Angga tidak tahu pasti kapan terakhir kali ia benar-benar tidur.
Setiap malam hanya diisi kilatan bayangan Windi, suara tanah dikeduk, dan sosok hitam yang mengintai di balik kabut. Tapi yang paling mengganggu bukan mimpi... melainkan hal-hal nyata yang perlahan berubah.
Bekas cekikan di lehernya kini bukan sekadar memar.
Ia berdiri di depan cermin pagi itu dan melihat pola yang lebih aneh: garis-garis kehitaman yang menyebar seperti akar, menjalar ke tulang selangka dan bagian dada atas. Bukan sekadar luka tapi simbol.
Simbol yang mirip dengan ukiran di liontin dan goresan samar di cincin Windi.
Seolah tubuhnya perlahan ditulis oleh sesuatu.
“Lo kelihatan kayak mayat hidup,” kata Dina saat mereka bertemu di kantin kampus siangnya.
“Rasanya juga kayak begitu,” jawab Angga sambil menyeruput kopi sachet yang sudah basi.
Dina menatapnya serius. “Gue liat semua simbol itu di arsip yang Bima kirim dari organisasi Kundala. Cincinnya. Liontin. Dan pola bekas luka lo. Semuanya udah ada sejak dua puluh tahun lalu.”
Angga menatapnya tajam. “Lo yakin?”
Dina mengangguk. Ia membuka map lusuh dan menunjukkan selembar cetakan dokumen tua kopian dari ritual tertutup organisasi spiritual kampus yang sudah lama dibubarkan.
Di tengahnya ada simbol besar: lingkaran dengan tiga bagian.
Cincin
Liontin
Garis akar menyerupai luka leher
“Gue rasa... tiga benda ini bukan cuma benda pribadi Windi. Tapi bagian dari sistem spiritual lama yang... gak pernah diselesaikan,” ujar Dina pelan.
Angga menunduk. “Dan gue sekarang bawa dua di antaranya.”
Dina menggenggam tangannya. “Lo sadar gak, Ga? Makin lo dalemin ini... makin banyak bagian lo yang hilang.”
Angga menatapnya. “Gue udah gak tahu lagi bagian mana dari gue yang ‘asli.’”
---
Setelah meninggalkan kampus, Angga berjalan sendirian menuju kos. Dina pulang lebih dulu, tapi ada sesuatu dalam diri Angga yang menolak untuk duduk diam. Langkahnya berat, seolah aspal menyerap sebagian tenaganya.
Langit sore gelap tanpa awan.
Udara kering, tapi terasa basah di dada.
Sesampainya di kamar, ia duduk di depan cermin dan membuka kancing atas kemejanya. Pola luka itu... kini membentuk setengah lingkaran. Seperti segel yang belum selesai. Di titik pusatnya, bekas luka mulai berdenyut perlahan, seperti napas.
Ia menatap matanya sendiri. Lama.
Lalu... sesuatu berubah.
Refleksi dirinya tersenyum, meski Angga tak sedang tersenyum.
Ia sontak mundur dari cermin. Jantungnya berdebar kencang. “Apa tadi?”
Refleksi di cermin tetap tenang. Matanya tampak biasa, tapi terlalu dalam. Terlalu... asing.
Kemudian refleksi itu yang tampak seperti dirinya membuka mulut.
Namun bukan suara Angga yang terdengar, melainkan suara Windi, bergaung samar.
“Kamu udah terlalu dekat, Ga... Tapi belum cukup dalam untuk ngerti.”
“Windi?” bisik Angga.
Tapi suara itu tak menjawab lagi.
Lalu, perlahan, bayangan di cermin memudar sendiri dan yang tertinggal hanyalah pantulan kamar kosong.
Angga terduduk di lantai.
Ini bukan lagi tentang Windi.
Ini tentang dirinya sendiri yang mulai terpecah.
---
Beberapa jam kemudian, Dina datang terburu-buru membawa laptop.
“Ada sesuatu. Bima dapet file dari database lama kampus. Lo harus liat ini.”
Mereka duduk bersama, membuka file video arsip dari presentasi organisasi Kundala tahun 2003. Seorang pria berbicara di podium.
Di belakangnya terpampang gambar ritual penyegelan: sebuah lingkaran dengan tiga posisi.
Dan di tengah lingkaran itu... seorang anak perempuan.
Wajahnya kabur, tapi rambut dan posturnya... tak asing.
“Windi,” bisik Angga.
“Liat tanggalnya,” ujar Dina sambil menunjuk pojok layar.
01-12-13
Kode yang sama di balik foto di dalam liontin.
Angga menegang. “Berarti itu tanggal ritualnya...”
Dan dia baru sadar tanggal itu sebentar lagi.
---
“Lo sadar, kan?” ujar Dina pelan. “Tanggal itu tinggal... tiga hari lagi.”
Angga hanya menatap layar. Tak menjawab. Tak mengangguk. Tapi di dalam dirinya, ada sesuatu yang bergerak entah kecemasan, atau sesuatu yang bukan miliknya.
Ia bangkit berdiri. Liontin Windi dan cincinnya diletakkan bersebelahan di meja.
“Kalau tanggal itu benar-benar tanggal ritual utama, dan semua ini mulai dari sana... mungkin mereka ibunya Windi, Alvan, bahkan organisasi Kundala bakal ngelakuin sesuatu lagi.”
Dina menelan ludah. “Lo rasa mereka mau buka segelnya lagi?”
“Bukan... mereka mungkin mau segel lagi. Dan kali ini, gue yang dikurung.”
“GILA. Ga, lo gak bisa mikir kayak gitu. Lo belum tentu targetnya.”
Angga menatap bekas luka di dadanya, yang kini menyatu menjadi pola lingkaran utuh.
“Lo yakin?”
Dina terdiam.
Angga melanjutkan, “Mereka bisa aja anggap gue ‘jembatan gagal’. Gue yang udah bawa dua kunci liontin dan cincin. Gue yang nyambung langsung sama Windi. Dan gue yang sekarang... gak tahu lagi batas antara mimpi dan nyata.”
Ia berjalan pelan ke arah jendela kamar. Menatap langit malam.
Dina bangkit, berdiri di belakangnya. “Kalau semua ini... dari awal bukan kebetulan?”
“Gue rasa emang bukan.”
“Terus kenapa lo?”
Angga diam sejenak. Lalu menjawab:
“Karena Tiara.”
Dina menatapnya bingung. “Adik lo?”
Angga mengangguk. “Dia meninggal waktu kecil. Tapi akhir-akhir ini, gue mimpiin dia terus. Dan Windi pernah bilang... ada roh yang ‘menunggu dari dulu’ supaya bisa bantu seseorang kembali.”
“Lo rasa... roh Tiara masih ada?”
“Gue rasa... dia yang bawa gue ke sini.”
Malam menebal. Kabut mulai turun perlahan di luar jendela.
Dan untuk pertama kalinya... Angga merasa bahwa akhir dari jalan ini bukan tempat kembali.
---
Malam itu, Angga tidak mencoba tidur.
Ia duduk diam di lantai kamarnya, mengelilingi dirinya dengan potongan kertas, foto lama, liontin Windi, cincin, dan salinan simbol dari dokumen organisasi Kundala.
Dina tertidur di kursi, kelelahan setelah seharian mencari arsip. Tapi Angga masih terjaga. Tangannya menggambar ulang pola di dadanya, mencoba memahami.
Kemudian, tepat pukul 03:13, cermin kamarnya bergetar.
Perlahan seolah tertiup angin dari dalam.
Angga berdiri dan mendekat. Tak ada bayangan aneh. Hanya dirinya sendiri. Tapi kali ini... suara terdengar.
“Kak...”
Suara perempuan muda. Lembut. Bukan suara Windi.
Ia menatap cermin tajam.
“Kakak...”
Angga terkejut. “Tiara...?”
“Jangan salah langkah. Jangan buka gerbang itu. Bukan kamu... tapi mereka yang harus dihentikan.”
Bayangan samar gadis kecil muncul di cermin. Wajahnya seperti kenangan masa kecil yang hampir terlupakan.
Lalu... bayangan itu mendadak terseret ke dalam kegelapan, seperti ditarik oleh rantai tak kasatmata.
“TIARA!!” teriak Angga.
Cermin pecah dari dalam. Retakan membentuk pola yang sangat dikenalnya pola yang sama dengan luka di dadanya.
Pintu kamar terbuka dengan keras. Dina terbangun kaget.
“Ada apa?!”
Angga tak bisa menjawab. Ia hanya berdiri menatap cermin yang kini remuk total. Di lantainya... pecahan kaca tersusun membentuk angka.
01 – 12 – 13
---
Di tempat lain, jauh dari sana...
Alvan berdiri di tengah ruangan gelap bersama tiga orang pria bersorban hitam. Di hadapannya terbentang lantai lingkaran ritual yang bersih, seolah belum disentuh selama bertahun-tahun.
Alvan menatap ke arah tengah lingkaran.
“Pintunya sudah terbuka.
Tapi dia belum sadar... dia yang akan jadi jalan pulang.”