WebNovels

Chapter 4 - Tentang Harga Diri yang Sering Disalahpahami

Karya: Fajri Maulana Zibon

‎Penerbit: ZIBON UPDATE Production

‎Harga diri bagi sebagian orang hanyalah soal gengsi. Tapi bagi Semar, harga diri adalah sesuatu yang jauh lebih dalam — tentang bagaimana seseorang menjaga jati dirinya meski sering disalahpahami oleh orang-orang yang seharusnya paling mengenalnya.

‎Sejak kecil, Semar diajarkan untuk menjadi laki-laki yang kuat. "Laki-laki itu tidak boleh cengeng," kata ayahnya suatu kali, dengan nada yang tegas tapi tanpa penjelasan.

‎Namun seiring waktu, ia menyadari bahwa kekuatan bukan berarti tidak boleh merasa lemah, melainkan tahu kapan harus bertahan tanpa kehilangan arah.

‎Masalahnya, dunia jarang memberi ruang untuk laki-laki seperti Semar — yang memilih diam saat disakiti, yang menelan pahit tanpa membalas, yang bekerja keras tanpa bercerita.

‎Orang-orang lebih mudah menilai dari luarnya saja: yang diam dianggap malas, yang sabar dianggap tidak punya ambisi, dan yang tidak bicara dianggap tidak peduli.

‎Termasuk keluarganya sendiri.

‎Setiap kali Semar menolak bantuan yang datang terlambat, Kak Rani menganggapnya keras kepala.

‎Padahal, bukan keras kepala yang membuatnya menolak, tapi keinginan untuk menjaga sisa harga diri yang masih ia punya.

‎Ia ingin membuktikan bahwa ia mampu bangkit bukan karena dikasihani, tapi karena memang mau berjuang.

‎"Dari pada tiap ketemu ngasih uang jajan, mending bantu aku berdiri dulu, Kak," ucap Semar pelan suatu sore, saat mereka duduk berdua di teras rumah.

‎Namun kata-katanya hanya berakhir di udara, seperti daun kering yang tertiup angin.

‎Kak Rani tersenyum tipis, seolah tak mendengar makna sebenarnya.

‎Dan di situlah Semar sadar — kadang, bukan karena orang tak mau memahami kita, tapi karena mereka terlalu sibuk menjaga peran agar terlihat benar.

‎Hari demi hari, Semar belajar membangun hidupnya perlahan.

‎Ia mulai bekerja serabutan, belajar berdagang kecil-kecilan, mencoba menata kembali sisa semangat yang dulu hampir padam.

‎Bukan karena ingin kaya, tapi karena ia ingin punya sesuatu yang bisa membuatnya berkata, "Aku bisa, tanpa harus meminjam tangan orang lain."

‎Harga diri, baginya, bukan tentang menolak bantuan, tapi tentang tahu kapan harus berdiri sendiri.

‎Ia percaya, setiap laki-laki punya kewajiban untuk memberi, bukan sekadar menerima.

‎Memberi rasa aman bagi keluarga, memberi keyakinan bagi orang tua, dan memberi ketenangan bagi calon pendamping hidup yang kelak datang di waktu tepat.

‎Namun di balik keteguhannya itu, kadang muncul juga rasa rindu — rindu ingin dipahami tanpa harus menjelaskan segalanya.

‎Tapi hidup mengajarkan Semar bahwa tidak semua orang akan mengerti perjuanganmu, dan itu tidak apa-apa.

‎Yang penting, kamu tetap tahu siapa dirimu di tengah suara-suara yang mencoba mendikte jalan hidupmu.

‎Kini, Semar tidak lagi sibuk mencari pengakuan.

‎Ia hanya ingin hidup dengan tenang, membuktikan pada dirinya sendiri bahwa diam bukan tanda kalah, dan sabar bukan tanda lemah.

‎Sebab, harga diri yang sejati tidak lahir dari gengsi — melainkan dari kejujuran hati yang tetap memilih berjuang tanpa perlu berteriak.

‎Dan malam itu, sebelum tidur, Semar menulis satu kalimat di bukunya:

‎"Aku tidak ingin terlihat hebat di mata orang, aku hanya ingin terlihat cukup di mataku sendiri."

More Chapters