WebNovels

Chapter 22 - BAB 22 — Epilog -menggantung

Angin sore desa Wanarum masih sama seperti dulu—lembut, hangat, dan membawa bau tanah basah yang menenangkan. Namun bagi sebagian orang, terutama yang pernah mendengar kisah "Malam Kehancuran", hembusan angin itu seperti membawa bisik-bisik yang tak terlihat.

Di sebuah warung kopi pinggir jalan, seorang pria muda turun dari motor matiknya. Ia mengedarkan pandangan, seolah mencari sesuatu.

"Permisi, Bu," katanya pada pemilik warung. "Di sini… masih ada yang pernah dengar nama Surya?"

Bu warung langsung berhenti menata gelas. Gerak tangannya kaku.

"…kenapa nyari nama itu, Le?"

Pemuda itu menelan ludah, tampak ragu. "Saya cuma… dengar-dengar katanya dia masih hidup. Masih sering lewat sini."

Bu warung pelan-pelan tersenyum, tapi matanya tidak ikut tersenyum sama sekali.

"Di desa ini, Le… ada banyak orang hidup. Tapi yang kelihatan hidup itu belum tentu beneran hidup. Sampeyan paham maksud saya?"

Pemuda itu ingin bertanya lagi, namun suara motor tua terdengar mendekat dari ujung jalan—halus, stabil, tidak tergesa. Mereka sama-sama menoleh.

Seorang pria tampan turun dari motor. Bajunya sederhana: kaos polos, jaket tipis, dan tas selempang. Senyumannya santai. Alisnya teduh. Tidak ada yang mengesankan bahwa pria itu pernah menatap kematian dari jarak sedekat kuku. Tidak ada yang menandakan bahwa tangannya—yang kini membawa plastik belanjaan—pernah menciptakan malam yang sampai hari ini tak seorang pun berani ceritakan secara utuh.

Pria itu duduk. "Bu, kopi hitam ya, yang pahit."

"Sip, Mas… seperti biasa," jawab Bu warung, tersenyum datar.

Pemuda itu memperhatikannya lama sekali. Ada sesuatu pada mata pria tersebut—bukan sorot jahat, bukan sorot bengis—tapi sorot yang terlalu tenang. Terlalu damai untuk orang biasa. Terlalu bersih untuk seseorang yang konon punya sejarah kelam.

Pria itu menyadari tatapan si pemuda, lalu tersenyum ramah.

"Ada yang bisa saya bantu, Dik?"

Pemuda itu bergidik kecil, padahal senyum pria itu hangat sekali. "E-eh, nggak mas, cuma… kayak pernah lihat."

"Haha," pria itu terkekeh kecil. "Orang bilang muka saya banyak kembaran."

Ia menyeruput kopi sambil memandang senja, seperti lelaki yang tak punya beban apa-apa.

Namun jauh di belakang warung, di sebuah gudang tua yang tak pernah diperiksa siapapun, dua orang laki-laki bertubuh kekar duduk di depan meja, menunggu perintah lewat pesan ponsel yang tiap hari hanya menampilkan satu kata: Jalan.

Tidak ada nama. Tidak ada nomor pengirim. Tidak ada identitas.

Namun mereka paham siapa yang memerintah.

Dan orang itu hanya duduk sepuluh meter dari lokasi itu, menikmati kopi pahitnya.

Di tempat lain, di daerah yang tak jauh dari kota kecil itu, transaksi gelap terus berjalan halus tanpa pernah menimbulkan noda. Orang-orang yang mengatur jalurnya tidak pernah menyebut nama bos mereka. Mereka hanya menyebut satu istilah yang sudah menjadi legenda:

"Bayangan Surya."

Namun, tidak ada seorang pun yang tahu bahwa legenda itu sebenarnya sedang hidup nyaman—jauh dari hiruk pikuk dunia hitam, namun tetap memegang tali kendalinya tanpa harus mengotori tangan.

Ketika malam turun dan Surya pulang melewati jalan kecil di antara pepohonan bambu, ia sempat berhenti. Hanya sebentar. Seolah mendengar sesuatu memanggilnya.

Angin bertiup perlahan, membawa suara-suara samar, entah dari masa lalu atau dari wilayah lain yang tak terlihat mata manusia.

Surya tersenyum kecil.

"Sudah… sudah. Aku ini cuma orang biasa sekarang."

Tapi angin tidak menjawab.

Ia kembali melanjutkan perjalanan. Langkahnya ringan. Sederhana. Seolah benar-benar lelaki tanpa dosa, tanpa luka, tanpa taring.

Namun pembaca—siapapun yang mengikuti kisah ini—akan merasakan sesuatu yang tak terucap.

Bahwa lelaki itu…

Belum selesai.

Belum benar-benar mati.

Belum berhenti mengatur sesuatu di balik senyumnya.

Dan terutama—

Bahwa hidupnya yang terlihat tenang…

mungkin hanya kedok.

Karena ada beberapa orang yang dilahirkan untuk menjadi manusia.

Ada pula yang terpaksa menjadi legenda.

Tapi Surya?

Ia berjalan pelan di bawah cahaya bulan.

Bukan sebagai manusia.

Bukan sebagai legenda.

Melainkan sebagai sesuatu yang tidak sepenuhnya bisa dijelaskan.

Sesuatu yang… bertahan.

Hingga sekarang.

 

 

 

 

 

More Chapters