Bab 2: Luka yang Belum Sembuh
Pagi pertama di rumah baru terasa begitu sunyi. Diah terbangun lebih awal, menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas susu hangat. Aroma masakan memenuhi dapur, namun tak satu pun dari dua anak itu muncul.
Dengan hati-hati, Diah melangkah ke lantai atas, lalu mengetuk pintu kamar Nadine.
"Nadine... Raka... Sarapannya sudah siap," ucapnya pelan.
Tak ada jawaban.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar. Nadine muncul, tapi bukan karena lapar. Ia hanya ingin memastikan bahwa wanita asing itu benar-benar ada di rumah ini.
"Tak usah repot-repot masak. Aku dan Raka biasa makan sereal," ucapnya dingin.
Diah tetap tersenyum. "Tak apa. Aku hanya ingin kalian makan makanan hangat pagi ini."
Raka muncul tak lama setelah itu. Bocah itu memandang ibunya sekilas, lalu duduk diam. Matanya memandangi nasi goreng di piringnya, tapi tak menyentuhnya.
Diah duduk di seberang mereka. Ia tak ingin memaksa.
"Rasanya pasti beda dari masakan ibu," katanya lembut. "Tapi aku belajar dari buku resep yang sama."
Nadine meletakkan sendoknya dengan kasar.
"Kau bukan ibu kami. Jadi jangan bertingkah seperti satu."
Kata-kata itu menusuk. Namun Diah hanya menunduk, menahan napas, dan mengangguk perlahan.
"Aku tahu. Dan aku tidak akan pernah memaksa kalian untuk menganggapku seperti itu," bisiknya. "Aku hanya ingin kalian tahu, aku akan selalu ada jika kalian butuh seseorang."
Hari itu, Diah tetap menjalankan tugas rumah tangga seperti biasa. Mencuci, menyapu, menyiapkan makan siang, bahkan menyelipkan roti kecil dan catatan motivasi ke dalam bekal Raka.
Namun saat Andra pulang malam harinya, Nadine langsung melapor.
"Ayah, dia mencoba menggantikan mama. Masak pakai celemek mama, simpan bekal di tas Raka tanpa izin."
Andra menatap Diah dengan ekspresi sulit dibaca. Di antara bingung dan lelah, ia menarik napas berat.
"Diah... kamu mungkin harus lebih pelan. Jangan terlalu cepat."
Diah tersenyum lagi, walau hatinya remuk. Ia hanya berkata, "Aku tidak terburu-buru, Mas. Aku hanya mencoba mencintai."
Dan malam itu, seperti malam sebelumnya, Diah berdoa.
"Ya Tuhan, beri aku kekuatan untuk tetap lembut... walau setiap hari aku ditolak."