WebNovels

Chapter 5 - 5

MID Club malam itu dipenuhi cahaya gemerlap, dentuman musik, dan aroma alkohol mahal yang menyeruak di udara. Agnes melangkah anggun memasuki ruangan, di sampingnya berjalan seorang gadis sederhana bernama Mia—penampilannya polos, jauh dari kesan modis yang biasa terlihat di pesta kalangan elite.

Seorang pria yang aroma alkoholnya menyengat langsung menyambut Agnes dengan gaya genit.

"Hai, Agnes sayang. Siapa gadis culun yang kau bawa ini?" tanyanya dengan tawa miring sambil mengedipkan mata.

Tak jauh dari mereka, pria lain yang memegang segelas Macallan ikut menimpali,

"Nes, kalau lagi pesta begini, jangan bawa pembantu dong."

Mia hanya menunduk, berusaha menahan diri, namun tatapan sinis dari para tamu menusuk seperti duri.

Tiba-tiba, Wina—si empunya pesta—mendekat dengan ekspresi heran dan tajam.

"Siapa gadis culun ini? Asisten pribadi barumu?"

Agnes tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada simpati palsu yang nyaris meyakinkan,

"Dia bukan asistennya siapa-siapa. Dia kakak tiriku. Dulunya dibuang ayahku ke desa, dan karena aku kasihan, aku minta agar dia dibawa kembali untuk tinggal bersama kami."

Beberapa tamu yang mendengar langsung membelalak—antara terkejut dan penasaran.

"Oh, jadi dia ini bagian dari keluarga Xiao yang dibuang? Kasihan sekali... Kamu sungguh berhati mulia, Nes."

"Ya ampun, kamu nggak cuma cantik, tapi juga penuh empati. Sampai mau mengajak dia ke pesta Wina," timpal yang lain, seorang perempuan mengenakan gaun merah mencolok.

Agnes menyesap minumannya dengan anggun dan menjawab penuh sandiwara,

"Aku hanya ingin dia mengenal dunia luar. Siapa tahu... dia bisa bertemu jodohnya malam ini."

Wina tertawa nyaring, lalu melirik Mia dari atas ke bawah dengan tatapan menghina.

"Kamu yakin? Cewek kayak dia bisa dapat jodoh di sini? Lihat penampilannya... payah! Dia perlu di-make over dulu biar bisa dilirik cowok-cowok sini."

Agnes hanya tersenyum samar, namun dalam hatinya muncul ide busuk. Malam itu, Mia akan menjadi permainannya. Balas dendam manis atas segala penolakan dan perlawanan yang selama ini Mia berikan padanya.

Agnes mengaduk-aduk whiskey dalam gelas kristalnya, lalu melirik Wina dengan senyum tipis penuh arti.

"Win, kamu bawa baju cadangan kan? Yang... agak terbuka. Biasanya kamu selalu siapkan, apalagi kalau pestanya kamu sendiri."

Wina menyipitkan matanya, ekspresinya seolah bosan.

"Untuk apa?" tanyanya datar, meski sorot matanya sudah menangkap maksud di balik pertanyaan itu.

Agnes mengangkat bahu dengan santai, lalu menyesap sedikit minumannya.

"Untuk kakakku. Aku cuma ingin dia tampil... berbeda. Siapa tahu nasib baik berpihak malam ini. Dapat jodoh, gitu."

Wina menghela nafas pelan, lalu tersenyum sinis.

"Ada beberapa baju di mobilku. Nanti aku suruh sopir ambil. Yang kamu cari pasti ada."

Nada suaranya terdengar setengah mengejek, setengah mengerti permainan sahabatnya.

"Terima kasih, sahabatku. Kamu memang selalu tahu apa yang aku butuhkan." Agnes langsung memeluk Wina dengan manja, seolah-olah tulus, padahal kepalanya sudah dipenuhi rencana busuk.

Wina menepuk pundak Agnes dua kali, pelan.

"Kamu nggak perlu repot-repot berterima kasih. Kita ini sahabat. Jadi aku bantu kamu... dan kakakmu."

Lalu ia mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik di telinga Agnes,

"Aku tahu kok, apa yang sedang kamu rencanakan. Dan aku suka caramu bermain, Nes."

Mereka berdua tertawa kecil, seperti dua ratu iblis yang bersiap menaruh bidak pertama di papan catur permainan mereka.

Sementara itu, tak jauh dari mereka, Mia hanya berdiri kaku. Seperti patung yang sengaja dipajang di tempat yang salah. Suara tawa dan musik bagaikan gema asing di telinganya. Ia tak ingin ikut dalam permainan ini—dunia pesta, penuh kebebasan, kebohongan, dan tipu daya, bukan tempatnya.

Ia menunduk dalam diam, menahan denting-denting perasaan yang mulai retak satu per satu.

Malam kian larut, namun pesta di MID Club justru semakin memanas. Musik berdentum makin keras, lampu-lampu berkelap-kelip menciptakan suasana gemerlap yang membius siapa pun yang terjebak di dalamnya. Para tamu terus berdatangan—kerabat, teman, hingga kenalan bisnis Wina—semua larut dalam riuh pesta.

Di tengah hingar-bingar itu, Agnes dan Wina menarik tangan Mia dengan paksa menuju toilet wanita.

"Lepas!" bentak Mia seraya berusaha melepaskan cengkraman mereka. "Aku tak ingin berganti pakaian! Jangan paksa aku!"

Nada suaranya tegas, namun goyah oleh tekanan yang tak ia sukai.

"Ayolah, Kak..." rayu Agnes dengan suara merengek. "Ganti pakaianmu. Hanya malam ini saja. Kamu bakal kelihatan lebih cantik dan menarik. Tolong, jangan bikin aku malu. Dari tadi aku terus diejek karena kamu."

Wina ikut menimpali, nadanya sengaja dibuat manis.

"Iya, Kak... demi pestaku ini. Jangan bikin aku kehilangan muka di depan semua orang."

Mia menatap keduanya dengan pandangan tajam. Ia tahu ada yang janggal—sesuatu yang salah—namun dua pasang mata di depannya memohon seolah-olah mereka tulus.

"Baiklah," gumamnya dingin. "Tapi ini demi pestamu, bukan karena kalian."

Ia mengulurkan tangannya. "Mana bajunya?"

Agnes segera menyodorkan bungkusan pakaian tipis yang mewah itu.

"Ini, Kak. Semoga cocok."

Mia menatapnya sekilas, lalu berkata,

"Aku hanya akan mengenakan pakaian ini. Tapi wajah dan rambutku tidak akan kusentuh. Aku tidak mau menampilkan sesuatu yang akan jadi senjata kalian suatu hari nanti."

Agnes tersenyum tipis, lalu menyandarkan tubuh ke tembok.

"Baiklah, Kak. Kalau kamu suka tampil... culun seperti itu, silahkan. Cukup bajunya saja yang kamu pakai. Itu sudah cukup membuatmu jadi pusat perhatian."

Mia menghela napas dalam, lalu masuk ke dalam toilet.

Suasana di dalam begitu sunyi, kontras dengan pesta di luar. Mia berdiri menatap cermin, membuka pakaiannya dengan gerakan lambat, lalu mengenakan gaun itu. Bahan tipis, potongan rendah, dan bagian dada yang terlalu terbuka membuatnya gelisah. Ia menutupi dadanya dengan tangan, merasa telanjang—bukan hanya secara fisik, tapi juga batin.

Di luar, Wina mulai kesal.

"Lama banget kakakmu di dalam. Jangan-jangan dia pingsan," cetusnya sambil melirik pintu toilet.

"Enggak mungkinlah," balas Agnes sambil mengibaskan tangan malas.

"Kakaaak!" seru Agnes sambil mengetukkan kakinya ke lantai. "Berapa lama lagi sih?!"

Terdengar suara dari balik pintu.

"Bawel!"

Pintu terbuka.

Mia melangkah keluar.

Hening sejenak.

Agnes dan Wina membelalakkan mata. Mia—dengan pakaian terbuka yang sama sekali tak mencerminkan dirinya—tampak seperti orang asing. Wajahnya polos tanpa riasan, rambut tetap dikuncir sederhana. Namun justru karena itu, ada sesuatu yang berbeda. Bukan tentang kecantikan... tapi tentang keberanian seseorang berdiri di tengah dunia yang bukan miliknya, tanpa berpura-pura.

Begitu pintu kamar mandi terbuka dan Mia melangkah keluar, dunia seakan berhenti sejenak.

Wina dan Agnes menatap tanpa berkedip. Gaun yang semula mereka anggap akan menjadi bahan olokan… justru jatuh dengan sempurna di tubuh Mia. Siluet tubuhnya yang ramping namun berlekuk tampak jelas, bagaikan model papan atas yang baru keluar dari majalah mode. Wajahnya polos, tapi justru itu yang membuatnya tampak bersinar alami—misterius, tenang, dan sangat memesona.

Wina menggeram pelan, bibirnya bergetar oleh rasa iri yang menyelinap cepat.

“Sial… kenapa baju itu malah terlihat bagus dipakai dia? Dia bahkan tidak pakai makeup! Kalau dia dirias habis-habisan… dia bisa lebih cantik dari kita semua.”

Agnes juga terpaku sesaat, lalu matanya menyipit. Hatinya seperti tertusuk oleh kecantikan yang tidak disengaja itu. Namun ia segera menepis rasa itu dengan niat jahat yang semakin menguat.

“Bagus… semakin memikat dia terlihat, semakin mudah menjebaknya. Tunggu saja, Mia. Kau akan jadi umpan malam ini.”

Dengan senyum palsu yang terpahat rapi, Agnes berseru lantang,

“Let’s go! Saatnya kita kembali ke pesta, sayang!”

Mereka melangkah duluan, seperti dua ratu pesta yang membawa seorang pion ke tengah keramaian. Sementara itu, Mia menyusul di belakang. Ia berjalan pelan, gelisah, sambil menutupi bagian dadanya dengan kedua tangan. Setiap langkah terasa berat, seolah ribuan pasang mata siap menilai dan mencemoohnya.

Agnes menoleh ke belakang, lalu tertawa kecil.

“Ayolah, Kak Mia! Jangan seperti pengantin lari dari pelaminan,” ejeknya dengan senyum sinis.

“Kamu cantik, Kak. Lepaskan tanganmu. Tunjukkan pesonamu!” tambahnya dengan suara menggoda, meski niatnya menusuk.

Mia mengangkat wajahnya, matanya tajam menatap Agnes.

“Berhenti mengaturku. Aku tidak nyaman dengan pakaian ini, dan aku tak peduli dengan pandangan mereka!” bentaknya, suaranya rendah tapi tajam bagai belati.

Wina ikut campur, berusaha menenangkan suasana, meski nada suaranya terdengar lebih sinis daripada peduli.

“Sudahlah, Agnes. Jangan buat drama di depan toilet. Kakakmu itu… masih terlalu polos untuk dunia kita. Maklumi saja.”

Mia mengepalkan tangannya di balik gaun itu, giginya terkatup rapat. Ia menyesali keputusannya—mengapa ia begitu mudah termakan bujuk rayu mereka?

Tapi Mia belum tahu...

Langkah kakinya menuju pesta malam itu... adalah awal dari permainan kejam yang akan membuka luka lama, dan mengguncang hidupnya sekali lagi.

More Chapters