WebNovels

Chapter 3 - Chapter 3

Setelah selesai berkeliling supermarket, Ichigo dan Asuka mulai mendorong troli menuju kasir.

Asuka melirik ke arah Ichigo dengan senyum kecil yang sulit ditebak.

“Aku nggak nyangka, kau bisa pura-pura begitu lama tadi,” katanya sambil menyimpan barang belanjaan.

Ichigo cuma mengangkat bahu, santai seperti biasanya.

“Ya, itu skill bertahan hidup,” jawabnya ringan.

Mereka selesai membayar dan keluar dari supermarket.

Langit malam sudah mulai gelap, udara sejuk menyambut mereka.

Asuka berjalan di sebelah Ichigo, sesekali melirik ke arahnya.

“Tadi kau benar-benar bisa menyembunyikan wajahmu dengan topi dan kacamata itu,” katanya pelan.

Ichigo senyum tipis, “Mungkin kau terlalu perhatian.”

Asuka menatapnya dengan serius, “Atau mungkin aku cuma penasaran.”

Langkah mereka berdua mengarah ke restoran kecil yang tak jauh dari supermarket.

Tempat itu terlihat nyaman dan agak sepi.

Mereka masuk, duduk di sudut yang agak tersembunyi.

Pelayan datang dan mengambil pesanan dengan ramah.

Ichigo menyeruput air putih, sementara Asuka memandang menu dengan penuh minat.

Saat menunggu makanan datang, Asuka menatap Ichigo dengan tatapan tajam tapi lembut.

“Kau tahu, kau itu orang pertama yang bisa ku sentuh tanpa takut menyebabkan kematian,” katanya tiba-tiba.

Ichigo menatapnya santai, tak terlihat sedikit pun rasa kaget.

“Kalau kau ingin menyentuhku, lakukan saja sesukamu,” jawabnya dengan suara datar.

Asuka terkekeh kecil, “Baiklah, tapi sebelum aku menyentuhmu dengan puas, kita makan dulu.”

Aku yang traktir,” tambah Asuka sambil menyilangkan kaki.

Ichigo mengangkat alis, “Traktir? Kenapa tiba-tiba jadi baik begitu?”

Asuka menyeringai, “Mungkin karena aku nggak mau kehilangan kesempatan.”

Mereka berdua tertawa kecil, suasana mulai terasa lebih santai.

Makanan pun datang, aroma harum langsung membuat perut keduanya keroncongan.

Ichigo mengambil sepotong ayam goreng, mengunyah perlahan.

Asuka mencicipi sup hangat, lalu menatap Ichigo.

“Jadi, kau benar-benar kebal, ya? Apa ada batasnya?”

Ichigo menggeleng, “Sejauh ini, belum ketemu batasnya.”

Asuka menyandarkan kepala, “Kalau begitu, aku harus lebih sering dekat-dekat denganmu.”

Ichigo tersenyum tipis, “Kalau kau terus begini, aku bisa jadi ketagihan.”

Asuka melirik jam tangan, “Sudah cukup lama kita di sini, kau nggak keberatan aku duduk bareng terus?”

Ichigo mengangkat bahu santai, “Asal kau nggak ganggu aku tidur di kelas besok, aku oke-oke saja.”

Asuka tertawa, “Kalau begitu, aku janji nggak akan ganggu tidurmu.”

Mereka berdua menatap satu sama lain, ada kehangatan yang perlahan tumbuh.

Malam itu terasa berbeda, penuh dengan kemungkinan yang belum mereka sadari.

---

Suasana restoran masih hangat, lampu temaram dan musik pelan menambah kesan tenang.

Asuka Valkryie duduk dengan santai, punggung bersandar, satu kaki menyilang, satu tangan menopang dagu.

Ichigo, seperti biasa, makan tanpa ekspresi, sendok bergerak konsisten dari piring ke mulut.

Asuka memandangi Ichigo beberapa detik, lalu menyuapkan potongan daging ke mulutnya sendiri.

Ia mengunyah sebentar, lalu mendesah puas, “Kau makan kayak robot, tahu nggak?”

Ichigo mengangkat alis, “Yang penting kenyang, bukan gaya.”

Asuka mendengus, meletakkan sumpitnya, lalu menopang dagu dengan kedua tangan.

“Kau ini... beneran manusia, ‘kan? Masa orang bisa se-datar itu waktu makan.”

Ichigo menoleh pelan, “Aku manusia. Aku cuma hemat ekspresi.”

Asuka langsung menyambar tisu, melemparnya ke arah wajah Ichigo, “Kalau begitu biar aku yang jadi ekspresi-mu!”

Tisu itu melambung dan jatuh ke meja sebelum menyentuh Ichigo sama sekali.

Ichigo tetap tenang, hanya menggeser gelasnya sedikit, seolah tidak terjadi apa-apa.

Asuka mendecak, “Kau ngeselin sekali, sumpah.”

“Aku tidak pernah berusaha menyenangkan siapa pun,” balas Ichigo sambil mengambil sepotong ayam.

Asuka menatapnya tajam, lalu menjulurkan lidah, “Yah, sayangnya aku malah makin pengin ganggu kau.”

Asuka menyodorkan piringnya, “Coba cicipi ini. Enak banget, sumpah.”

Ichigo menatap piring itu sejenak, lalu pelan-pelan mengambil sepotong daging dengan sumpitnya sendiri.

Ia mengunyah dengan pelan. “Rasa... biasa saja.”

Asuka mendelik, “Biasa saja? Itu daging premium harga dua kali lipat, tahu!”

Ichigo hanya mengangkat bahu pelan, “Lidahku hemat reaksi juga.”

Tiba-tiba, Asuka menyuapkan langsung ke mulut Ichigo.

“Tutup mulutmu, buka, ayo! Cicipi versi suapan langsung.”

Ichigo menahan tangan Asuka dengan dua jari, menatapnya datar.

“Apa kau sedang melatih anjing atau sedang menguji manusia?”

Asuka tersenyum nakal, “Terserah. Asal kau terbiasa denganku.”

Ichigo melepas jari-jari Asuka pelan, lalu membuka mulut tanpa suara.

Asuka tercengang, “Eh? Serius? Kok malah nurut sekarang?”

Ichigo mengunyah pelan, lalu melirik ke arah jendela, “Aku malas memperdebatkan hal sepele.”

Asuka menggembungkan pipi kesal, “Dasar... dingin banget. Tapi... lucu juga.”

Ichigo mengalihkan pandangan, “Kau sering bicara seperti itu ke semua orang?”

Asuka tertawa kecil, “Enggak. Hanya ke orang yang bisa kusentuh tanpa mati.”

Tangan Asuka perlahan menyentuh lengan Ichigo.

Seketika matanya memperhatikan baik-baik... tapi seperti sebelumnya, tidak ada reaksi fatal apapun.

Asuka bergumam, “Aneh... jantungku berdetak kencang, tapi kau tetap tenang begini.”

Ichigo melirik ke tangannya, lalu ke wajah Asuka.

“Kau masih ingin menyentuhku lagi?”

Asuka tersenyum, “Tentu saja. Tapi aku ingin pelan-pelan.”

“Kenapa?” tanya Ichigo singkat.

“Asal kau tahu,” Asuka menghela napas pelan, “Jangan biarkan aku terbiasa denganmu.”

Ichigo mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatap mata ungu pucat itu.

“Kalau kau terbiasa, lalu apa yang akan terjadi?”

Asuka tidak menjawab. Ia hanya menunduk sambil memainkan sumpitnya.

Ada jeda sunyi, tapi bukan sunyi yang canggung. Lebih seperti... menunggu sesuatu yang tak terlihat.

Ichigo kembali duduk normal, lalu menyuapkan suapan terakhir makanannya.

“Asal kau tahu juga,” ucap Ichigo datar, “Aku tidak keberatan kau terbiasa denganku.”

Asuka terdiam. Matanya sedikit melebar, lalu pelan-pelan menunduk dan tersenyum lebar.

“Kau... berbahaya, Ichigo.”

Ichigo berdiri dari tempat duduknya, mengambil dompet dari saku jaketnya.

“Tagihanku berapa?” tanyanya santai.

Asuka ikut berdiri sambil mengibas rambutnya, “Hei, tadi kubilang aku yang traktir!”

Ichigo menatapnya sejenak, lalu kembali duduk, “Kalau begitu... aku tambah dessert.”

Asuka langsung tertawa, menepuk meja dua kali, “Nah! Baru kali ini aku lihat ekspresi kau berubah!”

Ichigo hanya menyesap air putih tanpa membalas.

Tapi sudut bibirnya... sedikit sekali terangkat.

---

Lampu restoran perlahan meredup, tanda jam operasional hampir habis.

Asuka menyendok es krim terakhirnya, menjilat sisa krim di bibirnya sambil melirik ke arah Ichigo.

Ichigo sudah berdiri sambil merapikan jaketnya, menatap langit malam di luar jendela.

Angin dingin berembus saat pintu restoran terbuka, lonceng kecil berdenting lembut.

Mereka melangkah keluar bersama, menyisakan jejak sepatu di trotoar yang mulai berembun.

Asuka memasukkan kedua tangannya ke saku hoodie-nya, langkahnya santai di samping Ichigo.

Sesekali ia menengok, memastikan jarak mereka tetap sejajar, tidak lebih dekat, tidak lebih jauh.

Ichigo melangkah tanpa suara, tangannya tetap di saku celana, mata mengarah ke depan.

Suara langkah kaki mereka bergema kecil di sepanjang jalan sepi.

Lampu-lampu jalan memantulkan siluet mereka berdua di aspal basah.

“Hari ini... menyenangkan juga,” ucap Asuka membuka obrolan, suaranya sedikit lirih.

“Jarang kau bilang menyenangkan. Biasanya kau cerewet dulu baru puji.”

Asuka mencibir, “Terserah. Tapi kali ini aku tulus. Puas?”

Ichigo mengangguk pelan, “Sedikit.”

Asuka mendengus pelan lalu menatapnya dengan ekor mata.

Setelah beberapa tikungan, Ichigo tiba-tiba berhenti di bawah lampu jalan.

Asuka ikut berhenti, menoleh dengan bingung.

Ichigo menatap wajahnya lalu berkata, “Bukannya ini kebalik? Seharusnya aku yang mengantarkanmu pulang.”

Asuka tertawa kecil, bahunya naik turun pelan.

“Kenapa? Karena kau pria? Atau karena merasa bertanggung jawab?”

Ichigo hanya menatap tanpa ekspresi.

Asuka tersenyum, lalu menjulurkan lidahnya sedikit.

“Aku ingin menjaga orang yang telah membuat hidupku... sedikit ramai.”

Ia lalu mengangkat kedua tangannya ke depan dada, mengayunkan sedikit seperti mengancam main-main.

“Kalau ada yang macam-macam, akan ku sentuh dan ku pastikan mereka mati. Aku ‘kan Touch of Death~”

Ichigo menghela napas panjang, lalu melangkah mendekat.

Tanpa peringatan, ia mengangkat tangannya, lalu meremas kedua pipi Asuka dari samping.

“Asal kau tahu, aku punya ‘Immune to Anything’. Bahkan sentuhanmu nggak ngaruh.”

Ia memelototi wajah Asuka dari jarak dekat, “Aku bisa hidup santai, walau di bacok, diracun, ditusuk, atau pun—”

Asuka mengeluarkan suara muffled dari balik cubitan itu, “—mmpphh! Hahahh! Hadehhh! Sakit tau!”

Ichigo melepas cubitannya perlahan, pipi Asuka jadi sedikit memerah.

“Kalau sakit, artinya kau masih hidup.”

Asuka mengucek pipinya, wajahnya sedikit manyun.

“Tapi... kau menyiksa aku dengan cara manusiawi. Itu jahat!”

Ichigo menoleh datar, “Kau biasa bikin orang mati. Setimpal, bukan?”

Asuka diam sebentar, lalu mendongak ke langit malam.

“Bintang-bintang sepertinya nya takut dengan ku... tidak ada satu pun yang berani muncul.”

Ichigo ikut mendongak, lalu berujar, “Atau mereka tahu kau sedang bahagia. Jadi mereka istirahat dulu.”

Asuka menoleh cepat, menatap Ichigo tanpa berkedip.

“Kau barusan bilang... aku bahagia?”

Ichigo mengangguk, “Ya. Setidaknya malam ini.”

Asuka tersenyum lebar, pipinya masih merah sedikit karena cubitan tadi.

Dengan pipi masih terasa hangat, dia menjawab sambil mengibaskan lengan bajunya.

“Bodo amat... yang penting aku bisa pulang bareng. Wleeeee”

Ia menjulurkan lidah lagi, lebih panjang, lalu tertawa geli sendiri.

Ichigo hanya menatap, lalu mengusap kepala Asuka pelan sekali, hampir seperti tak berniat melakukannya.

Asuka membeku. Tapi... tak terjadi apa-apa. Seperti sebelumnya, tak ada kematian, tak ada ledakan.

“Eh... kau barusan... usap kepala ku?” tanyanya dengan suara mengecil.

Ichigo mengangguk. “Kau bilang ingin terbiasa denganku.”

Asuka menggigit bibirnya pelan, wajahnya memerah tipis.

“Kalau aku makin terbiasa, jangan salahkan aku kalau nanti... aku jadi suka ya.”

Ichigo diam. Lalu, menoleh dengan tenang, “Siapa bilang aku akan menolaknya?”

Jantung Asuka berdetak makin cepat. Tangan kirinya mengepal tanpa sadar.

Tapi sebelum ia bisa bicara lagi, petir kecil menyambar di kejauhan.

Langit malam mulai mendung, tanda hujan sebentar lagi turun.

Ichigo melihat ke langit, lalu berkata, “Cepat. Kau mau lari atau kugendong?”

Asuka menatap dengan mata melebar, “Eh?! Gendong?! Huh? Serius nih?!”

Tanpa menunggu jawaban, Ichigo membungkuk sedikit dan berujar singkat, “Naik.”

Asuka panik, “W-wait! Aku bisa jalan! Aku bisa! Jangan—”

Terlambat. Ichigo sudah menarik tangan Asuka, lalu menggendongnya di punggung tanpa kesulitan.

“Asal kau tahu, ini bukan romantis. Ini efisiensi sebelum hujan.”

Asuka terkekeh kecil sambil menggigit kukunya sendiri karena malu, “Bodo amat... asal bareng kau.”

---

Langkah kaki Ichigo terdengar mantap di atas trotoar basah.

Asuka masih digendong di punggungnya, kedua tangannya menggantung lemas di depan dada Ichigo.

Kepalanya bersandar pelan di bahu Ichigo, rambut ungu pucatnya ikut bergoyang tiap langkah.

Suasana malam dipenuhi suara jangkrik, diselingi angin yang makin dingin menggigit kulit.

Lampu-lampu jalanan mulai temaram, hujan gerimis jatuh perlahan membasahi jaket mereka.

“Aku bisa jalan sendiri, tahu,” gumam Asuka pelan, pipinya masih menempel di bahu Ichigo.

Ichigo tidak menoleh, tapi nadanya terdengar tenang, “Kau sudah terlalu manja di pundakku. Turun pun malas.”

Asuka menggigit bibirnya, lalu mencubit pelan sisi perut Ichigo, “Aku tidak manja. Aku hanya hemat tenaga.”

“Cih, alasan klasik,” balas Ichigo sambil menghindar sedikit dari cubitan itu.

Langit bergemuruh pelan, menyusul percikan air yang mulai merata di permukaan jalan.

Mereka berhenti tepat di depan pagar rumah Ichigo.

Asuka perlahan menurunkan kakinya ke tanah, berdiri sambil menarik napas dalam.

Ichigo membuka gerbang besi, lalu mempersilakan masuk dengan anggukan kepala.

Asuka tidak langsung masuk, malah menatap ke langit sambil menekuk bibirnya ke bawah.

Tetesan hujan mulai deras, tapi masih sebatas gerimis yang menggoda turun lebih deras.

“Terima kasih... sudah membiarkan aku ikut sepanjang jalan,” ucap Asuka pelan.

Ichigo berdiri di ambang pintu, lalu menoleh, “Sebentar lagi hujan akan makin deras.”

Ia memasukkan tangan ke saku dalam jaketnya, lalu mengeluarkan sesuatu.

“Kau punya tiga opsi, nona rambut ungu pucat bermata serasi,” lanjutnya sambil menunjukkan jarinya.

“Satu, kupinjamkan payung. Dua, jas hujan. Tiga... kau boleh menginap di rumahku.”

Asuka melipat tangan di depan dada, tatapannya langsung menusuk.

“Opsi ketiga agak mencurigakan. Kau pasti punya rencana, ya?”

Ichigo mengangkat bahu pelan, “Kalau aku punya rencana, kau bisa menyentuhku dan selesai sudah mungkin?”

Asuka menyipitkan mata, “Jangan menantang kemampuan ‘Touch of Death’-ku begitu santai.”

Ichigo nyengir tipis, “Tapi aku kan ‘Immune to Anything’. Aman, bukan?”

Asuka menghela napas keras, lalu menengadah ke langit.

Hujan mulai menetes lebih cepat, angin bertiup ke arah wajahnya.

Ia menutup mata sebentar, lalu membuka kembali dan menatap Ichigo tajam.

“Aku pilih opsi... ketiga.”

Ichigo mengangkat alis, “Yakin? Kau tidak sedang menggodaku, kan?”

Asuka maju satu langkah, lalu menusuk dada Ichigo dengan telunjuknya.

“Kalau aku goda, kau pasti sudah mati. Tapi nyatanya... kau masih hidup.”

Ichigo menatap jari Asuka yang menyentuh dadanya, lalu menunduk memandangi tangannya sendiri.

“Aku tetap merasa geli tiap kau menyentuhku. Bukan takut... tapi geli.”

Asuka tertawa kecil, “Berarti kau punya satu kelemahan: geli. Akan kuingat.”

Ichigo membuka pintu rumah, suara engselnya berderit pelan.

Asuka ikut masuk setelah melepaskan sepatunya, lalu berdiri di depan pintu masuk.

Matanya menyisir seisi rumah—rapi, bersih, hangat, dan... terlalu sepi.

“Kau tinggal sendirian?” tanyanya sambil menoleh.

Ichigo berjalan ke dapur, “Ya. Sejak umur enam belas.”

Asuka melangkah pelan ke ruang tamu, menyentuh rak buku dengan jari-jarinya.

“Sepi sekali. Tidak ada suara... tidak ada energi negatif juga.”

Ichigo kembali membawa dua gelas minuman hangat, menyodorkan satu padanya.

“Aku sengaja. Aku tak suka suara-suara yang tak perlu.”

Asuka menerima gelas itu, duduk perlahan di sofa.

“Tapi sekarang ada aku. Berisik sedikit tak apa, bukan?”

Ichigo duduk di kursi seberang, menatapnya tanpa berkata apa-apa.

Suara hujan di luar mulai terdengar jelas, menepuk atap dan jendela.

Asuka meniup minumannya, lalu menyeruput pelan.

Tangan kirinya menyentuh bantalan sofa... lalu terpaku sebentar.

Ia menoleh pelan ke arah Ichigo.

“Aku tadi sentuh kursi ini... kursi ini punya bekas energi... kematian?”

Ichigo menaruh gelasnya, wajahnya mendadak tenang.

“Ya. Di tempat itu dulu... ayahku pernah duduk.”

Asuka memicingkan mata, “Dan sekarang dia...?”

“Tak usah dijawab. Aku tahu jawabannya dari aura yang tertinggal,” ucap Asuka menatap lantai.

Hening mendadak menyelimuti ruang itu, hanya suara hujan yang terus mengiringi.

Beberapa menit berlalu.

Ichigo berdiri lalu berkata, “Kamar tamu di lantai atas. Tapi kalau kau mau, bisa juga tidur di sofa ini.”

Asuka bangkit dari duduknya, lalu berbalik.

“Kamar tamu saja. Kau pikir aku gampangan?”

Ichigo mengangkat tangan, “Hanya memberi opsi.”

Asuka menoleh ke arah tangga, lalu mulai menaiki satu demi satu anak tangga.

“Kalau malam ini kau iseng masuk kamarku, aku sentuh, kau mati.”

Ichigo menjawab datar dari bawah, “Kalau aku iseng, aku yang tidur di luar rumah.”

Asuka tertawa lebar tanpa menoleh.

“Hati-hati... bisa jadi kau nyaman tidur di luar dan tak mau masuk lagi.”

Hujan semakin deras.

Dan dalam kesunyian malam itu, dua entitas yang tak bisa menyentuh takdir satu sama lain...

...berada di bawah satu atap, berbagi kehangatan dalam dingin yang seharusnya tak pernah bisa menyatu.

More Chapters