WebNovels

Chapter 15 - BAB 15 — PERANG YANG SUDAH DIATUR SEBELUM DIMULAI

Angin malam di kota itu seperti menahan napas.

Lampu-lampu jalan memantul di genangan air, seakan tahu bahwa sesuatu yang besar sedang menunggu meledak.

Di kejauhan, suara klakson dan mesin hanyalah selimut tipis yang menutupi kenyataan:

dua faksi besar dunia gelap akhirnya sepakat menargetkan satu orang—Surya.

Tapi yang mereka tidak tahu adalah satu hal sederhana namun mematikan:

Surya… sudah menunggu mereka jauh sebelum rencana itu dibuat.

1. Pertemuan Sunyi di Gudang Tua

Di sebuah gudang pinggir kota, orang-orang dari Faksi Garuda Hitam dan Faksi Lembah Merah berkumpul diam-diam.

Mereka yakin Surya tak tahu.

Padahal… jauh di atas balok atap, tersembunyi dalam bayang-bayang, Surya sudah duduk sejak satu jam sebelumnya.

Wajahnya tak berekspresi.

Tatapannya kosong seperti sumur tua: gelap, dalam, dan tidak bisa ditebak dasar kedalamannya.

Dia menatap satu per satu wajah para lelaki itu.

Mereka bicara sambil menahan suara.

"Malam iki kudu rampung."

Malam ini harus selesai.

"Anakku wes mati mergo bocah iku."

Anak saya sudah mati gara-gara bocah itu.

"Ora ana dalan bali. Surya kudu tumbang."

Tidak ada jalan kembali. Surya harus tumbang.

Surya menutup mata sebentar, mendengar semuanya tanpa berkedip.

Ia membisik, lirih seperti doa yang patah:

"Kowe kabeh wis teka saka dalan sing kowe pilih dewe…"

Kalian semua sudah berjalan di jalan yang kalian pilih sendiri…

Lalu ia turun dari atap dengan langkah perlahan.

Tidak berlari.

Tidak gugup.

Hanya… tenang. Terlalu tenang.

Ketika kakinya menyentuh lantai beton, belasan orang menoleh bersamaan.

Aura dingin langsung menyelimuti ruangan.

2. Dua Faksi Menyerang Bersamaan

"SURYA!"

Teriakan itu memicu kekacauan.

Belasan orang langsung mengangkat senjata, mengelilingi Surya dari segala arah.

Tapi Surya hanya tersenyum kecil.

Senyum yang bukan milik pemuda biasa.

Senyum itu… terlalu yakin.

"Aku wes ngenteni kowe kabeh."

Aku sudah menunggu kalian semua.

Dan di luar gudang, samar-samar terdengar suara langkah—

bukan satu, tapi puluhan.

Baik Faksi Garuda Hitam maupun Lembah Merah mulai panik.

"Siapa itu…?"

"Kenapa dari luar juga ada orang?!"

Surya menjawab pelan:

"Perang iki… dudu kowe sing miwiti."

Perang ini… bukan kalian yang memulai.

"Lan dudu kowe sing bakal nyudahi."

Dan bukan kalian yang akan mengakhirinya.

3. Jebakan yang Tidak Mereka Sadari

Tiba-tiba lampu gudang mati.

Gelap.

Senjata-senjata berkilat tipis oleh cahaya bulan dari celah atap.

Suara jendela pecah.

Pintu belakang diseret paksa.

Lalu…

"BRAAAKKK!!!"

Puluhan orang bersenjata—orang-orang Surya—masuk dari segala arah.

Bukan preman biasa.

Bukan orang-orang nekat.

Mereka adalah orang-orang paling terbuang dari berbagai faksi kecil, yang sebelumnya dianggap tidak berguna.

Namun ketika Surya memberikan tangan, mereka berdiri.

Tanpa suara.

Tanpa ragu.

Faksi Garuda Hitam dan Lembah Merah baru sadar:

Mereka bukan sedang menyerang Surya.

Mereka sedang masuk ke dalam perangkap Surya.

4. Api Perang Menyala

Teriakan, tembakan, hantaman besi, dan jeritan pecah bersamaan.

Darah muncrat ke dinding.

Bayangan-bayangan bergerak cepat seperti tarian macan lapar.

Surya berjalan di tengah kekacauan itu seperti seseorang yang sedang menyusuri pematang sawah sore hari.

Tatapannya dingin.

Tenang.

Tubuhnya bergerak seperlunya, hanya untuk menjatuhkan satu per satu orang yang mencoba mendekatinya.

Tak ada amarah.

Tak ada ragu.

Hanya efisiensi.

Sampai salah satu pimpinan Lembah Merah, Bargo, tersudut.

Ia berlutut gemetar.

"Sur… Surya… aku salah… ayo rembugan… ayo—"

Surya mendekat, menatapnya.

"Kowe sing miwiti perang iki."

Kau yang memulai perang ini.

"Aku mung ngrampungke."

Aku hanya menyelesaikan.

Satu hentakan.

Bargo tumbang.

5. Ketika Perang Usai… Ada Sesuatu yang Lain

Setelah semuanya terdiam, anak buah Surya menghampirinya.

"Bos… kita menang. Dua faksi habis. Kota bakal jadi milikmu."

Surya mengangguk pelan.

Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti.

Ia menatap sudut gelap gudang.

Sudut yang tadi tidak disentuh siapapun.

Sudut yang terasa… dingin.

Lebih dingin dari dingin biasa.

Ada bayangan hitam tipis berdiri di sana.

Tidak bergerak.

Tidak bersuara.

Surya memicingkan mata.

Bayangan itu seperti manusia… tapi tidak bulat.

Tidak wajar.

Seolah sedang mengawasi.

Seolah sedang menilai.

Dan Surya hanya membisik:

"Aku ngerti kowe… saka jaman biyen."

Aku mengenalmu… sejak dulu.

Bayangan itu menyusut… lalu hilang.

Anak buahnya tidak melihat apa-apa.

Tapi Surya tahu:

Perang ini bukan akhir.

Hanya pengantar dari sesuatu yang jauh lebih gelap.

 

 

 

 

 

 

More Chapters