WebNovels

Chapter 7 - BAB 7 – TANDA DI LEHER

Angga berdiri di depan fakultas Ekonomi, menatap gedung yang dulu jarang ia injak. Hari itu terasa lebih tenang dari biasanya, tapi pikirannya justru berkecamuk.

Di tangan kirinya, dia memegang foto blur dari buku ospek foto yang menunjukkan kelompok Windi saat awal masuk kuliah. Dan di tengah foto itu, berdiri seseorang yang Bima yakini sebagai Alvan Reza.

Seseorang yang dulu satu kelompok dengan Windi.

Seseorang yang disebut-sebut pernah dekat.

Dina berdiri di sampingnya, sibuk mengecek nama-nama dari data kampus. “Kita cari ruang seminar lantai 3. Nama dia ada di daftar asisten dosen siang ini.”

Mereka naik tangga cepat. Sesampainya di koridor lantai tiga, Angga menoleh ke jendela, dan untuk sesaat... ia melihat bayangan Windi berdiri di bawah pohon mangga tua di depan fakultas. Diam, menatap ke atas. Tapi ketika Angga mengedip, sosok itu menghilang.

“Lo liat sesuatu?” tanya Dina.

Angga hanya menggeleng. “Enggak. Ayo.”

Mereka berdiri di depan ruang seminar. Pintu terbuka sedikit. Di dalam, seorang pria tinggi sedang menyiapkan materi di laptop. Rambutnya disisir rapi, wajahnya bersih, dan sorot matanya tajam. Di saku bajunya, tersemat name tag:

“Alvan R. – Asdos Pengantar Ekonomi”

Dina melangkah lebih dulu. “Permisi, Kak.”

Alvan menoleh. “Iya? Ada yang bisa saya bantu?”

Angga masuk, menatap pria itu lekat-lekat. “Kami dari angkatan 2019. Mau nanya soal data ospek lama. Lo kenal cewek ini?”

Ia mengulurkan foto dari buku ospek.

Alvan menerimanya. Diam sebentar. Lalu tersenyum tipis. “Oh... ini. Iya, gue inget. Dia satu kelompok ospek gue dulu.”

“Namanya?” pancing Angga.

Alvan melirik mereka. “Windi... Windi Oktavia, kalau gak salah.”

Dina langsung waspada. “Lo kenal dekat sama dia?”

Alvan tersenyum kecil. “Dulu sih lumayan akrab. Tapi setelah ospek, dia kayak ngilang. Katanya DO.”

Angga mengernyit. “DO? Lo yakin?”

Alvan mengangkat bahu. “Ya, itu katanya. Gue juga gak pernah liat dia lagi.”

Tapi yang membuat Angga menggigil bukan jawabannya melainkan cara Alvan mengelus-elus bagian lehernya sambil bicara. Gerakan refleks, kecil, tapi sangat familiar.

Sama persis dengan posisi luka bekas cekikan yang ada di leher Angga.

---

“Lo gak apa-apa?” bisik Dina ke Angga sambil menyikut pelan.

Angga mengangguk singkat, tapi pandangannya tak lepas dari Alvan khususnya dari cara pria itu terus-menerus menyentuh leher bagian kanannya. Sekilas, gerakan itu tampak seperti kebiasaan biasa. Tapi bagi Angga, yang baru saja dicekik oleh makhluk dari dunia lain, itu bukan kebetulan.

“Apa lo tau ke mana Windi terakhir kali pergi?” tanya Angga, menjaga nada suaranya tetap santai.

Alvan menurunkan tangannya, lalu duduk di pinggir meja. “Enggak. Kayaknya sih pulang ke kampung. Dulu dia pernah bilang capek sama dunia kampus. Gak tahan tekanan ospek, tugas, dosen... semua.”

“Dia pernah cerita tentang keluarga?” tambah Dina.

Alvan menggeleng. “Jarang. Dia orangnya tertutup. Tapi waktu itu sempat bilang dia tinggal bareng neneknya di Jakarta.”

Dina menuliskan catatan di HP-nya. “Nama neneknya?”

Alvan menatap kosong sejenak, lalu mengangkat bahu. “Lupa, sumpah. Lagian itu juga obrolan lama banget.”

Senyum itu lagi. Senyum tipis, sopan, tapi... terlalu terlatih. Terlalu dibuat-buat.

Angga merasakan udara di ruangan menjadi lebih dingin. Dan anehnya, cincin Windi di lehernya mulai bergetar pelan.

Ia menahan ekspresi.

“Lo masih simpen kontak dia?” tanya Angga.

Alvan mengangkat alis. “Enggak. HP gue udah ganti dari jaman itu.”

Dina menyelidik, “Tapi nama dia masih ada di daftar ospek, kan?”

Alvan mengangguk. “Harusnya ada. Tapi sekarang udah banyak file yang hilang atau dihapus. Gue juga gak terlalu urusin.”

Mereka berpamitan. Tapi saat Angga hampir keluar dari ruangan, ia menoleh sebentar.

“Terakhir, Van... lo inget warna jaket jeans yang dia suka pakai?”

Alvan terdiam sejenak.

Kemudian tersenyum.

“Biru pudar. Banyak tambalan kecil di lengannya.”

Dina membeku. Angga juga.

Karena satu hal pasti itu hanya bisa diketahui oleh orang yang melihat Windi terakhir kali.

Dan Windi... masih mengenakan jaket itu sampai sekarang.

Langkah mereka cepat saat meninggalkan fakultas Ekonomi. Begitu sampai di taman kampus yang agak sepi, Dina langsung menoleh ke Angga dengan wajah cemas.

“Lo denger kan tadi?”

Angga mengangguk. “Dia tahu jaket Windi. Detailnya. Bahkan tambalan-tambalan kecil. Gak mungkin dia tahu kalau terakhir ketemu Windi itu pas ospek.”

Dina memeluk tubuhnya sendiri, seolah mencoba menahan hawa dingin yang tak kasatmata. “Gue merinding, sumpah.”

“Gue rasa Alvan orang terakhir yang sama Windi sebelum dia hilang,” gumam Angga. “Mungkin bahkan orang yang bawa Windi ke KM 67.”

Dina membuka galeri di ponselnya, memperbesar foto jaket Windi yang pernah terekam samar oleh kamera Bima. Terlihat tambalan berbentuk bulat kecil di lengan kanan. Persis seperti yang dikatakan Alvan.

“Dan lo liat tadi?” tanya Angga pelan. “Gerakan tangan dia yang terus nyentuh leher?”

“Iya,” jawab Dina. “Kayak... dia juga punya bekas. Lo rasa itu...?”

“Bisa jadi.” Angga mengangguk pelan. “Atau dia pernah disentuh makhluk yang sama kayak yang nyerang gue.”

Mereka berdua terdiam. Pikiran mereka berpacu.

Lalu Angga membuka kancing atas kemejanya, memperlihatkan bekas cekikan yang masih membekas gelap di lehernya.

“Luka ini gak ilang. Makin hari justru makin dalam warnanya.”

Dina mengusap luka itu pelan, ekspresinya serius. “Kayaknya lo gak cuma diserang. Lo ditandai.”

“Maksud lo?”

“Lo udah masuk ke wilayah yang dijaga. Udah ‘dicium’ sama penjaga batas itu. Dan sekarang, mungkin... mereka lagi ngawas lo terus.”

Angga menoleh ke sekeliling, refleks.

Untuk sesaat... ia merasa ada mata yang mengawasi dari balik dedaunan taman.

Dan benar saja.

Di balik pohon besar, sekilas... terlihat sosok Windi berdiri diam, tubuhnya samar seperti kabut.

Tapi kali ini... mata Windi tidak menatap Angga.

Mata itu menatap sesuatu di belakang mereka.

Angga membalikkan badan dengan cepat, mengikuti arah tatapan Windi namun tidak ada siapa pun di belakang mereka.

Hanya barisan pohon dan lorong kampus yang sepi.

Namun suasananya berubah.

Udara tiba-tiba terasa berat, seolah tekanan atmosfer meningkat. Suara daun bergesekan tertelan sunyi. Bahkan langkah mahasiswa lain yang tadinya terdengar dari kejauhan... menghilang.

Dina berbisik, “Lo ngerasain gak?”

Angga mengangguk. Ia menoleh lagi ke tempat Windi tadi berdiri.

Kosong. Windi sudah menghilang.

Tapi hawa dingin yang ia tinggalkan masih tersisa. Dan satu hal lagi…

Bekas di leher Angga terasa berdenyut.

Seperti detak jantung kedua. Lambat. Dalam. Mencekam.

Dina mundur satu langkah. “Ga, kita harus balik. Gue ngerasa... kita udah mulai masuk terlalu dalam.”

“Gue juga ngerasa begitu,” gumam Angga. “Tapi justru sekarang kita gak bisa mundur.”

“Lo bahkan gak yakin dia korban, atau malah... pelaku.”

Angga menatap tanah. Hatinya kacau.

Ia ingin percaya bahwa Windi hanyalah gadis yang menjadi korban. Tapi setiap hari, ia merasa ada sesuatu yang berubah dari arwah itu. Kadang, Windi tampak penuh luka dan kesedihan. Tapi di lain waktu... ia seperti menutupi sesuatu.

Dan ucapan arwah dalam dunia kabut tempo hari kembali terngiang:

“Jangan percaya dia.”

---

Malam harinya, Angga berdiri sendiri di kamar kos. Ia membuka kaosnya, menatap pantulan dirinya di cermin.

Bekas cekikan itu kini terlihat lebih hitam. Lebih dalam.

Seolah sesuatu sedang tumbuh dari dalamnya.

Kemudian, perlahan...

Bekas itu mulai membentuk pola.

Garis-garis samar membentuk lingkaran kecil, lalu memanjang seperti simbol kuno yang mengalir dari leher ke tulang selangka.

Angga tersentak mundur.

Dan di cermin... bayangan Windi muncul perlahan di belakangnya.

Kali ini, wajahnya tampak sayu.

Tapi matanya tak lagi memohon.

Matanya kosong.

Dan bibirnya berbisik pelan:

“Kamu udah terlalu dalam... tapi belum cukup dalam untuk tau kebenaran.”

More Chapters