WebNovels

Chapter 4 - BAB 4 — JALAN YANG TIDAK PERNAH IA PILIH

Pagi itu dingin. Kabut turun hingga lutut, daun pisang basah, dan bau tanah basah memenuhi halaman. Surya baru selesai menimba air ketika suara teriakan pecah dari dalam rumah.

Ibunya menangis.

Ayahnya mengamuk lagi—entah karena kalah judi, atau karena uangnya habis di warung perempuan.

Surya masuk, wajahnya datar.

Ayahnya memukul meja.

"Dhuwitku endi?! Kowe sing njupuk ta, Sar?!"

(Uangku mana?! Kamu yang ambil ya, Sar?!)

Ibu Surya memeluk tubuhnya sendiri.

"Aku ora ngerti opo-opo, Mas… aku sumpah…"

(Aku tidak tahu apa-apa, Mas… aku bersumpah…)

Ayahnya mengangkat tangan, siap menghantam.

Surya menahan pergelangan itu.

Keduanya saling menatap.

Ayahnya mencibir.

"Kowe ki wani saiki, Le?"

(Kamu berani sekarang, Nak?)

Surya tidak melepaskan tangannya.

"Ojo nyakiti Ibu maneh. Cukup."

(Jangan sakiti Ibu lagi. Cukup.)

Ayahnya menepis keras, mendorong Surya hingga hampir jatuh.

"Kowe ki mung bocah. Durung ngerti donya."

(Kamu itu cuma bocah. Belum mengerti dunia.)

Surya menatap lantai. Ada kemarahan yang dingin di dadanya. Bukan panas, bukan meledak—tapi dingin seperti air sumur.

Ayahnya keluar sambil menyalakan rokok dan membanting pintu.

Ibu Surya memeluk anaknya, tubuhnya bergetar.

"Sur… ojo nganti dadi kaya bapakmu."

(Sur, jangan sampai jadi seperti ayahmu.)

Surya tidak menjawab.

Sebab dalam hatinya, ia tahu: sebagian dari ayahnya telah hidup dalam dirinya.

Siang hari Surya pergi ke kota kecil di sebelah desa. Ia berharap mencari kerja sambilan di bengkel. Tapi nasib tidak selalu memihak.

Di simpang pasar, Surya melihat seseorang yang dikenalnya: Gendon, seorang calo dan penagih hutang kelas bawah. Lelaki itu pernah beberapa kali melihat Surya memukul dua bocah preman kampung yang mengganggu anak-anak kecil.

Gendon tersenyum miring.

"Heh, Le. Kowe sing jenenge Surya to? Sing tau nendang rusuke si Bowo nganti seminggu ora iso tangi?"

(Hei, Nak. Kamu Surya kan? Yang pernah menendang rusuk si Bowo sampai seminggu nggak bangun?)

Surya tidak membantah.

Gendon menepuk bahunya.

"Kowe iki berbakat. Nek gelem, melua aku wae. Gampang golek dhuwit."

(Kamu ini berbakat. Kalau mau, ikut aku. Gampang cari uang.)

"Kerja opo?"

(Kerja apa?)

"Ngomong apik-apik kadang, ngomong elek yo kadang. Ngurus uwong sing ngemplang utang."

(Kadang bicara baik, kadang bicara kasar. Mengurus orang yang kabur dari hutang.)

Surya terdiam.

Ia tahu dunia seperti ini gelap.

Ia tahu ibunya tidak ingin ia masuk ke dalamnya.

Tapi ia juga tahu ia butuh uang…

dan dunia tidak memberi banyak pilihan untuk anak miskin tanpa sekolah.

Akhirnya ia berkata:

"Aku ora njaluk akeh. Sing penting iso mbantu Ibu mangan."

(Aku tidak minta banyak. Yang penting bisa bantu Ibu makan.)

Gendon tertawa puas.

"Wes pas! Bocah pinter."

(Pas! Anak pintar.)

Itulah awalnya.

Surya mulai ikut Gendon—mencari orang-orang yang menunggak hutang. Kadang ia hanya mengetuk pintu dan bicara halus. Kadang ia perlu menatap tajam, atau memukul meja hingga kayunya retak.

Kemampuannya membaca bahasa tubuh, kecerdasannya, ketenangannya—semua membuatnya cepat naik.

Orang-orang mulai mengenal nama Surya.

Bukan sebagai anak miskin.

Bukan sebagai anak padepokan.

Tapi sebagai bocah berwajah tenang yang bisa membuat orang dewasa ketakutan hanya dengan satu tatapan.

Suatu malam di gudang kosong, Gendon membawa Surya menemui seseorang: Sakti, bos kecil dari kota besar. Wajahnya keras, bajunya rapi, rambut disisir klimis.

Sakti memeriksa Surya dari ujung kepala sampai kaki.

"Iki bocah? Sing kowe omongke?"

(Ini bocahnya? Yang kamu ceritakan?)

Gendon mengangguk bangga.

"Wes tak kandhani, Bos. Sing iki beda. Ojo delok umure. Matane wis ngerti peteng."

(Sudah bilang, Bos. Yang ini beda. Jangan lihat umurnya. Matanya sudah mengenal kegelapan.)

Sakti menatap Surya.

"Nama?"

"Surya."

"Kerja buat apa?"

Surya menghela napas.

"Ben ora kaya sapi perah. Aku kerja, asil iso kanggo uripku dhewe."

(Supaya tidak seperti sapi perah. Aku bekerja agar hasilnya bisa kupakai hidup sendiri.)

Sakti menahan tawa.

"Berani juga kau ngomong begitu."

Ia mendekat, suara berubah tajam.

"Kau tahu dunia kami gelap? Kau mungkin tidak pulang kalau salah langkah."

Surya menatapnya balik.

"Uripku luwih peteng tinimbang sing sampeyan kira."

(Hidupku lebih gelap dari yang kau kira.)

Sakti langsung tersenyum… untuk pertama kalinya.

"Bagus. Mulai besok, kau ikut aku."

Begitulah, Surya meninggalkan bayangan kecil kampungnya dan melangkah masuk ke kegelapan yang lebih besar.

Dunia kota.

Dunia uang haram.

Dunia pria-pria berjubah rapi tapi bermata binatang.

Dunia yang kelak akan dia kuasai… dan juga dunia yang akan menghancurkan dirinya dari dalam.

Malam itu Surya pulang dengan langkah berat.

Ibunya menunggu di ruang tamu, menyalakan lampu minyak.

"Sur… kowe entuk kerja?"

(Sur… kamu dapat kerja?)

Surya menatap ibunya lama.

Ia ingin bohong.

Ia ingin bilang ia kerja angkut barang di pasar.

Tapi ibunya pantas mendapatkan kejujuran.

"Aku mlebu kerjaan peteng, Bu. Nanging iki mung sementara. Supaya awake dewe iso mangan."

(Aku masuk pekerjaan gelap, Bu. Tapi ini hanya sementara. Supaya kita bisa makan.)

Ibunya menutup wajahnya, suara bergetar.

"Sur… Opo uripmu kudu nganti kene?"

(Sur… haruskah hidupmu sampai sejauh ini?)

Surya mendekat, memegang tangan ibunya.

"Aku janji, Bu… nek wis cukup, aku metu. Aku ora bakal tetep ing peteng sak lawase."

(Aku janji, Bu… kalau sudah cukup, aku keluar. Aku tidak akan selamanya tinggal dalam kegelapan.)

Tapi di luar rumah, angin malam berdesir keras.

Seakan alam tahu satu hal yang Surya belum tahu:

Kadang… jalan gelap tidak melepaskan orang yang sudah terlanjur masuk.

More Chapters