WebNovels

Chapter 1 - BAB 1: Bayangan Abadi di Bawah Langit Merah

Di bawah langit kelam yang dipenuhi awan merah darah, sebuah lembah tandus terbentang sunyi—terasing dari dunia dan terlupakan oleh waktu. Tidak ada burung yang berkicau, tidak ada angin yang berhembus. Bahkan cahaya matahari pun enggan menembus kabut tipis yang menyelimuti setiap jengkal tanah. Di tengah kehampaan itu, berdirilah seorang pemuda berjubah hitam, sosoknya bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan itu sendiri.

Dialah Ye Tian.

Tatapannya kosong, namun dalam kehampaan itu tersimpan sesuatu yang menakutkan—sebuah amarah yang membeku selama bertahun-tahun, seperti danau dalam musim dingin abadi. Di tangannya tergenggam liontin tua berbentuk naga, satu-satunya peninggalan dari masa kecilnya yang telah lama hilang ditelan tragedi.

"Hari ini, aku kembali..." bisiknya, suaranya berat namun tenang, mengandung gema yang terdengar hingga ke balik batu dan akar pohon mati.

Tanah di bawah kakinya mulai bergetar perlahan. Kabut menipis. Dan dari celah-celah tebing yang menjulang tinggi, muncul siluet bangunan tua yang telah lama ditelan oleh sejarah—Sekte Darah Surga. Tempat kelahirannya. Tempat kehancuran keluarganya. Tempat terkutuk yang menyimpan misteri garis keturunannya sendiri.

Di dalam dada Ye Tian, darahnya mendidih. Tapi bukan karena kebencian... melainkan karena sesuatu yang jauh lebih dalam—kutukan.

Kutukan Darah Langit.

Sejak usia delapan tahun, ia dicap sebagai anak pembawa petaka. Tubuhnya menolak setiap bentuk energi spiritual. Tak bisa berkultivasi. Tak bisa bertarung. Tak bisa bertahan. Tapi semua itu berubah tujuh tahun lalu—saat ia hampir mati di jurang neraka dan bangkit dengan kekuatan yang seharusnya tidak dimiliki oleh manusia.

Tubuhnya sekarang adalah medan perang. Di dalamnya mengalir kekuatan iblis dan cahaya surgawi yang saling membunuh. Dua kekuatan yang tidak seharusnya bersatu. Tapi dia masih hidup. Dia masih berdiri.

Dan dia kembali.

---

Di puncak tebing, sekumpulan murid dari sekte luar berkumpul. Mereka tidak menyadari kehadiran Ye Tian yang perlahan melangkah mendekat. Salah satu dari mereka—seorang pemuda sombong dengan lambang keluarga penguasa di bajunya—berteriak lantang.

"Siapa kau!? Ini wilayah terlarang! Pergi sebelum—"

Satu langkah.

Itu saja.

Satu langkah Ye Tian menginjak tanah, dan tekanan tak kasat mata meledak dari tubuhnya. Tanah retak. Angin terhenti. Mata sang pemuda langsung membelalak, darah menyembur dari mulutnya, dan tubuhnya terpental ke belakang seperti boneka tanpa nyawa.

Yang lain terdiam. Napas mereka tercekat.

Ye Tian menatap mereka, dingin seperti es yang tidak pernah mencair.

"Aku... bukan siapa-siapa," katanya pelan. "Aku hanyalah bayangan... dari sesuatu yang telah kalian kubur hidup-hidup."

---

Langit mulai bergemuruh. Di kejauhan, para tetua sekte merasakan perubahan aliran energi spiritual. Salah satu dari mereka—Tetua Bai, lelaki tua bermata tajam—membuka matanya perlahan.

"Dia... kembali?"

---

Di dunia di mana kekuatan adalah hukum, dan garis keturunan adalah takdir, Ye Tian adalah keanehan. Dia bukan pahlawan. Dia bukan iblis. Dia adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—satu keberadaan yang seharusnya tidak pernah lahir ke dunia ini.

Dan malam ini, semuanya akan dimulai kembakembang

Angin senja menyapu pelataran dengan tenang, namun udara di sekitarnya seperti tertahan dalam ruang yang beku. Langkah kaki Ye Tian perlahan terhenti di depan gerbang batu besar yang sudah ditumbuhi lumut. Itu adalah pintu masuk ke dalam "Paviliun Darah Langit"—tempat terlarang bagi murid tingkat bawah, sebuah tempat di mana darah dan sejarah lama bersatu dalam keheningan.

Tubuhnya berdiri kaku, mata emasnya menatap pilar-pilar batu yang melingkar di sekitar paviliun itu, seolah menatap kembali kenangan ribuan tahun lalu yang tertanam dalam dindingnya. Aura yang sangat tua merambat keluar dari celah bebatuan, samar namun tajam. Bahkan bagi Ye Tian yang telah kehilangan rasa takut, ada bisikan asing yang menyentuh dasar jiwanya.

"Paviliun ini..." gumamnya lirih, "bukan hanya tempat penyimpanan teknik terlarang… tapi tempat di mana kutukan itu lahir."

Suara langkah kaki terdengar dari belakang. Bayangan panjang seorang pria tua muncul perlahan. Itu adalah Penatua Mo, penjaga arsip dan catatan rahasia sekte. Dia mengenakan jubah kelabu, dengan rambut putih yang dikepang rapi ke belakang. Tatapan matanya tidak mengandung emosi, namun penuh kehati-hatian.

"Ye Tian," suara tuanya serak namun tegas, "kau telah diberi izin untuk masuk oleh suara langit... tapi apakah kau siap menanggung apa yang akan kau temukan di dalamnya?"

Ye Tian tidak menjawab. Sebaliknya, ia mengangkat kepalanya sedikit, menatap langsung ke mata Penatua Mo. Tatapannya menusuk seperti petir di tengah malam.

"Jika aku harus menanggung langit itu sendiri," jawab Ye Tian, "aku akan memanggulnya dengan satu tangan."

Penatua Mo terdiam. Dalam sesaat, dia seakan melihat bayangan masa lalu... seseorang lain yang pernah berkata hal serupa, dengan tatapan yang tak kalah dingin—ayah Ye Tian.

"Baiklah. Maka masuklah. Tapi ingat... jangan sampai darahmu jatuh di lantai ketujuh."

Ye Tian hanya mengangguk. Dengan satu langkah, dia menjejakkan kaki ke dalam Paviliun Darah Langit.

Begitu pintu batu itu tertutup di belakangnya, dunia di dalam berubah drastis. Cahaya lenyap, digantikan oleh kilatan-kilatan merah samar yang bersinar dari ukiran-ukiran di dinding. Ratusan gulungan kitab bersinar lemah, namun satu di antaranya—yang terletak paling dalam dan paling tinggi—memancarkan cahaya ungu gelap.

Itulah dia. Kitab "Xue Tian Ji"—Catatan Darah Langit. Teknik kultivasi yang pernah membawa kekuasaan ke puncak, namun juga membinasakan satu generasi kultivator.

Langkah demi langkah, Ye Tian mendekatinya. Di setiap langkah, bayangan-bayangan hitam mulai muncul dari lantai, menggeliat seperti tangan-tangan roh yang mencoba meraih tubuhnya. Tapi Ye Tian tidak goyah.

Tubuhnya perlahan memancarkan cahaya kelam, aura hitam keunguan melingkari dirinya seperti mantel tak kasat mata. Kutukan dalam darahnya... mulai bangkit.

Saat tangannya menyentuh kitab itu, gema suara aneh terdengar dari segala arah—jeritan, doa, dan tangisan yang bercampur dalam satu kesatuan.

"Apakah kau... penerus darah langit?" suara itu bertanya dari kekosongan.

Ye Tian membuka matanya yang kini bersinar tajam, membelah kegelapan.

"Aku bukan penerus. Aku... pewaris kehancuran."

Kitab itu terbuka, dan ribuan simbol berdarah mengalir ke tubuhnya. Paviliun mulai bergetar, dan langit di luar perlahan berubah warna—seolah menandakan bahwa seorang pengguncang dunia... telah bangkit kembali.

More Chapters