WebNovels

Chapter 2 - Bab 2 – Bisikan Pedang Penentu Takdir

Petir membelah langit gelap, dan pedang emas yang tertancap itu tiba-tiba mengeluarkan bisikan yang menusuk jiwa. Gohan Lee bukan lagi bocah biasa—namun, apakah dia siap menanggung beban darah dewa yang mengalir dalam nadinya? Ketika pedang berubah menjadi hitam pekat dan menyebut "Pewaris Ketujuh," segalanya berubah menjadi perang purba yang mengancam seluruh dunia!

Guruh menggelegar—seperti dentuman langit yang marah—mengiringi jatuhnya hujan deras. Gohan tergeletak di bawah rintik-rintik dingin yang seolah ingin membasuh seluruh jiwa dan raganya yang mulai terbelah. Namun, lebih dari rasa dingin itu, ada getaran aneh yang merayap ke dalam darahnya; nyaris seperti sesuatu yang sedang bangkit dari tidur panjang di balik urat nadinya.

"Ahh… apa ini?" Ia menggeliat, tangan gemetar memegang pedang emas yang masih tertancap kokoh di tanah — entah mengapa, pedang itu berdenyut seperti memiliki nyawa sendiri.

Seketika, bayangan suram menari-nari di depan matanya. Kilasan perang purba—pasukan iblis berdarah hitam, langit yang terbakar merah dan amarah yang tak pernah padam. Di tengah kekacauan itu, sosok yang sangat mirip dengan dirinya berdiri gagah, mata membara penuh kemarahan, memimpin gelombang kehancuran. Tapi... itu bukan dia, bukan Gohan yang selama ini dia kenal.

"Ini... siapa?" bisiknya hampir tanpa suara. Tapi pedang itu bergetar.

"Pewaris Ketujuh..." suara berbisik bergema, lembut namun penuh ancaman, seperti asap beracun yang merayap masuk ke dalam relung hati. "Takdirmu bukan sekadar menjadi pewaris... tapi pembawa akhir dan awal."

Gohan tertegun. Dadanya sesak, seolah ada sesuatu yang mencoba memaksa keluar. Sakit yang tajam, menusuk ke tulang sumsum. Pedang di tangannya berubah warna—dari emas berkilau menjadi hitam legam seperti bayangan malam tanpa bintang.

"Tidak, ini tidak mungkin..." Ia menggenggam lebih erat. Tapi tubuhnya mulai goyah, pandangannya buram. Ia jatuh tersungkur di tanah basah.

Dalam kepalanya, suara-suara bertabrakan. Rintik hujan berubah menjadi lagu dendam yang menggelorakan darah dan kegelapan.

"Gohan... bangkitlah..." suara itu berbisik lagi. Kali ini bukan dari pedang, tapi dari dalam dirinya sendiri.

sepotong demi sepotong, seperti potongan puzzle yang salah tempat.

Ia melihat sebuah benteng yang runtuh, asap hitam mengepul ke langit yang membara, dan ratusan pasukan iblis berteriak, melintasi medan perang yang dipenuhi mayat.

Di tengah keriuhan, seorang pria mengenakan baju zirah bercahaya berdiri, pedang emas di tangan, menatap lurus ke arah musuh dengan mata berkilau dingin. Wajahnya—tercermin jelas di benaknya—adalah bayangan dirinya, tapi lebih tua, lebih kuat, dan lebih mengerikan.

"Aku adalah keturunan dewa pelindung... tapi juga penghancur dunia," suara itu menggema di pikirannya, menimbulkan rasa bersalah dan beban yang sangat berat.

sosok yang sama, berdiri di tepi jurang, dikelilingi oleh api yang membara, mengucapkan sumpah yang menggetarkan jiwa.

"Segel iblis yang membelenggumu, Gohan, adalah penjara sekaligus kunci. Kau harus memilih: apakah kau akan memecahkannya dan membebaskan kekuatan itu... atau mengorbankannya untuk menyelamatkan dunia."

Gohan membuka mata perlahan. Langit yang gelap masih menatapnya dingin, tapi kini ada sesuatu yang berbeda. Hujan yang tadi deras, mendadak mereda, menyisakan udara yang pengap dan penuh misteri.

Pedang hitam itu... entah bagaimana, seolah hidup. Sekarang ia berdiri, namun berat dan gelap seperti kutukan yang mengikat jiwa.

"Ini... apakah ini petunjuk, atau kutukan?" bisik Gohan dengan napas tersengal.

Tiba-tiba, rasa panas membakar di pergelangan tangannya. Dari pedang itu menyebar api berwarna emas—bukan api biasa, tapi api yang berdenyut, mengisi dirinya dengan energi yang asing sekaligus menakutkan.

Sakit. Namun ada kekuatan yang tumbuh, membangkitkan keberanian sekaligus ketakutan.

"Aku bukan lagi bocah desa," pikirnya, "tapi... aku juga tidak tahu siapa aku sebenarnya."

Langit malam yang tadinya suram, tiba-tiba membelah. Sebuah petir merah menyambar, membelah awan dengan suara memekakkan telinga. Cahaya itu menerangi pedang hitam di tangan Gohan, menciptakan bayangan naga hijau yang berputar-putar dan mengelilinginya.

"Naga?" pikirnya dengan kaget. Sosok naga itu bukanlah naga biasa—matanya menyala merah menyala, dan sisiknya berkilauan dengan aura yang memancar dari darah dewa yang mengalir dalam dirinya.

Gohan menggigil, bukan hanya karena dingin hujan yang menyisakan udara basah, tapi karena rasa takjub dan ketakutan bercampur. Naga hijau itu seakan ingin berbicara, atau mungkin menuntut sesuatu yang sangat penting dari dirinya.

"Tunggu... apakah ini mimpi?"

Namun, naga itu tidak hilang. Ia berputar semakin cepat, dan suaranya bergema, seperti bisikan mantra kuno yang hanya bisa didengar oleh jiwa yang terpilih.

"Pecahkan segel itu... sebelum fajar. Waktu semakin sempit, dan musuh semakin dekat..."

Gohan merasa tubuhnya mulai melemah. Api emas di pergelangan tangannya berubah menjadi bara yang membakar seluruh sarafnya. Ia merasakan sesuatu yang asing dan gelap mulai mengalir bersamaan dengan darahnya.

Ia berusaha berdiri, tapi dunia berputar liar. Suara hujan berubah menjadi gemuruh yang membahana, suara petir terdengar semakin dekat.

Dan kemudian... semuanya menjadi gelap.

Ketika sadar, Gohan berada di tempat yang asing. Sebuah gua kecil, dikelilingi oleh batu-batu berkilau yang memancarkan cahaya redup biru. Udara hangat dan harum terpancar dari sudut gua itu, berbeda dengan dingin dan lembabnya hujan di luar sana.

Di depan matanya, pedang emas yang berubah hitam tergeletak, tapi kini kembali berkilau dengan cahaya lembut, seolah menunggu jawabannya.

Tiba-tiba, suara berbisik lagi, lebih jelas kali ini.

"Kau Pewaris Ketujuh. Tapi yang sebenarnya kau warisi bukan hanya darah dewa... tapi segel yang harus kau pecahkan atau kau akan hancur bersama dunia."

Gohan menggigil. "Bagaimana aku bisa memecahkan sesuatu yang bahkan aku tak mengerti?"

Hatinya bergolak, penuh pertanyaan dan ketakutan.

Di kejauhan, bayangan hitam bergerak cepat—ada sesuatu yang datang, sesuatu yang tak pernah ia lihat sebelumnya, namun sudah lama mengincarnya.

Tiba-tiba, pedang berubah warna sekali lagi. Dari hitam legam menjadi api merah menyala, dan kemudian muncul tanda aneh di permukaannya—segel kuno dengan simbol naga hijau dan api emas berputar di sekelilingnya.

Api itu membakar nadi Gohan, menyebar ke seluruh tubuhnya, dan sebuah suara mengaum di dalam pikirannya:

"Bangun... pewaris. Waktumu telah tiba."

Gohan terhuyung, dan sebelum tubuhnya jatuh tersungkur, ia menatap langit. Hujan berhenti, dan di sana, di ujung cakrawala, sebuah cahaya merah menjulang, menandai awal dari sebuah perang yang tak terelakkan.

"Aku harus mencari tulang naga sebelum fajar..."

Dan dengan napas yang berat, Gohan pingsan, ditelan oleh gelap malam yang sunyi dan penuh rahasia.

More Chapters