WebNovels

Chapter 18 - Bab 18 - Cermin Arupa Dan Sejarah Yang Terpendam

Api unggun telah mengecil, namun bayang-bayangnya masih menari liar di wajah-wajah yang dibungkus keputusan. Bhirendra berdiri tegak di sisi Reina dan Radeeva. Tubuhnya yang kini berselimut jubah tempur dan sorot matanya menyimpan badai yang tak bisa dijelaskan dengan kata.

"Pergilah," bisik Reina. Suaranya tenang. Terlalu tenang. Seperti permukaan danau sebelum batu dilemparkan ke dalamnya.

"Aku akan aman bersama Radeeva sampai kau kembali."

Bhirendra tidak segera menjawab. Pandangannya menggantung pada wajah Reina-menyapu setiap lekuk yang kini terasa lebih kokoh dari sebelumnya, tapi juga lebih jauh. Ia ingin bicara. Ingin bertanya, apa sebenarnya yang kau korbankan barusan? Tapi tidak ada waktu. Tidak ada ruang.

Reina berbalik, kembali sibuk membolak-balik daging panggang yang sudah mulai gosong. Seolah ia tidak peduli. Atau mungkin... ia terlalu peduli hingga tak sanggup memperlihatkan.

Radeeva bersedekap sambil memutar mata. "Pergi cepat, hus! Hus!"

Bhirendra tersenyum samar, lalu melangkah mendekat pada Radeeva dan membisikkan sesuatu di telinganya-suara dalam nada lirih yang tak biasa.

"Jaga dia. Kali ini, anggap saja... permintaan seorang Abdi pada Tuannya."

Radeeva menegang. Matanya berkedip pelan, tidak biasa menerima kalimat seperti itu dari seseorang sekeras Bhirendra. Namun ia hanya mengangguk. Singkat, tapi padat dengan kesediaan.

Cahaya Raksana Yatra mulai membentuk lingkaran sihir di bawah kaki Bhirendra. Angin berdesir, rerumputan menunduk.

Reina tidak menoleh. Tapi ia tahu, detik ini... dunianya sedang dibelah dua.

Dengan satu helaan napas terakhir, Bhirendra menghilang, terhisap oleh sihir teleportasi menuju sisi timur yang dilanda retakan dimensi.

Sunyi.

Sangat sunyi.

Hanya suara api yang berderak dan suara serangga malam yang menggantikan gemuruh di dada Reina.

Radeeva menoleh padanya. "Apa konsekuensinya?" bisiknya pelan. "Apa yang kau korbankan barusan, Reina?"

Reina tidak menjawab. Ia mengambil potongan daging yang masih mengepulkan uap, lalu menggigitnya. Matanya tetap menatap ke dalam api, seolah bara itu bisa mengalihkan pertanyaan yang baru saja menusuk hatinya.

"Aku ingin pulang," gumam Reina, nyaris tak terdengar.

Tapi Radeeva mendengarnya. Dan mendadak, untuk pertama kalinya, ia merasa cemas. Kata "pulang" yang diucapkan Reina-tidak terdengar seperti harapan. Terdengar seperti pengakuan... bahwa pulang mungkin tak akan pernah bisa terjadi.

Keesokannya, Reina dan Radeeva telah berdiri di pinggiran Telaga Bayang, tempat yang selama ini hanya ada dalam peta tua yang berdebu dan bisikan panatua di Menara Cahaya.

Telaga itu tenang, terlalu tenang. Airnya sejernih kristal, memantulkan langit jingga kemerahan dan dua bayangan bulan yang tampak seperti mata pengintai. Bukit-bukit kabut mengelilingi tepian, seolah membentuk panggung bisu bagi sesuatu yang belum terungkap.

Namun keindahan ini menipu. Seindah apapun lukisan yang kau lihat, akan selalu ada sudut gelap yang tersembunyi di balik warnanya.

Saat mereka melangkah lebih dekat, Cakra Adhiwara di jari Reina bergetar hebat. Kilau cahaya menyala dari intinya-terang menyilaukan, tajam dan menyayat pandangan. Radeeva spontan menarik Reina ke pelukannya, melindungi wajah sang gadis dengan lengannya. Kilatan itu mengaburkan dunia. Gelap dan terang bertabrakan. Dalam sekejap, semuanya memutih. Tak ada langit. Tak ada bumi. Hanya kehampaan menyilaukan, dan mereka berdiri di tengahnya, dua jiwa yang tercabut dari realitas, menggantung di batas dimensi.

Lalu suara itu datang-dalam, serak, dan sepi.

"Selamat datang, penjelajah kehendak takdir..."

Dari ujung kekosongan itu, Layantara muncul. Sosoknya tinggi, berkerudung kabut, tanpa wajah, tanpa bentuk yang pasti. Ia bukan hantu, bukan dewa, tapi warisan purba yang terikat pada penjagaan Cermin Arupa.

Suaranya menggema ke dalam tulang. Penuh kepiluan, seperti ratapan zaman yang dilupakan sejarah. Ia melayang perlahan, mengelilingi Reina dan Radeeva, yang kini bersiaga dalam formasi bertahan. Tapi Layantara hanya... tertawa. Bukan tertawa manusia. Tapi denting pecahan waktu. Getarnya membuat udara berderak, menancap di kepala mereka.

"Kalian datang membawa cahaya, tapi kalian menyembunyikan bayangan kalian masing-masing..."

Matanya-jika memang ia punya mata-jatuh pada Reina.

Dalam sekejap, Radeeva terdorong mundur. Reina terserap. Tak sempat melawan, tak sempat memanggil. Ia kini berjalan bersama Layantara menyusuri lorong spiral berwarna-warna,warna yang tak dikenal manusia: ungu darah, biru kematian, kuning sunyi. Kemudian... gelap. Reina kini berdiri dalam ruang hampa, serba hitam. Hanya ada satu cahaya yang menggantung jauh di depan.

Ia melangkah. Dengan setiap tapak, napasnya terasa lebih berat. Setiap detik seperti memanggil ingatan yang lama terkubur.

Saat cahaya itu membesar, ia tiba di hadapan panorama raksasa. Seperti layar langit, menggambarkan masa lalu yang tak pernah diajarkan siapa pun padanya.

Tragedi Awal Kehancuran.

Suara tak terlihat mulai menjelaskan, seakan menuntun Reina memasuki kisah yang akan mengubah persepsinya terhadap dunia.

"Astadewa... bangsa penjaga, bangsa pengikat. Pewaris darah murni yang dititipkan untuk menjaga keharmonisan Swantara. Mereka adalah pelindung Somo, Batu Asal dari mana segalanya bermula."

Namun suara itu tak berhenti di sana. Ia mulai retak. Pecah dan kisah kelam mulai merayap keluar dari celah sejarah. Fragmen-fragmen kisah mulai merekah dari kegelapan, seperti kelopak bunga yang berdarah. Reina berdiri di tengahnya, menyaksikan potongan-potongan masa lalu yang menari di udara seperti asap dupa kuno. Suara Layantara menggema kembali, kali ini lebih dalam dan pelan, seolah ingin didengar oleh jiwa, bukan telinga.

"Inilah permulaan dari keretakan... bukan hanya pada batu Somo, tapi pada kesetiaan dan harga diri."

Gambaran bergerak membentuk bayang-bayang para leluhur. Di atas tanah yang dahulu disebut Tanah Cahaya Abadi, para penjaga kaum Astadewa berdiri mengelilingi Batu Somo, sang inti jagad, yang bersinar lembut seperti hati yang murni.

Namun sesuatu berubah. Sebuah retakan halus, bukan pada batu itu sendiri, tetapi pada ikatan jiwa di antara para penjaga. Perpecahan kecil dimulai dari perbedaan keyakinan tentang arah masa depan. Lalu tumbuh menjadi ketidakpercayaan, kesombongan, dan luka yang tak terlihat.

Batu Somo, suci dan sadar, mulai melemah. Ia tidak hancur secara fisik, namun esensinya menyebar ke segala penjuru Swantara, tak berpola, tak terdeteksi. Yang tersisa hanyalah cangkang, benda mati tanpa cahaya.

"Mereka menyebut itu kehancuran pertama. Namun sejatinya, itu adalah peringatan yang diabaikan."

Kaum Astadewa terbelah. Dua nama baru muncul dari puing kejatuhan: klan Niraksana, mereka yang bersumpah tetap menjaga jalan lama, dan kaum Wismara, mereka yang percaya bahwa kepemimpinan harus berpindah tangan.

Perang pecah. Bukan hanya perang fisik, tapi juga perang jiwa, sihir, dan warisan darah. Tanah Swantara terbakar oleh dendam yang tidak pernah dimengerti sepenuhnya. Pada akhirnya-seperti semua tragedi tua-yang kalah dihukum.

Klan Niraksana disingkirkan. Dibuang dari sejarah. Hak mereka dicabut, nama mereka dilenyapkan dari kitab suci kerajaan. Mereka dilarang muncul di Swantara, tubuh mereka tersembunyi, jiwa mereka dibungkam dan mereka perlahan menghilang, seolah ditelan oleh kemarahan jagad yang tak pernah bisa diampuni.

Layantara berhenti sejenak. Reina menggigil-bukan karena dingin, tapi karena ia merasa cerita itu mengenainya.

Lalu fragmen waktu bergulir cepat.

Ratusan tahun kemudian....

Swantara memasuki masa emas di bawah kekuasaan kaum Wismara. Menara Cahaya bersinar lagi, rakyat kembali menyembah kekuatan tertinggi, dan Batu Somo, meski hanya berupa cangkang, dijadikan simbol kehormatan. Namun kebanggaan itu goyah dalam sekejap.

"Di malam dua bulan sejajar, Batu Somo menghilang...."

Di layar langit, Reina melihat bagaimana Batu Somo raib dari puncak menara, di bawah penjagaan yang konon tidak bisa ditembus. Kepanikan melanda. Doa tidak dijawab. Kerajaan Swastamita menggigil, tak percaya.

"Tanpa batu suci itu, kedudukan Wismara dipertanyakan. Dan hingga kini, tak satu pun dari mereka mampu mengembalikannya ke tempat semula."

Kini Reina mengerti...

Batu Somo bukan hanya sumber kekuatan, tapi penyeimbang dua dunia dan ia-satu-satunya yang mampu memanggil artefak-adalah harapan dari esensi yang hilang itu.

More Chapters