Langkahku semakin dalam memasuki hutan, dikelilingi oleh pepohonan besar yang menjulang tinggi. Cahaya matahari hanya bisa menembus sedikit melalui celah-celah dedaunan, menciptakan bayangan yang bergerak seiring angin bertiup. Suara binatang liar terdengar di kejauhan, mengingatkanku bahwa ini bukan sekadar hutan biasa.
Aku memegang erat pedang berlian di tanganku. Rasanya aneh membawa senjata seperti ini di dunia nyata—atau lebih tepatnya, dunia yang terasa nyata ini. Namun, aku tidak bisa lengah.
"Kalau ini benar-benar Pulau Dawn, berarti hutan ini juga tempat para bandit tinggal, kan?" pikirku.
Aku terus berjalan, memperhatikan setiap gerakan di sekitarku. Tak butuh waktu lama sebelum aku merasakan sesuatu yang aneh. Suasana tiba-tiba menjadi terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara serangga. Hanya angin yang berhembus perlahan.
"Ada sesuatu yang nggak beres..."
Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda bahaya. Saat itulah, dari balik semak-semak, terdengar suara ranting patah.
"Siapa di sana?!" seruku sambil mengangkat pedang.
Dari balik pepohonan, muncul sosok bertubuh besar. Seorang pria dengan pakaian compang-camping, mata tajam yang penuh kehati-hatian, dan bekas luka di wajahnya. Dia membawa golok besar di tangannya.
"Kau siapa?!" teriaknya.
Aku menelan ludah. Dari pakaiannya, dia bukan bajak laut, tapi lebih terlihat seperti seorang bandit. Mungkin salah satu anggota kelompok yang tinggal di hutan ini.
"Aku cuma orang yang tersesat," jawabku, mencoba untuk tidak memprovokasi.
Pria itu menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Jika dia menyerang, aku harus siap bereaksi.
"Tersesat, ya? Hutan ini bukan tempat yang aman untuk anak kecil sepertimu. Lebih baik kau kembali ke desa sebelum kau berakhir jadi mangsa binatang buas."
Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku memiliki Creative Mode dan Cheat Mode. Jadi, aku hanya mengangguk dan berusaha bersikap wajar.
"Aku hanya ingin melewati hutan ini dan menuju Desa Foosha. Aku tidak mencari masalah."
Bandit itu menggerutu, lalu menurunkan goloknya sedikit. "Foosha, huh? Kau cukup beruntung kalau bisa sampai ke sana tanpa gangguan. Tapi kalau kau bertemu bandit lain yang tidak sebaik aku, jangan harap bisa lolos."
Aku tetap waspada, tapi pria itu sepertinya tidak berniat menyerang. Aku menghela napas lega.
"Terima kasih atas peringatannya. Aku akan berhati-hati."
Dia mendengus, lalu berbalik dan berjalan pergi tanpa mengucapkan apa-apa lagi. Aku tetap berdiri di tempat selama beberapa detik, memastikan dia benar-benar menjauh, sebelum melanjutkan perjalananku.
"Oke... setidaknya aku tahu hutan ini memang berbahaya. Aku harus lebih berhati-hati."
Aku melangkah lebih cepat, mempercepat perjalananku. Jika aku bisa mencapai Desa Foosha sebelum malam, itu akan lebih baik. Aku tidak ingin bertemu lebih banyak bandit di tempat yang tidak kukenal ini.
Namun, sebelum aku bisa keluar dari hutan, aku melihat sesuatu yang membuatku terpaku. Di kejauhan, seorang anak kecil dengan rambut hitam berdiri di atas batu besar, menatap ke arah laut dengan penuh semangat.
Jantungku berdebar.
"Jangan bilang... itu—?!"