Bab 6: Surat dari Masa Lalu
Hari Minggu datang dengan angin sejuk yang membawa aroma hujan semalam. Diah memutuskan untuk membereskan gudang kecil di belakang rumah—tempat yang jarang disentuh sejak ia pindah.
Di antara tumpukan kardus berdebu, ia menemukan satu kotak yang berbeda. Tertulis di atasnya dengan spidol hitam:
"Untuk Nadine dan Raka – Dari Ibu"
Diah terdiam. Tangannya gemetar saat membuka kotak itu. Di dalamnya ada dua boneka kecil, sebuah selendang lembut beraroma bunga, dan sepucuk surat yang dilipat rapi.
Ia tak berani membacanya. Surat itu bukan untuknya. Maka dengan hati-hati, ia membawa kotak itu ke atas—ke kamar Nadine.
Nadine membuka pintu dengan wajah bingung.
"Ini… aku temukan di gudang. Sepertinya dari… ibumu," ujar Diah pelan.
Nadine menatap kotak itu seperti melihat hantu.
Tanpa berkata apa-apa, ia menerimanya, masuk ke kamar, dan menutup pintu.
Diah tak marah. Ia tahu, ada hal-hal yang hanya bisa dihadapi seseorang sendirian.
Sore harinya, pintu kamar Nadine terbuka.
Gadis itu keluar dengan mata sembab, memegang surat yang kini sudah terbuka.
"Ayah bilang surat ini ditulis sebelum Mama meninggal. Tapi aku gak pernah tahu dia sempat menyelesaikannya."
Diah mengangguk pelan.
"Aku… aku baru tahu ternyata Mama minta Ayah buat tetap bahagia. Dia bahkan bilang… kalau suatu hari ada wanita lain yang masuk ke hidup kami, dia berharap wanita itu bisa mencintai kami... bukan menggantikan dia."
Diah menahan napas. Nadine menatapnya—mata itu tak lagi setajam dulu. Ada luka, ada air mata, tapi juga ada penerimaan.
"Mungkin… Mama akan suka padamu," gumam Nadine. "Karena aku mulai… suka juga."
Diah tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mendekat, memeluk gadis itu untuk pertama kalinya.
Dan untuk pertama kalinya, pelukan itu dibalas.
Di bawah senja yang mulai turun, Raka menghampiri mereka dengan selembar kertas gambar.
Ia menunjukkan lukisannya: satu keluarga kecil berpegangan tangan—ayah, anak laki-laki, anak perempuan, dan seorang wanita berambut panjang yang tersenyum.
"Ini kita," kata Raka sambil tersenyum.
Diah menatap lukisan itu. Matanya basah.
Dan dalam hatinya, ia tahu… akhirnya, ia benar-benar menjadi bagian dari rumah ini.