"Bu… apa aku bisa jadi penyihir sepertimu?"
Alicia menarik pelan ujung gaun wanita yang berdiri di sampingnya. Jari-jari kecilnya mencengkeram kain itu, seolah takut jika dilepaskan.
Wanita itu berhenti melangkah.
Ia menoleh ke bawah.
Tatapan matanya jatuh tepat ke wajah Alicia—wajah kecil yang mungkin masih terlalu polos untuk memahami dunia. Sesaat, cahaya lembut berkilau di matanya, sebelum senyum hangat perlahan mengembang di bibirnya.
"Tentu saja, sayang."
Tangannya terangkat, lalu mendarat di atas kepala Alicia.
usap… usap…
Rambut putih gadis kecil itu dielus dengan lembut.
"Kamu pasti akan menjadi penyihir yang hebat."
Nada suaranya begitu lembut… begitu hangat.
Dada Alicia terasa menghangat.
Ia menatap wanita itu dengan mata berbinar, lalu mengangguk kuat.
"Iya!"
Alicia mengepalkan tangan kecilnya.
"Aku pasti akan jadi penyihir yang hebat… dan membuat ibu bangga!"
Senyum wanita itu semakin dalam.
Dan sejak saat itu, Alicia selalu memimpikan—
menjadi seorang penyihir.
Aether.
Energi murni yang telah ada sejak zaman kuno.
Energi yang menjadi fondasi dari seluruh penyihir di dunia ini.
Saat Aether diserap ke dalam tubuh, energi itu tidak berhenti begitu saja.
Mengalir…
Menyusup…
Aether bergerak melalui jalur-jalur tak kasat mata, lalu berkumpul di satu tempat yang disebut inner core.
Sembilan tahun telah berlalu sejak janji yang dibuat Alicia bersama ibunya saat ia berusia lima tahun.
"Bu, aku pergi dulu cari tanaman obat, ya!"
Seru Alicia sambil melangkah keluar dari toko kecil mereka.
Kring—
Lonceng kecil di atas pintu bergoyang pelan, mengeluarkan bunyi nyaring yang sudah sangat akrab di telinganya. Bangunan itu sederhana—dinding kayu yang mulai usang, rak-rak penuh botol potion beraneka warna, serta aroma herbal yang selalu menenangkan.
Tempat yang bisa ia sebut… rumah.
Dari dalam toko, suara ibunya menyusul.
"Hmm, iya. Jangan masuk ke hutan terlalu dalam."
"Iya~!"
Tanpa menoleh lagi, Alicia berjalan menuju arah hutan di luar kota.
Tujuannya jelas.
Mencari tanaman obat untuk diolah menjadi potion.
Namanya Alicia Seraphine.
Usianya empat belas tahun.
Ia hidup di sebuah kota kecil di Kerajaan Nordel—kota perbatasan yang terletak di antara Kekaisaran dan Kerajaan Nordel. Di tempat sederhana itu, ia tinggal hanya berdua bersama ibunya.
Ibunya bernama Kalia Seraphine.
Seorang penyihir—dan juga seorang alkemis. Namanya cukup dikenal di kota, bukan karena kekuatan sihirnya, melainkan karena potion buatannya. Harganya murah, namun kualitasnya tak pernah mengecewakan.
Karena itulah, toko kecil mereka nyaris tak pernah benar-benar sepi.
Alicia dan ibunya menjalani hidup yang sederhana. Kadang Alicia membantu mencari tanaman obat di hutan, kadang menjaga toko dan melayani pelanggan.
Tidak mewah.
Tidak istimewa.
Namun entah mengapa…
Hidup seperti ini saja sudah lebih dari cukup untuk membuat Alicia merasa bahagia.
Tentang ayah—
Ibunya pernah berkata bahwa ayahnya sudah tidak ada.
Alicia tidak pernah bertanya lebih jauh.
Bukan karena tidak penasaran…
melainkan karena ia takut.
Takut melihat sorot mata ibunya berubah setiap kali nama itu disebut.
Dan selama ia masih bisa tersenyum bersama ibunya seperti sekarang,
rasanya… ia tak perlu tahu jawabannya.
Hari ini cuaca terasa lebih cerah dari biasanya. Musim dingin telah berakhir, dan salju yang dulu menutupi jalanan kini telah menghilang.
Karena itu, Alicia bisa leluasa masuk ke hutan tanpa khawatir terpeleset.
Saat tiba di pintu masuk hutan dan melangkah ke dalamnya, ia berpapasan dengan seorang warga kota.
"Oh? Alicia, mau mencari tanaman obat, ya?"
"Iya, Pak," jawabnya sambil tersenyum. "Mumpung musim dingin sudah berlalu, dan aku juga sudah diizinkan ibu."
"Begitu, ya. Hati-hati kalau di dalam hutan. Beberapa waktu lalu ada yang katanya bertemu monster."
DUM… DUM…
Jantung Alicia sempat berdebar.
Namun ia segera mengangguk kecil.
"Iya, terima kasih, Pak. Aku bakal hati-hati kok."
Sambil melambaikan tangan, Alicia melangkah semakin dalam ke hutan.
Setelah mencari tanaman obat ke sana kemari, ia akhirnya menemukan sebuah tanah lapang. Rumput hijau tumbuh subur, dan di sana-sini terlihat tanaman obat yang tumbuh berlimpah.
Melihat pemandangan itu, mata Alicia langsung berbinar.
Ia berlari kecil mendekat, lalu mulai memetik tanaman obat satu per satu dengan penuh semangat.
"Hehehe… banyak banget tanamannya," gumamnya pelan, tak bisa menyembunyikan rasa senang.
Tangannya bergerak lincah, memasukkan setiap tanaman ke dalam tas. Hingga tanpa sadar, tas bawaannya pun telah terisi penuh.
Alicia berdiri, lalu menepuk-nepuk tangan untuk membersihkan sisa tanah.
Dan saat itulah—
ia menoleh ke sekeliling.
"…eh?"
Hutan yang dilihatnya terasa asing.
Ia tidak ingat jalan untuk keluar.
Mungkin karena terlalu fokus mencari tanaman…
atau karena terlalu senang melihat hasil yang berlimpah.
Dadanya terasa sedikit sesak.
Alicia mulai berjalan menyusuri hutan dengan langkah ragu. Rasa takut perlahan merambat, dan di kepalanya kembali terngiang ucapan warga kota tadi.
"Hati-hati kalau di dalam hutan. Beberapa waktu lalu ada yang katanya bertemu monster."
Ia menelan ludah.
Untuk berjaga-jaga, Alicia menggores batang pohon dengan pisau kecil yang dibawanya, menandai jalan yang dilewati.
Waktu terus berlalu.
Sekitar satu jam kemudian—
"…Eh? Sungguh? Aku beneran tersesat?"
Wajahnya memucat. Tangannya mulai gemetar.
Ia melangkah pelan, sangat pelan—
Auuuu—!!
Suara lolongan serigala menggema di hutan.
"?!"
Tubuh Alicia membeku sesaat, lalu rasa panik langsung menyergap.
Tanpa berpikir panjang, ia berlari.
Semakin jauh ia berlari, semakin tak dikenalnya arah yang dituju.
"Bu… Ibu…"
"T-tolong aku…"
Air mata mengalir. Seluruh tubuhnya gemetar hebat.
Dan saat ia berhenti sejenak—
di hadapannya muncul dua ekor Serigala Salju, satu besar dan satu lebih kecil.
Monster yang dikenal sebagai penguasa hutan.
"…!"
Alicia mundur perlahan, satu langkah demi satu langkah.
Clak—
Suara ranting patah terdengar jelas di bawah kakinya.
Kedua serigala itu langsung menoleh ke arahnya.
Sepasang mata mereka menatap tajam, dingin seperti es.
"—!"
Alicia berlari.
Tanpa arah. Tanpa rencana.
Kakinya bergerak lebih cepat dari pikirannya. Dahan-dahan mencambuk wajahnya saat ia menerobos semak-semak.
Di belakangnya, serigala itu terus mengejar—tatapan mereka adalah tatapan predator.
Hah… hah…
Napasnya terengah-engah. Jantungnya berdetak kencang.
"Jangan… jangan… jangan…"
Paru-parunya terasa terbakar. Pandangannya mulai menyempit. Dunia seakan mengecil, menyisakan suara langkah kakinya sendiri dan lolongan di belakangnya.
Dan saat ia berlari tanpa memikirkan apa pun—
—ugh!
Ia tersandung.
Tubuhnya menghantam tanah dengan keras.
Sebelum sempat bangkit, serigala itu sudah mengepungnya.
Naluri bertahan hidup Alicia mengambil alih.
Dengan tangan gemetar, ia mengeluarkan satu-satunya senjata yang dimilikinya—sebuah pisau kecil.
Ia mengacungkannya ke depan.
"J-jangan mendekat…"
Wajahnya pucat. Seluruh tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengalir di punggungnya.
Serigala itu menggeram, memperlihatkan cakar dan gigi tajam mereka.
Alicia berlari ke arah salah satunya—dan menusuk matanya.
Grrr—!!
Darah memercik. Serigala itu meraung, namun tidak tumbang.
Sebaliknya, ia menerjang balik.
Alicia berusaha menghindar—
—Srak!
Cakarnya mengenai kaki Alicia.
"Arghh!!"
Ia berteriak kesakitan. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ditahan.
Dengan sisa tenaga, ia kembali berlari.
Napasnya terengah-engah, kakinya terasa nyeri hebat.
Di belakangnya, suara langkah dan geraman serigala semakin mendekat.
Ia menoleh ke sana kemari dengan panik, mencari tempat berlindung—
dan saat itulah ia melihat sebuah goa.
Tanpa berpikir panjang, Alicia langsung masuk ke dalamnya.
Pintu masuk goa itu sempit, namun masih cukup untuk tubuhnya.
Di belakang, serigala itu mencoba memaksa masuk, tubuh besar mereka bergesekan dengan batu di mulut goa.
Grrr…
Melihat itu, Alicia terus melangkah lebih dalam sambil menahan rasa sakit di kakinya.
Setelah merasa cukup jauh dan suara mereka mulai meredup, ia akhirnya berhenti.
Tubuhnya langsung bersandar ke dinding goa.
Hah… hah…
Keringat dingin masih mengalir tanpa henti. Napasnya berantakan.
Ia menunduk, menatap kakinya.
Luka bekas cakar itu masih menganga. Darah terus mengalir, menetes ke tanah batu di bawahnya.
"…!"
Dadanya menegang.
Tasnya… tidak ada.
Saat itulah Alicia tersadar.
Tas bawaannya tertinggal saat ia berlari tadi.
Di dalamnya ada tanaman obat.
Bekal.
Dan… potion penyembuh untuk keadaan darurat.
Kepalanya terasa semakin ringan.
Dengan panik, Alicia merobek ujung bajunya.
Srk—
Kain itu digunakannya untuk membalut luka, mengikatnya sekuat tenaga yang ia bisa.
"—gh…"
Rasa perih membuatnya hampir berteriak. Air mata kembali mengalir tanpa bisa ditahan.
Tubuhnya gemetar.
Pandangannya mulai kabur.
Tenaganya benar-benar terkuras.
Tak ada lagi kekuatan untuk bergerak.
Alicia bersandar di dinding goa, napasnya semakin melemah.
Dan akhirnya—
dalam kelelahan dan kehilangan banyak darah,
kesadarannya pun menghilang.
