Bab 7: Pesan dari Dunia yang Tak Selesai
Pagi itu, Raka menatap lembaran kertas yang entah bagaimana muncul di tangannya semalam.Kertas lusuh, berbau tanah lembab, dengan tulisan tangan goyah:
"Rini Sutarmi – Gang Delima 3, Blok C – Tolong katakan bahwa aku tidak pernah meninggalkannya dengan sengaja."– Sukatmo
Raka menggenggam kertas itu erat. Ia tidak mengenal nama itu, apalagi alamatnya. Tapi hatinya seperti ditarik… seolah ada beban asing yang melekat di dadanya.
Hari itu juga, Raka mengayuh sepeda tuanya menuju alamat yang tertulis. Gang sempit itu berada di bagian desa yang sudah jarang dihuni. Rumah-rumah tua berdiri bisu, sebagian nyaris roboh.
Di ujung gang, ia menemukan rumah sederhana bercat putih kusam. Pintu depannya terbuka sedikit. Seorang wanita tua duduk di kursi bambu, menatap lurus ke arah jalan, seakan sudah menunggu.
"Kau Raka?" tanyanya tanpa ragu, suaranya lirih tapi tajam.
Raka terkejut. "Ibu… kenal saya?"
"Tidak," jawabnya. "Tapi sejak semalam, mimpi saya dipenuhi suara orang yang berkata: 'Anak muda itu akan datang bawa pesan.'"
Dengan pelan, Raka menyampaikan isi kertas itu.
Wajah wanita tua itu—Rini Sutarmi—menegang. Matanya membelalak. Bibirnya bergetar.
"Sukatmo… suamiku. Hilang tiga puluh tahun lalu. Pergi ke kota… tak pernah kembali."
"Orang bilang dia kabur. Menikah lagi. Tapi aku tahu... hatiku tahu… dia tidak pernah meninggalkanku."
Air matanya jatuh. Dan di detik itu juga, hembusan angin lembut menyapu lewat jendela.Raka bisa merasakannya: roh yang mengirim pesan itu... telah pergi dengan tenang.
Tapi ketika ia kembali ke rumah, ia menemukan tiga lembar kertas baru di meja kamarnya.
Nama-nama baru. Alamat baru.
Dan salah satunya…
"Dukun Ratna – Sebelah Sungai Kering – Jangan biarkan dia membuka gerbang malam Jumat."
Raka gemetar.
Ini bukan lagi soal menyampaikan pesan terakhir.Ini soal mencegah yang hidup… dari melakukan kesalahan yang bisa membangunkan yang tak seharusnya bangkit.
Dan tugasnya... baru saja dimulai.