WebNovels

Chapter 1 - Part 1

Hujan turun tanpa henti malam itu, membasahi jalan yang sepi di pinggiran kota. Aurora menarik selendang tipisnya lebih erat ke tubuhnya dan mempercepat langkahnya. Dia baru saja kembali dari supermarket.

Tiba-tiba, kilat menyambar langit, menghentikannya.

Di sudut gang sempit, dia melihat sesuatu—atau seseorang.

"Apa itu?" gumamnya.

Aurora menyipitkan matanya, jantungnya berdebar lebih kencang. Seorang pria tergeletak di tanah, tubuhnya setengah terkulai bersandar di dinding. Mantelnya menghitam karena hujan dan darah. Rambut hitamnya menempel di dahinya, napasnya berat dan tidak teratur.

"Ya Tuhan…" bisik Aurora.

Insting pertamanya adalah lari. Kota ini tidak pernah ramah terhadap wanita yang sendirian di malam hari, terutama jika menyangkut orang asing yang terluka. Tetapi ketika pria itu sedikit bergerak, mengeluarkan erangan samar seolah-olah menahan rasa sakit yang tak tertahankan, Aurora malah melangkah lebih dekat.

"Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja di sini," gumamnya, rasa takut terdengar dalam suaranya saat dia mendekat perlahan.

Aurora berlutut di sampingnya, memegang payung di atas tubuhnya.

"Apakah kau bisa mendengarku?" tanyanya pelan.

Tidak ada jawaban—hanya napas tersengal-sengal dan berat. Aurora menelan ludah. ​​Dengan hati-hati, ia membuka mantel pria itu. Sebuah luka sayatan panjang membentang di sisi tubuhnya—terlalu dalam untuk diabaikan, dan terlalu bersih untuk menjadi akibat dari kecelakaan biasa.

Apakah dia baru saja dirampok? Itulah pikiran yang terlintas di benaknya.

Aurora menarik napas dalam-dalam.

"Baiklah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepadanya. "Kau beruntung bertemu denganku."

Dia mengikat selendangnya erat-erat di sekitar perutnya. Tangannya bergerak cepat meskipun jantungnya berdebar kencang. Darah masih merembes, tetapi perlahan mulai berhenti saat dia menekan luka itu.

Tiba-tiba, pria itu membuka matanya.

Sepasang mata biru tua menatap balik padanya—tajam, intens, dan sangat dalam.

Aurora tersentak. "Tenang. Aku tidak akan menyakitimu."

Tatapannya melembut sesaat sebelum matanya kembali tertutup. Bibirnya bergerak, hampir tak mengeluarkan suara.

"Nama Anda…"

Aurora ragu-ragu. "Aurora."

Hujan mulai reda. Aurora membantu pria itu berdiri, menopangnya dengan bahunya meskipun tubuhnya sendiri gemetar karena beban pria itu. Dia membawanya ke klinik terdekat—tidak mungkin dia membawa pria asing ke rumahnya.

Dia tetap bersamanya dan membantu merawat luka-lukanya sepanjang malam.

Membersihkan luka robek. Mengganti perban. Memperhatikan pernapasannya, memastikan tetap teratur. Dia tidak banyak bicara, tetapi setiap kali dia membuka matanya, matanya selalu tertuju padanya.

Saat fajar menyingsing, pria itu akhirnya duduk dengan lebih stabil.

"Terima kasih," katanya pelan, suaranya rendah namun berwibawa. "Aku berhutang nyawa padamu."

Aurora tersenyum tipis. "Aku hanya melakukan apa yang seharusnya dilakukan siapa pun."

Dia menatapnya lama, lalu berkata, "Saya Lucien."

Aurora mengangguk. Setelah itu, dia permisi untuk pulang. Lucien memperhatikan sosok kecil wanita itu berjalan pergi, tatapannya sulit ditebak.

Two weeks later, Aurora berdiri di ruang tamu rumah besar keluarganya, mendengarkan berita yang membuat darahnya membeku.

Clara—saudarinya—telah menghilang.

Dan kehadiran Aurora di sana menjadi kunci untuk memastikan pernikahan tetap berlangsung.

Dia harus menggantikan Clara.

Aurora berdiri kaku di tengah ruangan.

"Tiga hari lagi," kata ibunya, suaranya dingin dan terukur. "Dan Clara telah menghilang."

Aurora menelan ludah. ​​Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari yang dia duga.

"Menghilang?" ulangnya pelan. "Maksudmu... dia tidak bisa dihubungi?"

Ayahnya menghela napas panjang, lalu meletakkan ponselnya di atas meja kaca. Layarnya menampilkan puluhan panggilan tak terjawab.

"Tidak ada kabar. Bahkan pesan pun tidak ada," katanya singkat. "Pernikahan dijadwalkan tiga hari lagi."

Jantung Aurora mulai berdebar kencang tak terkendali.

"Lalu... apa solusimu, Ayah?" tanyanya, meskipun nalurinya sudah mengetahui jawabannya.

Keheningan menyelimuti ruangan.

Pamannya, yang selama ini berdiri tenang di pojok, akhirnya angkat bicara. "Keluarga Severin tidak boleh dipermalukan. Media sudah menunggu, dan kontrak bisnis sudah ditandatangani."

Rasa dingin menjalar di punggung Aurora.

"Kita tidak bisa membatalkan pernikahan ini," lanjut pamannya. "Dan Clara... memilih untuk melarikan diri."

Ibunya menatap Aurora dengan tajam.

"Aurora," panggilnya perlahan. "Kau adalah saudara perempuannya."

Aurora menggelengkan kepalanya, mundur selangkah. "Tidak. Aku bukan Clara."

"Anakku, ini demi keluarga," kata ibunya tanpa ragu.

Kata-kata itu membuat dada Aurora sesak—dia dikorbankan demi nama keluarga.

"Aku bahkan belum pernah bertemu tunangannya," suara Aurora bergetar. "Ini tidak masuk akal."

Ayahnya berdiri. "Justru karena itulah, kamu adalah pilihan terbaik."

Aurora menatapnya dengan tak percaya. "Sebuah pilihan?"

"Clara pergi karena dia menolak pernikahan itu," kata ayahnya. "Tapi kamu berbeda. Kamu selalu patuh. Kamu tidak akan mempermalukan keluarga."

Kalimat itu terasa seperti vonis.

Aurora ingin berteriak. Dia ingin mengatakan bahwa hidupnya bukanlah pengganti hidup orang lain—bahwa dia memiliki mimpinya sendiri, pekerjaannya sendiri, dunia yang tidak ada hubungannya dengan jamuan mewah dan pernikahan kontrak.

Namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

"Siapa... siapakah pria itu?" tanyanya akhirnya.

Ibunya mengambil sebuah map tipis dari meja dan menyerahkannya kepadanya.

"Lucien Severin," katanya. "CEO Severin Group. Berusia 32 tahun. Keluarganya menginginkan pernikahan ini terlaksana—dengan cara apa pun."

Aurora membuka folder tersebut.

Dan dunia seolah berhenti berputar.

Sebuah foto formal seorang pria menatap balik padanya dengan ekspresi dingin dan jauh. Garis rahang yang tegas, rambut hitam yang tertata rapi. Dan mata itu—

Mata biru yang dalam itu.

Aurora mencengkeram map itu, napasnya tertahan.

TIDAK.

Ini tidak mungkin.

Wajah pria yang ia temukan terluka di tengah hujan. Pria yang pernah ia sayangi. Pria yang menyebut namanya dengan suara lirih malam itu.

Lucien.

"Tidak…" bisiknya.

Ibunya salah paham. "Kamu gugup. Itu normal."

Aurora mengangkat kepalanya, matanya berkilauan.

"Kau memintaku untuk menikahi orang asing."

Ayahnya melangkah lebih dekat. "Bukan orang asing," katanya tegas. "Dia adalah calon suami adikmu."

More Chapters