WebNovels

Chapter 6 - 6

Agnes, Wina, dan Mia kembali memasuki ruangan pesta. Musik berdentum, lampu-lampu berkelap-kelip, dan aroma parfum mahal memenuhi udara. Namun perhatian para pria langsung tertuju pada Mia yang kini tampil begitu berbeda—gaun yang dikenakannya menonjolkan lekuk tubuhnya dengan jelas, membuat banyak mata liar tak bisa berpaling.

"Wow… ternyata tubuhmu jauh lebih indah dari yang kubayangkan," gumam salah satu pria sambil berani menyentuh lengan Mia.

Mata Mia langsung menajam. Ia mencengkeram tangan pria itu dengan kuat hingga pria itu meringis.

"Jangan pernah sentuh aku lagi, dasar pria kotor! Kau sentuh aku lagi, tanganmu akan kupotong!" hardiknya dengan tajam.

Wina tersentak. Namun Agnes melangkah cepat mendekat, pura-pura menenangkan.

"Sudahlah, Kak… jangan marah. Namanya juga pesta. Kamu cuma belum terbiasa saja. Nanti juga akan merasa nyaman di sini," bisik Agnes, senyum manisnya menyimpan kepalsuan.

Mia menatapnya dengan penuh kekecewaan. "Sepertinya, aku memang tak akan pernah terbiasa dengan 'duniamu', Agnes. Lebih baik aku pulang."

Ia berbalik, hendak melangkah keluar, namun Agnes cepat-cepat menahan lengannya.

"Eits, tunggu dulu. Kakak belum minum apa pun sejak datang. Masa nggak haus? Tenggorokanmu pasti kering, kan?" katanya sambil menyodorkan segelas minuman ke Mia.

Mia menghela napas, merasa sedikit lelah dan haus sejak tadi. Tanpa curiga, ia mengambil gelas itu dan menenggaknya sampai habis.

"Terima kasih," ucapnya singkat, menaruh gelas kosong di meja.

Namun di balik senyum manisnya, mata Agnes menyipit, penuh rencana. Ia melirik Wina sekilas—sebuah sinyal diam-diam yang hanya mereka pahami.

"Bagus... Minumlah sampai habis," batin Agnes dengan senyum licik, matanya tak lepas dari Mia yang meneguk habis isi gelas tanpa curiga.

"Kamu akan merasakan sendiri sensasi dari racikan spesial yang kuberikan..."

Mia menghela napas usai meneguk minuman itu. Namun tak lama kemudian, wajahnya berubah. Tubuhnya terasa berat, kepalanya berdenyut, dan dunia seperti berputar pelan.

"Agnes, aku pulang duluan… Kepalaku pusing sekali. Sepertinya tubuhku mulai tidak beres," ucap Mia sambil memegangi pelipisnya.

Langkahnya goyah saat ia mulai melangkah keluar dari ruangan pesta.

Agnes menahan senyumnya yang hampir pecah. Matanya berbinar puas—rencananya sejauh ini berjalan sempurna. Namun dia tetap berakting.

"Kak! Tunggu! Apa perlu aku antar? Aku takut Kakak kenapa-kenapa di jalan," ujar Agnes sambil pura-pura cemas, berlari menghampiri Mia.

"Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Lebih baik kamu tetap di sini, nikmati pestamu bersama sahabatmu," sahut Mia dengan suara lemah, tubuhnya setengah bersandar ke dinding.

Agnes mengangguk dengan wajah penuh simpati palsu. "Kalau itu kemauan Kakak... hati-hati di jalan, ya. Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi aku."

Namun begitu Mia berjalan menjauh, sorot mata Agnes berubah tajam. Senyum dingin tersungging di sudut bibirnya.

"Dengan keadaanmu sekarang, kamu pasti akan diterkam oleh pria liar di luar sana… dan kamu akan hamil anak haram," gumamnya pelan, nyaris tak terdengar di tengah dentuman musik pesta.

"Saat itulah... kamu akan dikeluarkan dari rumah keluarga Xiao. Dan aku... akan berdiri di tempatmu."

Sementara itu, Mia berjalan terseok keluar gedung. Tangannya menyusuri tembok untuk menjaga keseimbangan. Tubuhnya panas, pandangannya kabur. Napasnya memburu. Sesuatu dalam dirinya jelas tak beres.

Di sisi lain gedung, di ruang VIP yang mewah dan kedap suara, lima pria berpakaian formal tengah berpesta. Di tengah-tengah mereka, seorang pria dengan aura dingin dan karisma luar biasa baru saja datang.

Ryu.

Presiden muda dari R.C International, perusahaan raksasa yang memonopoli sistem transportasi, perbankan, dan perdagangan dunia. Di usia 25 tahun, ia sudah menjadi legenda di mata pebisnis dan fantasi bagi para wanita.

"Selamat datang, Ryu!" seru salah satu pengusaha sambil mengangkat gelas sampanye. "Kau selalu datang di saat yang paling tepat."

Ryu hanya tersenyum tipis. Tatapannya tajam menyapu ruangan... tanpa ia sadari, nasibnya sebentar lagi akan bersinggungan dengan seorang wanita yang malam ini berjalan dalam bahaya—Mia.

"Rico, siapa lagi wanita yang kau gandeng sekarang?" tanya Joy sambil menuangkan whiskey ke dalam gelas kristal milik Ryu.

"Kudengar, kabar burung mengatakan kau sedang dekat dengan seorang model terkenal?"

Rico tertawa pelan, lalu meneguk minumannya dalam satu tarikan. "Mereka semua hanya hiburan. Tidak ada yang benar-benar spesial dalam hidupku. Cinta? Itu cuma ilusi."

Glenn menggeleng, senyumnya miring. "Kapan kau berhenti bermain, Rico? Kau nggak lelah? Sejak cinta pertamamu gagal, kau berubah jadi predator profesional."

Rico membalas dengan tawa sinis. "Jangan gali luka lama. Aku tak suka membahas masa lalu. Kalau kalian mau tanya-tanya soal cinta, tanya saja ke pria es di sebelah kalian ini." Ia menunjuk ke arah Ryu yang hanya diam dengan tatapan kosong ke arah kaca.

Sebelum suasana semakin serius, Glenn bertepuk tangan, mengalihkan fokus. "Sudahlah, sebelum kita saling menceramahi, aku punya hadiah buat kalian—wanita-wanita cantik untuk menemani malam ini. Nikmatilah."

Tak lama, beberapa wanita dengan gaun elegan dan senyum terlatih masuk ke ruang VIP, menghampiri mereka satu per satu. Hanya Rico yang tampak menikmati kehadiran para wanita itu—duduk santai dengan satu lengan merangkul salah satu dari mereka, seperti raja pesta.

Sementara itu, Joy, Dio, dan Ryu hanya memandangi mereka sekilas, lalu memilih menuangkan minuman mereka sendiri.

"Aku sudah repot-repot memesan mereka untuk kalian, tapi kalian malah acuh," keluh Glenn sambil mengangkat bahu.

"Siapa suruh? Kau tahu kami bertiga tak tertarik pada wanita bayaran seperti itu. Kami bukan seperti Rico yang selalu lapar akan sentuhan," tukas Joy tajam, meneguk minumannya dengan geram.

"Sudahlah, kalau mereka bukan selera kalian, biar kubawa semua wanita ini. Toh, mereka datang untuk bersenang-senang, bukan mendengar ceramah." sahut Rico sambil terkekeh dan memeluk kedua wanita yang duduk di sampingnya.

"Cih, buaya darat kelas kakap. Baru lihat lekuk sedikit langsung mau menerkam," sindir Dio, melirik Rico dengan tatapan jijik yang tidak ditutupi.

Lalu Joy menoleh pada Ryu yang tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apapun yang terjadi di ruangan itu.

"Ryu... bagaimana denganmu? Apa kau belum juga menemukan wanita itu? Sampai kapan kau terus menyendiri?"

Ryu menurunkan gelasnya perlahan, menatap Joy tanpa ekspresi.

"Itu bukan urusan kalian. Aku belum menemukannya… atau mungkin, dia memang tak pernah ada sejak awal."

Hening. Suasana di ruangan seketika berubah. Bahkan Rico yang semula tertawa kini hanya mengangguk pelan, mengerti bahwa untuk urusan cinta, Ryu bukan pria yang mudah disentuh... baik oleh wanita, maupun oleh kenangan.

Kelima pengusaha muda itu masih larut dalam obrolan hangat, tawa mereka bersahut-sahutan di balik alunan musik pelan dari speaker ruang VIP. Namun di tengah canda itu, Ryu mendadak terdiam. Keningnya berkerut, tangan kanannya refleks melonggarkan dasi.

"Sial… ada apa dengan tubuhku ini?" gumamnya lirih. Tubuhnya terasa gerah, kepalanya berdenyut.

Glenn yang duduk di seberangnya langsung menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. "Ryu? Kau kenapa? Kelihatan gelisah."

"Maaf… aku harus pergi." Ryu berdiri cepat, mengabaikan gelasnya yang belum tersentuh.

"Payah," cetus Rico dengan nada mabuk. "Pestanya buatmu, tapi malah kabur duluan."

"Sorry, semua," ucap Ryu singkat sambil membuka pintu dan melangkah keluar, membiarkan suara pesta memudar di belakangnya.

Koridor hotel tampak lengang dan temaram. Ryu berjalan cepat, namun langkahnya terhenti saat seseorang tiba-tiba menabraknya dari arah berlawanan.

"Akh!"

Seorang wanita jatuh terduduk di lantai, tubuhnya gemetar. Gaunnya kusut, rambutnya berantakan, dan napasnya memburu. Ryu menunduk dan menatapnya tajam—itu Mia.

Matanya merah, wajahnya pucat namun memerah karena panas yang membakar dari dalam tubuhnya.

"Tuan... tolong aku... tubuhku seperti terbakar, kepala ini... pusing sekali... aku—aku rasa seseorang mencampur obat ke minumanku..." ucap Mia lirih, tangannya mencoba menggenggam lengan Ryu memohon bantuan.

Namun reaksi Ryu bukan simpati.

Dengan ekspresi dingin dan jijik, ia menepis tangan Mia kasar. "Dasar wanita jalang. Jangan sentuh aku. Pergi dari hadapanku!"

"Akh!" tubuh Mia terdorong, jatuh kembali ke lantai. Matanya menahan sakit, bukan hanya karena tubuhnya, tapi karena penghinaan itu.

Dari dalam ruang VIP, beberapa wanita penghibur yang tadi bersama Rico ikut keluar, tertarik oleh keributan.

Salah satu dari mereka melirik Mia dari ujung kepala hingga kaki, lalu mendesis penuh hinaan. "Cih, wanita murahan. Mau-mau-nya cari perhatian Tuan Ryu."

"Dia pikir siapa dirinya? Cantik pun tidak. Aku saja dicuekin Ryu, apalagi dia," bisik wanita lain dengan tawa menghina.

Tatapan-tatapan sinis menusuk Mia dari segala arah. Tapi Mia tak menjawab. Matanya hanya tertunduk, tubuhnya menggigil menahan panas, racun yang bergejolak dalam darahnya makin tak terkendali.

"Aku tak peduli pada mereka... aku hanya ingin tubuh ini kembali normal... racun ini… keluarlah dari tubuhku..." batinnya menjerit, mencoba bertahan.

Mia perlahan menopang tubuhnya, bangkit walau lututnya bergetar hebat. Dengan sisa tenaga, ia kembali berdiri di hadapan Ryu.

Harga diri sudah tak penting lagi—yang ia butuhkan saat ini hanyalah pertolongan.

"Tolong aku... meski hanya satu tempat untuk bersandar... sebelum semuanya terlambat..." lirihnya sambil memandang Ryu dengan tatapan memohon.

Untuk pertama kalinya, pandangan dingin Ryu sedikit goyah. Mata tajamnya menatap lebih dalam ke wajah Mia—dan ada sesuatu di sana. Sesuatu yang terasa... familiar?

More Chapters