada yang salah… namun semua orang merasakan ada yang tidak beres.

Sejumlah pekerja berdiri gugup di depan barak. Mereka memandang Johan — yang duduk di tanah dengan tatapan kosong, bibir bergumam tanpa suara, tubuhnya gemetar seakan kedinginan meski matahari mulai naik.

"Dia begitu sejak tadi pagi," kata salah satu pekerja wanita dengan suara gemetar.

"Matanya tidak berkedip. Dia terus memandangi ladang barat."

Seorang pria mendahului, mencoba menoyor bahu Johan pelan.

"Johan, jawab kami! Apa terjadi tadi malam?"

Johan tidak bergerak. Hanya suara napasnya yang terdengar lainnya.

Namun perlahan bibirnya bergumam — suara serak sangat pelan.

"Dia kembali…"

Kalimat itu cukup untuk membuat semuanya mundur.

Di rumah besar, Van Goor sedang menyiapkan topi seragamnya ketika pintu diketuk tergesa.

"Masuk!"

Suara Asisten Feldmann terdengar terburu-buru.

"Tuan… Johan ditemukan dalam keadaan… tidak stabil. Dia tidak mengenali siapa pun."

Van Goor tak menunjukkan emosi. "Mandor sebelumnya juga hilang dan kita tidak panik."

"Tapi, Tuan…"

Feldmann menelan ludah, takut terdengar bodoh.

"Pekerja bilang… ladang bagian barat… terkutuk."

Kali ini, Van Goor berhenti.

Ia menoleh perlahan.

"Siapa yang memulai rumor itu?"

"Semua orang, Tuan. Hampir bersamaan."

Ruangan mendadak sunyi, seolah berkata:

Ketakutan kolektif bukan rumor — itu alarm.

Van Goor mengambil pistol dari laci.

"Kumpulkan para mandor. Tidak ada yang berhenti bekerja hanya karena ketakutan konyol."

Feldmann membungkuk lalu keluar — namun begitu pintu tertutup, Van Goor terdiam lama.

Dia mengusap wajahnya, napasnya berat.

"Kalau memang kau kembali… mengapa belum datang untukku… Silvana?"

Di pemukiman desa, anak-anak duduk diam di lantai, mengerjakan tulisan sekolah. Namun satu anak perempuan bernama Mariet berhenti mencoret papan tulisnya.

Ia memandangi jendela, matanya fokus pada sesuatu di luar.

Guru mendekat. "Mariet? Ada apa?"

Anak itu tak berkedip.

"Miss… Miss lihat… wanita itu berdiri di tengah tebu."

Guru menoleh cepat — tidak ada apa pun, hanya ladang jauh.

"Kau hanya mengira-ngira. Lanjutkan belajar."

Tapi Mariet menggeleng lambat.

"Tidak, Miss. Dia masih melihat ke sini."

Guru menegang. "Dia apa?"

"Dia tersenyum… tapi seperti menangis."

Wajah guru memucat. Ia memaksa senyum. "Jangan menakuti teman-temanmu—"

Tiba-tiba seluruh murid menjerit bersamaan, memandang jendela.

Guru hampir membalikkan badan — tapi tidak jadi.

Ia tidak berani.

Bukan teriakan mereka yang menakutkan.

Tapi fakta bahwa mereka berteriak sebelum melihat — seperti merasakan kehadiran sesuatu yang tidak terlihat.

Anak-anak menangis, beberapa menutup telinga sambil berteriak:

"Jangan masuk ke kepala kami! Jangan masuk ke kepala kami!"

Guru akhirnya memaksa dirinya menatap jendela — dan nyaris pingsan.

Di kejauhan, di antara tebu, sesuatu memang berdiri.

Gaun lusuh. Rambut panjang. Tubuh membelakangi. Tidak bergerak.

Namun sesuatu dari kehadirannya menyusup seperti sakit kepala tajam, menekan pikiran, memaksa tubuh takut tanpa tahu alasan.

Guru langsung menarik tirai lalu memukul lonceng kelas, menyuruh everyone pulang.

Sore itu desa seakan kacau.

Ibu-ibu menarik anaknya masuk rumah.

Lelaki membacakan doa dengan tangan gemetar.

Beberapa pekerja berkemas diam-diam, memaksa keluarga pergi sebelum hari gelap.

Di tengah kepanikan tersebut, seorang tetua desa yang jarang bicara berkata pelan:

"Kita tidak sedang takut hantu… kita sedang menjadi saksi kesedihan… yang tidak mau mati."

Semua terdiam.

Tetua melanjutkan:

"Silvana tidak menakuti untuk membunuh.

Silvana menakuti untuk mengingatkan.

Dan siapa pun yang melihat wajahnya… akan mengingat kematiannya."

Kalimat itu membekas seperti kutukan.

Di rumah besar, Van Goor membuka lemari kecil di ruang kerjanya.

Ada sesuatu di dalam — tersimpan rapi jauh dari pandangan orang.

Sepotong syal biru tua, dan liontin emas kecil.

Benda-benda milik Silvana.

Van Goor menyentuh syal itu seperti orang menyentuh luka lama yang belum sembuh.

"Kalau kau ingin aku mengingat…" suaranya hampir pecah, "…aku tidak pernah lupa."

Emosi itu bukan penyesalan — melainkan obsesi, posesif, milik, bukan cinta.

Saat ia mengembuskan napas pelan, udara di ruangan terasa jauh lebih dingin.

Ia tahu Silvana ada di ruangan itu.

Tidak terlihat… hanya dirasakan.

Dari cara bulu kuduk berdiri. Cara keheningan menjadi berat. Cara napas terasa semakin keras terdengar.

"Kalau kau kembali untukku," katanya pelan, "maka datanglah padaku, bukan pada desa."

Hening panjang.

Namun sebelum ia sempat menegakkan diri —

liontin emas di meja bergeser sendiri… pelan… sangat pelan… lalu jatuh ke lantai.

TING!

Van Goor terdiam.

Ketika ia membungkuk untuk mengambilnya —

gaun biru lusuh muncul di refleksi lantai… tepat di belakangnya.

More Chapters