WebNovels

Chapter 7 - Chapter 7

Pintu rumah Ichigo terbuka perlahan, deritnya mengisi keheningan malam.

Langkah kaki mereka terdengar pelan di lantai kayu, seiring suara lemari es terbuka.

Ichigo mengambil es krim soda dari tangan Asuka dan menaruhnya di rak paling atas.

“Tuh, aman. Es krimmu nggak bakal hilang.”

Dia menutup pintu kulkas, lalu menoleh.

Asuka berdiri di tengah ruangan dengan ekspresi datar seperti biasa.

Pandangan matanya menjelajah seisi ruang tamu yang sudah dikenalnya.

“Masih sama. Nggak berubah.”

“Kau pikir aku bakal renovasi cuma karena kau pernah menginap sekali?”

Ichigo berjalan ke arah sofa dan menjatuhkan diri ke atasnya.

Asuka ikut duduk di ujung sofa, menyilangkan kaki.

“Kau memang nggak berubah, Ichigo.”

Ia menatap pemuda itu dengan tatapan dingin, tapi terasa familiar.

“Masih ceroboh, berisik, dan terlalu peduli.”

Ichigo hanya tertawa kecil, mengangkat bahu santai.

“Kalau aku nggak peduli, tadi aku tinggal kau di kombini.”

Dia menoleh dengan senyum miring. “Dan kau pasti mati kena senapan kejut.”

Asuka memutar bola matanya. “Aku bisa menghindar.”

“Tapi kau tetap sendirian,” Ichigo menyela cepat.

“Dan aku benci membiarkanmu sendirian.”

Asuka terdiam.

Suasana mendadak sunyi.

Hanya suara detik jam dinding yang terdengar.

Lalu pelan-pelan, dia menyandarkan punggungnya ke sofa.

Matanya menatap langit-langit.

“Aku tidur di mana?” tanyanya datar.

Ichigo menunjuk ke arah kamar yang sama dengan waktu dulu saat hujan turun.

“Seperti waktu itu, kamarku. Aku tidur di sofa, tenang saja.”

“Masih sok gentleman seperti biasa,” Asuka menggumam.

Ichigo menyeringai. “Sok apanya, aku memang gentleman.”

Asuka berdiri pelan, berjalan ke arah kamar.

Langkah kakinya tenang, tapi terasa berat seperti ada beban di dadanya.

Di depan pintu kamar, ia berhenti, menoleh setengah.

“Kalau ada yang masuk tengah malam, bangunkan aku.”

Ichigo mengangguk, wajahnya jadi serius. “Aku nggak akan tidur.”

Pintu kamar tertutup.

Ichigo menghela napas dan duduk diam.

Tangannya mengusap wajah lelahnya.

“Terlalu cepat semuanya berubah,” gumamnya pelan.

Matanya menatap pintu kamar dengan khawatir.

Satu jam berlalu.

Lampu ruangan dimatikan, hanya cahaya remang dari luar jendela yang masuk.

Ichigo duduk bersandar di sofa, satu tangan memegang pisau kecil.

Telinganya siaga. Setiap bunyi aneh langsung membuatnya menoleh.

Detik demi detik terasa menyesakkan.

Tiba-tiba—KRAK!

Suara dari dapur.

Ichigo langsung berdiri.

Langkahnya cepat tapi senyap, matanya menyipit.

Tangan kanannya memegang erat pisau baja.

Saat dia sampai di dapur, tak ada siapa-siapa.

Kulkas masih tertutup, lampu menyala normal.

Tapi... jendela kecil di atas wastafel terbuka sedikit.

“Astaga...”

Ichigo mendekat, menutup jendela dengan hati-hati.

Tapi saat berbalik—

SESUATU MENYERANG DARI ATAS!

Sosok berpakaian gelap meloncat turun dari langit-langit!

Ichigo reflek menangkis dengan pisau, suara logam beradu keras.

“ASUKA!! BANGUN!!”

Suara Ichigo menggema, penuh tekanan.

Asuka membuka mata, segera duduk.

Matanya langsung memerah, tanda kekuatannya aktif.

Langkah cepat terdengar dari luar kamar.

Pintu ditendang terbuka—Ichigo terpental masuk, terbanting ke lantai.

“Asuka... mereka masuk...!”

Satu pemburu berseragam hitam menyusul masuk.

Tangannya membawa tongkat listrik dengan ujung logam.

Asuka berdiri dari tempat tidur, rambut ungunya berantakan.

Mata ungunya menatap lurus—tanpa ampun.

“Sentuh aku... dan kau mati.”

Pemburu itu ragu sejenak.

Tapi dari belakangnya, dua orang lagi muncul membawa senjata kejut jarak jauh.

Ichigo bangkit dan berdiri di depan Asuka.

“Tetap di belakangku.”

Dia menarik napas dalam. “Aku tamengmu.”

“Dan aku adalah eksekusinya.”

Asuka menyentuh lengan Ichigo, kekuatannya mengalir pelan.

Tak menyakiti Ichigo—karena dia immune. Tapi siap meluncur ke siapa pun yang disentuhnya.

“Siap, Ichigo?”

“Selalu siap.”

---

Pemburu hitam itu melesat maju dengan tongkat listrik di tangan.

Ichigo langsung maju ke depan, kedua tangannya siap menangkis.

“Tahan, jangan biarkan mereka dekat!” serunya tajam.

Tubuhnya menghadap depan, menutup Asuka yang baru saja bersiap.

Asuka berdiri di belakangnya, matanya menyala ungu pucat.

Sentuhan pertama datang—tongkat listrik menghantam tangan Ichigo.

Kilatan listrik berhamburan, tapi dia tetap tegak.

“Kau pikir ini bisa melumpuhkanku?” suara Ichigo tegas.

Pemburu itu mengerutkan dahi, mencoba menyerang lagi.

Ichigo menangkis sambil melangkah maju, menekan lawan.

Di belakang, Asuka perlahan melangkah maju.

Tangan kanannya meraih lengan pemburu yang sedang menyerang.

Sentuhan ringan—sekejap, pemburu itu terhuyung mundur, wajahnya berubah pucat.

“Satu sentuhan cukup,” bisik Asuka dingin.

Pemburu itu terjatuh, tubuhnya langsung kaku.

Sebelum pemburu lain sempat bereaksi, Ichigo sudah menangkis serangan kedua.

Tangan kiri menepis senjata kejut yang dilempar, tangan kanan meninju lawan.

Dentuman keras bergema di ruang sempit itu.

“Kau tak akan lewat!” teriak Ichigo, menghalangi jalur mereka.

Asuka melangkah cepat, tubuhnya membungkuk siap menyentuh.

Seorang pemburu ketiga meluncur dengan pisau tajam di tangan.

Ichigo memutar badan, menahan serangan pisau dengan lengan kiri.

“Dasar keras kepala,” katanya sambil mengangkat tangan kanan.

Asuka menangkap kesempatan, menyentuh punggung pemburu itu dengan jari telunjuk.

Seketika, pemburu itu kaku, lalu terjatuh seperti boneka kayu.

Ichigo menarik napas, menatap lawan terakhir yang mulai mundur.

“Ini sudah cukup buat kalian?” suaranya dingin.

Asuka ikut maju, tatapannya menusuk seperti pisau.

“Kau pikir kami akan membiarkanmu pergi begitu saja?” ujar pemburu itu.

Ichigo mengangkat bahu santai, “Mau coba lagi?”

Pemburu itu ragu, melihat tubuh rekan-rekannya yang terkapar.

Tapi naluri bertarungnya memaksa maju.

Ia mengayunkan tongkat listriknya, tapi kali ini Ichigo sudah siap.

Menangkap senjata itu dengan satu tangan, memutarnya lalu melempar ke sudut ruangan.

Asuka bergerak cepat, tangannya menyentuh lengan pemburu dengan gerakan kilat.

Pemburu itu langsung lumpuh, jatuh menimbulkan suara keras di lantai.

Asuka menarik napas panjang, menatap Ichigo dengan mata yang masih menyala ungu.

“Kau benar... kita kombinasi yang mematikan.”

Ichigo tersenyum tipis, “Aku tamengmu, kau kematian yang berjalan.”

Mereka berdiri bersebelahan, siap hadapi apa pun yang datang.

Suasana perlahan kembali tenang, hanya suara napas berat mengisi ruangan.

Ichigo mengangkat tangan ke arah Asuka, “Kau baik-baik saja?”

Asuka mengangguk pelan, rambut ungunya berantakan namun matanya penuh semangat.

“Kau tahu aku nggak bisa mati, kan? Jadi... kau jangan mati dulu ya.”

Ichigo tertawa pelan, “Janji.”

More Chapters