WebNovels

PROLOG 1:Riak dari Kedamaian yang Retak

Di hamparan daratan luas bernama Benua Ruyin, lima Kekaisaran berdiri seperti pilar raksasa yang menopang kestabilan dunia. Gunung-gunung menjulang, lembah-lembah subur, dan danau kuno yang dipercaya memiliki napas spirit kuno adalah bagian dari tubuh benua itu. Dari generasi ke generasi, setiap Kekaisaran melahirkan bangsawan, kultivator, ksatria roh, serta monster kuno yang hidup bersembunyi di pedalaman terpencil.

Namun, di tengah-tengah benua, berdiri sesuatu yang tidak dimiliki dunia manapun—sebuah tempat netral, suci, dan menjadi pusat peradaban: Balai Pagoda Roh, tempat di mana tujuh pagoda megah menjulang menembus langit. Bangunan itu tidak hanya sakral, tetapi juga merupakan simbol persatuan, perdagangan, kebudayaan, dan hukum dunia.

Selama hampir tiga abad, pagoda itu memelihara kedamaian bagi seluruh benua. Konflik antar-Kekaisaran mereda, perbatasan menjadi stabil, dan para kaisar menahan ambisi mereka untuk menaklukkan satu sama lain. Hal ini bukan karena mereka tidak memiliki kekuatan—melainkan karena ada seseorang yang berdiri di puncak pagoda, seseorang yang membuat mereka tunduk tanpa perintah.

Dia adalah Wa'imeng'er, Pemimpin Agung Balai Pagoda Roh—wanita yang dijuluki "Penyatu Delapan Arah".

Rambutnya yang hitam seperti obsidian selalu dikepang rapi dengan ornamen roh perak yang melingkar di sisinya. Tatapannya selalu tenang, seperti permukaan danau yang tidak pernah beriak meski angin kencang melintas. Tidak ada orang yang benar-benar tahu usia aslinya, namun kekuatannya—yang bahkan dapat membungkam para tetua dan pahlawan dari lima Kekaisaran—telah mengukir namanya dalam sejarah.

Wa'imeng'er bukan hanya pemimpin. Ia adalah penjaga keseimbangan.

Seluruh Benua Ruyin berdiri di atas punggungnya—dan ia memikul tanggung jawab itu tanpa mengeluh.

Meski kedamaian hadir, keadaan tidak selalu stabil.

Di balik dinding pualam, aula diplomatik pagoda, dan pasar besar tempat ribuan pedagang berkumpul setiap harinya, ketegangan perlahan membara. Ada suara-suara sumbang dari beberapa kaisar muda, bangsawan, dan jenderal yang merasa pagoda terlalu mengatur, terlalu berkuasa, dan terlalu berpengaruh.

Terlebih lagi, belakangan ini salah satu Kekaisaran terbesar, Kekaisaran Tianlong, tengah berada dalam perubahan besar.

Kaisar lamanya wafat mendadak.

Kematian itu begitu misterius hingga bahkan Spirit Pagoda sendiri tidak berhasil mengungkap penyebabnya. Belum genap tujuh hari masa berkabung, seorang pria naik takhta dan menyebut dirinya sebagai Kaisar Baru Tianlong:

Xuyu Wansyi.

Tidak banyak yang mengenalnya. Ia muncul bagaikan bayangan—seseorang yang sebelumnya tidak tercatat dalam alur sejarah maupun silsilah bangsawan Tianlong. Namun, ia membawa pengawal pribadi yang seluruhnya mengenakan mantel hitam dan memiliki kekuatan misterius.

Rumor beredar bahwa Xuyu Wansyi bukan manusia sepenuhnya.

Ada pula yang percaya bahwa ia berasal dari sekte kuno yang telah musnah berabad yang lalu.

Yang lain mengatakan ia adalah anak dari selir gelap Kaisar sebelumnya yang dibuang ke perbatasan.

Tidak ada yang tahu mana yang benar—tetapi satu hal pasti: kehadirannya membawa perubahan yang menggetarkan benua.

Hari itu, di puncak tertinggi Balai Pagoda Roh, Wa'imeng'er berdiri menghadap cakrawala.

Angin malam berhembus melewati selendang putihnya, membawa aroma embun dan dedaunan yang tertiup dari lembah jauh. Mata indahnya memandang ke arah barat—ke wilayah Tianlong—tempat kabut hitam perlahan-lahan naik seperti asap setelah pembakaran.

"Langit sedang bergetar," gumamnya, suaranya nyaris seperti bisikan, tapi menggema dalam ruangan yang megah itu.

Seorang pria tua, Tetua Pagoda Ketiga, menghampirinya.

"Pemimpin Agung," katanya dengan ragu. "Apa benar Tianlong berada dalam bahaya?"

Wa'imeng'er tidak menjawab segera.

Ia menutup matanya sejenak, merasakan aliran energi roh di seluruh benua. Selama puluhan tahun ia menjaga keseimbangan ini, dan ia tahu betul bahwa setiap perubahan, sekecil apapun, dapat menyebabkan gempa politik dan kekacauan.

"Bukan hanya Tianlong," jawabnya dengan pelan. "Seluruh benua sedang menuju arah itu."

Tetua itu menelan ludah. "Apakah ini… karena Kaisar baru?"

Wa'imeng'er membuka mata. Aura tekanan yang seharusnya membuat manusia biasa berlutut tidak muncul. Wanita itu lebih seperti angin lembut daripada badai—tetapi siapapun yang pernah melihatnya bertarung tahu bahwa badai itu ada, tersembunyi jauh di dalam tatapannya.

"Kaisar Xuyu Wansyi…" katanya lirih. "Ia bukan datang untuk memimpin. Ia datang untuk menuntut. Aku tidak merasakan niat damai darinya."

"Lalu… apa yang harus kita lakukan?"

Wa'imeng'er menatap Pagoda Ketujuh yang berdiri di kejauhan—pagoda yang menyimpan catatan sejarah dan hukum dunia.

"Kita menunggu," jawabnya.

"Kita tidak dapat mencampuri urusan dalam negeri sebuah Kekaisaran… selama mereka tidak melanggar perjanjian pagoda."

Tetua itu tampak gelisah. "Tapi saya mendengar kabar… Tianlong sedang mengalami bencana kelaparan."

Wa'imeng'er mengangguk pelan. "Aku tahu."

"Dan Kaisar baru itu… mengumumkan pajak besar?"

"…Ya."

"Di tengah krisis?"

"Ya."

Tetua itu memukul lantai marmer dengan tongkatnya. "Ia akan membunuh rakyatnya sendiri!"

Wa'imeng'er terdiam lama sebelum menjawab.

"Jika itu terjadi," katanya pelan, "Pagoda akan turun tangan."

Meski ia tidak tampak marah, udara di sekelilingnya berubah dingin. Bahkan tetua itu harus mengatur napasnya agar tidak tercekik oleh tekanan energi roh yang tiba-tiba muncul.

"Kirim mata-mata roh ke Tianlong," perintahnya akhirnya.

"Aku ingin mengetahui apa yang sedang disiapkan oleh Kaisar Xuyu Wansyi."

"Baik, Pemimpin Agung."

Di sisi lain Benua Ruyin…

—di wilayah Tianlong yang luas—bulan menggantung redup, seakan berusaha menyembunyikan dirinya dari bayangan kelam yang menyelimuti tanah itu.

Ibu kota Tianlong tampak seperti kota mati pada malam hari.

Lampu-lampu dipadamkan.

Jalanan kosong.

Bahkan suara hewan pun tidak terdengar.

Di istana Kaisar, aula besar dipenuhi oleh pejabat-pejabat yang wajahnya pucat dan ketakutan. Di hadapan mereka, duduklah Kaisar Xuyu Wansyi, mengenakan jubah gelap dengan simbol naga yang diukir seperti tercakar oleh cakar monster. Sorot matanya tajam dan dingin, tidak memancarkan sedikitpun rasa empati.

"Rakyat Tianlong sudah terlalu lama manja," katanya dengan suara datar namun mengandung tekanan yang mengerikan. "Mereka lupa siapa yang memberi mereka perlindungan. Mereka lupa siapa yang berkuasa di dunia ini."

Seorang menteri memberanikan diri bicara. "Yang Mulia, memungut pajak saat desa-desa kekeringan dan gagal panen… itu akan menimbulkan—"

"Ketidakpuasan?" sela Wansyi.

"Pemberontakan?"

"Atau mungkin kematian?"

Ia bangkit dari kursi takhtanya. Ruangan itu tiba-tiba dipenuhi energi gelap yang berputar seperti kabut hitam. Para pejabat tersentak mundur, tubuh mereka gemetar.

"Tidak apa," katanya sambil tersenyum tipis. Senyuman itu dingin, bukan senyuman manusia.

"Jika rakyat tidak berguna, maka membiarkan mereka mati bukan sebuah kerugian."

Semua orang terdiam. Tidak ada yang berani mendongak.

"Mulai tengah malam ini," lanjut Wansyi, "siapa pun yang tidak dapat membayar pajak… akan dianggap sebagai pemberontak."

Ia menoleh ke pasukan elit hitam di belakangnya—puluhan pria bertopeng tanpa emosi.

"Bersihkan mereka."

Seketika ruangan itu membeku, seolah waktu berhenti.

Di tempat lain, di pagoda tertinggi Balai Pagoda Roh, Wa'imeng'er membuka matanya lebar-lebar. Nafasnya tercekat. Ia merasakan sesuatu—energi gelap seperti kabut darah—menyebar dari Tianlong, merambat cepat ke seluruh benua.

"…Dia benar-benar melakukannya," bisiknya.

"Kaisar kejam itu… akan membantai rakyatnya sendiri."

Perubahan kecil yang ia rasakan beberapa hari terakhir kini menjadi gelombang besar yang melanda seluruh benua.

Benua Ruyin…

kedamaian yang ia jaga selama tiga abad…

sedang retak.

Dan retakan itu baru saja dimulai.

More Chapters