WebNovels

Chapter 4 - Bisikan...

Angin malam berhembus melewati ladang tebu seperti desahan panjang yang tak pernah selesai. Para pekerja menyebutnya angin menangis, tapi tak ada yang benar–benar tahu apa yang mereka dengar… sampai malam itu.

Johan — mandor lapangan baru — berjalan sambil membawa lampu minyak. Ia menggantikan posisi mandor sebelumnya yang tiba–tiba menghilang tiga hari lalu tanpa sepatah kata pun. Begitu rumor beredar. Tapi Johan bukan tipe yang takut pada desas–desus.

"Orang sini terlalu mudah percaya hal-hal bodoh," gumamnya.

Namun semakin jauh ia berjalan ke dalam hutan tebu, semakin yakin bahwa dirinya bukan lagi sekadar dia — tetapi dia dan sesuatu.

Batangnya bergoyang pelan, tanpa angin. Seperti ada yang menyentuhnya.

Johan menghembuskan nafas berat. "Kelelawar… atau monyet. Aku tidak takut."

Lampu minyak bergetar di tangannya.

Sesuatu bergerak di belakang. Langkah kaki. Seret pakaian. Napas.

Ia berhenti. Hening.

Lalu — suara pelan, seakan tepat di belakang telinganya:

Jo… han…

Lampu minyak hampir jatuh. Johan memutar tubuhnya cepat. Tak ada siapa pun.

Namun pandangannya tertarik oleh sesuatu di tanah — jejak kaki kecil. Jejak itu sangat jelas, seolah seseorang bertelanjang kaki berjalan pelan… lalu seketika menghilang di tengah tanah yang lembut tanpa meneruskan langkah berikutnya.

Seperti seseorang sudah ada, lalu lenyap.

Johan menelan ludah. Punggungnya dingin, tapi ia memaksa dirinya kembali berjalan.

Di rumah besar, Van Goor sedang duduk menatap tumpukan surat. Jemarinya mengetuk meja berulang—kebiasaan ketika ia gelisah.

Dua surat dari para pekerja berhenti bekerja karena "ketakutan tidak wajar".

Satu surat laporan mandor yang hilang.

Dan satu From dokter Eijgenveld:

"Beberapa pekerja mengalami gejala stres berat—gelisah, insomnia, ketakutan pada suara angin, dan beberapa mengaku melihat seorang wanita. Saya menyarankan penutupan sementara area tebu bagian barat."

Van Goor meremas kertas itu. "Sialan."

Pagar besi dekat jendela berbunyi kling pelan. Seperti ada yang menyentuhnya.

Ia memandang ke luar — tapi hanya kegelapan.

Meski begitu… ia merasa sesuatu berdiri di sana.

Bayangan rambut panjang. Gaun usang. Tubuh membungkuk.

Ia tidak bisa melihat jelas, tapi perasaan itu memaku napasnya.

"Sil—"

Ia berhenti.

Kedua matanya mengeras. Ia menutup tirai lalu berdiri cepat, berjalan menjauh dari jendela.

"Dia sudah mati," bisiknya lirih… seperti menyakinkan dirinya sendiri. "Aku melihatnya mati dengan mataku sendiri."

Namun kalimat itu tak banyak membantu, karena untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun… Van Goor takut.

Di ladang, Johan akhirnya mencapai pagar pembatas.

Seharusnya lega — tapi tidak.

Karena di depannya, terlihat sosok perempuan berdiri membelakanginya — rambut panjang jatuh kusut ke bahu, gaun biru kolonial lusuh seperti kain dari masa lalu yang digali paksa.

"Hey!" Johan berteriak. "Siapa kau?!"

Sosok itu tak bergerak.

Lampu minyak bergetar hebat. Napasnya makin tak teratur.

"Kalau kau pekerja baru, jawab! Kau tak boleh masuk area ini tanpa izin!"

Hening.

Lalu — bahunya bergerak… bukan untuk berbalik, melainkan gegar ke atas seperti menahan tangis.

Johan meneguk ludah.

"Hey…"

Tiba-tiba terdengar suara tercekik — hiks… hiks… hiks… seperti seseorang mencoba menangis tanpa suara yang utuh.

Suara itu tak manusiawi.

Johan perlahan mundur. Tak peduli status. Tak peduli sikap. Ada sesuatu dalam suara itu yang membuat seluruh nalurinya memerintah satu hal:

Lari.

Namun sebelum ia berbalik — SRETAKK!

Semua batang tebu di sekeliling bergerak seolah ada puluhan tangan yang meremasnya.

Angin berhenti. Udara berhenti.

Dan perlahan… sosok perempuan itu mulai menoleh.

Tapi bukan berputar di leher seperti manusia — kepalanya berputar perlahan dari belakang ke depan tanpa memindahkan tubuh.

Mata pucatnya menatap langsung pada Johan.

Ia tidak punya kesempatan berteriak. Sosok itu tiba-tiba sudah berada di depan wajahnya, jaraknya hanya sehelai rambut, meski ia jelas berdiri jauh tadi.

Johan menjerit — tapi tidak ada suara. Ia merasakan telapak tangan sangat dingin mencengkeram wajahnya, memaku pandangannya agar ia melihat.

Melihat apa?

Tidak hanya wajah perempuan itu.

Ingatan kematiannya.

Jeratan. Darah. Pekikan terakhir. Rasa pengkhianatan.

Semuanya masuk deras ke kepala Johan seperti dipaksa menyaksikan film kematian orang lain di belakang matanya sendiri.

Saat genggaman itu menghilang, Johan roboh — tidak mati, tapi suaranya hilang.

Tubuhnya gemetar tak bisa kendali. Mata terbuka lebar, menatap kosong.

Dan hanya satu kata yang keluar dari bibirnya seperti gumaman tanpa suara:

"Silvana…"

Di rumah besar, lonceng kecil keamanan berdering.

Van Goor meraih pistol.

"Kali ini… aku tidak takut."

Ia berkata begitu, tapi tangannya — gemetar.

Di luar, angin melewati tebu.

Bukan lagi seperti angin menangis.

Tetapi seperti suara seorang wanita tertawa pelan… sangat pelan… dan datang semakin dekat.

More Chapters