Kabut pagi masih bergelantungan di pucuk-pucuk pohon kala Ye Tian menapakkan kaki di jalan sunyi yang membelah hutan belantara utara. Langkahnya mantap, namun dalam dadanya, badai tak kunjung reda. Sejak pertemuan dengan Bai Ningxue, pikirannya diliputi tanya—tentang siapa dirinya yang sebenarnya, dan apa yang menantinya di ujung jalan penuh darah ini.
Di balik jubah hitamnya yang kusut dan masih ternoda debu reruntuhan, tubuh Ye Tian mulai beradaptasi perlahan terhadap kekuatan baru yang mengalir dalam darahnya. Jalur meridian di tubuhnya meluas, bercabang ke arah yang tak lazim, membentuk pola-pola yang bahkan tak ada dalam kitab teknik kultivasi mana pun yang pernah ia baca. Catatan Darah Langit bukan sekadar teknik, melainkan sebuah warisan
Angin malam menyusup dari sela-sela hutan, membawa aroma tanah basah dan abu yang masih membekas. Api unggun kecil yang menyala di depan Ye Tian mulai meredup, hanya tinggal bara merah menyala seperti mata seekor binatang buas yang mengintai dalam gelap.
Di sebelahnya, bocah kecil yang ia selamatkan tadi meringkuk dalam tidur lelah, wajahnya masih tampak pucat namun perlahan mulai tenang. Mungkin untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, anak itu bisa bermimpi... tanpa jeritan dan darah.
Ye Tian menatap wajah polos itu lama, seolah mencari sesuatu yang pernah ia miliki, tapi telah lama hilang.
"Mereka seharusnya tak melihat dunia sekejam ini," bisiknya pelan.
Tapi dunia tak peduli siapa yang layak menderita. Dunia hanya tahu kekuatan—dan yang lemah akan menjadi korban. Itu adalah hukum yang tertulis jauh sebelum sekte-sekte didirikan, sebelum langit memberikan Qi pada dunia, sebelum manusia mengerti tentang kultivasi.
Ye Tian menarik napas panjang.
Ia lalu meraih gulungan kain dari balik jubahnya. Di dalamnya terdapat peta tua yang mulai usang, penuh coretan tinta merah yang melambangkan lokasi-lokasi penting yang hanya diketahui oleh klan rahasia dan pemburu warisan. Salah satu titik kini mulai bersinar samar—Lembah Tulang Hitam, tempat yang disebut-sebut menyimpan bagian kedua dari Catatan Darah Langit.
"Sudah waktunya bergerak lagi," ucapnya pelan.
Namun sebelum ia bangkit, suara langkah ringan terdengar dari arah barat. Ye Tian langsung berdiri dan memutar tubuh, telinganya menangkap irama langkah yang tidak tergesa, tapi jelas berasal dari seorang kultivator yang tidak biasa.
Dari balik kabut malam, muncullah sosok pria muda berpakaian abu-abu gelap, dengan lambang sekte Kuil Bayangan Retak di dada kirinya. Matanya tajam, dan aura dingin menyelimuti tubuhnya, seperti es yang tak pernah mencair meski di bawah cahaya api.
"Ye Tian..." pria itu berbicara dengan nada datar, tapi jelas mengenali siapa yang ia hadapi. "Akhirnya aku menemukanmu."
Ye Tian mengenali wajah itu.
Qin Wuying.
Dulu, mereka sama-sama murid kelana dari sekte yang berbeda. Tapi Wuying menjual jiwanya kepada kekuatan kegelapan demi mempercepat kultivasinya. Ia percaya bahwa dalam dunia ini, hanya mereka yang memeluk bayangan yang bisa bertahan.
"Kau tak berubah," kata Ye Tian, menatapnya lurus.
"Aku tumbuh," sahut Wuying dingin. "Tapi bukan untuk menjadi pahlawan. Aku ingin tahu... apakah kau cukup kuat untuk mempertahankan jalanmu sendiri."
Wuying mencabut pedangnya, yang langsung memancarkan aura bayangan yang meliuk seperti ular.
Ye Tian tidak bicara lagi. Ia menurunkan anak yang tertidur dari pangkuannya, membaringkannya perlahan di dekat pohon, lalu bangkit dan berdiri di bawah cahaya bulan.
Dua mantan murid sekte.
Dua jalan yang berbeda.
Dua bayangan yang saling mengintai dalam sunyi malam.
"Baiklah, kalau langit menolak kita berdua..." ujar Ye Tian perlahan, suaranya kembali berat dan menggema, "...maka mari kita lihat siapa yang bisa menghancurkan langit lebih dulu."
Pedang dan bayangan menyatu dalam gerakan secepat kilat.
Dan malam pun kembali sunyi, menyaksikan bentrokan dua murid yang telah meninggalkan cahaya... demi menemukan kebenaran dalam kegelapan.
Pertarungan antara Ye Tian dan Qin Wuying berlangsung dalam senyap, namun tiap sabetan menggetarkan tanah, tiap langkah menciptakan cekungan. Tidak ada kata. Hanya dua tekad yang saling menghancurkan.
Qin Wuying bergerak seperti bayangan yang terpahat dari malam, langkahnya memecah tanah tanpa suara. Ia adalah penari yang mematikan, pedangnya meluncur dalam busur-busur tajam yang seolah mengiris dimensi itu sendiri. Namun Ye Tian bukanlah sosok yang bisa ditelan oleh malam.
Dengan tangan kosong, ia menangkis tebasan pedang bayangan itu, membiarkan percikan Qi menari di sekeliling tubuhnya. Setiap gerakannya seperti bagian dari tarian yang lebih tua dari dunia itu sendiri—tarian kutukan, tarian penderitaan, tarian pembangkangan terhadap langit.
"Kenapa kau terus bertahan di jalur yang menyakitkan ini, Ye Tian?!" teriak Qin Wuying di tengah benturan.
Ye Tian menatapnya dengan mata merah kehitaman, lalu menjawab dengan suara pelan namun mengguncang:
"Karena aku ingin hidup sebagai diriku sendiri... bukan boneka sekte, bukan budak ramalan."
Darah mulai menetes dari sudut bibir Ye Tian, tapi ia tidak mundur. Qin Wuying meluncur kembali dengan jurus pamungkas: Bayangan Retak Memecah Roh, sebuah teknik yang pernah dilarang oleh enam sekte besar karena menyasar langsung jiwa target.
Namun saat serangan itu nyaris mengenai dada Ye Tian—sebuah ledakan spiritual muncul dari dalam tubuhnya.
WUUUSHHHH!!
Tanda kutukan di punggung tangannya menyala penuh, menciptakan formasi pelindung darah surgawi yang mengguncang tanah di bawah mereka. Dalam sekejap, aura keabadian yang tak bisa dijelaskan memenuhi udara.
Qin Wuying terpental sejauh lima zhang, terbatuk darah, dan menatap Ye Tian dengan mata gemetar.
"Itu… teknik apa...?" tanyanya, napas tersengal.
Ye Tian tidak menjawab. Ia melangkah maju perlahan, membiarkan bayangan di belakangnya membesar, berubah menjadi siluet makhluk bersayap hitam dengan mata tiga, menyimbolkan kutukan yang tidak bisa dibungkam.
Melihat itu, Qin Wuying tertawa getir.
"Aku mengerti sekarang... Kau memang berbeda. Bukan dari dunia ini." Ia berdiri goyah, lalu menyarungkan pedangnya. "Aku akan menunggu... saat kita bertemu kembali, dan dunia telah memilih antara cahaya dan kegelapan."
Lalu ia pergi, meninggalkan jejak darah di tanah. Dan Ye Tian berdiri sendiri di tengah reruntuhan desa yang sudah sunyi.
Di balik pohon, anak kecil itu terbangun dan melihat ke arah Ye Tian, namun tak berani mendekat.
"Jangan takut," kata Ye Tian dengan suara lebih lembut, menenangkan. "Tak ada lagi yang akan melukaimu."
---
Malam itu, sebelum fajar menyingsing, Ye Tian berjalan menuju utara, mengikuti tanda pada peta yang mulai berkedip dengan cahaya merah tua. Lembah Tulang Hitam menunggu—dan di sanalah rahasia tentang kutukan darah surgawi yang membekas di tubuhnya akan terungkap perlahan.
Namun satu hal kini pasti:
Langkah Ye Tian telah mengguncang takdir.
Dan bayangannya… tidak akan pernah bisa ditelan malam lagi.
---