Sampai akhirnya, kami nemu satu warnet yang jadi rumah kedua: Warnet DC—letaknya nggak jauh dari ITC Cibinong. Di situ, banyak anak-anak jalanan nongkrong. Main game, nonton YouTube, bahkan ada yang tidur di bawah meja.
Pertama kali masuk DC, aku langsung ngerasa: "Ini tempat kita." Aku dan teman-teman langsung cari PC yang kosong. Kami duduk dan langsung larut dalam dunia maya. Kami bisa seharian di sana. Kadang sampai lupa makan. Kadang main bergiliran kalau duit ngamen kurang.
Kami mulai kenal anak-anak lain. Main bareng, ngamen bareng, jadi geng kecil anak jalanan yang nongkrong di DC. Rasanya bebas, seru, dan penuh tawa—meski semuanya serba kekurangan.
Tapi suatu pagi, dunia kecil kami berubah.
Sebuah mobil Kijang abu-abu berhenti di depan warnet. Dari dalamnya turun beberapa orang dewasa. Wajah mereka asing, tapi ada aura lembut dalam caranya memandang. Salah satu dari mereka, dipanggil "Abah." Yang lain, perempuan berjilbab, dipanggil "Mimih."
Mereka masuk ke warnet. Lihat satu per satu anak-anak yang lagi main. Lalu mereka ajak ngobrol. Ajak keluar.
Aku bingung. Teman-temanku juga. Kami saling pandang. Tapi akhirnya kami ikut mereka. Kami diajak ke satu tempat yang mereka sebut PAZKI.
Aku nggak tahu apa itu. Tapi sejak dari DC itulah, aku mulai kenal siapa Abah dan Mimih. Dan untuk pertama kalinya, aku kenal dunia yang lebih besar dari jalanan dan warnet.