WebNovels

Chapter 2 - Gema yang belum bernama

menampar kantuk sekaligus membangunkan tekad.

di bawah sinar yang baru tumbuh, pikiranku kembali melayang pada gadis kemarin yang begitu lembut dalam perhatian. ada sesuatu yang ia tinggalkan di dadaku, semacam gema yang belum sempat kutafsir. mungkin aku harus mencari tahu apa namanya.

aku percaya setiap langkah, sekecil apa pun, bisa menjadi awal.

seperti biasa aku mandi, membiarkan air membawa sisa kantuk yang menempel, lalu bersiap menuju sekolah.

setibanya di sana, aku melangkah ke kelas Faris. kelas delapan tiga masih sunyi, hanya terdengar gesekan kursi dan angin pagi yang masuk dari jendela. Faris duduk di mejanya, menunduk sedikit seperti memikirkan sesuatu.

aku memanggilnya dari ambang pintu.

"ris, belum bel masuk. aku mau nanya."

lalu terlintas satu nama di kepalaku.

"tapi Lala kok tidak kelihatan ya," gumamku.

"mungkin dia belum sampai. kenapa memangnya," balas Faris, bingung.

"tidak ada. cuma... aku mau tanya. Lala sudah punya pacar belum," ucapku hampir seperti bisikan.

Faris menoleh cepat, senyum menyebalkan muncul.

"cieee kenapa nanya nanya."

"jawab saja," kataku, mencoba menahan kesal yang tipis.

"iya iya. Lala punya pacar, tapi sudah putus kemarin kemarin."

kata itu menggantung di udara, lalu jatuh ke dadaku seperti percikan kecil. ada harapan yang bergetar, tapi juga kebingungan yang tak kalah kuat.

apa ini cinta, atau hanya kekaguman yang belum menemukan bentuk.

"nama mantannya siapa," tanyaku lirih.

"Rangga," jawab Faris.

aku terdiam. aku mengenal nama itu terlalu baik.

Rangga, teman kelasku.

Rangga yang sering bercerita tentang pacarnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. mungkin yang ia maksud memang Lala.

"Rangga teman kelasku," ucapku, nyaris tidak percaya.

angin pagi terasa sedikit berbeda. hangat dan ragu bercampur jadi satu.

aku ingin mendekati Lala, tetapi cerita Rangga tentang sifat buruk mantannya membuat langkahku terasa berat.

entah bagaimana, perasaan ini seperti benih yang sudah terlanjur tumbuh, meski tanahnya masih penuh tanda tanya

aku masih merasa ragu, tetapi rasa ingin tahuku tentang dirinya jauh lebih keras daripada keraguanku sendiri.

"baiklah, aku akan menyudahi penyelidikan ini untuk sementara waktu," ucapku sambil meregangkan badan, mencoba melepaskan tegang yang tak terlihat.

"dih najis, lu stalker ya," ujar Faris dengan nada geli yang dibuat seolah jijik.

aku tertawa tipis, membiarkan ucapannya lewat begitu saja, lalu kembali ke kelasku untuk menunggu bel masuk.

hari ini pelajaran matematika. entah kenapa pelajaran ini selalu terasa seperti lorong panjang yang gelap, membosankan, dan penuh rumus yang seakan menumpuk dalam kepalaku sampai hampir meledak. aku hanya duduk menatap buku tanpa benar benar mencatat apa pun. aku hanya menunggu bel istirahat berbunyi, seolah itu satu satunya harapan yang tersisa di tengah angka angka yang tak bersahabat.

ketika bel istirahat akhirnya berbunyi, aku membeli nasi bungkus dan pergi ke belakang mushola terbengkalai. tempat itu sunyi, sepi, dan entah kenapa nyaman untuk menyembunyikan lelah.

tiba tiba Rangga datang dengan semangkuk mie di tangannya.

"lah Ariel, ngapain makan sendirian di sini. ga ada teman yaa hahaha," ucapnya sambil bercanda.

aku hanya membalas, "iya hehe," lalu kembali menunduk pada makananku.

suasana menjadi sunyi, ada kecanggungan tipis yang menggantung. namun seperti biasanya, Rangga mulai bercerita lagi tentang dirinya dan mantannya, Lala.

"mau tau ga yang bikin aku putus sama mantanku," katanya pelan.

"dia pernah bilang kalau dia itu dijodohin sama orang tuanya."

aku terkejut. jantungku sedikit bergetar. benarkah Lala akan dijodohkan?

"oh yaa? . memangnya dia bilang mau dijodohin sama siapa," tanyaku.

"aku kurang tau sih. aku gapernah ketemu. tapi aku tau namanya. namanya Haikal."

"owh gitu ya. sabar ya," ucapku singkat.

ada rasa asing yang muncul, seperti cemburu yang tak seharusnya hadir. untuk apa aku merasa begini. kami bahkan bukan siapa siapa.

namun bayangan Lala kembali muncul, membuatku bertanya tanya apakah cerita itu benar adanya.

ah, sudahlah. aku menghabiskan makananku, lalu kembali ke kelas menunggu jam pulang sambil mencoba menenangkan pikiranku yang berlarian ke mana mana.

ketika bel pulang berbunyi, aku berjalan ke parkiran untuk mengambil motor. dan tiba tiba, dari arah depan, Lala muncul.

ia menyapaku sambil melangkah ringan, senyumnya manis, sedikit centil, dan entah kenapa rasanya seperti cahaya yang muncul di hari yang kusam.

aku terpaku sesaat.

"hai," jawabku singkat, hampir tersedak oleh gugupku sendiri.

aku langsung menyalakan motor dan melaju pulang, seolah mencoba menyembunyikan wajahku yang memanas tanpa alasan jelas.

di rumah, bukannya mereda, tekadku justru tumbuh.

rasa ingin tahuku tentangnya semakin kuat, makin dalam, makin sulit diabaikan.

aku bahkan tidak sabar menunggu hari esok.

semua hanya untuk melihat senyuman itu lagi

More Chapters