WebNovels

Chapter 16 - BAB 16 – LUKA YANG SAMA

Dina duduk di ruang kerjanya di kosan, lampu belajar menyala redup. Di hadapannya ada selembar kertas berisi simbol yang ia salin dari foto hasil penelusuran mereka di gedung tua kampus. Simbol itu membentuk lingkaran yang melilit tiga garis, dan satu garis menyilang dari tengahnya. Terlihat asing, tapi… juga familiar.

Tangannya perlahan menyentuh pergelangan kirinya, tepat di bawah lipatan lengan baju.

Di sana… luka itu belum hilang.

Goresan melingkar yang dulu tampak seperti cakaran kini sudah berubah bentuk. Garis-garis kecil muncul mengelilinginya, seolah ada pola yang mulai terbentuk.

Dina mencoba mengusapnya dengan alkohol. Sakit. Kulitnya memucat.

Ia membuka catatan kecil dan menuliskan:

“Luka ini tumbuh. Simbol di bawah kulitku muncul perlahan. Apakah ini… kutukan?”

Notifikasi HP-nya menyala.

Pesan dari Angga:

“Gue nemu nama di catatan Alvan. Dosen lama yang pernah nulis skripsi soal energi spiritual. Namanya Pak Ganjar. Dia masih hidup. Mau temui dia besok pagi?”

Dina langsung membalas:

“Harus. Luka gue makin parah.”

---

Keesokan Pagi Perpustakaan Tua, Depok

Perpustakaan itu berdiri di antara gedung-gedung tua. Pak Ganjar, pria berkacamata dengan rambut memutih dan wajah tenang, menyambut mereka dengan senyum kaku.

“Simbol tiga garis melingkar dan satu silang di tengah?” katanya sambil menyalakan lampu bacanya. “Saya pernah menulis tentang itu tahun 1994. Itu bukan simbol biasa. Itu... tanda wadah.”

Angga dan Dina saling pandang.

“Wadah?” tanya Angga pelan.

Pak Ganjar membuka map lusuh dan mengeluarkan satu gambar yang nyaris identik dengan simbol di tubuh Angga.

“Simbol ini akan muncul pada tubuh orang yang terbuka terhadap energi lorong. Tapi bukan semua orang... hanya mereka yang punya ‘ruang kosong’ di dalam jiwanya.”

Dina menggigit bibir. “Maksudnya... trauma?”

Pak Ganjar mengangguk. “Atau kehilangan mendalam.”

Angga menunduk. Ia ingat adiknya, Tiara.

Dina menyentuh luka di tangannya. Luka itu kini terasa panas seolah tahu sedang dibicarakan.

---

Pak Ganjar membuka satu map berdebu dari rak bawah mejanya. Di dalamnya tersimpan fotokopi dokumen tua dan potongan artikel dari jurnal kepercayaan lokal. Ia menggeser lembar demi lembar hingga menemukan halaman yang ia cari tulisan tangan rapi, tapi sudah menguning termakan waktu.

“Ini,” katanya. “Catatan tentang subjek pertama yang ditandai sebagai ‘wadah’.”

Angga dan Dina mencondongkan tubuh.

Nama subjek: Surya D.

Tahun: 1992

Status: Mahasiswa jurusan filsafat U. Nasional

Gejala: mimpi berulang, kehilangan identitas diri, muncul simbol di dada dan leher, suara-suara internal.

Kesimpulan: gangguan psikis? Atau… kesadaran yang bukan miliknya?

Pak Ganjar menghela napas. “Anak ini... hilang. Secara harfiah. Hilang dari kosannya. Tidak pernah ditemukan jasadnya. Tapi... selama enam bulan sebelum itu, ia menulis ratusan halaman jurnal yang nyaris tidak bisa dibaca. Semuanya dalam simbol dan kode yang tak dikenal.”

Dina merasakan tengkuknya dingin.

“Apakah... simbolnya sama seperti kami?” tanya Dina, ragu.

Pak Ganjar mengangguk. “Persis. Bahkan posisi kemunculannya di pergelangan tangan dan leher.”

Ia menyodorkan foto hitam-putih yang memperlihatkan seorang pemuda kurus, telanjang dada, dengan simbol samar di leher mirip milik Angga.

“Lalu... kenapa kami?” bisik Angga.

Pak Ganjar menatap mereka penuh iba. “Karena kalian melihat hal-hal yang tidak seharusnya dilihat. Lorong itu sekali terbuka, tidak pernah benar-benar tertutup.”

“Apakah... ada cara untuk menghentikan ini?” tanya Dina.

Pak Ganjar mengangguk pelan. “Ada. Tapi tak pernah berhasil. Karena semua yang mencoba... berakhir jadi bagian dari lorong itu sendiri.”

---

Saat Itu Juga

Dina tiba-tiba merasa perih di lengan.

Ia menyingkap lengannya simbol itu tumbuh lagi, dan kini membentuk pola setengah lingkaran di bawah kulit.

Angga menoleh. “Dina…”

Dina menatapnya.

Untuk sekejap…

matanya tidak mengenal Angga.

---

“Dina?” suara Angga lirih, tapi waspada.

Gadis itu mematung sejenak, tatapannya kosong. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak mengucap apa pun. Tangannya gemetar, sementara simbol di bawah kulitnya terus memudar dan menyala seperti denyut jantung asing yang menumpang hidup dalam tubuhnya.

“Dina!” seru Angga, lebih keras.

Dina berkedip cepat, seperti baru sadar. Ia menarik napas pendek dan menatap Angga dengan mata melebar.

“Gue... barusan...” suaranya gemetar. “Barusan lo siapa?”

Angga menahan napas. Di saat yang sama, Pak Ganjar berdiri dengan cepat dan meraih liontin yang tergantung di lehernya sebuah benda bulat dari kayu hitam yang diikat benang merah.

“Pakai ini,” katanya sambil menyodorkan benda itu ke Dina. “Ini talisman pelindung. Setidaknya bisa menghambat pengaruh lorong untuk sementara.”

Dina meraihnya dengan tangan gemetar. Begitu liontin menyentuh kulitnya, cahaya samar di simbol tangannya langsung redup. Ia terjatuh ke kursi, memegangi kepala.

Angga meraih bahunya. “Lo balik?”

Dina mengangguk pelan. “Tadi... lo kayak... orang asing. Gue gak tahu nama lo. Tapi gue tahu harus takut.”

Angga menghela napas panjang. Lalu ia menatap Pak Ganjar. “Kalau kami dua-duanya mulai kehilangan diri, apa artinya?”

Pak Ganjar menatap mereka bergantian. “Artinya gerbangnya sudah aktif. Tapi bukan cuma itu.”

Ia menarik napas, lalu berkata:

“Salah satu dari kalian akan jadi ‘wadah penuh’. Yang lainnya pengikat gerbang.”

Dina dan Angga saling menatap.

“Lo yakin itu belum terjadi?” tanya Angga.

Pak Ganjar menggeleng. “Belum. Tapi cepat atau lambat, lorong akan memilih. Dan saat itu terjadi… salah satu dari kalian mungkin tak bisa kembali.”

Dina menunduk. “Kalau gitu... kita harus cari tahu siapa ‘dia’ yang selama ini narik semuanya dari balik lorong.”

Angga mengepalkan tangan.

“Dan tutup gerbang ini sebelum salah satu dari kita... jadi milik dia.”

Hari mulai gelap saat mereka meninggalkan perpustakaan tua itu. Langit mendung bergelayut seperti lembaran awan berat yang menunggu runtuh. Di dalam mobil tua milik Pak Ganjar, suasana hening. Angga memandangi jendela, sementara Dina duduk di sebelahnya, menggenggam liontin kayu pemberian sang dosen.

“Kalau salah satu dari kita jadi wadah...” gumam Dina, “kenapa bukan lo aja?”

Angga menoleh cepat. “Apa maksud lo?”

Dina tersenyum kecil, lelah tapi tulus. “Lo lebih kuat. Lo udah terhubung duluan. Mungkin... lo bisa ngelawan lebih lama dari gue.”

Angga menggeleng. “Gue gak akan biarin siapa pun terutama lo jadi umpan buat tutup sesuatu yang kita gak ciptain.”

“Kalau kita gak pilih siapa yang dikorbankan,” lanjut Dina, “lorong yang bakal milih.”

Angga menunduk.

Di dalam dompetnya, ia menyimpan salinan simbol yang didapat dari Pak Ganjar. Tapi ada satu gambar terakhir yang belum ia buka tertutup oleh lipatan kecil.

Ia membukanya pelan di dalam mobil.

Gambarnya: Simbol yang lengkap. Sama seperti di tubuhnya.

Tapi di bawahnya… tertera sebuah tulisan samar:

“Simbol milik A.D.”

“A.D.?” gumam Angga.

Pak Ganjar menoleh dari jok depan. “Itu inisial korban ritus generasi pertama. Kami tidak pernah tahu nama aslinya. Catatannya hilang.”

Dina mengernyit. “Tunggu… tadi Bapak bilang nama korbannya Surya D?”

Pak Ganjar terdiam sejenak. Lalu matanya membelalak.

“Benar... saya lupa. Surya bukan korban pertama. Dia korban kedua.”

Angga membeku.

“Kalau Surya korban kedua... lalu A.D. siapa?”

Pak Ganjar menjawab dengan suara rendah:

“Korban pertama tidak pernah ditemukan. Bahkan wajahnya pun tak pernah terekam.”

Dina bergumam, “Atau mungkin... dia tidak pernah benar-benar mati.”

Suasana di mobil berubah mencekam.

Dan saat lampu jalan menyala perlahan, Dina melihat sesuatu di kaca spion mobil:

Siluet tinggi dan hitam berdiri di sisi jalan, menatap mereka saat mobil melaju menjauh.

Angga tak melihat.

Tapi Dina tahu... makhluk itu tahu namanya.memanggilnya ia akan memanggilnya.

More Chapters