Angin berhembus kencang di sepanjang gelapnya malam. Bulan mulai tertutupi oleh mendung hitam yang menandakan hujan akan segera turun.
Di sebuah desa kecil yang terletak di hutan pinggiran Kekaisaran, terlihat sesosok anak kecil mengenakan jubah sobek dan penuh bekas jahitan. Ia berlari menuju ke arah sebuah gubuk tua. Sesampainya di gubuk itu, ia segera menyalakan api di tungku untuk menghangatkan badan. Anak kecil itu membuka jubahnya, memperlihatkan banyaknya bekas luka di wajahnya.
Tak berselang lama, hujan deras pun turun mengguyur desa kecil dan gubuk tua tempat anak itu berteduh.
Gubuk yang atapnya terbuat dari jerami itu tak kuat menahan derasnya hujan malam itu. Perlahan, terlihat tetes-tetes air berjatuhan dari atap jerami tersebut. Anak kecil itu hidup sebatang kara; dia tidak tahu siapa orang tuanya, bahkan asal-usulnya sendiri. Yang dia tahu, warga desa sering memanggilnya Zi Lang.
Hujan semakin deras, disertai kilatan guntur yang menggelegar. Zi hanya bisa bertahan di gubuk tua yang reot itu, ditemani api di tungku yang terus menghangatkannya. Zi mengeluarkan sesuatu dari kantongnya.
"Ceplak."
Ternyata itu adalah ikan yang ia tangkap tadi siang untuk makanannya hari itu. Zi membersihkan ikan itu, lalu membakarnya.
Asap dari pembakaran ikan itu memenuhi ruangan gubuk yang sempit. Aroma gurih perlahan menyebar, sedikit melawan bau lembap tanah dan jerami basah. Zi menatap ikan yang mulai berubah warna di atas bara. Matanya yang gelap memantulkan cahaya api yang menari-nari. Di usianya yang mungkin baru menginjak delapan atau sembilan tahun, ia sudah terbiasa dengan rutinitas bertahan hidup yang keras ini.
Malam-malam seperti ini adalah yang terberat. Bukan karena dingin atau kelaparan, melainkan karena keheningan. Di tengah deru hujan dan gelegar petir, kesepian terasa seperti entitas fisik yang duduk di sampingnya, dingin dan sunyi. Warga desa menjauhinya. Mereka berbisik tentang kutukan dan nasib buruk setiap kali Zi lewat. Bekas luka di wajahnya—warisan dari masa lalu yang tak ia ingat—hanya memperkuat ketakutan mereka.
Zi meraih ikan yang sudah matang. Ia meniupnya perlahan, lalu menggigitnya. Daging ikan yang hangat dan asin itu langsung memberikan energi. Sambil makan, pandangannya teralih pada sebuah benda yang tersimpan di balik tumpukan jerami di sudut gubuk.
Itu adalah sebuah liontin batu giok berbentuk naga yang melingkar. Liontin itu adalah satu-satunya barang yang ia miliki sejak pertama kali ia tersadar di hutan beberapa tahun lalu. Batu giok itu terasa hangat di tangannya, bahkan di malam yang dingin.
Setiap kali ia merasa putus asa, Zi akan menggenggam liontin itu. Giok itu tidak hanya memberinya rasa aman, tetapi juga harapan samar bahwa suatu hari nanti, benda ini akan membawanya pada jawaban atas pertanyaannya: Siapa aku? Dan mengapa aku sendirian?
Tiba-tiba, sebuah suara asing terdengar di luar gubuk, di tengah badai. Bukan suara alam, melainkan suara langkah kaki yang berat, disusul rintihan pelan. Zi Lang segera mematikan api di tungku, menyembunyikan sisa ikan, dan menggenggam erat liontin giok di tangannya. Matanya yang tajam menatap ke pintu gubuk yang reyot.
