Karya: Fajri Maulana Zibon
Penerbit: ZIBON UPDATE Production
Kesepian dulu adalah hal yang paling ditakuti Semar.
Ia selalu berusaha mencari keramaian, seolah dengan banyak orang di sekelilingnya, hatinya bisa terasa utuh. Tapi pada akhirnya, ia sadar: bukan jumlah manusia di sekitar yang menentukan kedamaian, melainkan isi hati sendiri.
Malam-malam panjang sering ia lewati dengan pikiran yang berputar. Tentang perjalanan hidup, tentang saudara yang menjauh, tentang cita-cita yang sempat hancur di tengah jalan.
Namun di tengah sepi itu, justru muncul kesadaran baru: bahwa kesepian bukan hukuman — melainkan panggilan untuk lebih mengenal diri sendiri.
Di waktu seperti itu, Semar mulai memahami bahwa hidup tidak selalu memihak pada yang rajin berteriak.
Kadang, yang tenang dan sabar justru lebih kuat menanggung luka.
Ia menatap langit-langit kamarnya, lalu berkata pelan dalam hati:
"Mungkin Tuhan sedang mengajarkan aku untuk kuat tanpa tepukan, dan bahagia tanpa sorakan."
Kesepian membuat Semar belajar banyak hal yang dulu ia abaikan.
Ia jadi lebih peka terhadap doa, lebih rajin menulis, dan lebih memahami arti waktu.
Setiap detik yang hening menjadi ruang untuk bercakap dengan dirinya sendiri — sesuatu yang dulu tak pernah ia lakukan karena terlalu sibuk membuktikan diri kepada dunia.
Ia mulai paham, bahwa sepi tidak selalu berarti sendiri.
Kadang, di tengah sepi, Tuhan justru paling dekat.
Dan di antara semua ketiadaan, ada rasa damai yang sulit dijelaskan — rasa yang hanya bisa muncul ketika seseorang berhenti berlari dari dirinya sendiri.
Dalam diam itu, Semar menulis lagi:
"Kesepian bukan musuh, tapi guru yang tak banyak bicara. Ia datang bukan untuk menghukum, tapi untuk mengingatkan: bahwa aku masih punya diriku sendiri."
Hari-hari berikutnya, Semar mulai menikmati rutinitasnya.
Bangun pagi, menyiapkan teh hangat, menulis sedikit, lalu berjalan ke luar rumah hanya untuk merasakan angin. Tidak ada yang istimewa, tapi justru di situlah letak keindahannya — sederhana, tapi jujur.
Ia tidak lagi sibuk mengejar penerimaan.
Ia hanya ingin hidup dengan cara yang membuatnya tenang.
Dan di titik itulah, Semar menemukan makna sebenarnya dari kata "cukup".
Kesepian tidak lagi menjadi beban, melainkan tempat beristirahat dari hiruk-pikuk dunia.
Ia sadar, hidup bukan tentang siapa yang paling ramai, tapi siapa yang paling damai.
Dan saat itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Semar benar-benar tersenyum — bukan karena semuanya baik-baik saja, tapi karena ia sudah tidak takut lagi menghadapi yang tidak baik.
"Aku tidak lagi ingin melarikan diri dari sepi," tulisnya pelan, "karena di situlah aku akhirnya bertemu dengan diriku yang sebenarnya."