WebNovels

Chapter 14 - Bab 14 – Putri Naga Tanpa Takhta

Gohan menatap langit kelabu yang mulai menghitam. Angin dingin menggigit kulitnya, membawa aroma logam dan tanah basah. Suara riuh penonton di arena turnamen masih bergema di telinganya, tapi hatinya sudah tertambat pada satu sosok yang kini menjauh dari kerumunan: Qin Rouye, sang Pewaris Sekte Naga Surga yang baru saja dicopot gelarnya.

“Rouye...” bisik Gohan, langkahnya terseret ragu.

Rouye berdiri di pinggir tebing, wajahnya dingin, mata penuh api yang tersembunyi di balik rambut hitam legam. Tubuhnya menyelimuti jubah hitam berhiaskan motif naga merah membara, tapi aura kekuatan yang dulu bersinar seperti bintang di langit, kini teredam sepi.

“Pengkhianat,” kata suara berat dari kejauhan. Suara Patriark Qin, menggema penuh amarah dan penghinaan. “Kau sudah bukan bagian dari kami, dan siapa pun yang menolongmu akan kubantai tanpa ampun!”

Gohan merasakan darahnya mendidih. Kenapa semuanya menjadi begitu rumit? Seolah-olah setiap langkah yang diambil justru menariknya lebih dalam ke pusaran badai pengkhianatan dan intrik.

“Rouye, tunggu!” Suaranya pecah, tapi gadis itu sudah mengayunkan langkahnya turun dari tebing, memasuki hutan rimbun yang menyembunyikan rahasia dunia ini.

Saat itu, di aula besar Sekte Naga Surga, saat pengumuman pencopotan Rouye, seluruh anggota bersorak—bukan sorakan dukungan, tapi hinaan dan kecaman.

“Bagaimana mungkin pewaris terkuat kita melakukan pengkhianatan?” tanya seorang murid muda dengan mata berkilat marah.

“Dia mencuri fragmen pedang leluhur. Itu pengkhianatan berat!” bentak senior lain.

Gohan ingat tatapan Rouye waktu itu—campuran kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan yang begitu dalam. Tapi juga ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang tak bisa dipahami dengan mudah.

Pedang leluhur itu bukan sembarang senjata. Potongan-potongan itu mengandung kekuatan suci, warisan darah naga yang selama ribuan tahun dijaga dengan nyawa. Dan Rouye... dia mengambilnya.

“Kenapa?” pikir Gohan berulang-ulang, suara hatinya menggema.

Di sinilah kisah mulai berbelok tajam—bukan hanya soal pengkhianatan atau gelar yang dicabut. Tapi ada rahasia besar yang tersembunyi di balik tindakan Rouye. Rahasia yang akan mengubah arah takdir mereka semua...

Gohan mengejar dengan napas memburu, meraba-raba di kegelapan hutan yang rapat. Suara ranting patah di bawah kakinya mengiringi langkahnya yang penuh tekad. Ia tak boleh membiarkan Rouye sendirian menghadapi amukan Patriark dan pasukannya.

“Rouye!” teriaknya, berharap terdengar di antara gemuruh petir yang mulai mengoyak langit.

Gadis itu berhenti, menatapnya dengan mata yang menyimpan beban berat.

“Kau tidak mengerti, Gohan. Jika aku tidak melakukan ini, semua yang kita tahu akan hancur... dan bukan hanya aku yang akan jatuh, tapi seluruh dunia kultivasi.”

Gohan mengerutkan dahi.

“Fragmen pedang itu bukan hanya senjata, bukan hanya kekuatan. Itu kunci untuk membuka Langit Ketujuh. Tempat di mana para dewa dulu berdiam, dan di mana rahasia sebenarnya terpendam. Patriark Qin tidak ingin dunia tahu itu,” kata Rouye dengan suara berbisik, seperti takut didengar angin.

Gohan terdiam. Satu kata berputar dalam pikirannya: Pengkhianat? Atau pahlawan yang disalahpahami?

Saat mereka berdua menembus kabut tebal, suara langkah pasukan mengekor di belakang mereka. Mata-mata Patriark Qin tak pernah tidur, dan ancaman semakin nyata.

Gohan menatap Rouye, ingin menawarkan bantuan, tapi di dalam hatinya ada keraguan yang merayap perlahan.

“Bagaimana aku bisa percaya seseorang yang mencuri pedang leluhur? Bagaimana aku bisa tahu bahwa ini bukan jebakan?”

Rouye tersenyum pahit. “Kau tidak harus percaya padaku. Tapi kau harus percaya pada nasibmu sendiri, Gohan. Nasib yang telah lama kau hindari.”

Suasana berubah mencekam ketika mereka sampai pada reruntuhan tua, tempat di mana Gohan merasa ada sesuatu yang familiar. Di tengah reruntuhan itu, sebuah cahaya merah muda berpendar samar, memperlihatkan fragmen pedang yang tersembunyi di balik tanah.

Rouye meraih fragmen itu dengan tangan gemetar, menyentuhnya seolah menghubungkan dirinya dengan kekuatan purba yang mengalir dari dalamnya.

“Terlalu lama aku terbelenggu oleh takhta dan tradisi. Kini, aku ingin memilih jalan sendiri. Dan aku tidak akan membiarkan siapapun, bahkan Patriark Qin, menentukan siapa aku.”

Gohan mengangguk, rasa hormat tumbuh di dadanya.

Namun, jauh di dalam benaknya, suara lain berbisik. Suara yang tidak bisa diabaikan.

“Hati-hati, Gohan. Jalan ini berbahaya. Di balik pengkhianatan ada kutukan yang menanti.”

Ketika mereka hendak meninggalkan reruntuhan, bayangan hitam tiba-tiba menyergap dari balik pepohonan. Patriark Qin dan pasukannya datang dengan tatapan penuh kebencian.

“Kalian telah melewati batas!” bentak Patriark, menggenggam pedang bercahaya dingin. “Fragmen itu milik kami! Siapa pun yang membantu Rouye, akan kami hancurkan!”

Gohan mengangkat pedangnya, tatapan membara. Namun, di belakangnya, langit mulai terbelah—kilat merah membelah awan, mengeluarkan gema menggetarkan seluruh daratan. Sebuah kekuatan yang tak terduga muncul, seperti dewa yang bangkit dari tidurnya.

Rouye menatap ke langit, napasnya terengah.

“Apa... apa ini?” tanyanya serak.

Gohan tahu—ini baru permulaan.

Ketika putri naga tanpa takhta mencuri fragmen pedang leluhur, dunia yang mereka tahu mulai runtuh. Pengkhianatan dan kesetiaan bertarung dalam bayang-bayang rahasia kuno, dan takdir Gohan semakin membelit dirinya dalam pusaran kekuatan yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.

More Chapters