WebNovels

Chapter 1 - Shiroki Hazama no Rei – Rei di Antara Dua Dunia

PROLOG — DUNIA YANG BERUBAH, NAMUN TETAP BERJALAN

Pada awalnya, dunia ini biasa saja.

Mobil berlalu-lalang di jalanan penuh neon, anak-anak berlari menuju sekolah dengan seragam rapi, kafe-kafe kecil di sudut kota Tokyo dipenuhi tawa mahasiswa yang mengeluh tentang tugas dan cinta pertama.

Lalu, "itu" muncul.

Gerbang-gerbang raksasa, seperti retakan cahaya yang menggantung di udara, terbuka satu per satu di berbagai penjuru dunia.

Di atas samudra, di tengah kota, di hutan lebat, bahkan di puncak gunung bersalju. Semua tersebar begitu saja, tanpa peringatan.

Awalnya, umat manusia panik.

Tentara dikerahkan, ilmuwan tak tidur bermalam-malam, para pemimpin dunia mengadakan pertemuan darurat. Mereka menyebutnya Dimensional Rift — Retakan Dimensi.

Namun, yang keluar dari gerbang itu bukan hanya monster.

Ada sosok-sosok berkulit pucat dengan telinga panjang dan tajam — elf.

Ada manusia dengan telinga binatang dan ekor yang bergoyang pelan — beastman.

Ada ras dengan mata keemasan yang memancarkan cahaya sihir, ada ras bersayap yang turun dari langit, dan banyak lagi yang sebelumnya hanya dikenal dalam legenda dan fantasi.

Awalnya terjadi banyak kesalahpahaman.

Anggapan "musuh", "penjajah", "iblis dari dunia lain" bertabrakan dengan "manusia rakus", "ras yang tak dapat dipercaya".

Namun, seiring waktu, melalui pertemuan kecil, perundingan rahasia, dan beberapa tragedi yang nyaris menghancurkan segalanya, sesuatu perlahan berubah.

Manusia menyadari satu hal penting:

Mereka tidak sedang sendirian di alam semesta — dan ras lain juga takut, sama seperti mereka.

Negosiasi pun dilakukan.

Kota-kota besar membangun Zona Netral, wilayah di mana ras lain bisa hidup berdampingan dengan manusia.

Beberapa gerbang dijaga ketat dan dijadikan jalur resmi keluar-masuk antar dunia.

Dari sana, lahir dunia baru.

Ilmu pengetahuan manusia, yang tadinya hanya bergantung pada fisika dan biologi, bertemu dengan sihir yang tak bisa dijelaskan oleh rumus apa pun.

Sebaliknya, ras lain yang selama ini hidup hanya dengan sihir dan tradisi turun-temurun, takjub melihat teknologi manusia: jaringan internet, satelit, kereta super cepat, sistem medis canggih.

Manusia ingin mempelajari sihir.

Ras dunia lain ingin mempelajari teknologi dan sistem sosial manusia.

Maka, lahirlah bentuk kerja sama baru:

Akademi gabungan manusia–ras lain.

Perusahaan lintas dunia yang dikelola oleh konglomerat manusia dan bangsawan elf.

Perdagangan mana-crystal dengan chip komputer canggih.

Dan dari gerbang dimensi itu, tak hanya ilmu dan kerja sama yang mengalir…

Energi dunia lain pun merembes masuk ke bumi.

Energi itu pelan tapi pasti mengubah sesuatu di dalam tubuh manusia.

Sekitar sepuluh tahun setelah gerbang pertama muncul, fenomena aneh terjadi:

Setiap manusia yang berumur 17 tahun…

Mengalami "Kebangkitan".

Tubuh mereka bereaksi terhadap energi asing dari dimensi lain.

Sebagian kecil mendapatkan kemampuan sihir.

Sebagian lainnya mendapatkan penguatan fisik, indra tajam, atau keterampilan khusus yang tak mungkin dijelaskan oleh sains.

Upacara kebangkitan menjadi bagian dari kehidupan.

Seperti kelulusan, seperti ulang tahun, seperti ujian masuk universitas.

Di tengah dunia yang berubah ini, di kota yang dipenuhi lampu neon dan papan reklame bergambar pahlawan-pahlawan baru…

Hiduplah seorang pemuda bernama Hirashi Rei.

Rei bukan bangsawan elf, bukan keturunan keluarga sihir besar, juga bukan anak pejabat tinggi.

Dia hanyalah seorang pemuda biasa, siswa SMA berumur 17 tahun, yang tinggal di apartemen sederhana di pinggiran kota.

Namun, di dunia yang sarat "keajaiban" ini, justru ketidakistimewaannyalah yang membuatnya berbeda.

Ketika hari kebangkitannya tiba, ia berdiri di dalam kapsul pemeriksaan bersama puluhan siswa lain.

Cahaya sihir dan alat ilmiah bekerja bersama, mengukur potensi, menilai afinitas, mencari "kemampuan" yang akan membentuk masa depan mereka.

Semua gelisah.

Ada yang berdoa, ada yang berbisik, ada yang saling melirik penuh harap.

Ketika semua selesai, hasilnya pun keluar.

Sebagian temannya berteriak bahagia karena mendapatkan kemampuan sihir elemen api, angin, air, atau penguatan fisik.

Sebagian lagi tertawa lega meski hanya mendapatkan kemampuan tingkat rendah.

Dan Rei…

Di layar hologram di depannya, hanya muncul tulisan dingin:

[Status Kebangkitan : Tidak Teridentifikasi]

[Afinitas Sihir : 0]

[Perubahan Fisik : Rambut – Pigmen Menghilang / Mata Kiri – Perubahan Pigmen (Biru)]

[Kesimpulan : Tidak Memiliki Kemampuan Terbangkitkan]

Seisi ruangan terdiam beberapa detik.

Bukan karena kagum — tapi karena… bingung.

Kasus seperti Rei hampir tidak pernah ada.

Semua orang, bahkan yang dianggap "lemah", tetap mendapatkan sesuatu.

Kemampuan kecil, sensitivitas mana, indra sedikit tajam — apa saja.

Tapi Rei…

Tidak ada apa pun.

Hanya perubahan fisik: rambut hitamnya memutih, mata kirinya berubah biru.

Seolah energi dunia lain masuk ke tubuhnya, lalu… hilang tanpa meninggalkan apa-apa.

Rumor pun menyebar.

"Orang gagal bangkit."

"Manusia biasa di era yang bukan lagi untuk manusia biasa."

Namun, ada dua hal yang membuat Rei tetap bertahan:

Seorang sahabat wanita elf dari dunia lain bernama Aelria,

dan seorang gadis manusia yang menjadi pacarnya — Mina.

Aelria adalah elf yang datang ke dunia manusia sebagai bagian dari kerja sama bisnis antara kerajaan elf dan perusahaan manusia besar.

Ia bersekolah di SMP yang sama dengan Rei, sebagai "murid pertukaran" dari dunia lain.

Rambut peraknya panjang, matanya hijau zamrud, gerak-geriknya anggun namun hangat.

Aelria-lah yang pertama kali tertawa lepas di samping Rei ketika seluruh kelas memandang aneh telinganya yang lancip.

Aelria-lah yang menggandeng Rei saat beberapa siswa lain mengejek bahwa manusia tak akan pernah bisa menandingi elf dalam hal sihir.

Dan Rei…

Rei yang saat itu masih sangat biasa, hanya tahu satu hal:

Ia tidak suka melihat seseorang sendirian.

Mereka menjadi sahabat sejak itu.

Bukan sekadar manusia dan elf.

Mereka hanya… Rei dan Aelria.

Namun, tak semua hal bisa bertahan.

Ketika urusan kerja sama antara keluarga nya dengan dunia manusia selesai, Aelria harus kembali ke dunianya.

Ia tersenyum di gerbang dimensi, berusaha terlihat kuat.

Aelria :

"Rei… kalau kita bertemu lagi suatu hari nanti, jangan kaget kalau aku jauh lebih hebat darimu, ya."

Rei :

"Hah, dari dulu juga kamu hebat. Aku cuma manusia biasa."

Aelria (tersenyum tipis) :

"Manusia biasa yang keras kepala dan selalu menolong orang lain. Itu lebih sulit daripada punya sihir kuat, tahu?"

Ada jeda singkat. Angin dari gerbang dimensi meniup rambut putih Rei dan rambut perak Aelria.

Aelria :

"Jangan… hancur hanya karena dunia berubah, Rei."

Rei hanya tertawa kecil.

Rei :

"Aku akan baik-baik saja. Dunia sebesar ini, pasti ada satu tempat yang menerimaku."

Aelria menatapnya lama, seakan ingin mengatakan sesuatu lagi.

Namun, akhirnya ia hanya melambaikan tangan, melangkah melewati gerbang cahaya, dan menghilang.

Sejak saat itu, hanya tersisa satu orang penting di sisi Rei:

Pacarnya, Mina.

Dan itu…

Pun ternyata tidak bertahan lama.

BAB 1 — TERIMA KASIH ATAS CINTA PALSU

Langit sore di atas SMA tempat Rei bersekolah mulai memerah, warna jingga bercampur lembut dengan ungu ketika matahari perlahan turun.

Suara klub olahraga terdengar dari kejauhan, bercampur dengan tawa siswa yang baru saja selesai kelas tambahan.

Sekolah itu adalah simbol era baru:

Bangunan modern, panel sihir di beberapa sudut, dan papan pengumuman holografik yang menampilkan berita tentang kerja sama riset antara manusia dan ras lain.

Di halaman depan, siswa-siswi dengan berbagai ciri ras berjalan bersama.

Telinga lancip, telinga binatang, mata bercahaya, dan tubuh manusia biasa bercampur tanpa garis pemisah yang jelas.

Di antara keramaian itu, seorang pemuda berambut putih berjalan pelan sambil membawa dua kaleng minuman dingin di tangannya.

Itu adalah Hirashi Rei.

Seragamnya rapi, kancing atas terbuka sedikit, dasi longgar, tas selempang di satu bahu.

Rambut putihnya berantakan tertiup angin, dan mata kirinya yang biru tampak mencolok bila seseorang memperhatikan lebih dekat.

Meski begitu, ia tersenyum tipis, senyum yang… terlihat biasa bagi yang tak mengenalnya,

tetapi kalau diperhatikan lebih dalam, ada lelah yang samar di sana.

Rei (monolog dalam hati) :

Tes kebangkitan, berbulan-bulan latihan, coba metode latihan dari forum, dari guru, bahkan dari beberapa instruktur ras lain…

Hasilnya tetap sama. Tidak ada apa-apa. Hah… ya sudah lah.

Namun, ada satu hal yang membuat langkahnya tetap ringan memasuki kompleks sekolah ini:

Mina.

Pacarnya.

Gadis langsung, ceria, dengan rambut sebahu dan mata yang bersinar setiap kali bercerita tentang target masa depannya sebagai penyihir pendukung.

Rei menatap dua kaleng minuman di tangannya.

Rei :

"Kalau Mina lagi capek habis latihan sihir, mungkin ini bisa bikin dia sedikit segar."

Ia tersenyum kecil.

Senyum yang benar-benar tulus kali ini.

SISI MINA — HALAMAN BELAKANG

Sementara itu, di lantai dua gedung lain, di depan jendela yang menghadap halaman sekolah belakang, sekelompok gadis sedang berkumpul.

Mina duduk di bangku dekat jendela, dikelilingi beberapa temannya. Rambutnya tergerai lembut, seragamnya sedikit dimodifikasi dengan pita kecil di dada, memberi kesan manis.

Teman 1 :

"Mina, latihan sihirmu gimana? Dengar-dengar, nilaimu di simulasi tempur naik lagi ya."

Mina (tersenyum lemah) :

"Agak naik sih… cuma masih belum stabil kalau dipakai terus-menerus."

Teman 2 (berbisik pelan tapi cukup terdengar) :

"Yaa… wajar aja sih. Kamu kan hebat. Punya bakat sihir lumayan, cantik, populer. Pacarmu… ya…"

Teman 1 (cepat-cepat menyikutnya) :

"Eh, jangan gitu. Rei itu baik, kok."

Mina terdiam sesaat. Wajahnya menegang samar.

Di jarinya, sebuah cincin tipis berkilau saat terkena cahaya senja.

Cincin yang dulu ketika Rei pertama kali menyatakan cinta, sudah ada di sana.

Saat itu, Rei sempat bertanya.

Rei :

"Cincin itu… dari siapa?"

Dan Mina menjawab sambil tertawa kecil.

Mina :

"Hadiah keluarga. Katanya, buat jaga keberuntungan."

Rei percaya.

Karena itulah dia — percaya orang lain dulu, memikirkan dirinya belakangan.

Kali ini, teman-temannya melirik cincin itu dengan tatapan berbeda.

Teman 2 :

"Ngomong-ngomong, ketua OSIS nyari kamu, Mina. Katanya penting."

Mina sedikit tersentak.

Mina :

"Hayato…-senpai?"

Teman 1 (senyum menggoda) :

"Iya, Hayato-senpai~ Dia tadi bilang mau ketemu kamu di halaman belakang. Katanya 'soal penting'."

Wajah Mina memerah sedikit.

Bukan merah malu yang murni… ada juga campuran gugup dan rasa bersalah.

Mina :

"Aku duluan, ya."

Teman 2 :

"Hati-hati, ya. Jangan kelamaan… nanti ada yang nyari~"

Mina berhenti sesaat saat mendengar itu.

"Jangan kelamaan, nanti ada yang nyari."

Yang dimaksud tentu saja Rei.

Ada jeda.

Namun pada akhirnya, Mina hanya menghela napas pelan dan melangkah pergi.

Halaman belakang sekolah jauh lebih sepi.

Rumput hijau terawat, beberapa pohon berdiri rimbun, dan ada bangku panjang di dekat pagar besi yang menjadi batas dengan jalan kecil di luar sekolah.

Di sana, berdiri seorang pemuda berpostur tegap, dengan rambut hitam pendek dan telinga sedikit runcing seperti binatang.

Ekor tipis melambai pelan dari balik seragamnya.

Dia adalah Kurogane Hayato,

ketua OSIS, sekaligus beastman dengan kemampuan penguatan tubuh.

Saat Mina datang, ia menoleh, sudut bibirnya terangkat.

Hayato :

"Kamu datang."

Mina :

"Aku tidak boleh lama-lama. Kalau ada yang lihat…"

Hayato :

"Mereka sudah curiga dari dulu, Mina. Dunia ini sudah terlalu kecil untuk menyembunyikan sesuatu selama ini."

Ada jeda, hanya suara daun bergesek diterpa angin yang terdengar.

Mina menunduk, jemari tangan kirinya menggenggam tangan kanannya yang bercincin.

Mina :

"Aku… tahu. Makanya aku ingin bicara."

Hayato melangkah mendekat sedikit, matanya menatap Mina dengan campuran frustrasi dan rasa memiliki.

Hayato :

"Sampai kapan kamu mau mempertahankan hubungan yang… bahkan kamu sendiri tahu tidak bisa bertahan?"

Mina terdiam.

Perkataan itu menusuk, bukan karena salah, tapi karena terlalu benar.

Mina :

"Rei… orangnya baik. Dia selalu ada. Bahkan setelah aku tahu dia tidak memiliki kebangkitan, dia tetap tersenyum, tetap mendukung aku, tetap…"

Hayato (memotong perlahan, suaranya rendah) :

"Baik tidak cukup, Mina."

Ia mengepalkan tangan.

Hayato :

"Kita hidup di dunia di mana kekuatan adalah garis batas antara hidup dan mati. Kamu punya bakat sihir yang kuat. Kamu akan masuk akademi tempur tingkat tinggi nanti. Dan dia…"

Ia menghela napas, menahan amarah yang hampir tercampur dengan cemburu.

Hayato :

"Dia tidak punya apa-apa. Bahkan kemampuan level rendah pun tidak. Kalau suatu hari kamu dalam bahaya, kamu pikir… dia bisa apa?"

Mina menggigit bibir.

Mina :

"Aku… aku tahu."

Ada jeda panjang.

Mina :

"Aku butuh seseorang yang bisa melindungi aku. Bukan cuma karena aku takut mati, tapi… karena aku juga takut kehilangannya. Aku tidak mau melihat orang yang bersamaku hancur cuma karena tidak punya kekuatan untuk berdiri di sampingku."

Suara Mina bergetar ringan.

Entah itu penyesalan, ketakutan, atau hanya alasan untuk menutupi rasa bersalahnya.

Hayato :

"Kita sudah jalan bersama hampir setahun, Mina."

Ia mengangkat tangan, menyentuh lembut pipi Mina.

Hayato :

"Aku tidak bisa terus berpura-pura hanya 'ketua OSIS yang memperhatikan muridnya'. Aku tidak suka melihat dia jalan di koridor sambil tertawa bersamamu seolah… dia yang pantas memilikimu."

Mata Mina sedikit melebar.

Mina :

"Hayato-senpai…"

Hayato :

"Aku lelah menunggu. Aku ingin hubungan kita… jelas."

Angin bertiup pelan.

Ujung rambut Mina berkibar, cincin di jarinya berkilau lagi.

Di hadapan mereka, dunia terasa sempit, hanya menyisakan dua pilihan yang menunggu diambil.

Mina menghela napas panjang, seolah mengeluarkan semua kebimbangan dari dadanya.

Mina :

"Aku akan… mengakhiri hubungan dengan Rei."

Ada jeda kecil setelah ia mengucapkannya, seakan hatinya sendiri terkejut dengan kepastian yang baru saja ia bentuk.

Mina :

"Mungkin… tidak lama lagi. Aku…"

Ia mencoba tersenyum, namun senyum itu rapuh.

Mina :

"Rei pantas mendapatkan seseorang yang… selevel dengan dirinya. Seseorang yang… manusia biasa, hidup tenang, tidak terlibat dunia pertarungan."

Hayato menatapnya dalam-dalam.

Hayato :

"Atau… kamu hanya tidak tahan rasa bersalah, jadi kamu membungkus pengkhianatan ini dengan kalimat yang terdengar indah."

Mina terdiam.

Perkataan itu menyakitkan — tapi ia tidak menyangkalnya.

Akhirnya, Hayato menariknya mendekat, jarak mereka hampir tanpa celah.

Hayato :

"Apa pun alasanmu… aku tidak akan menutupi hubungan ini lagi terlalu lama."

Mina menatapnya, mata mereka saling bertemu.

Ia mengangkat tangannya, menyentuh wajah Hayato pelan.

Mina :

"...Tolong, bersabarlah sedikit lagi."

Mina :

"Aku… akan mengatakannya. Kalau tidak ada masalah besar yang memaksa kami putus dalam waktu dekat… aku sendiri yang akan mengakhirinya."

Hayato menutup mata sesaat, menahan emosi yang bergejolak.

Ketika ia membukanya lagi, yang tersisa hanyalah tekad.

Hayato :

"Baik. Tapi aku tidak akan minta maaf karena tidak suka melihat kalian bersama."

Dan tanpa banyak kata, Hayato menunduk, mencium Mina.

Mina sempat membeku, tapi kemudian menutup mata dan membalasnya.

Ciuman itu bukan lagi sebuah rahasia kecil… melainkan konfirmasi hubungan yang sudah terlalu lama mereka sembunyikan.

Di saat itulah—

Suara kecil, namun cukup keras untuk memecahkan gelembung rapuh yang menyelimuti mereka, terdengar.

"…Mina?"

PENGKHIANATAN DI HALAMAN BELAKANG

Suara kaleng logam jatuh ke tanah menyusul panggilan itu.

Trak.

Satu kaleng minuman menggelinding pelan di atas tanah, meninggalkan jejak tipis air dingin.

Yang satunya lagi masih tergenggam lemah di tangan seorang pemuda berambut putih yang berdiri beberapa meter dari mereka.

Hirashi Rei.

Nafasnya seakan tertahan di tenggorokan.

Mata kanannya yang gelap dan mata kirinya yang biru menatap pemandangan di depan tanpa berkedip, seakan otaknya menolak mencerna apa yang ia lihat.

Mina dan Hayato spontan memutus ciuman mereka.

Mina memegang bibirnya, tubuhnya sedikit bergetar. Hayato menatap Rei dengan ekspresi tidak terkejut — seolah ia sudah memperhitungkan kemungkinan ini, tapi tetap kesal karena timing-nya.

Beberapa detik berlalu tanpa ada yang bersuara.

Hanya suara angin dan kaleng yang berhenti menggelinding.

Rei menurunkan pandangannya ke kaleng yang jatuh.

Tangannya yang memegang kaleng lainnya sedikit bergetar.

Rei :

"...Maaf. Mengganggu."

Suara itu serak, namun masih terdengar tenang di permukaan.

Mina melangkah maju setengah, wajahnya memucat.

Mina :

"Rei… i-ini…"

Rei mengangkat kepala, menatap langsung ke mata Mina.

Tidak marah, tidak berteriak, tidak mengamuk.

Hanya… kosong.

Rei :

"Aku cuma ingin mengantar minuman. Kupikir kamu capek habis latihan sihir."

Ia mengangkat kaleng di tangannya sedikit, lalu menurunkannya lagi.

Rei :

"Tapi kelihatannya… kamu sudah punya seseorang yang lebih… 'menyegarkan' daripada ini."

Kalimat itu terdengar seperti bercandaan tipis, tapi tidak ada satupun dari mereka yang bisa tertawa.

Mina menggigit bibirnya, matanya berkaca-kaca.

Mina :

"Maaf, Rei…"

Ada jeda.

Rei tidak menjawab, hanya menunggu.

Mina mengumpulkan keberanian, memaksa kata-kata keluar, walau sebagian dari dirinya ingin lari.

Mina :

"Aku… butuh seseorang yang bisa melindungi aku."

Suara Mina bergetar, tetapi ia melanjutkan.

Mina :

"Dunia sekarang… bukan dunia yang sama seperti sepuluh tahun lalu. Aku punya bakat sihir, Rei. Aku akan terlibat dalam hal-hal yang berbahaya. Kalau orang yang berada di sisiku tidak punya kekuatan… aku tidak mau…"

Ia menundukkan kepala, kedua tangannya saling menggenggam.

Mina :

"Aku tidak mau melihat orang yang kusayangi terluka karena tidak bisa melindungi dirinya sendiri… atau aku."

Ada sejenak hening.

Mina :

"Kamu tampan, kamu baik… tapi di dunia sekarang, itu tidak cukup. Kalau kamu tidak bisa melindungi dirimu sendiri… dan aku… semuanya… percuma."

Kata-kata itu, bila diringkas, berarti satu hal:

"Kamu tidak cukup."

Hayato menatap Rei dengan tatapan dingin bercampur sedikit rasa bersalah — atau mungkin hanya rasa tidak nyaman karena ketahuan.

Hayato :

"Aku tidak akan pura-pura minta maaf hanya karena kamu melihatnya, Hirashi."

Rei memandangnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan kembali ke Mina.

Dan tiba-tiba, Rei… tertawa.

Pelan di awal, lalu semakin jelas.

Rei :

"Haha… haha…"

Tawa itu bukan tawa bahagia.

Bukan juga tawa marah.

Tawa itu terdengar seperti seseorang yang baru saja menyadari satu hal:

Dunia memang tidak bercanda dalam menghajarnya.

Beberapa jendela kelas yang terbuka menangkap suara tawanya.

Beberapa siswa yang berada di dekat situ menoleh, penasaran.

Rei mengangkat tangan kirinya, menutupi mata kirinya yang biru.

Rei :

"Aku mengerti sekarang…"

Air mata mengalir dari bawah jemarinya, menetes perlahan, jatuh ke tanah.

Rei :

"Dunia ini… benar-benar tidak menginginkanku, ya?"

Ia menatap langit dengan satu mata yang masih terlihat, mata gelap yang kini berkaca-kaca.

Rei :

"Sahabatku dari dunia lain kembali ke dunianya,

Kebangkitanku gagal,

Sekarang, pacarku…"

Ia berhenti sejenak, menarik napas panjang.

Rei :

"...memastikan kalau aku memang tidak pantas berada di sisi siapa pun."

Mina :

"Rei… jangan bilang begitu. Aku—"

Rei menurunkan tangannya perlahan, menatap Mina dengan mata kiri yang masih sedikit basah, biru dingin yang memantulkan cahaya senja.

Rei :

"Terima kasih."

Mina terdiam, bingung.

Mina :

"...Rei"

Rei tersenyum. Senyum itu indah, namun retak.

Rei :

"Terima kasih atas cinta palsu yang kamu berikan selama ini."

Ada jeda panjang.

Kalimat itu menggantung di udara, menampar lebih keras dari teriakan apa pun.

Rei :

"Dan… selamat atas hubungan kalian. Semoga bahagia."

Ia membungkuk sedikit, gerakannya sopan seakan hanya mengakhiri percakapan biasa antar teman sekelas.

Rei :

"Aku pergi dulu. Dari sini, dari sekolah ini… dan mungkin dari tempat di mana aku berpikir aku pantas berada."

Ia meletakkan kaleng minuman yang masih digenggamnya ke bangku dekat mereka, pelan, seolah menaruh sesuatu yang sangat rapuh.

Lalu ia berbalik, melangkah pergi.

Mina mengulurkan tangan, instingnya ingin menahan Rei.

Mina :

"Rei…!"

Namun suaranya tertelan oleh angin sore.

Langkah Rei tidak berhenti.

Hayato menggenggam tangan Mina sebelum ia sempat berlari mengejar.

Hayato :

"Kalau kamu mengejarnya sekarang… semuanya akan semakin rumit."

Mina menatap punggung Rei yang perlahan menjauh, siluetnya memanjang oleh sinar senja.

Di dalam hati, sesuatu terasa kosong.

Entah itu penyesalan, atau hanya ketakutan karena ia baru saja melepaskan seseorang yang selalu memegang tangannya tanpa menuntut apa pun.

SETELAH MENINGGALKAN SEKOLAH

Rei berjalan keluar dari gerbang sekolah, langkahnya pelan tapi pasti.

Suara siswa lain seakan memudar di latar.

Yang terdengar hanya suara napasnya sendiri dan gema tawa pahit yang tadi masih tersisa di dadanya.

Ia tidak langsung pulang.

Kakinya melangkah tanpa tujuan, melewati jalanan yang mulai dipenuhi lampu toko dan wangi makanan dari kedai-kedai kecil.

Rei (monolog) :

Jadi begitu rasanya…

Angin malam menyentuh rambut putihnya, membuatnya menyadari lagi betapa berbeda dirinya sekarang dibandingkan dulu.

Tiba-tiba, sebuah kenangan muncul — saat ia menyatakan cinta pada Mina untuk pertama kali.

Mereka duduk di bangku taman dekat sekolah, sore hari yang tenang.

Rei mengeluarkan semua keberaniannya.

Rei :

"Mina… aku suka kamu. Mungkin aku tidak terlalu istimewa, tapi… aku ingin berjalan di sampingmu."

Mina terkejut, lalu tertawa kecil. Ia menatap cincin di jarinya sebentar.

Rei :

"Cincin itu… dari siapa?"

Mina mengangkat tangannya, memperlihatkannya dengan senyum hangat.

Mina :

"Hadiah dari orang tuaku. Katanya, simbol doa… supaya aku ketemu orang yang bisa melindungiku."

Rei :

"Kalau begitu… boleh aku jadi orang itu?"

Mina sempat terdiam, menatap Rei lama, lalu mengangguk pelan.

Mina :

"Kalau kamu bisa terus ada di sampingku… itu sudah cukup."

Kenyataan hari ini membuat kenangan itu terasa… berbeda.

Rei (monolog) :

Jadi bukan "hanya hadiah keluarga", ya…

Atau mungkin tetap hadiah keluarga. Tapi doa mereka terkabul bukan untukku, melainkan untuk orang yang sebenarnya mereka inginkan untuk menjaga Mina.

Ia menghela napas pelan.

Bukan menangis meraung, bukan menghancurkan sesuatu, hanya… lelah.

Rei menatap telapak tangannya sendiri.

Rei :

"Aku tidak punya kebangkitan."

Ia mengepalkan tangan, lalu melepaskannya lagi.

Rei :

"Aku tidak bisa menggunakan sihir. Tidak punya penguatan tubuh. Tidak punya skill khusus."

Mata birunya memantulkan lampu jalan yang baru menyala.

Rei :

"Aku bahkan… tidak bisa mempertahankan orang yang kucintai."

Ada jeda panjang.

Namun, di balik segala pahit itu, ada sesuatu yang kecil, tapi nyata — perasaan kosong yang perlahan digantikan oleh sesuatu yang lain.

Bukan tekad. Bukan dendam. Masih terlalu dini untuk itu.

Yang muncul sekarang hanya satu kalimat sederhana di benaknya:

Rei (monolog) :

Kalau dunia ini tidak menginginkanku… maka aku harus mencari sendiri alasan untuk tetap berada di dalamnya.

Ia berhenti di jembatan kecil yang menghadap sungai, menatap permukaan air yang memantulkan cahaya malam.

Rei :

"Aelria…"

Nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

Rei :

"Kamu bilang jangan hancur hanya karena dunia berubah."

Ia tersenyum tipis, senyum yang nyaris tak terlihat.

Rei :

"Tapi… sejujurnya, aku sedang sangat ingin… hancur sekarang."

Angin kembali bertiup, seolah menjawab keluhannya dengan hening.

Di kejauhan, gerbang dimensi yang menjulang di atas kota bersinar lemah, seperti mata raksasa yang mengawasi semua makhluk di bawahnya — manusia, elf, beastman, dan lainnya.

Di antara semuanya, seorang pemuda berambut putih berdiri sendirian di jembatan kecil, dengan hati yang baru saja retak…

dan masa depan yang perlahan mulai berubah arah tanpa ia sadari.

More Chapters