Pukul 07.45.
Fahrul duduk sebentar di tepi panggung, menyeka keringat dengan handuk kecil. Semua sudah hampir siap. Kursi tertata, sound system menyala, dekorasi rapi, dan para ibu mulai membagikan teh manis untuk panitia yang kelelahan.
Tiara berjalan cepat sambil membawa clipboard, memeriksa ulang rundown. "Rul, kamu nanti bantu bagian dokumentasi, ya! Pegang HP Kak Amel, ambil video pas pembukaan."
Fahrul mengangguk. "Siap, Kak!"
Di kejauhan, Kak Amel tampak berbicara dengan tamu VIP yang baru datang. Ia tersenyum ramah, menunduk hormat, padahal Fahrul tahu betul: beberapa menit lalu Kak Amel masih panik karena listrik sempat drop.
Abi melambaikan tangan dari dekat panggung. "Rul, tolong cek mikrofon satu lagi! Tes-tes, takutnya mati pas MC mulai."
Fahrul berlari kecil, memeriksa kabel, memastikan lampu indikator menyala. Detik-detik menjelang acara rasanya seperti jantung berdegup kencang — cepat, tegang, tapi sekaligus memabukkan. Ada semacam energi di udara yang hanya dirasakan oleh mereka yang berada di balik layar.
Tepat pukul 08.00, MC naik ke panggung. Musik pembukaan diputar, tepuk tangan menggema, dan semua mata tertuju ke depan.
Fahrul berdiri di samping panggung, memegang HP Kak Amel. Tangannya agak gemetar, tapi senyumnya mengembang. Ini dia momen yang selama berjam-jam dipersiapkan oleh semua orang.
Dan di dalam hatinya, Fahrul tahu: dia tidak lagi sekadar penonton. Hari ini, dia bagian dari cerita.