WebNovels

Chapter 25 - Bab 25 - Dalam Hujan yang Menyimpan Kata

Keesokan harinya, ketika hujan turun lembut membasahi desa, suasana Lembayung Niralasa dipenuhi aroma tanah basah dan semerbak kayu manis yang samar. Di balkon lantai atas, tiga sosok duduk di sekitar meja makan yang tampak lebih seperti hiasan daripada tempat bersantap. Nafsu makan mereka nyaris tak ada.

Pemilik Lembayung berdiri di sisi mereka, membawa berita tentang perayaan yang sedang berlangsung di luar. Perayaan Giri Purnama, begitu ia menyebutnya. Upacara syukur menyambut musim tanam, sebagai penghormatan kepada leluhur yang menjaga keseimbangan alam di desa mereka.

"Mungkin tuan-tuan bisa bergabung dalam perayaan," ucapnya ramah. "Hujan ini berkah. Awal yang baru untuk menaruh harapan."

Ia pamit dengan dua kantung perak di tangan, hasil dari pembayaran ganti rugi oleh Radeeva atas kerusakan sehari sebelumnya. Sementara itu, makanan terhidang hangat di atas meja, namun hanya Chandani yang berhasil menyentuhnya.

Bhirendra dan Radeeva duduk diam. Tatapan mereka tertuju ke luar balkon, ke arah kerumunan yang dipenuhi warna-warni kain dan denting lonceng kecil yang menari bersama angin. Suara tawa bahagia mengalun dari penduduk yang melepaskan perahu kecil ke sungai kebiruan. Namun Bhirendra tidak ikut larut. Ia tak menikmati apa pun.

"Sebaiknya Pangeran dan Panglima makan dulu. Kalau kalian jatuh sakit, bagaimana bisa melanjutkan pencarian Nona Reina?" Chandani menyela pelan.

Radeeva hanya mengangguk, tapi tetap tak menyentuh makanannya. Sedangkan Bhirendra seperti tak mendengar. Ia memaku pandangan ke kejauhan, lalu, tanpa sepatah kata pun, berdiri dan melompat dari balkon, langsung ke tengah kerumunan.

"Bhira?!" seru Radeeva, terkejut. Chandani pun ikut berseru, lalu keduanya segera menengok dari tepi balkon. Namun langkah Radeeva terhenti seketika. Pandangan matanya menangkap sosok yang telah mereka cari selama dua hari: Reina.

Gadis itu berdiri di bawah hujan, basah kuyup, namun tetap tegak. Wajahnya tenang, bahkan tersenyum, namun bukan senyum yang mereka kenal. Senyum itu tak menyentuh matanya, tak menyalakan cahaya yang biasa ada di sana.

Di sampingnya, seorang gadis kecil, gadis yang sama yang dulu menyambut mereka di jembatan desa, mengayun-ayunkan tangan kecilnya sambil tertawa. Reina meraihnya, mengangkat dan memeluknya, seperti seorang kakak yang mengajak adiknya menyaksikan kemeriahan dunia dari tempat yang aman.

Bhirendra melangkah maju perlahan, menyibak keramaian tanpa mengalihkan pandangan. Hujan tak menghalanginya. Orang-orang menepi memberi jalan, seolah alam pun tahu bahwa ini bukan pertemuan biasa.

Saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah, Reina menoleh. Pandangan mereka bersitatap. Senyum Reina menghilang. Hanya tatapan kosong yang tersisa, dan dalam diam. Keduanya berdiri, tertaut oleh sesuatu yang lebih dalam dari kata-kata, oleh luka, pertanyaan, dan rasa yang tak sempat mereka akui.

"Aku kembali bukan karena kalian," kata Reina perlahan. "Tapi untuk menepati janji. Setelah itu, aku akan pergi."

Bhirendra tak menjawab. Tapi dalam sorot matanya, ada gejolak yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa yang terlambat memahami.

Dari atas balkon, Radeeva dan Chandani menyaksikan semua itu.

Hujan terus turun. Menyembunyikan air mata dari mereka yang terlalu keras kepala untuk mengakui bahwa kehilangan, tak selalu datang dalam kepergian. Kadang, ia datang saat seseorang kembali, tanpa benar-benar kembali.

--

Di dalam kamar, Lembayung Niralasa.

Reina masih berdiri membelakangi mereka, tubuhnya tampak tenang, tapi kedua bahunya sedikit gemetar, entah karena dingin sisa hujan atau karena sesuatu yang lebih dalam dari itu.

"Aku lelah. Aku ingin beristirahat sejenak," ujarnya tanpa menoleh, nadanya datar, seolah hendak menutup pintu pada percakapan, pada perasaan, pada mereka.

Suara itu membuat ketiganya terdiam. Tak ada amarah, tak ada tangis. Justru itulah yang paling menggetarkan, karena sering kali, ketenangan adalah tanda bahwa badai sudah terlalu lama bergulung di dalam dada.

Radeeva menjadi yang pertama sadar diri. Ia tersenyum tipis, senyum yang tak benar-benar sampai ke mata. "Ayo, Chandani," ujarnya pelan, nyaris berbisik. Ia tahu kapan waktunya mundur, dan kapan membiarkan luka merawat dirinya sendiri.

Namun Bhirendra tetap tak bergeming. Ia menatap punggung Reina seakan menanti bentakan, tuduhan, atau bahkan hanya sepotong kalimat yang bisa menjelaskan apa yang tengah bergemuruh dalam diri gadis itu. Tapi Reina tetap tak bergerak. Dan keheningan itu mengikat mereka.

Radeeva melirik Bhirendra. Napasnya tertahan, lalu ia mencoba menarik lengan pria itu tapi sia-sia. Bhirendra hanya melangkah mundur satu langkah. Satu. Bukan untuk pergi, hanya agar ia tetap berdiri, di batasnya.

Radeeva nyaris kehilangan kesabaran. Matanya menyipit tajam pada Bhirendra, mengirim peringatan tanpa kata: Jangan paksa luka yang belum mengering untuk menjawabmu.

Dengan gerakan pelan namun tegas, ia meraih bahu Chandani dan membawanya keluar. Pintu kamar tertutup perlahan di belakang mereka, menyisakan gema sepi yang jauh lebih bising dari kata-kata.

Kini hanya Reina dan Bhirendra, dan di antara mereka, terhampar diam yang menyesakkan. Diam yang tidak memeluk, tidak menenangkan, hanya menggantung seperti kabut tipis di antara dua hati yang sama-sama hancur.

Reina menunduk, rambutnya masih basah meneteskan air ke lantai kayu.

Bhirendra, seperti patung penjaga kuil tua, berdiri membatu. Ia tak pernah tahu cara memulai permintaan maaf. Tak pernah pandai meredakan badai. Yang ia tahu hanyalah bertahan, dan kini, ia mulai sadar, bertahan bukan selalu pilihan terbaik ketika seseorang hanya ingin dimengerti. Tapi Reina tidak berbalik dan kata-kata yang mereka simpan terlalu lama, kini mulai menyesaki udara.

Bhirendra melangkah pelan, mendekat hingga jarak di antara mereka hanya sejengkal. Ia berniat membuka percakapan dengan kelembutan seperti yang akan dilakukan Radeeva. Namun yang keluar dari bibirnya justru dingin dan tajam,

“Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?”

Reina menarik napas perlahan. Ia tetap memunggungi Bhirendra, menatap jendela yang mulai diliputi kabut hujan.

“Ada dua energi bertabrakan dalam inti kesadaranku,” ucapnya pelan. “Satu berasal dari Cakra Adhiwara dan dua artefak lainnya. Satu lagi... sesuatu yang gelap, pekat. Ia mencoba menguasai tubuhku. Dan kau tahu hasilnya? aku melukaimu, hampir membunuh Chandani.”

Bhirendra terdiam, pandangannya menajam. Tapi Reina belum selesai. “Panarasa Hitam bukan bagian dariku. Aku bahkan tidak tahu siapa mereka. Dan jika memang aku berniat menghancurkan dinding dimensi, untuk apa mengikat jiwaku pada delapan artefak yang bahkan belum tentu bisa kutemukan?”

Nada suaranya mulai bergetar, getir. Ia perlahan menoleh, menatap mata hijau gelap milik Bhirendra, mata yang dulu terasa seperti perlindungan, kini penuh keraguan. “Kau menuduhku tanpa dasar. Padahal kau tahu, aku bahkan tak bisa menyelamatkan diriku sendiri dari takdir ini.”

Hening sesaat. Angin dari jendela mengibaskan helai rambut Reina yang masih basah. Ia menyeringai kecil, senyuman pahit yang tak sempat tumbuh menjadi tawa.

“Tapi, aku tak peduli lagi. Kau percaya atau tidak, itu bukan urusanku. Aku tahu siapa diriku, bangsa asing di mata kalian. Aku tak mengharapkan tempat. Aku hanya ingin menyelesaikan apa yang harus kuselesaikan, lalu pergi. Kembali ke dunia di mana tak ada kalian, tak ada tuduhan, tak ada pengkhianatan yang bungkam seperti ini.”

Bhirendra tidak langsung menanggapi. Ia berdiri membatu di tempatnya, seakan waktu berhenti bersamanya. Tatapannya tak lepas dari Reina, tapi bukan dengan amarah melainkan sesuatu yang lebih sunyi. Seperti badai yang menahan dirinya untuk tidak pecah. Sesaat, matanya menutup. Ia menarik napas pelan, dalam, nyaris tak terdengar. Namun di dadanya, sesuatu sedang bergejolak.

"Aku tidak pernah mengerti bagaimana caramu bertahan...," ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan dalam. "Dan mungkin... aku juga belum cukup berani untuk percaya sepenuhnya."

Ia menatap Reina, tak lagi dengan sorot menyidik seperti sebelumnya. Kini lebih teduh, meski tetap dibalut kehati-hatian.

"Tapi satu hal yang aku tahu... sejak awal, kau tak pernah berusaha menyakiti siapa pun." Diam sejenak. "Aku gagal membaca itu. Dan itu... kesalahanku."

Bhirendra menundukkan kepala sedikit, tapi bukan dalam penyesalan yang diumbar melainkan bentuk pengakuan sunyi dari seorang pria yang tak biasa meminta maaf. Lalu, tanpa menunggu balasan, ia berbalik. Satu langkah, dua langkah, dan berhenti di ambang pintu.

"Kau tak perlu tempat di dunia ini, Reina. Karena dunia ini, sudah mulai bergerak menyesuaikan langkahmu."

Dengan itu, Bhirendra pergi. Diam-diam, menyimpan ribuan kata yang tak terucap.

More Chapters