WebNovels

Chapter 3 - BAB 3 – NAMA YANG HILANG

Pagi itu, kampus terasa lebih suram dari biasanya.

Langit mendung menggantung rendah, dan dedaunan tampak bergoyang pelan diterpa angin. Di bawah rindangnya pohon ketapang di dekat parkiran, Angga berdiri sambil menunggu Dina dan Bima.

Kepalanya masih berat akibat malam tanpa tidur. Di tangannya, ia memegang secarik kertas yang berisi daftar pertanyaan yang ingin diajukan ke bagian administrasi kampus. Tapi sejujurnya, semua ini masih terasa seperti mimpi.

Namun satu hal yang pasti Windi bukan sekadar penampakan. Dia punya identitas. Masa lalu. Dan mungkin... kematian yang ditutupi.

“Ga!”

Suara Dina memecah lamunan.

Ia datang tergesa, mengenakan jaket jeans dan celana hitam. Di belakangnya, Bima berjalan santai dengan kamera tergantung di leher, seolah mereka hendak syuting film dokumenter horor kampus.

“Lo yakin kita bisa dapetin data Windi dari kampus?” tanya Dina sambil menyamakan langkah.

“Kita coba dulu,” jawab Angga singkat.

Mereka bertiga menuju Gedung Rektorat, tempat di mana semua data mahasiswa disimpan. Ruangan administrasi tak terlalu ramai. Seorang ibu staf duduk di belakang meja resepsionis, sedang mengetik.

Angga maju lebih dulu.

“Permisi, Bu. Kami dari mahasiswa tingkat akhir. Mau nanya soal data mahasiswa lama... sekitar angkatan 2019. Atas nama Windi Oktavia.”

Staf itu berhenti mengetik. “Untuk keperluan apa, ya?”

“Penelitian,” jawab Dina cepat. “Tentang kampus, sejarah organisasi, dan alumni yang aktif waktu itu.”

Si ibu mengangguk pelan, lalu mengetik sesuatu di komputernya.

Detik-detik berlalu. Wajahnya perlahan berubah.

“Maaf ya... nama Windi Oktavia tidak ada di data kami.”

Angga mengerutkan alis. “Serius, Bu? Kami yakin dia mahasiswa aktif dulu. Pernah ikut ospek dan organisasi.”

“Coba saya cari lagi,” gumam si ibu, lalu mengetik ulang nama itu dengan variasi ejaan.

Setelah lima menit mencari, ia menggeleng pelan. “Tidak ada. Kalau memang ada, mungkin dia sudah mengundurkan diri... atau ada kesalahan input. Tapi biasanya kami tetap menyimpan data semua mahasiswa, aktif atau tidak.”

Bima mendekat, ikut menatap layar. “Gak ada arsip manual, Bu? Mungkin dokumen cetak?”

“Sudah dialihkan ke sistem sejak tiga tahun lalu,” jelas si ibu.

Dina memandang Angga. “Ini... aneh.”

Dan Angga tahu betul ini bukan kesalahan sistem. Ini... seolah namanya dihapus.

Mereka bertiga keluar dari gedung administrasi dalam diam. Langkah kaki mereka berat, bukan karena kelelahan, tapi karena rasa penasaran yang semakin mengganggu.

Dina memecah kesunyian lebih dulu. “Lo semua nyadar gak? Kalau nama Windi beneran gak ada, berarti... ini bukan sekadar ‘hilang’. Ini kayak dihapus.”

“Gue juga ngerasa gitu,” gumam Bima. “Dulu gue yakin banget dia ada. Dia ikut ospek, bahkan pernah satu kelompok kecil sama gue.”

Angga berhenti berjalan. “Lo inget gimana mukanya?”

Bima mencoba mengingat. “Rambut panjang, kulitnya agak pucat. Dulu pendiam, tapi kalau ditanya dia jawab. Kayak gak suka banyak omong, tapi selalu ada waktu kumpul.”

Dina menatap langit yang mulai mendung. “Jadi kita beneran berurusan sama orang yang eksistensinya kayak dihapus dari sejarah kampus?”

“Bukan cuma dari kampus, Din,” ujar Angga serius. “Gue udah coba cari berita apapun tentang dia hilang, kecelakaan, bahkan DO. Gak ada. Kosong.”

Dina menghela napas. “Kalau gitu, kita cari ke tempat yang belum terdigitalisasi. Perpustakaan.”

---

Perpustakaan kampus agak sepi siang itu. Mereka menyusuri lorong-lorong penuh rak tinggi dan aroma kertas tua. Di bagian belakang, ada satu rak khusus berisi dokumentasi lama kampus: majalah kampus, buku tahunan, dan foto-foto kegiatan.

Mereka mulai mencari dari tahun 2019 tahun awal Angga masuk kuliah.

Butuh waktu hampir setengah jam sebelum Dina berseru pelan, “Nih! Buku ospek angkatan kita!”

Mereka membuka lembar demi lembar, mencari foto kelompok atau daftar nama.

Sampai akhirnya Bima menunjuk satu halaman.

“Liat itu...”

Di sudut kanan bawah halaman, ada foto kelompok kecil. Enam mahasiswa berjongkok sambil memegang papan bertuliskan “Kelompok 13 – Revolusi Hening”. Di antara mereka, seorang gadis berambut panjang, duduk tenang... sangat mirip dengan Windi.

Namun wajahnya buram. Tidak seperti kualitas buruk. Tapi... seolah disengaja. Entah dicoret, atau dipudarkan secara halus.

“Gak mungkin,” bisik Angga. “Ini kayak... dia disamarkan.”

Dina mengangguk pelan. “Kayak seseorang gak pengen dia dikenang.”

Bima menutup buku itu perlahan. “Oke. Gue makin yakin... ini bukan cuma soal hantu gentayangan. Ini soal... seseorang yang pengen dia dilupain. Secara sistematis.”

Dan semakin mereka gali, semakin mereka sadar...

Windi bukan hilang. Dia dihilangkan.

Setelah memastikan bukti visual Windi memang pernah ada, mereka bertiga duduk di pojokan ruang baca lantai dua perpustakaan, menyusun benang merah dari semuanya.

“Kalau kita bener,” ujar Dina sambil menatap foto yang ia potret dari buku ospek tadi, “berarti seseorang sengaja hapus dia dari data kampus. Tapi kenapa?”

“Dan siapa?” timpal Angga.

“Gue juga mikir,” kata Bima, “kalau dia korban kecelakaan atau dibunuh, dan gak pernah ditemukan, harusnya keluarganya cari. Minimal lapor polisi. Tapi gak ada berita apa-apa. Gak ada laporan kehilangan atas nama dia.”

Angga mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. “Mungkin keluarganya juga disuruh diam? Atau... mungkin mereka gak tahu?”

Dina mencondongkan tubuh. “Maksud lo kayak Windi punya dua identitas? Atau dipalsukan sejak awal?”

“Bisa aja,” ujar Angga pelan. “Atau... dia disembunyikan bukan cuma jasadnya, tapi juga riwayat hidupnya.”

Sunyi sejenak menyelimuti mereka. Hanya suara halus pendingin ruangan dan detik jarum jam yang terdengar.

Bima lalu membuka ponselnya. “Gue masih gabung di grup LINE angkatan kita. Dulu ada satu senior yang kerja di arsip organisasi. Nama dia Aldi. Sering simpen berkas-berkas kegiatan kampus, termasuk data peserta ospek.”

Ia mulai mengetik.

Beberapa menit kemudian, notifikasi masuk.

Aldi (senior):

“Windi? Dulu dia sempat aktif banget. Terakhir gue liat dia waktu mau ikut lomba debat kampus luar.”

“Tapi terus... ilang. Kayak bener-bener ilang.”

“Gue pernah tanya temennya, katanya dia DO. Tapi aneh, karena semua barang-barangnya juga gak pernah diambil dari loker.”

“Padahal dia pinter. Gak mungkin tiba-tiba DO.”

Angga membaca pesan itu dengan napas tertahan. “Jadi... dia hilang pas lagi aktif. Gak sempet ngurus keluar kampus.”

“Dan gak ada yang pertanyakan waktu itu?” kata Dina dengan nada kesal.

Bima menjawab sambil mengangkat bahu. “Gue rasa orang terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Dan sistem kampus kita emang suka ngaco. Kalau mahasiswa gak muncul tiga semester, langsung dianggap DO.”

Angga bersandar, menatap langit-langit perpustakaan.

“Ada seseorang yang sengaja nutupin ini semua. Tapi kenapa? Apa yang mereka takutkan akan ketahuan kalau kita terus nyari?”

Dan seolah semesta mendengar...

Ponsel Angga tiba-tiba bergetar.

Nomor tak dikenal.

Pesan masuk.

“Berhenti cari aku.”

“Kamu akan ikut mati.”

Angga menatap layar ponselnya beberapa detik tanpa bicara. Matanya terpaku pada dua kalimat pendek yang muncul dari nomor tak dikenal itu. Jemarinya gemetar, bukan karena takut, tapi karena marah dan bingung bersamaan.

“Kenapa lo pucat gitu?” tanya Dina cepat.

Angga menunjukkan pesan itu.

Bima langsung bersuara, “Nomor gak dikenal? Itu ancaman, Ga. Jelas banget.”

Dina menyambar ponsel Angga dan mulai menelusuri nomor itu. “Gak bisa dilacak. Gak ada di WhatsApp, gak nyambung di aplikasi pelacak nomor.”

Angga menggeleng pelan. “Gue gak pernah kasih tahu siapa-siapa soal Windi, kecuali kalian berdua. Tapi ini... kayak seseorang tahu kita nyari dia.”

“Berarti lo diawasin,” ujar Bima pelan. “Dari mana, gue gak tahu. Tapi ini bukan random ghost story.”

Dina mengernyit. “Lo pikir ini arwah yang ngirim pesan?”

Angga ragu. “Enggak. Gaya bahasanya beda. Ini... kayak orang hidup.”

Mereka bertiga saling pandang. Keheningan mendadak terasa berat. Seolah udara dalam ruangan menyusut.

Bima berdiri. “Gue rasa kita gak bisa ngelanjutin ini cuma bertiga. Kita perlu cari orang yang ngerti soal dunia... lain. Atau... orang dalam kampus.”

“Gue bisa coba kontak dosen pembimbing senior,” kata Dina. “Dulu dia pernah nulis skripsi soal mitos-mitos kampus. Mungkin dia tahu sisi gelap dari sejarah tempat ini.”

Angga mengangguk pelan. “Sementara itu, gue mau balik ke lokasi kejadian. KM 67. Tapi sendiri. Malam ini.”

Dina menatapnya tajam. “Lo gila? Ga, lo bisa mati.”

“Aku janji hati-hati,” ucap Angga lirih.

Ia memandang keluar jendela perpustakaan. Hujan mulai turun pelan. Butiran air menyapu kaca, menciptakan ilusi kabut. Dan dalam hatinya, Angga tahu ia tidak bisa mundur sekarang. Karena semakin jauh ia melangkah, semakin jelas bahwa Windi tidak hanya butuh ditemukan...

...ia butuh dibebaskan.

Dan siapa pun yang mencoba menghalangi itu

akan terungkap.

More Chapters