WebNovels

Chapter 4 - Bab 2: Jejak Kenangan di Kota Singa

Bagian 1: Kenangan Manis dan Bibit Harapan

Bab 2: Jejak Kenangan di Kota Singa

Malam itu, setelah makan malam sederhana bersama Bapak dan Ibu, Toro duduk termenung di kursi bambu di teras depan rumah. Udara Manggopoh yang sejuk terasa nyaman di kulit, tapi pikiran Toro melayang jauh, kembali ke pertemuan singkat dengan Kinasih sore tadi. Senyum gadis itu, keramahannya, semua memutar ulang sebuah kenangan spesifik yang selama ini menjadi jangkar perasaannya.

Sebuah kenangan dari kota yang jauh, Lamongan, Jawa Timur. Kota dengan patung singa besarnya yang ikonik itu.

Kejadiannya sekitar setahun sebelum ia berangkat ke sekolah berasrama. Om Sulaiman, adik dari almarhumah Neneknya pihak Ayah, yang bekerja di Surabaya, pulang kampung saat libur Lebaran.

Om Sulaiman adalah sosok om yang paling 'gaul' menurut Toro, selalu punya cerita seru dari kota besar dan tak pelit mengajak keponakannya jalan-jalan jika ada kesempatan. Dan kesempatan emas itu datang tahun itu.

"Toro, ikut Om sekeluarga ke Lamongan yuk pas libur sekolah nanti? Kita main ke WBL!" ajak Om Sulaiman waktu itu, matanya berbinar.

Tentu saja Toro, yang paling jauh baru pernah ke Bukittinggi, langsung mengangguk semangat, tak peduli meski artinya ia akan jadi 'anak bawang' di antara Tante Ola yang cerewet tapi baik hati, dan ketiga sepupunya: si sulung Bungsu yang baru kelas 2 SD dan sok tahu, Sutan yang jahilnya minta ampun di usia 5 tahun, dan si bungsu Cantika, gadis kecil 3 tahun berpipi gembil yang entah kenapa selalu nempel padanya.

Perjalanan ke Lamongan terasa seperti petualangan besar bagi Toro remaja. Naik bus malam melintasi pulau, melihat pemandangan berbeda, mendengar logat bicara yang asing.

Om Sulaiman dan Tante Ola sabar meladeni rentetan pertanyaan Toro tentang segala hal baru yang dilihatnya.

Dan Cantika kecil? Sepanjang perjalanan, gadis mungil itu lebih sering nyaman berada dalam gendongan Toro daripada digandeng ibunya. "Sudah cocok kamu jadi Bapak, To!" ledek Tante Ola waktu itu, membuat Toro tersipu malu.

Puncak perjalanan itu adalah hari ketika mereka mengunjungi Wisata Bahari Lamongan (WBL).

Suara tawa riang, musik yang menghentak, aroma kaporit dari kolam renang, dan teriknya matahari Jawa Timur yang menyengat – semua begitu berbeda dari suasana kampungnya di Manggopoh.

Toro sibuk mengawasi Sutan agar tidak berlari terlalu liar, sementara Bungsu asyik merengek minta dibelikan mainan mahal pada Om Sulaiman.

Cantika, seperti biasa, anteng dalam gendongan Toro, sesekali menunjuk-nunjuk heboh pada patung atau badut karakter yang lewat.

Saat itulah, di tengah riuhnya suasana kolam renang anak yang penuh bola warna-warni, mata Toro menangkap sesosok wajah yang familiar. Sangat familiar, meski seharusnya tidak berada di sini, ribuan kilometer dari Pasaman Barat.

Kinasih! Gadis itu sedang duduk di tepi kolam, kakinya bermain air, sambil tersenyum melihat seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya (yang Toro duga adiknya) sedang bercanda dengan seorang pria dan wanita paruh baya yang duduk tak jauh darinya.

Toro mengenali kedua orang tua itu sebagai Pak Bejo dan Tek Supiak, orang tua Kinasih yang rumahnya tak begitu jauh dari rumah neneknya di Pasaman.

Tapi apa yang mereka lakukan di Lamongan? Dan siapa anak laki-laki itu?

Kinasih saat itu terlihat sedikit lebih muda, tentu saja, belum sematang gadis yang ia temui sore tadi.

Rambut hitam panjangnya dikuncir kuda sederhana, ia memakai kaos oblong biasa dan celana pendek selutut – pakaian santai untuk berenang.

Tapi di mata Toro, ia tetap mempesona. Cahaya matahari memantul di kulitnya yang basah oleh percikan air, senyumnya lepas tanpa beban. Toro terpaku, lupa sejenak pada Cantika di gendongannya yang mulai merengek minta turun.

"Kenapa, To? Liatin siapa?" tanya Tante Ola yang menyadari Toro membeku.

"Eh, ndak Tante... itu..." Toro tergagap, tak ingin menjelaskan. Ia hanya terus mengamati dari kejauhan. Kinasih tampak begitu akrab dengan anak laki-laki itu, sesekali mengacak rambutnya atau tertawa bersama.

Anak laki-laki itu – yang kelak Toro kenal sebagai Tumpul – tampak sedikit lebih tua dari Bungsu, mungkin sekitar SMP, pikir Toro. Ia melihat bagaimana Pak Bejo dan Tek Supiak tersenyum hangat pada interaksi Kinasih dan 'adiknya'. Pemandangan keluarga yang harmonis dan bahagia.

Toro, dari kejauhan, ikut tersenyum. Melihat Kinasih bahagia, entah kenapa, membuat hatinya ikut senang, meski ada sedikit rasa iri pada 'adik' Kinasih yang bisa begitu dekat dengannya.

Selama beberapa saat, Toro hanya 'mengikuti' mereka dengan pandangannya. Menjaga jarak, tak berani mendekat atau menyapa. Ia hanya ingin merekam momen itu dalam ingatannya. Momen melihat Kinasih di tempat yang tak terduga, tampak begitu lepas dan bahagia bersama keluarganya.

Mungkin sempat terjadi kontak mata sekilas, sebuah senyum tipis dari Kinasih saat pandangan mereka tak sengaja bertemu di antara keramaian, tapi Toro tak yakin. Yang ia ingat, jantungnya berdebar kencang saat itu, lebih kencang dari suara musik di WBL.

Kenangan itulah yang kini berputar kembali. Kenangan tentang Kinasih yang tampak begitu 'utuh', harmonis dengan keluarganya, termasuk 'adik laki-lakinya' itu. Kenangan yang tanpa sadar membangun fondasi harapannya. Di matanya saat itu, Kinasih adalah gadis sempurna dari keluarga baik-baik. Tak ada celah, tak ada rahasia. Hanya keceriaan dan kehangatan.

Toro menghela napas panjang di teras rumahnya. Pertemuannya sore tadi seolah membangkitkan kembali semua perasaan dari hari itu di Lamongan. Harapan itu kembali menyala.

Apakah gadis dari kenangan Lamongan itu masih sama? Apakah kebahagiaan dan keharmonisan yang ia lihat dulu masih ada? Ia sangat berharap demikian. Ia sangat berharap, kali ini, harapannya tidak akan menjadi sekadar angin lalu.

More Chapters