WebNovels

Chapter 21 - Bab 21 - Jejak yang Terbelah

Fajar baru menyingsing dengan enggan, seolah langit Swantara sendiri masih berkabung atas peristiwa semalam. Kabut belum terangkat sempurna dari permukaan tanah saat Bhirendra berdiri mematung di tengah barak militer yang porak-poranda. Asap tipis masih mengepul dari reruntuhan, dan aroma darah bercampur sihir masih menggantung di udara. Tenda-tenda yang sobek, reruntuhan perlengkapan, serta para prajurit yang terluka menjadi bukti bisu betapa berat malam itu.

Meski tubuhnya telah lebih baik berkat pertolongan Radeeva malam itu tapi jiwanya tidak setegak penampilannya. Ia menatap barak, barikade sihir yang telah ia bentuk kembali, sambil merapal mantra perlindungan tambahan. Tapi ia tahu, ini hanya sementara. Ancaman berikutnya bisa datang kapan saja, dan tidak selalu dalam bentuk yang sama.

Permintaan bantuannya ke pusat militer kerajaan telah mendapat tanggapan. Sang Maharaja sendiri yang menyetujui dan mengirimkan bantuan besar: pasukan tambahan, bahan pangan, alat perang, hingga tabib terlatih yang mampu menyembuhkan luka dalam dengan mantra kuno. Namun bantuan itu datang bukan hanya karena belas kasih. Maharaja tahu, Bhirendra adalah penjaga garis pertama dan misi mencari artefak jauh lebih penting dari menjaga batas dimensi.

Pagi itu, di dalam tenda utamanya yang masih berdiri meski dengan tiang penyangga yang baru diperbaiki, Bhirendra memanggil dua sosok penting: Pramudya, tangan kanannya yang setia, dan seorang komandan baru yang ia pilih sendiri secara diam-diam dari pusat militer: Komandan Aryadarma. Seorang pemuda tajam, pendiam, namun terkenal jujur dan disiplin.

Pramudya terlihat kaget kala Aryadarma masuk dan memberi hormat. Matanya menyipit sepersekian detik, namun segera kembali netral. Ia tahu kehadiran orang baru ini adalah bentuk kepercayaan sekaligus ujian.

“Aryadarma akan membantu penjagaan di sini. Mulai sekarang, setiap lapisan sihir akan diperiksa ulang. Aku tidak ingin retakan dinding menjadi alasan kita kalah perang,” ujar Bhirendra tanpa basa-basi.

Ia menjelaskan dengan teliti pembagian tugas, lokasi patroli, dan penggunaan sihir lapis ketiga untuk penjagaan malam hari. Perintahnya disampaikan dengan ketegasan khas seorang Panglima, membuat kedua bawahannya hanya bisa menunduk dalam.

Selesai pengarahan, ketiganya keluar. Bhirendra memimpin mereka menyusuri jalur perimeter sambil mengangkat tangannya tinggi. Cahaya biru memancar dari telapak tangannya, membentuk kubah sihir tambahan yang menyelimuti seluruh barak.

"Aku harap tak ada lagi gangguan sebelum... kami berhasil meletakkan Batu Somo kembali ke tempatnya,” ucapnya dalam, mata menatap jauh ke horizon.

Kedua bawahannya menjawab dengan seruan siap yang menggema. Dan sekejap setelah itu, Bhirendra mengaktifkan Raksana Yatra. Cahaya melingkupinya, dan tubuh tegapnya menghilang, berpindah dimensi menuju tempat Reina dan Radeeva berada.

Sementara itu, di sisi lain Swantara...

Langit mulai gelap, meski matahari belum tenggelam sepenuhnya. Reina dan Radeeva menunggang kuda menembus jalur berbatu yang semakin menyempit. Mereka baru saja melewati kawasan Telaga Bayang dan belum sempat benar-benar beristirahat.

Tiba-tiba, kabut menggumpal. Tak alami. Dari balik kabut, muncullah sosok-sosok berjubah gelap. Tidak menginjak tanah, mereka seperti melayang. Jubah mereka tak bergoyang ditiup angin. Mata mereka tersembunyi di balik tudung, tapi tekanan sihir yang mereka bawa membuat udara mendadak berat.

"Panarasa Hitam," desis Radeeva. Napasnya menegang. "Hati-hati! Mereka sangat ahli."

Serangan datang mendadak. Mantra meledak di udara. Reina melompat ke belakang, tubuhnya memutar lincah, lalu melemparkan mantra pelebur ke satu makhluk. Ledakan terjadi, tapi makhluk itu hanya bergeming sesaat sebelum kembali menyerang.

Radeeva menciptakan perisai angin dan menggandeng Reina menjauh. Pertarungan pun pecah. Reina, yang sebelumnya sempat kesulitan, kini bergerak jauh lebih lincah. Energi dari dua artefak, Mandaka Rasa dan Cermin Arupa, seolah memancar dari dalam dirinya.

Satu demi satu Panarasa Hitam jatuh, meledak menjadi abu. Namun yang aneh, tidak ada darah. Tidak ada jeritan. Seolah mereka hanyalah bayang-bayang dari kegelapan yang dikirim untuk menguji, atau memperingatkan.

Setelah yang terakhir menghilang dalam letupan sihir yang nyaris senyap, Reina jatuh terduduk. Bahunya naik-turun. Radeeva berdiri tegak, tombak sihirnya terhunus, matanya masih menyapu sekitar.

“Tidak mungkin ini kebetulan,” gumam Radeeva dan di tengah ketegangan itu... terdengar suara. Lembut. Gemetar. Seperti gadis muda yang tersesat.

Radeeva dan Reina menoleh cepat. Dari balik semak, muncul seorang gadis. Rambutnya kuning keemasannya kusut, bajunya sobek, wajahnya penuh luka ringan. Ia tampak ketakutan, bibirnya gemetar.

Namun sebelum siapa pun bisa bereaksi, Raksana Yatra terbuka. Cahaya muncul dan sosok Bhirendra, yang berada dibaliknya, terlihat seolah membawa aura yang bisa menghentikan dunia sesaat.

Mata hijau gelap itu langsung menangkap sosok gadis yang nampak kuyu di depannya. “Chandani?”

Gadis itu langsung berlari, tanpa ragu memeluk Bhirendra. Tangisnya pecah, tubuhnya bersandar seperti anak kecil yang menemukan satu-satunya tempat aman di dunia.

Reina mematung.

Sesuatu di dalam dirinya... runtuh. Ia tak tahu apa. Tapi pemandangan itu menghantamnya lebih kuat dari mantra mana pun. Bhirendra tidak menepis pelukan itu. Tidak kaku, tidak dingin. Justru... merangkul balik. Penuh perlindungan.

“Siapa dia?” Suara Reina bergetar, mencoba terdengar biasa.

Bhirendra memandang Reina, sejenak ragu menjawab. “Adik Pramudya. Chandani.”

Reina mengangguk pelan. Namun dalam dirinya, Cakra Adhiwara kembali bergetar. Detaknya seirama dengan jantungnya yang berdegup tak menentu. Radeeva menatap tajam, mencium sesuatu dari reaksi keduanya.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Reina menepuk kudanya dan melaju ke depan. “Di ujung tikungan ada desa. Kita bisa bermalam di sana,” katanya tanpa menoleh.

Radeeva mengikuti. Tapi Bhirendra... masih berdiri di tempat, menggendong Chandani yang mulai terkulai lemah. Dalam diam, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Bhirendra merasa ia berdiri di antara dua kehendak yang saling mengoyak. Satunya adalah masa lalu yang harus ia jaga. Satunya lagi... adalah masa depan yang belum berani ia harapkan.

Reina memacu kudanya secepat angin yang melarikan rasa sesaknya. Radeeva dan Bhirendra tertinggal beberapa langkah di belakang, debu ringan berputar di belakang derap langkah kudanya yang liar namun terarah.

Dari kejauhan, Radeeva sempat tersenyum, bukan karena mengejek, melainkan karena takjub. "Liar, seperti jiwanya sendiri..." gumamnya, sebelum mencondongkan tubuh ke depan dan menyalip, memacu kuda untuk menyusul Reina.

Senyuman Reina mekar saat melihat Radeeva mendekat. Sejenak dunia terasa ringan. Ia menjentikkan sihir kecil ke arah pelipis Radeeva, hanya percikan cahaya lembut, cukup untuk membuat sang pangeran berpura-pura oleng, nyaris jatuh. Mereka tertawa, tawa yang seolah menepis segala luka dan darah yang menempel sebelumnya.

Namun di belakang mereka, Bhirendra tetap diam. Wajahnya keras seperti baja, dan rahangnya mengejang saat lengan mungil Chandani kembali mengeratkan pelukan di pinggangnya. Ada sesuatu yang mengendap dalam dadanya. Bukan cemburu yang terang-terangan, tapi... perasaan asing yang perlahan menggerogoti keseimbangan hatinya.

Langit memudar jingga senja saat mereka sampai di depan desa Niralasa.

Pemandangan di depan mata sungguh memukau. Desa itu seperti dongeng yang lupa tertutup halaman. Rumah-rumah mungil berbentuk jamur besar tumbuh melingkar, dihiasi untaian akar dan tanaman menjalar berkilau seolah dihias sihir. Dinding-dinding berwarna pastel dilukis pola-pola alami yang bergerak pelan saat ditiup angin senja.

Sungai membelah desa itu di tengah, aliran airnya jernih kebiruan, bercahaya lembut seperti mengandung serpihan bintang. Sebuah jembatan lengkung dari kayu putih menghubungkan dua sisi desa, di mana seorang gadis kecil dengan rambut biru seperti langit pagi melompat-lompat, tertawa sendiri sambil menabur kelopak bunga dari kantong kecil di pinggangnya.

Reina menghentikan kudanya dan turun perlahan, tatapannya terpaku. Matanya melembut, seolah disapa langsung oleh ketenangan desa itu. Ia melangkah mendekati gadis kecil yang berdiri di atas jembatan, lalu berlutut dan tersenyum.

"Hai, adik manis. Bolehkah aku bertanya? Di mana letak penginapan di desa ini?"

Gadis kecil itu menatap Reina cukup lama. Matanya yang besar dan bening seperti cermin air membeku dalam ketakjuban. Reina sempat merapatkan jubahnya, sedikit tidak nyaman oleh tatapan polos yang seperti menelanjangi jiwanya.

Namun sebelum Reina bisa bicara lagi, gadis itu mengangkat tangannya dan mengelus pipi Reina dengan lembut, kemudian tiba-tiba mencium pipi kirinya sambil terkekeh. “Kau cantik... tapi matamu penuh kesedihan,” bisiknya jujur, suaranya seperti daunan gugur di musim tenang.

Reina terdiam. Tak tahu harus tertawa atau merasa tersentuh. Tapi wajahnya memerah dalam sekejap. Radeeva yang berdiri beberapa langkah di belakang nyaris tak menahan tawa.

“Akhirnya ada juga yang berhasil membuat pipimu merah selain aku,” katanya sambil melipat tangan.

Reina menjentikkan jari ke arahnya, dan sebongkah salju kecil mendarat di kepala Radeeva. “Jangan terlalu bangga.”

Gadis kecil itu menunjuk ke arah barat, ke sebuah rumah jamur yang sedikit lebih besar dan dikelilingi cahaya ungu keperakan. “Itu penginapan. Kalian bisa beristirahat di sana... Tapi...” Tatapannya berubah sedikit khawatir, “...berhati-hatilah malam ini. Hutan di dekat sini sedang gelisah.”

Kalimat itu menggantung, seperti nyanyian tua yang terlupakan. Gadis itu melompat kembali ke jembatan dan menghilang di balik kabut tipis yang turun perlahan.

More Chapters