Suara printer yang menderu, aroma kopi sachet, dan obrolan setengah serius di pojok ruangan sudah jadi pemandangan biasa di kantor tempat Rudi bekerja.
Ia menatap layar komputer dengan mata agak sayu. Di sebelahnya, Bagas sahabat sekaligus teman satu tim tengah sibuk menulis laporan sambil sesekali menggerutu.
"Rud, lu sadar gak, kopi di kantor ini rasanya makin lama makin mirip air galon bekas?"
Rudi terkekeh. "Karena lu yang nyeduhnya buru-buru. Kopi tuh butuh cinta dan perhatian, Gas."
Bagas melotot. "Ngomong aja lu kangen Lila tuh, pacar LDR-an lu yang udah berbulan-bulan gak ketemu."
"Empat bulan," jawab Rudi santai, "tapi tiap malam masih video call kok. Cuma... ya gitu, kadang sinyalnya kayak hubungan kita naik turun."
Bagas ngakak. "Wah, berat tuh filosofi. Lila di Bandung ya?"
"Iya. Sementara gue di sini berjuang buat nabung biaya nikah. Enam bulan lagi, kalau gak ada halangan, kita naik pelaminan."
"Gue salut sih," ucap Bagas sambil menepuk bahu Rudi. "Kalo gue LDR gitu, udah bubar dari episode pertama."
Mereka tertawa bersamaan, hingga pintu kantor terbuka dan seseorang masuk membawa map biru. Seorang perempuan berambut panjang, memakai kemeja putih dan celana kain hitam rapi. Tatapannya ramah tapi sedikit gugup.
"Wah, ada pemain baru," bisik Bagas dengan nada genit.
"Tenang, Gas. Simpan dulu rayuan maut lu," jawab Rudi.
Beberapa menit kemudian, kepala divisi memperkenalkan wanita itu di depan semua staf.
"Teman-teman, ini Yuli. Beliau akan bantu kita di bagian administrasi proyek."
Yuli menunduk sopan, tersenyum, lalu duduk di meja kosong di depan Rudi dan Bagas.
Bagas langsung berbisik, "Wah, posisi strategis banget nih, depan meja gue."
Rudi menggeleng sambil tersenyum kecil. "Yang penting jangan bikin dia kabur hari pertama."
Hari pertama Yuli di kantor berjalan biasa. Ia terlihat rajin, sedikit kikuk, tapi cepat beradaptasi. Saat jam makan siang, Bagas sengaja pura-pura gak tahu cara upload file ke server, padahal setiap minggu dia ngelakuin hal itu.
"Eh, Mbak Yuli, boleh bantuin gak? Aku suka lupa bagian kliknya yang mana," kata Bagas dengan senyum pura-pura polos.
Yuli mendekat. "Yang ini, Mas. Klik kanan dulu, baru pilih upload."
"Ohhh... iya ya, makasih. Emang beda kalau yang ngajarin cantik," celetuk Bagas.
Rudi menahan tawa di belakang monitor. "Gas, kalau mau modus, jangan di jam kerja. CCTV nyala, bro."
Yuli tersenyum kecil, tampak malu tapi tak menolak candaan itu. Sejak hari itu, suasana kerja jadi lebih hidup. Yuli cepat akrab, dan Rudi mulai terbiasa bercanda dengannya seperti halnya dengan Bagas.
Suatu sore, mereka bertiga makan di warung dekat kantor.
"Mas Rudi, Mas Bagas, kalian kerja di sini udah lama ya?" tanya Yuli sambil minum es teh.
"Gue tiga tahun. Rudi udah lima, tapi mukanya masih kayak anak magang," jawab Bagas.
Rudi menatapnya malas. "Gue sih seneng, artinya awet muda."
"Awet muda tapi jomblo?"
"Wah, gak gitu juga. Gue udah punya pacar. Calon istri malah," kata Rudi sambil tersenyum. "Namanya Lila. Kami LDR-an, dia di Bandung."
Yuli tampak kagum. "Wah, hebat ya. Bisa tahan LDR segitu lama. Aku aja kalau temen telat balas chat 5 menit udah mikirnya macem-macem."
Bagas langsung nyeletuk, "Jangan khawatir, Mbak. Kalau butuh yang gak LDR, ada saya di sini."
Yuli tertawa, lalu menggeleng. "Mas Bagas ini kayaknya tiap hari latihan gombal, ya?"
"Bukan latihan, Mbak. Ini bakat alami," jawab Bagas dengan bangga.
Obrolan mereka selalu penuh tawa. Tapi di balik keceriaan itu, Rudi mulai memperhatikan satu hal kecil: kadang, saat semua orang bercanda, Yuli suka diam menatap meja, seperti ada hal yang mengganggunya.
Suatu hari saat jam pulang, Yuli masih duduk di meja kerjanya. Rudi yang kebetulan lembur mendekat.
"Belum pulang?"
"Belum, Mas. Lagi nyelesain laporan minggu ini."
"Wah, rajin banget. Kalau gue jam segini udah cabut, takut disuruh kerja lagi," kelakar Rudi.
Yuli tertawa kecil. "Aku cuma gak mau bawa kerjaan ke rumah."
Rudi mengangguk, lalu duduk di meja seberang. "Boleh nanya sesuatu?"
"Boleh, asal bukan gombalan kayak Mas Bagas."
"Hahaha, bukan. Cuma penasaran... kamu kok jarang cerita soal keluarga?"
Yuli terdiam sejenak. "Keluarga aku... ya gitu, Mas. Suka repot sendiri. Sekarang malah lagi sibuk nyiapin perjodohan buat aku."
"Perjodohan?" Rudi agak terkejut.
"Iya," jawabnya pelan. "Aku udah cukup umur, kata mereka. Jadi, ya... aku ikut aja. Lagipula belum tentu buruk, kan?"
Rudi menatapnya heran. "Tapi kamu belum kenal orangnya?"
"Baru lihat fotonya. Orangnya kerja di luar kota, kata Mama sih orangnya baik."
"Dan kamu setuju aja?"
Yuli tersenyum tipis. "Kadang bukan soal setuju, Mas. Lebih ke... pasrah. Orang tua udah capek nunggu aku nikah, jadi ya, aku jalanin aja. Siapa tahu cocok."
Rudi tak tahu harus menjawab apa. Dalam hati, ia merasa kasihan, tapi juga paham bahwa tidak semua orang bisa memilih jalan cintanya.
Bagas tiba-tiba muncul dari balik sekat. "Eh, ini ngobrol serius banget? Bahas nikah nih?"
Rudi menoleh kesal. "Lu muncul kayak hantu, Gas."
"Bukan hantu, Bro. Ini malaikat cinta. Lagi nyari siapa yang butuh motivasi hidup romantis."
Yuli langsung tertawa. "Mas Bagas ini kayaknya gak pernah kehabisan bahan."
"Selama masih ada wanita cantik di dunia ini, bahan bercanda gue gak akan habis," jawab Bagas percaya diri.
Rudi menggeleng sambil berdiri. "Udah ah, gue pulang dulu. Yuli, hati-hati ya. Jangan lembur sendirian terus."
"Iya, Mas. Makasih."
Malam itu, di motor menuju kos, Rudi sempat berpikir tentang Yuli. Bukan karena rasa apa pun — hanya rasa iba. Ia tak bisa bayangkan bagaimana rasanya menikah dengan seseorang hanya karena dorongan waktu dan orang tua. Tapi di sisi lain, ia juga tak berhak menilai.
Sesampainya di kamar, ponselnya berbunyi. Pesan dari Lila:
"Sayang, aku lembur. Besok kita video call, ya."
Rudi tersenyum. Ia menatap layar beberapa detik lebih lama dari biasanya, lalu membalas singkat:
"Oke. Hati-hati pulang, ya."
